Minggu, 02 Juni 2019

SHALAT KAFARAH HARI JUM’AT AKHIR RAMADHAN

*ANALISIS HADIS*
*SHALAT KAFARAH HARI JUM’AT AKHIR RAMADHAN*

Medsos kembali viral dengana danya beberapa share/broadcast terkait hadis yang menyatakan adanya Shalat Kafarah pada hari jumat akhir dari Bulan Ramadhan.
Hadis yang dimaksud adalah,

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من فاتة صلاة فى عمرة ولم يحصها فليقم فى اخر جمعة من رمضان ويصلى اربع ركعات بتشهد واحد يقرا فى كل ركعة فاتحة الكتاب وسورة القدر خمسة عشر مرة وسورة الكوثر خمسة عشر مرة

Nabi Muhammad bersabda, “Barang siapa yang selama hidupnya pernah meninggalkan shalat tetapi tak dapat menghitung jumlahnya, maka shalatlah di hari Jum’at terakhir bulan Ramadhan sebanyak 4 rakaat dengan 1 kali tasyahud, dan setiap rakaat membaca 1 kali surat al Fatihah kemudian surat al Qadar 15 kali dan surat al Kautsar 15 kali.”

Terdapat pula hadis dengan redaksi

ﻣﻦ ﺻﻠﻰ ﻓﻲ ﺁﺧﺮ ﺟﻤﻌﺔ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺍﻟﺨﻤﺲ ﺍﻟﺼﻠﻮﺍﺕ ﺍﻟﻤﻔﺮﻭﺿﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻭﺍﻟﻠﻴﻠﺔ، ﻗﻀﺖ ﻋﻨﻪ ﻣﺎ ﺃﺧﻞ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺻﻼﺓ ﺳﻨﺘﻪ
Barang siapa pada hari Jumat terakhir bulan ramadlan melakukan sholat lima yang difardhukan selama sehari semalam, maka hal itu bisa menggodhoi shalat yang ia tinggalkan selama setahun.

Selain itu terdapat redaksi lain dari perkataan Khalifah Abu Bakar al-Sidiq yang berbunyi sebagai berikut,

قال ابو بكر سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول هذة الصلاة كفارة اربعمائة سنة حتى قال على كرم الله وجهه هي كفارة الف سنة قالوا يا رسول الله صلى الله عليه وسلم ابن ادم يعيش ستين سنة او مائة سنة فلمن تكون الصلاة الزائدة قال تكون لإبوية و زوجتة و لإولادة فأقاربة و اهل البلد.

Khalifah Abu Bakar as Sidiq berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah SAW, beliau bersabda shalat tersebut sebagai kafarat (pengganti) shalat 400 tahun. Dan menurut Sayidina Ali ibn Abi Thalib shalat tersebut sebagai kafarat 1000 tahun. Maka bertanyalah para sahabat: “Umur manusia itu hanya 60 tahun atau 100 tahun, lalu untuk siapa kelebihannya?”. Rasulullah SAW menjawab, “Untuk kedua orang tuanya, untuk istrinya, untuk anaknya dan untuk sanak familinya serta orang-orang dilingkungannya.”

*ANALISIS HADIS*

Hadis ini merupakan hadis palsu yang dibuat-buat oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Tidak ada dasarnya, tidak ada ashlnya, tidak terdapat jalur periwayatan atau sanad secara utuhnya dan tidak terdapat dalam kitab-kitab mu’tabarah mashadir al-ashliyyah.

Setelah melakukan search dari beberapa kitab, kami menemukan diantara hadis ini dalam al-Fawaid al-Majmu’ah fii al-Ahadits al-Maudhu’ah karya Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani (TW 1250H) yang di tahqiq oleh Abdurrahman bin Yahya al-Ma’mali al-Yamani, cetakan Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, Bairut – Libanon nomor 115, beliau memberikan keterangan sebagai berikut

115 - حديث: "مَنْ صَلَّى فِي آخِرِ جُمُعَةٍ مِنْ رَمَضَانَ الْخَمْسَ الصَّلَوَاتِ الْمَفْرُوضَةَ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ قَضَتْ عَنْهُ مَا أَخَلَّ بِهِ مِنْ صَلاةِ سُنَّتِهِ.
هَذَا: مَوْضُوعٌ لا إِشْكَالَ فِيهِ وَلَمْ أَجِدْهُ فِي شَيْءٍ مِنَ الْكُتُبِ الَّتِي جَمَعَ مُصَنِّفُوهَا فِيهَا الأَحَادِيثَ الْمَوْضُوعَةَ وَلَكِنَّهُ اشْتَهَرَ عِنْدَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْمُتَفَقِّهَةِ بِمَدِينَةِ صَنْعَاءَ فِي عَصْرِنَا هَذَا وَصَارَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ يَفْعَلُونَ ذَلِكَ وَلا أَدْرِي مَنْ وَضَعَهُ لَهُمْ.

