Rabu, 29 Mei 2019

Menata Hati Di Hari Fitri

MENATA DIRI DI HARI FITRI


Seorang muslim yang berqudwah kepada Al-Quran dan sunah Rasul-Nya akan senantiasa menyadari bahwa hakikat penciptaannya ke dunia ini tidak lain untuk beribadah kepada Allah swt. sebagai Penciptanya. Karena itu setiap desahan nafas dan amal perbuatannya tidak lain merupakan perwujudan amal ibadahnya kepada Allah Swt. Dan inti dari ibadah itu adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Melaksanakan apa yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya bukanlah sesuatu yang dinamakan ibadah.
Bagi kaum muslimin, Rasulullah saw. sudah menetapkan dua hari raya yang layak untuk dirayakan. Ketika Rasulullah saw. tiba (hijrah) di Madinah, penduduk setempat masih merayakan dua hari raya yang biasa mereka rayakan di masa Jahiliah, maka Rasulullah saw. bertanya kepada mereka, “Dua hari apa ini?” Mereka menjawab, “Dua hari yang pada zaman jahiliyyah kami berpesta padanya.” Maka Rasulullah saw. bersabda:
‎قَدْ أَبْدَلَكُمُ اَللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ اَلْأَضْحَى وَيَوْمَ اَلْفِطْرِ
“Sungguh Allah telah mengganti (kedua hari itu) untuk kalian dengan dua hari raya yang lebih baik, yaitu hari raya Adha dan hari raya Fitri.” HR. Abu Dawud, An-Nasai, Ahmad, Abu Ya’la, Al-Baihaqi, Al-Hakim, dan Abd bin Humaid, dengan sedikit perbedaan redaksi.[1]
Agar kebahagiaan dalam perayaan Iedul Fitri dan Iedul Adha itu senantiasa berada dalam “lingkaran” keridaan Allah (Mardhatillah), maka terdapat pedoman Rasulullah saw. yang mesti dipegang teguh oleh setiap muslim dalam merayakannya. Secara umum pedoman tentang seputar Ied ini, kami sajikan dalam tiga sub topik sebagai berikut:

I. Amal Sebelum Berangkat Ke Tanah Lapang
A. Menyalurkan Zakat Fitrah kepada mustahiq
Ibnu Umar berkata:
‎أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الفِطْرِ قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلىَ الصَّلاَةِ
“Rasulullah saw. memerintah dengan zakat fitrah, supaya dilakukan sebelum orang keluar (pergi) ke salat (hari raya).” HR. Al-Bukhari.[2]
Dalam riwayat lainnya dengan redaksi:
‎أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
“bahwa Rasulullah saw. memerintahkan agar membayar zakat fithrah sebelum orang-orang berangkat menunaikan shalat Ied.” HR. Muslim, Ahmad, An-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Al-Baihaqi, Abd bin Humaid, Ibnul Jarud. [3]
Sedangkan di dalam riwayat At-Tirmidzi digunakan redaksi sebagai berikut :
‎كَانَ يَأْمُرُ بِإِخْرَاجِ الزَّكَاةِ قَبْلَ الْغُدُوِّ لِلصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ
“Sesungguhnya Rasulullah saw. memerintah untuk mengeluarkan zakat (fitrah) pada hari fitri sebelum pergi salat (hari raya).” HR. At-Tirmidzi. [4]
Sesuai sunah Rasul bahwa waktu menyalurkan zakat fitrah itu pada hari raya, yaitu sejak terbit fajar hingga selesai salat hari raya (Ied) setempat. [5]
B. Disunahkan mandi dan berparfum serta berpakaian dengan pakaian terbagus.
‎عَنْ زَيْدِ بْنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ ، عَنْ أَبِيهِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم فِي الْعِيْدَيْنِ أَنْ نَلْبَسَ أَجْوَدَ مَا نَجِدُ وَأَنْ نَتَطَيَّبَ بِأَجْوَدَ مَا نَجِدُ
Dari Zaid bin Al-Hasan bin Ali, dari ayahnya (Al-Hasan bin Ali) Ra. “Rasulullah saw. telah menyuruh kami pada dua hari ied agar memakai pakaian dan wewangian yang terbaik.” HR. Al-Hakim dan Ath-Thabrani. [6]

Abdullah bin Umar berkata, “Umar pernah membeli baju besar terbuat dari sutra yang dijual di pasar, lalu membawanya kepada Rasulullah saw. sambil berkata, ‘Ya Rasulullah, belilah baju besar ini untuk memperindah diri di hari raya dan untuk menyambut tamu-tamu utusan!’ Rasulullah bersabda,
‎إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ.
“Baju ini hanya untuk orang yang tidak memiliki bagian di akhirat.” HR. Al-Bukhari dan Muslim. [7]
Hadis tersebut menunjukkan bahwa memperindah diri pada hari raya adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh para sahabat, dan Nabi saw. telah memberikan taqriir (ketetapan) terhadap Umar. Adapun teguran beliau terhadap Umar dikarenakan membeli baju besar yang terbuat dari sutra.
Dalam hadis lain diterangkan:
‎عَن جَابر رَضِيَ اللَّهُ عَنْه أَن النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَانَ يَلْبَسُ بُرْدَهُ الْأَحْمَرَ فِي الْعِيدَيْنِ وَالْجُمُعَةِ
Dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah saw. memakai burdah berwarna merah pada dua hari raya dan hari Jumat.” HR. Al-Baihaqi. [8]
Dalam riwayat Ibnu Abu Syaibah, dari Abu Ja’far dengan redaksi:
‎كَانَ يَلْبَسُ بُرْدَهُ الْأَحْمَرَ يوم الْجُمُعَةِ وَيَعْتَمُّ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ
“Rasulullah saw. memakai burdah berwarna merah pada hari Jumat dan menggunakan sorban pada dua hari raya.” [9]
Dalam riwayat Imam Asy-Syafi’I dan Al-Baihaqi dengan redaksi:
‎أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَلْبَسُ بُرْدًا حِبَرَةً فِي كُلِّ عِيدٍ
“Rasulullah saw. memakai burdah Hibarah pada setiap hari raya.” [10]
Meskipun hadis-hadis di atas dha’if bila dilihat secara mandiri, namun statusnya dapat dijadikan hujjah, yaitu derajatnya menjadi hasan (di atas derajat dha’if, namun di bawah derajat shahih) karena memiliki penguat dari riwayat lain sebagai berikut:


‎عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُ يَوْمَ الْعِيدِ بُرْدَةً حَمْرَاءَ
Dari Ibnu Abbas, ia berkata“Rasulullah saw. memakai burdah berwarna merah pada hari raya.” HR. Ath-Thabrani. [11]
Kata Imam Al-Haitsami, “Hadis ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, dan rawi-rawinya tsiqaat.” [12]
Dengan demikian hendaknya seseorang memakai baju yang terbagus manakala keluar pada hari raya.
C. Makan sebelum berangkat ke lapang
Rasulullah saw sangat menganjurkan orang yang akan berangkat menuju tanah lapang pada hari raya iedul fitri untuk makan terlebih dahulu dan hal ini berbeda dengan hari raya idul adha. Anjuran ini telah menjadi kebiasan amal beliau.
‎عَنْ أَنَسٍ رَضي اللَّهُ عنهُ قالَ: كانَ رسُولُ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم لاَ يَغْدُو يوْمَ الفِطْر حَتَّى يَأْكُلَ تَمَراتٍ
Dari Anas, ia berkata, ”Rasulullah saw. tidak berangkat salat pada hari iedul fithri sampai beliau makan beberapa buah kurma.” HR. Al-Bukhari. [13]
‎عَنْ بُرَيْدَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُوْ يَوْمَ الفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ
Dari Buraidah Ra, ia berkata, “Rasulullah saw. tidak berangkat menuju mushala pada hari fitri sehingga makan terlebih dahulu, dan beliau tidak makan terlebih dahulu untuk idul adha sehingga kembali.” HR. Ibnu Majah dan At-Tirmidzi. [14]
II. Amal Ketika di Perjalanan & di Tempat Salat Ied
A. Dianjurkan membedakan jalan yang dilalui waktu berangkat dan kembali dari mushala
Rasulullah saw. membiasakan apabila berangkat menuju ke mushala (tanah lapang) pada waktu ied, beliau menyengaja membedakan jalan yang ditempuh ketika berangkat menuju mushala dengan jalan yang ditempuh ketika beliau kembali ke rumah