Tidak di ragukan lagi, bahwa hadis ini adalah hadis maudhu (palsu). Dan tidak aku temukan sedikitpun dalam kitab yang menghimpun hadis-hadis palsu. Akan tetapi hadis ini masyhur dikalangan orang-orang yang mengaku ahli fikih di kota Sana’a di masa kami ini. Dan pada akhirnya banyak dari mereka yang melakulannya. Aku tidak tahu siapa yang memalsukannya.” (al-Fawaid al-Majmu’ah juz 1 halaman 54)

*AMALAN HADIS*

Shalat merupakan ibadah mahdhah, sedangkan ashl dalam ibadah adalah haram untuk dilakukan atau wajib didiamkan sehingga ada dalil shahih yang memerintahkannya, dan sumber dalil pokok adlah al-Quran dan al-Sunnah.
Dengan demikian, haram melakukan shalat kafarah ini karena tidak ada dalil shahih sharih yang bersumber dari Rasulullah Saw.

*DALIL SHAHIH TERKAIT SHALAT YANG TERTINGGAL*

*1. Apabila lupa*

597 - حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالاَ: حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ {وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي} [طه: 14] "، قَالَ مُوسَى: قَالَ هَمَّامٌ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ: بَعْدُ: «وَأَقِمِ الصَّلاَةَ للذِّكْرَى»، قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: وَقَالَ حَبَّانُ: حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، حَدَّثَنَا أَنَسٌ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ

Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah bersabda: Barangsiapa lupa melakulan salat, maka salatlah saat mengingatnya. Tidak ada kaffarat (tebusan) kecuali (mengqadha) tersebut. (dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku, Qs. Thaha: 14).  (HR al-Bukhari, juz 1 halaman 122 no. 597, cet. Dar Thauq al-Najah)

*2. Apabila tertidur*

Terdapat beberapa hadis, diantaranya terdapat dalam Musnad Abi Ya’la

3086 - حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا»

Dari Anas bin Malik ra ia berkata, Rasulallah Saw bersabda: Barangsiapa yang terlewat shalat karena tidur atau karena lupa, maka ia wajib shalat ketika ingat” (Musnad Abi Ya’la, Juz 5 halaman 349 no. 3.086, tahqiq Husain Salim Asad cet. Dar al-Ma’mun liturats, Damaskus)

*3. Kondisi darurat hingga waktu shalat terlewat beberapa waktu*

a. Kondiri diatas bisa kita lihat bagaimana Praktek Nabi Saw Mengqadha’ Empat Waktu Shalat Dalam Perang Khandaq
Yaitu ketika Rasulullah Saw meninggalkan 4 waktu shalat, yaitu Dzhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya ketika berkecamuk perang Khandaq di tahun kelima hijriyah.

عَنْ نَاِفع عَنْ أَبِي عُبَيْدَة بنِ عَبْدِ الله قَالَ : قاَلَ عَبْدُ الله : إِنَّ الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعِشَاءَ

Dari Nafi’ dari Abi Ubaidah bin Abdillah, telah berkata Abdullah,”Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah SAW sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khandaq hingga malam hari telah sangat gelap. Kemudian beliau SAW memerintahkan Bilal untuk melantunkan adzan diteruskan iqamah. Maka Rasulullah SAW mengerjakan shalat Dzuhur. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Ashar. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Maghrib. Dan kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Isya.” (HR. At-Tirmizy dan AnNasa’i)