‎عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْعِيْدِ خَالَفَ الطَّرِيْقَ.
Dari Jabir Ra, ia mengatakan, “Nabi saw. apabila hari ied beliau suka membedakan jalan (pergi dan pulang).” HR. Al-Bukhari. [15]
Dan di dalam riwayat lain diterangkan,
‎عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله ُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ إِلَى العِيْدِ يَرْجِعُ فِي غَيْرِ الطَّرِيْقِ اَّلذِي خَرَجَ فِيْهِ.
Dari Abu Huraerah r.a, ia mengatakan, “Rasulullah saw. apabila keluar menuju Ied, beliau kembali melalui jalan lain yang dilaluinya ketika berangkat.” HR. Ahmad, Muslim dan At-Tirmidzi. [16]
B. Takbiran
Rasulullah saw. mensunahkan takbiran pada hari raya, sejak keluar dari rumah untuk menuju tempat salat,
‎عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وآله وسلم كَانَ يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيْرِ وَالتَّهْلِيْلِ حَالَ خُرُوْجِهِ إِلَى الْعِيْدِ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى
“Dari Ibnu Umar sesungguhnya Nabi saw. bertakbir dan bertahlil (menyebut laa ilaha illallah) dengan suara keras dari mulai keluar hendak pergi salat iedul fitri hingga sampai ke lapang.” HR. Al-Baihaqi.[17]
‎أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى
“Sesungguhnya Rasulullah saw. keluar pada hari iedul fitri dengan bertakbir hingga sampai di lapang.” HR. Ibnu Abu Syibah. [18]
Dalam riwayat lain dengan redaksi:
‎كَانَ يَغْدُوْ إِلَى المُصَلَّى يَوْمَ الفِطْرِ إِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ، فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِىَ المُصَلَّى ثُمَّ يُكَبِّرُ بِالمُصَلَّى حَتَّى إِذَاجَلَسَ الإِمَامُ تَرَكَ التَّكْبِيْرَ
“Ibnu Umar berangkat pagi-pagi menuju mushala (tanah lapang) pada hari iedul fitri apabila terbit matahari, maka beliau bertakbir sehingga mendatangi mushala dan terus beliau bertakbir di mushala itu, sehingga apabila imam telah duduk beliau meninggalkan takbir.” HR. As-Syafi’I. [19]
‎وَقَالَ الحَاكِمُ : وَهَذِهِ سُنَّةٌ تُدَاوِلُهَا أَئِمَّةُ اَهْلِ الحَدِيْثِ وَصَحَّتْ بِهِ الرِّوَايَةُ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ وَغَيْرِهِ مِنَ الصَّحَابَةِ.
Dan Al-Hakim Mengatakan, “Ini adalah sunah yang digunakan oleh para ahli hadis, dan sahih tentang ini riwayat dari Abdullah bin Umar dan lain-lain dari kalangan sahabat.” [20]

Adapun takbiran semalam suntuk pada malam Idul Fitri tidak ada dalilnya. Pada umumnya berdasarkan penafsiran terhadap Surat al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi;
‎وَلِتُكْمِلُوا العِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوْا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Dan hendaklah kamu sempurnakan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur.
Hemat kami, ayat di atas tidak tepat dijadikan landasan bertakbiran malam ied, bahkan tidak ada kaitan dengan takbiran malam hari raya semalam suntuk, apalagi melalui cara berkeliling dengan berbagai tetabuhan yang menimbulkan kegaduhan dan kebisingan.
Juga bersandar kepada hadis sebagai berikut
‎مَنْ أَحْيَا لَيْلَةَ الفِطْرِ وَلَيْلَةَ الأَضْحَى لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ القُلُوْبُ.
“Barang siapa bangkit (bangun) pada malam Fithri dan malam Adha, tidak akan mati hatinya di kala hati orang-orang menjadi mati.”
Kata Imam al-Haitsami, redaksi di atas diriwayatkan oleh At-Thabrani dalam kitabnya al-Mu’jam al-Kabir dan al-Mu’jam al-Awsath. [21] Namun yang kami temukan dalam al-Mu’jam al-Awsath dengan redaksi berikut:
‎مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ الفِطْرِ وَلَيْلَةَ الأَضْحَى لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ القُلُوْبُ
“Barang siapa shalat pada malam Fithri dan malam Adha, tidak akan mati hatinya di kala hati orang-orang menjadi mati.” HR. Ath-Thabrani. [22]
Menurut para ahli hadis, hadis ini adalah hadis Mawdhu (palsu). Artinya hadis ini dibuat atas nama Rasulullah, karena di dalam sanad hadis ini terdapat seorang rawi bernama Umar bin Harun As-Tsaqafi Al-Balkhi. Umar bin Harun As-Tsaqafi dinilai pendusta (kadzdzab) oleh para ahli hadis, antara lain Yahya bin Main, guru Imam al-Bukhari. [23] Sehubungan dengan itu Syekh al-Albani menilai hadis di atas sebagai hadis palsu (mawdhu’). [24]
Adapun bertakbir pada Iedul Adha sesuai petunjuk Sunnah dilakukan sejak subuh 9 Dzulhijjah hingga ashar 13 dzulhijjah.
‎عَنْ عَلِيٍّ وَعَمَّارِ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم… وَكَانَ يُكَبِّرُ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ بَعْدَ صَلاَةَ الْغَدَاةِ وَيَقْطَعُهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ آخِرَ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ
Dari Ali dan Ammar sesungguhnya Nabi saw… dan beliau bertakbir sejak hari Arafah setelah salat shubuh dan menghentikannya pada salat Ashar di akhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah). HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi. [25]