b. Praktek Nabi SAW Mengqadha Shalat Shubuh Sepulang dari Perang Khaibar

Selain itu juga apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika tertidur dan habis waktu Shubuh saat terjaga saat pulang dari perang Khaibar di tahun ketujuh hijriyah.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : سِرْنَا مَعَ النَّبِيِّ لَيْلَةً فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ لَوْ عَرَّسْتَ بِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَخَافُ أَنْ تَنَامُوا عَنْ الصَّلاةِ . قَالَ بِلالٌ أَنَا أُوقِظُكُمْ فَاضْطَجَعُوا وَأَسْنَدَ بِلالٌ ظَهْرَهُ إِلَى رَاحِلَتِهِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَنَامَ فَاسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ وَقَدْ طَلَعَ حَاجِبُ الشَّمْسِ فَقَالَ يَا بِلالُ أَيْنَ مَا قُلْتَ قَالَ مَا أُلْقِيَتْ عَلَيَّ نَوْمَةٌ مِثْلُهَا قَطُّ قَالَ إِنَّ اللَّهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ يَا بِلالُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاةِ فَتَوَضَّأَ فَلَمَّا ارْتَفَعَتْ الشَّمْسُ وَابْيَاضَّتْ قَامَ فَصَلَّى

Dari Abdullah bin Abi Qatadah dari ayahnya berkata,”Kami pernah berjalan bersama Nabi SAW pada suatu malam. Sebagian kaum lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sekiranya anda mau istirahat sebentar bersama kami?” Beliau menjawab: “Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan shalat.” Bilal berkata, “Aku akan membangunkan kalian.” Maka mereka pun berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggangannya. Namun ternyata rasa kantuk mengalahkannya dan akhirnya Bilal pun tertidur. Ketika Nabi SAW terbangun ternyata matahari sudah terbit, maka beliau pun bersabda: “Wahai Bilal, mana bukti yang kau ucapkan!” Bilal menjawab: “Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti ini sebelumnya.” Beliau lalu bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla memegang ruh-ruh kalian sesuai kehendak-Nya dan mengembalikannya kepada kalian sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal, berdiri dan adzanlah (umumkan) kepada orang-orang untuk shalat!” kemudian beliau SAW berwudhu, ketika matahari meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan shalat.” (HR. Al-Bukhari)

*4. Ketika seseorang meninggalkan shalat dengan sengaja*

Orang yang meninggalkan shalat karena lalai sehingga waktunya habis, maka ia masuk golongan kafir (secara lughah) dan termasuk pada mukmin yang ma’shiyat dan wajib bertaubat dan tidak ada kafarah.

Orang yang meninggalkan shalat karena berkeyakinan shalat tidak wajib, maka ia telah mencederai rukun Islam, maka ia dinyatakan kafir (murtad aqidah). Ia wajib taubat dan tidak mengulanginya dan tidak ada kafarah.

Bagikan zakat fitrah

Ana ambil pilosopi sepakbola:

Ketika wasit belum meniup peluit tanda d mulainya permaian, memasukan ribuan bola ke gawangpun tdk sah dan tidak akan d anggap, apalagi tdk ada lawan dan bermain sendiri.

Gol/memasukan bola itu sah, jika wasit meniup peluit tanda d mulainya permainan dan ada lawan.

Gambaran:
Sahnya zakat fitrah d mulai waktu shubuh dan berakhir ketika ied sudah beres

Lawanlan kemalasan dan hawa nafsu dgn menuruti syariat yg berlaku

1. Amilin itu wajib ada untuk lajunya zakat demi kokohnya dakwah dan mengurus mustahiq

2. Jika kondisi benar-benar tdk ada amilin, pemberian zakat tetap wajib sebelum orang-org berangkat shalat ied

3. Carilah tekhnik, suruh anak / sumai, kerjasamalah&tolong menolonglah dlm kebaikan

Yg jelas, berusahalah dahulu untuk sesuai sunnah

Dalam ibadah tdk boleh ada campur baur perasaan yg mngatur hukum.

Zaman Rasulpun sama, adanya kesulitan krna banyaknya mustahiq, dan lebih banyak lagi krna mencakup seluruh kota. Di kita skupnya hanya jamaah (kampung), itupun ada bbrpa kelompok amilin.

Jadi, laksanakanlah sesuai perintah Rasul untuk membagikan setelah shubuh. Lebih dari 10thn, alhamdulillah ana tdk ada kendala dlm membagikan zakat pd mustahiq

Makanya seorg amilin (pemungut zakat dan pembagi zakat) itu hrs org yg cerdas, pintar, ahli, tau agama, krna menentukan sah tidaknya zakat, taruhannya puluhan, ratusan umat.

bhwa amalin bukan hanya mengambil dan membagikan begitu saja, namun harus ada transfaransi data dan catatan pemasukan dan pengeluaran

Shalat, shaum, zakat, haji, ini semuabibadah mahdhah yg d tetapkan waktunya, ukurannya dan bhkan tempatnya.

Waktu mengeluarkan zakat fithrah

كَانَ يَأْمُرُ بِإِخْرَاجِ الزَّكَاةِ قَبْلَ الْغُدُوِّ لِلصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ

“Sesungguhnya Rasulullah saw. memerintah untuk mengeluarkan zakat (fitrah) pada hari fitri sebelum pergi salat (hari raya).” HR. At-Tirmidzi

Untuk lebih jelasnya, Ibnu Tin menyatakan sebagai berikut :

قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلىَ الصَّلاَةِ أَيْ قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى صَلاَةِ الْعِيْدِ وَبَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ

“Perkataan: ‘sebelum orang keluar (pergi) ke salat Ied’ Maksudnya sebelum orang keluar untuk salat Idul Fitri dan setelah salat subuh.“

Zakat fithrah itu sudah jelas dalil besar ukurannya jumlah zakatnya, tujuannya dan waktunya.

Muzzaki / amalin, wajib memberi zakat kepada mustahiq dan *tdk ada syarat ijab qobul.*

Waktu pelaksanaannya adalah

قبل خروج الناس الى المصلى
Yaitu sebelum org2 pergi ke mushola lapangan ied (ba'da shubuh).

Maka zakat yg kita keluarkan skrg pada amilin, niatnya menitipkan, bukan membayarkan.

Maka amilin atau individu yg menyalurkan zakat pada mustahiq, jika mustahiqnya jauh atau tdk ada di tempat, maka boleh d titipkan dgn niat penitipan zakat pada org lain untuk d berikan pad mustahiq, krna dasar pemberian zakat tidak ada ijab qobul.

Pendapat ini sama dgn para ulama d antaranya imam An-Nawai:

إذا دفع المالك أو غيره الزكاة إلى المستحق ولم يقل هي زكاة ، ولا تكلم بشيء أصلا : أجزأه ، ووقع زكاة ، هذا هو المذهب الصحيح المشهور الذي قطع به الجمهور ، وقد صرح بالمسألة إمام الحرمين – أي : الجويني – ، وآخرون

Jika pemilik atau orang lain menyerahkan zakat kepada mustahiq, dan dia tidak menyampaikan keterangan bahwa itu zakat, atau sama sekali tidak menyampaikan keterangan apapun, maka hukumnya sah sebagai zakat. Inilah pendapat yang lebih kuat, sebagaimana yang ditegaskan jumhur. Dan masalah ini telah ditegaskan oleh Imam al-Haramain – al-Juwaini – dan beberapa ulama lainnya. (al-Majmu’, 6/233)



Membuat Orang Lain Bahagia

Membuat Orang Lain Bahagia


Coba bayangkan jika kita bisa

mengangkat kesulitan orang yang kesusahan …

mengenyangkan yang lapar …

melepaskan orang yang terlilit utang …

membuat orang lain bahagia,

keutamaannya, itu lebih baik dari melakukan ibadah i’tikaf di Masjid Nabawi sebulan penuh.

Sungguh ini adalah amalan yang mulia.

Keutamaan orang yang beri kebahagiaan pada orang lain dan mengangkat kesulitan dari orang lain disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

“Allah senantiasa menolong hamba selama ia menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699).

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِى حَاجَتِهِ

“Siapa yang biasa membantu hajat saudaranya, maka Allah akan senantiasa menolongnya dalam hajatnya.” (HR. Bukhari no. 6951 dan Muslim no. 2580).

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا

“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini -masjid Nabawi- selama sebulan penuh.” (HR. Thabrani di dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 13280, 12: 453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al Jaami’ no. 176).

Lihatlah saudaraku, bagaimana sampai membahagiakan orang lain dan melepaskan kesulitan mereka lebih baik dari i’tikaf di Masjid Nabawi sebulan lamanya.

Al Hasan Al Bashri pernah mengutus sebagian muridnya untuk membantu orang lain yang sedang dalam kesulitan. Beliau mengatakan pada murid-muridnya tersebut, “Hampirilah Tsabit Al Banani, bawa dia bersama kalian.” Ketika Tsabit didatangi, ia berkata, “Maaf, aku sedang i’tikaf.” Murid-muridnya lantas kembali mendatangi Al Hasan Al Bashri, lantas mereka mengabarinya. Kemudian Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai A’masy, tahukah engkau bahwa bila engkau berjalan menolong saudaramu yang butuh pertolongan itu lebih baik daripada haji setelah haji?”