Membacanya tidak terus menerus, melainkan bila ada kesempatan, baik ketika berkumpul di masjid atau di rumah masing-masing atau berbagai kesempatan lainnya, sebagaimana diamalkan oleh Ibnu Umar:
‎وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ  يُكَبِّرُ بِمِنىً  تِلْكَ اْ لأَ يَّامَ وَخَلْفَ الصَّلَوَاتِ وَ عَلَى  فِرَاشِهِ وَ فِيْ فُسْطَاطِهِ وَ مَجْلِسِهِ وَ مَمْشَاهُ  تِلْكَ اْلأَيَّامَ جَمِيْعًا
“Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu (Tasyriq) setelah shalat (lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majelis dan di tempat berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya.”  HR. Al-Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad) dan Ibnu al-Mundzir. [26]
B.1. Cara bertakbiran
Takbir hari raya terus dilakukan sejak keluar dari rumah menuju mushala (lapangan) sebelum dilakukan salat dan biasanya dilakukan dengan cara saling berganti, satu atau dua orang bertakbir, dan setelah itu lalu orang bersama-sama takbir. Cara bertakbir seperti ini boleh dilakukan bahkan sesuai dengan yang dilakukan di masa Rasulullah saw. berdasarkan hadis sebagai berikut:
‎وَعَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الفِطْرِ وَاللأَضْحَى….وَالْحُيَّضُ يَكُنْ خَلْفَ النَّاسِ يُكَبِّرْنَ مَعَ النَّاسِ. وَلِلْبُخَارِيِّ : قَالَتْ اُمُّ عَطِيَّةَ : كُنَّا نُأْمَرُ أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيْرِهِمْ.
Dari Ummu Athiyah r.a, ia mengatakan,”Rasulullah saw. memerintahkan kami untuk mengeluarkan mereka pada hari raya iedul fitri dan adha….,dan perempuan-perempuan yang haid dibelakang orang-orang, mereka bertakbir dengan orang-orang.” Adapun menurut riwayat Al-Bukhari: “Umu Athiyah telah berkata,”Kami diperintah mengajak keluar perempuan-perempuan yang haid, maka mereka bertakbir dengan takbirnya orang-orang.” [27]
Selain itu perintah untuk bertakbir itu bentuknya mutlak, artinya tidak ada batasan dan ketentuan, pada pokoknya bertakbir baik sendirian, bersama-sama atau saling bergantian, kesemua itu tidak lepas dari pelaksanaan membaca takbir. Jadi, semua cara telah memenuhi perintah atau anjuran bertakbir.
B.2. Redaksi Takbir
Ibnu Hajar menjelaskan:
‎وَأَمَّا صِيْغَةُ التَّكْبِيْرِ فَأَصَحُّ مَا وَرَدَ فِيْهِ مَا أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ بِسَنَدٍ صَحِيْحٍ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ‏:‏كَبِّرُوْا اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا‏…‏ ‏
“Adapun shighah (bentuk) takbir, maka yang paling shahih adalah hadis yang ditakhrij oleh Abdur Razaq dengan sanad sahih dari Salman, ia berkata, “Takbirlah, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, kabiira.” [28]
Selanjutnya Ibnu Hajar juga menjelaskan:
‎وَقِيْلَ يُكَبِّرُ ثِنْتَيْنِ بَعْدَهُمَا لا إله إلا اللَّه و اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وللَّهِ الْحَمْدُ جَاءَ ذلِكَ عَنْ عُمَرَ وَابْنُ مَسْعُوْدٍ
“Dan dikatakan ia bertakbir dua kali (Allahu Akbar, Allahu Akbar), setelah itu Laa ilaha illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd. Keterangan itu bersumber dari Umar dan Ibnu Mas’ud.”[29]
Keterangan di atas menunjukkan bahwa lafal takbir (sesuai dengan amal sahabat) hanya 2 macam:
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabiiran.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd.
Sedangkan yang memakai redaksi tambahan lain selain diatas:
Redaksi: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabiira dengan tambahan wa lillaahilhamdu
Redaksi: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Laa ilaaha illallaah wahdahu laa syariikalah
Redaksi panjang sebagai berikut:
‎اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا اللَّهُ أَكْبَرُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا اللَّهَ مُخْلِصِينَ له الدَّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ
oleh Ibnu Hajar dinyatakan: Laa asla lahu (tidak mempunyai sumber periwayatan). [30]
C. Melaksanakan Salat ‘Ied
C.1. Waktu Salat ‘Ied
Awal waktu salat ‘ied ialah setelah meningginya matahari, kira-kira setinggi tombak (sekitar jam 7 pagi), berdasarkan hadis Abdullah bin Busr, ketika beliau menegur keterlambatan imam seraya berkata,
‎إِنَّا كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ فَرَغْنَا سَاعَتَنَا هَذِهِ وَذَلِكَ حِينَ التَّسْبِيحِ.
“Sesungguhnya kami dahulu bersama Nabi saw. sebenarnya sudah selesai shalat ‘ied seperti pada waktu sekarang, yaitu pada waktu shalat sunnah.” HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, dan Al-Hakim. [31]
Ibnu Hajar  berkata, “Ungkapannya:   حِيْنَ التَّسْبِيْحِ وَذَلِكَ yakni pada waktu shalat sunnah, yaitu jika waktu makruh shalat sudah berlalu, dalam riwayat shahih milik ath-Thabrani disebutkan: “Yaitu, ketika waktu shalat sunnah dhuha.” [32]
Yang utama ialah menyegerakan shalat ‘Iedul ‘Adhha jika matahari sudah naik kira-kira setinggi tombak. [33]
Hal tersebut disebabkan pada setiap hari raya terdapat amalan tersendiri. Amalan hari raya ‘Iedul ‘Adhha adalah berkurban, dan waktunya setelah pelaksanaan shalat. Maka pada penyegeraan shalat ‘Iedul ‘Adhha terkandung keleluasaan untuk pelaksanaan qurban. [34]
C.2. Salat ‘Ied dilakukan sebelum khutbah.
‎عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ . رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلَّا أَبَا دَاوُد .

Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Nabi saw. Abu Bakar, dan Umar melaksanakan salat ‘Ied sebelum khutbah.” HR. Al-Jama’ah kecuali Abu Dawud. [35]
C.3. Tidak Ada Adzan dan Iqamat Dalam Shalat ‘Ied.
‎عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ : صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم الْعِيدَ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إقَامَةٍ . رَوَاهُ أَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ
Dari Jabir bin Samurah, ia berkata, ”Aku salat ‘Ied bersama Rasulullah saw bukan sekali dua kali dengan tanpa adzan dan iqamah.” HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi. [36]
C.4. Tidak ada Salat sunat qabliyah dan ba’diyah salat Ied
Konon terdapat beberapa keterangan yang menunjukkan bahwa ada di antara para sahabat yang melaksanakan salat sebelum dan sesJudah salat ied (qabliyah dan ba’diyah), namun semua keterangan itu daif. Sedangkan berdasarkan hadis sahih adalah sebagaimana amaliyah Rasulullah saw. sebagai berikut:
‎عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عِيْدٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهُمَا وَلاَ بَعْدَهُمَا. – رواه الجماعة –
Dari Ibu Abbas Ra, ia mengatakan, “Nabi Saw. keluar pada hari ied dan beliau salat dua rakaat yang beliau tidak salat sebelum ataupun sesudahnya.” HR. Al-Jamaah. [37]
C.5. Takbir Pada Salat ied
Hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah Takbir di dalam salat Ied, ada dua macam. Ada yang lemah dan ada pula yang kuat dan dapat dijadikan hujjah.
Hadis yang kuat adalah takbir 7 kali pada rakaat pertama (termasuk takbiratul ihram dipermulaan) dan 5 kali pada rakaat kedua (termasuk takbir ketika bangkit dari sujud kedua menuju rakaat kedua). Adapun hadisnya melalui sanad dari Amr bin Syua’aib, dari bapaknya, dari kakeknya. :
‎إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ في عِيْدٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيْرَةً، سَبْعًا فِي الأُوْلَى وَخَمْسًا فِي الآخِرَةِ.
“Sesungguhnya Nabi saw. bertakbir pada salat Ied dua belas takbir, yaitu tujuh pada rakaat pertama dan lima pada rakaat kedua.”

Keterangan:
Amr menerima hadis dari bapaknya yaitu Syu’aib, dan Syu’aib menerima hadis ini dari kakeknya yaitu Abdullah, sebagaimana tercatat pada kitab Abu Daud.
Perihal hadis ini, Imam Ad-Dzahabi menerangkan bahwa Syu’aib itu sezaman dengan kakeknya (Abdullah bin Amr bin Al-Ash) dan mendengar (belajar) darinya. Dengan demikian hadis tersebut tidak terputus jalur periwayatannya (mursal), yaitu dapat dipastikan bersambung (mawsul).
Hadis dengan matan tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah, dan yang semakna dengan itu diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan Ad-Daraqutni dengan lapal sebagai berikut :
‎قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلتَّكْبِيرُ فِي الفِطْرِ سَبْعٌ فِي الأُولىَ وَخَمْسٌ فِي الآخِرَةِ، وَالقِرَاءَةُ بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَا.
Nabi saw. bersabda, “Takbir pada salat Iedul Fitri itu tujuh pada rakaat pertama dan lima pada rakaat akhir, dan bacaan (Fatihah dan Surat lain) setelah keduanya pada keduanya.”
Imam Ahmad dan Ali bin Al-Madini menyatakan bahwa hadis ini sahih. Dan Imam Ahmad berkata, “Dan aku berpegang terhadap hadis ini.” [38] Sayid Sabiq menerangkan, “Bahwa takbir tujuh-lima adalah pendapat yang paling kuat dan menjadi pendirian kebanyakan ahli ilmu, baik dari kalangan Sahabat, Tabi’in ataupun Imam-imam. [39]
Sedangkan apabila ada yang beramal takbir satu kali sebagaimana salat pada umumnya, maka tidak ada dalilnya sama sekali walau sekedar yang lemah. [40]
C.6. Bacaaan di antara Takbir Pada Salat ied
Tidak ada hadis shahih yang menjelaskan bahwa Nabi saw membaca doa atau dzikir tertentu ketika diam antara jumlah takbir shalat ‘ied. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah saw. [41]
C.7. Salat ied lebih utama di Mushala (lapang/tempat terbuka)