Lalu mereka pun kembali pada Tsabit dan berkata seperti itu. Tsabit pun meninggalkan i’tikaf dan mengikuti murid-murid Al Hasan Al Bashri untuk memberikan pertolongan pada orang lain.[1]

Rajinlah membuat orang lain bahagia dan bantulah kesusahan mereka. Hanya Allah yang memberi taufik.

 

[1] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 294.

Menjadi Ulul Albab (Tadabbur dalam Perburuan Lailatul Qadar)

Menjadi Ulul Albab
(Tadabbur dalam Perburuan Lailatul Qadar)

“Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali para Ulul Albab”

Al Quran menyebut “hati” dengan empat ungkapan, yaitu: shadrun yang jamaknya shudûr, qalbun jamaknya qulûb, fuâdun jamaknya af’idah, dan lubbun jamaknya albâb.
Pertama. Hati disebut shadrun atau shudur, yang lajimnya digunakan untuk arti dada manusia. Karena hati manusia ada di bagian dada maka terkadang disebut tempatnya maksudnya isinya, disebutnya dada maknanya hati yang ada di dalam dada.
Al-Quran menyebutkan bahwa hati diungkapkan dengan shudur itu karena ia menjadi bagian paling luar yang menjadi tempat bisikan syetan.  Dalam Surat An Nâs disebutkan “Syetan itu membisikan kejahatan ke dalam shudur (hati) manusia”.
Dalam surat Al-An’am ayat 125, disebutkan bahwa orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah, shudur (hati) nya itu lapang untuk menerima Islam, sedang orang yang sesat hatinya itu sempit dan sesak.
Dalam surat Al Insyirah ayat 1 disebutkan bahwa di antara karunia Allah kepada Nabi Muhammad ialah dengan dijadikannya shudur beliau itu senantiasa terasa lapang. Dalam doa Nabi Musa yang terkenal ketika menghadapi Fir’aun, beliau memohon agar dilapangkan dada sehingga fasih dan lancar mendakwahi fir’aun.
Jadi di antara pengertian yang dapat diambil dari penyebutan “hati” dengan shadrun, karena ia bagian terluar dari hati itu amat sensitif dari pengaruh luar. Hati manusia mudah tersinggung, mudah emosi, juga mudah simpati dan empati. Karena itulah syetan paling bisa memanfaatkan emosi dalam hati manusia untuk memperdayakannya dan mendorongnya kepada keburukan. Kapan hati manusia sangat sensitif dengan bisikan? Yaitu pada saat sedang dilanda rasa cinta atau amarah yang membara, sedang sedih atau gembira yang berlebihan, rasa berani atau ketakutan yang tidak terkontrol. Bisikan itu bisa datang dari alam ghaib, yaitu syetan bangsa Jin, atau dari makhluk yang nampak, yaitu syetan bangsa manusia.

Kedua. Hati juga disebut dengan ungkapan qalbun, karena sifatnya yang “bolak-balik” dan kontradiktif. Suatu saat ia mencintai, pada saat lain ia berubah menjadi benci. Pada suatu saat ia ingi taat tapi pada saat yang lain ia ingin maksiat. Hati yang berkarakter seperti itu sulit dipegang konsistensinya, sulit untuk istiqomah. Karena itu dalam surat Al A’rof ayat 179, Al Quran mengecam orang yang punya qalbu tetapi tidak mau menggunakannya untuk mencintai kebenaran. Rasulullah mengajarkan agar kita berdoa, “Wahai Zat yang membolak-balik qalbu, kukuhkanlah qalbu ku dalam agama-Mu”.
Al-Quran juga mengingatkan bahwa hati manusia terkadang terkena penyakit. Terutama penyakit iri, dengki alias hasud, sombong alias takabbur, egois alias ananiyah, merasa paling benar dan paling mulia dari yang lain, dan senang pamer alias riya.
Penting juga direnungkan, kata mutiara:
أحبب حبيبك هوناً ما عسى أن يكون بغيضك يوماً ما وأبغض بغيضك هوناً ما عسى أن يكون حبيبك يوماً ما
Cintailah kekasihmu sewajarnya, bisa jadi ia menjadi musuhmu suatu hari; dan bencilah seterumu sewajarnya, bisa jadi ia menjadi kekasihmu suatu hari.
Pesan dari ungkapan hati dengan qalbu, janganlah memutlakan perasaan hatimu di saat kamu membenci dan mencintai sesuatu, jangan pula bisikan hati itu selalu diikuti karena masih menyimpan sifat dan tabiat yang paradoks dan kontradiktif. Belajarlah untuk mengendalikannya dengan adil. 