Rasulullah memerintahkan kepada seluruh para sahabatnya agar keluar dan mengajak keluar siapa pun termasuk perempuan-perempuan pingitan atau yang sedang haid, agar menuju mushala. Dan mushala yang dimaksud pada saat itu adalah sebuah tanah lapang yang ada dipinggiran kota Madinah sebelah timur.
Tidak terdapat keterangan yang sahih bahwa selama 9 kali Rasulullah saw. mengalami iedul fitri, beliau melaksanakan salat ied di masjid. Demikian pula halnya dengan para sahabat beliau. Ini menunjukkan bahwa salat ied di tanah lapang lebih utama karena sesuai dengan sunah Rasul. Adapun hadis yang menerangkan bahwa Rasulullah saw. salat dimesjid karena pada saat itu terjadi hujan status hadisnya daif. Adapun redaksinya sebagai berikut.
‎عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ أَنَّهُمْ أَصَابَهُمْ مَطَرٌ فِي يَوْمِ عِيْدٍ ، فَصَلَّى بِهِمُ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ العِيْدِ فِي المَسْجِدِ
“Dari Abu Huraerah Ra, sesungguhnya para sahabat pernah ditimpa hujan pada hari ied, maka Nabi saw. melaksanakan salat ied mengimami mereka di mesjid.” HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaqi. Redaksi di atas riwayat al-Hakim. [42]
Hadis ini sangat daif. Adz-Dzahabi mengatakan, “Hadis ini munkar.” Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan, “Pada sanadnya terdapat kelemahan.” [43]
D. Menyimak Khutbah Setelah Salat Ied
Termasuk Sunnah Nabi ialah melaksanakan khutbah setelah shalat ‘ied, sebagaimana dijelaskan pada hadis di atas, dari sahabat Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw., Abu Bakar, ‘Umar dan Usman, mereka semua mengerjakan salat sebelum khutbah.
Dari Abdullah bin as-Sa’ib, dia berkata:
‎شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم الْعِيدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ : إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
”Aku pernah menghadiri ‘ied bersama Nabi saw. Ketika selesai salat beliau bersabda, ‘Sesungguhnya kami akan berkhutbah, maka siapa yang ingin duduk untuk mendengarkan khutbah, dipersilahkan untuk duduk, dan siapa yang ingin pergi, dipersilahkan untuk pergi’.” HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim. Redaksi di atas riwayat al-Hakim. [44]
Mendengarkan khutbah ‘ied, meskipun hukumnya tidak wajib, namun alangkah ruginya apabila tidak disimak dengan sebaik-baiknya.
III. Amal Setelah Salat Ied
Dianjurkan untuk saling bertahniah (ucapan selamat). Hal itu berdasarkan amaliah (perbuatan) para sahabat sebagaimana dijelaskan oleh Jubair bin Nufair:
‎كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذاَ إِلْتَقَوْا يَوْمَ العِيدِ يَقُولُ بَعْضُهَا لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ. قَالَ الحاَفِظُ إِسْناَدُهُ حَسَنٌ.
“Para sahabat Rasulullah saw., apabila saling bertemu satu sama lain pada hari raya ied, berkata yang satu pada yang lainnya, Taqabbalallahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan engkau).” Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:
‎رَوَيْنَاهُ فِي الْمَحَامِلِيَاتِ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ
“Kami telah meriwayatkannya dalam al-mahamiliyat dengan sanad hasan.” [45]
Dalam riwayat Abul Qasim al-Mustamli dengan redaksi
‎تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
“Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan engkau.” [46]
Ucapan: Minal ‘Aidzin Wal Faizin
Bagaimana jika doa tahniah di atas diganti dengan ucapan lain seperti Minal ‘aaidzin wal faaidzin atau doa lain-lain ? Hingga saat ini kami belum menemukan dari mana sumber asal ucapan Minal ‘aaidzin wal faaidzin—yang diduga oleh orang awam bermakna mohon maaf lahir batin—atau doa –doa lainnya. Sayang sekali jika sebagian dari kita mempergunakannya dalam perayaan iedul fitri, terlebih lagi jika disertai niat bahwa ucapan tersebut merupakan sunah, dan lebih memprihatinkan lagi bila disangka bahwa ucapan itu bermakna “Mohon Maaf Lahir & Batin”. Karena itu marilah kita masyarakatkan doa tahniah yang diamalkan para sahabat di atas agar lebih sesuai dengan sunah Rasulullah saw.


By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
[1] Lihat, HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:295, No. Hadis, 1134, An-Nasai, As-Sunan al-Kubra, I:542, No. Hadis 1755, Sunan An-Nasai, III: 180, No. Hadis 1556, Ahmad, Musnad Ahmad, III:103, No. Hadis 12.025, III:178, No. Hadis 12.850, III:235, No. hadis 13.495, III:250, No. Hadis 13.647; Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, VI:440, No. Hadis 3820, VI: 453, No. Hadis 3841; Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, III:278, No. Hadis 5918, Al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, I:434, No. Hadis 1091; Abd bin Humaid, Al-Musnad, I:410, No. Hadis, 1392.
[2] Lihat, Shahih Al-Bukhari, II:679, No. hadis 1438.

[3] Lihat, HR. Muslim, Shahih Muslim, II: 679, No. hadis 986; Ahmad, Musnad Ahmad, II:67, No. hadis 5345; II: 154, No. hadis 6429; An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, II:30, No. hadis 2300; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:111, No. 1610; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 91, No. 2422; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV: 174, No. hadis 7526; Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:249, No. 780; Ibnul Jarud, Al-Muntaqaa, I:98, No. hadis 359.
[4] Lihat, Sunan At-Tirmidzi, III:62, No. hadis 677
[5] Penjelasan lengkap tentang waktu pembagian zakat fitrah dapat dibaca di sini
[6] Lihat, HR. Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Alaa Ash-Shahiihain, IV: 230, No. hadis 7560; Ath-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabiir, III: 91, No. hadis 2756. Setelah meriwayatkan hadis itu melalui rawi Ishaq bin Barzakh, Al-Hakim berkata, “Sekiranya Ishaq tidak majhul niscaya aku hukumi hadis itu berstatus shahih.” (Lihat, Al-Mustadrak ‘Alaa Ash-Shahiihain, IV: 230) Namun menurut Muhammad bin Ismail Ash-Shan’ani, “Rawi itu tidak majhul, sungguh ia telah dinyatakan dha’if oleh Al-Azdiy dan dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban.” (Lihat, Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Sunan at-Tirmidzi, VI: 73)
[7] Lihat, HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, III:1111, No. hadis 2889; Muslim, Shahih Muslim, III: 1639, No. hadis 2068
[8] Lihat, As-Sunan Al-Baihaqi, III: 247, No. 5778, III:280, No. hadis 5931
[9] Lihat, Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, I: 481, No. hadis 5449
[10] Lihat, HR. Asy-Syafi’I, Musnad Asy-Syafi’i, hlm 74; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, III: 280, No. hadis 5932
[11] Lihat, Al-Mu’jam Al-Awsath, VII: 316, No. hadis 7609.
[12] Lihat, Majma’ az-Zawaa`id Wa Manba’ al-Fawaa`id, V:358.
[13] Lihat, Shahih Al-Bukhari, I:325, No. Hadis 910.
[14] Lihat, HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I: 558, No. hadis 1756; At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, II: 426, No. hadis 542.
[15] Lihat, Shahih Al-Bukhari, I: 334, No. hadis 943.
[16] Lihat, Bustan al-Ahbar Mukhtashar Nail al-Awthar, II:59.
[17] Lihat, Nailul Awthar Syarh Muntaqa al-Akhbar, karya Imam asy-Syawkani, III:355.
[18] Lihat, al-Mushannaf, I:487.
[19] Lihat, Musnad As-Syafi’I, I: 73.
[20] Lihat, Al-Mustadrak ‘ala as-Sahihain, I : 298.
[21] Lihat, Majma’ az-Zawa’id wa Manba’ al-Fawa’id, II:198.
[22] Lihat, al-Mu’jam al-Awsath, I:57, No. Hadis 159.
[23] Lihat, Tahdzib al-Kamal fi Asmaa’ ar-Rijal, XXI : 525-528.
[24] Lihat, Shahih wa Dha’if al-Jami’, III:418.
[25] Lihat, HR. Al-Hakim, Al-Mustadrak, I:439; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, III:312.
[26] Lihat, Shahih Al-Bukhari, IV: 124, Kitaab al-‘Iedain, Bab at-Takbiir Ayyaam Minan wa idzaa ghadaa ilaa ‘Arafah; HR. Ibnu al-Mundzir, Al-Awsath, VII:9, No. Hadis 2154.
[27] Lihat, Nail Al-Awthar, III : 349.
[28] Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, II: 536.
[29] Ibid.
[30] Ibid. Penjelasan lebih lengkap disampaikan pada makalah khusus edisi terpisah.
[31] Lihat, HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:295, No. 1135; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:418, No. 1317; Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, III:282, No. 5943; Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I:434, No. 1092.
[32] Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, II: 529.
[33] Lihat, Irwaa‘ al-Ghalil, karya Syekh al-Albani, III:100-101.
[34] Lihat, al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, III:267.
[35] Lihat, Nail Al-Awthar, VI : 100.
[36] Lihat, Nail Al-Awthar, V : 457.
[37] Lihat, Nail Al-Awthar, III : 370.
[38] Lihat, Fiqh as-Sunah, II : 270.
[39] Ibid.
[40] Penjelasan lebih lengkap disampaikan pada makalah khusus edisi terpisah.
[41] Lihat, Tamaam al-Minnah, karya Syekh al-Albani, hlm. 349-350.
[42] Lihat, HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:301, No. Hadis 1160; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:417, No. Hadis 1313; al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, I:435, No. Hadis 1094; Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, III:310, No. Hadis 6051.
[43] Lihat, Fiqh as-Sunah, I: 268.
[44] Lihat, HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I: 300, No. Hadis 1155; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I: 410, No. Hadis 1290, dan al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I: 434, No. Hadis 1093.
[45] Lihat, Fath al-Bari, II:446.
[46] Lihat, Hasyiah at-Thahawi ‘ala al-Maraqi, II:527. Penjelasan lebih lengkap disampaikan pada makalah khusus edisi terpisah.