Ketiga. Hati  diungkapkan dengan sebutan fuâdun atau af’idah yang makna utamanya adalah kesadaran atau daya nalar. Al-Quran mengatakan dalam surat An Nahl ayat 78. “Dialah yang mengeluarkanmu dari rahim ibumu dalam keadaan tidak mengerti sesuatu apapun. Lalu Dia jadikan bagimu pendengaran, penglihatan, dan af’idah (kesadaran dan daya nalar) agar kamu bersyukur”. Pada ayat yag lain Al-Quran mengingatkan, janganlah mudah mengikuti apa saja, baik itu perkataan, pemberitaan, apalagi keyakinan dan peribadatan yang tidak didasari dengan ilmu pengetahuan, sebab pendengaran, penglihatan, dan af’idah itu semua akan diminta pertanggungjawaban”. (Al-Isra : 36)
Pengertian yang dapat kita ambil dari ungkapan hati dengan Af’idah, bahwa af’idah adalah bagian sifat hati yang lebih dalam dari qalbun, karena ia sudah mempunyai daya nalar yang kritis untuk menyaring setiap informasi dan perasaan. Tidak setiap bisikan hati dituruti, tidak terbawa perasaan emosi, simpati, dan empati pada sesuatu masalahyang belum terbukti kebenarannya.

Keempat. Hati diungkapkan dengan kata “Albab” yang merupakan jamak dari Lubb, yang arti asalnya adalah inti dari segala sesuatu. Jika setiap materi dibelah belah dan dibagi-bagi, maka terpecah kepada unsur-unsur yang paling kecil, seperti molekul dan dan atom. Dalam pecahan terkecil seperti atom masih ada bagian terdalam yang mungkin bisa disebut inti atom.

Jika sebutir buah kelapa dikupas, maka bagian terluarnya adalah sabut. Kemudian ditemukan tempurung, kemudian daging kelapanya. Jika daging kelapa itu diparut dan diperas airnya keluarlah santan, dan jika diolah keluarlah minyaknya.
Jika sebutir buah padi kita kupas maka nampaklah biji berasnya. Dalam biji beras itu tersimpan inti dari biji beras itu, yang jika ia tidak dikupas melainkan ditanam, maka dari inti biji beras itulah keluar tunas untuk regenerasi dan reproduksi.
Albab adalah bagian hati yang terdalam yang menjadi inti dari hati itu bisa melahirkan ilmu pengetahuan baru. Orang yang dengan hatinya dapat menyingkap kebenaran yang tersembunyi di balik fenomena-fenomena alam, dan yang mampu menyingkap rahasia-rahasia yang hak dibalik tabir-tabir kebatilan, merekalah Ulul Albâb.

Ketika hati telah menjadi Albab, maka tidak ada lagi ia berpenyakit hati,  tidak ada lagi dibisiki syetan dari bangsa jin dan manusia, dan tiada lagi ia bimbang dengan kontradiktif perasaan-perasaannya. Yang ada hanyalah pembelajaran, yang ada hanyalah makrifat, dan yang ada hanyalah hikmah dari segala peristiwa. Maha suci Allah yang berfirman dalam Kitab-Nya (Ali Imran : 191), “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pertukaran siang dan malam, benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi para Ulul Albab.” Dan friman-Nya berulang-ulang, “Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali para Ulul Albab”. (Ali Imran : 7)
Dengan demikian Lubb atau Albab adalah bagian terdalam dan yang paling mulia dari hati manusia. Dalam bahasa melayu disebut dengan lubuk hati atau dasar hati. Dalam lubb itulah bersinarnya cahaya ilahi dan fithrah insaniyah yang menjadi kendali diri dan radar kebenaran jiwa, karena itu disebut juga nurany atau cahaya hati. Orang-orang yang terbawa bisikan emosi dan nafsu amarah biasanya meninggalkan peringatan hati nurani. Sehingga Hati nurani inilah yang sering menderita dan menyesali atas kecerobohan dan kejahilan tindakannya. Wallahu A’lam bis shawab.
Wahai Rab kami, jadikanlah kami insan-insan Ulul Albab. Amiin.

Abu Himam/Jeje Zaenudin,
Ma’had Tahfizh Quran An Nahla Al Islamy, Bekasi: 25 Romadhan 1440