Minggu, 26 Mei 2019

Doa berlindung diri

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ، وَقَهْرِ الرِّجَالِ

» HURUF LATINNYA:

“Allohumma Innii A’uudzu Bika Minal Hammi Wal Hazani, Wa A’uudzu Bika Minal ‘Ajzi Wal Kasali, Wa A’uudzu Bika Minal Jubni Wal Bukhli, Wa A’uudzu Bika Min Gholabatid Daini Wa Qohrir Rijaali.”

» TERJEMAHNYA:

Artinya : “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari (hal-hal yang) menyedihkan dan menyusahkan, sifat lemah dan malas, kikir dan penakut, lilitan hutang dan penindasan orang.” (HR. Al-Bukhori).

Keutamaan shubuh dan ashar

(1) Salah satu penyebab masuk surga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى الْبَرْدَيْنِ دَخَلَ الْجَنَّة

“Barangsiapa yang mengerjakan shalat bardain (yaitu shalat shubuh dan ashar) maka dia akan masuk surga.” (HR. Bukhari no. 574 dan Muslim no. 635)

(2) Salah satu penghalang masuk neraka
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَنْ يَلِجَ النَّارَ أَحَدٌ صَلَّى قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا

“Tidaklah akan masuk neraka orang yang melaksanakan shalat sebelum terbitnya matahari (yaitu shalat shubuh) dan shalat sebelum tenggelamnya matahari (yaitu shalat ashar).” (HR. Muslim no. 634)

(3) Berada di dalam jaminan Allah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى صَلَاةَ الصُّبْحِ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ فَلَا يَطْلُبَنَّكُمْ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ مَنْ يَطْلُبْهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ يُدْرِكْهُ ثُمَّ يَكُبَّهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ

“Barangsiapa yang shalat subuh maka dia berada dalam jaminan Allah. Oleh karena itu jangan sampai Allah menuntut sesuatu kepada kalian dari jaminan-Nya. Karena siapa yang Allah menuntutnya dengan sesuatu dari jaminan-Nya, maka Allah pasti akan menemukannya, dan akan menelungkupkannya di atas wajahnya dalam neraka jahannam.” (HR. Muslim no. 163)

(4) Dihitung seperti shalat semalam penuh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا قَامَ نِصْفَ اللَّيْلِ وَمَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا صَلَّى اللَّيْلَ كُلَّهُ

“Barangsiapa yang shalat isya` berjama’ah maka seolah-olah dia telah shalat malam selama separuh malam. Dan barangsiapa yang shalat shubuh berjamaah maka seolah-olah dia telah shalat seluruh malamnya.” (HR. Muslim no. 656)

(5) Disaksikan para malaikat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَتَجْتَمِعُ مَلَائِكَةُ اللَّيْلِ وَمَلَائِكَةُ النَّهَارِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ

“Dan para malaikat malam dan malaikat siang berkumpul pada shalat fajar (subuh).” (HR. Bukhari no. 137 dan Muslim no.632)

(6) Perbedaan Antara Mukmin dan Munafik

hadits Rasulullah SAW,  “Shalat terberat bagi orang-orang munafikadalah shalat Isya’ dan Shubuh berjamaah di mesjid. Padahal seandainya mereka mengetahui pahala pada kedua shalat tersebut, tentu mereka akan mendatanginya walaupun harus merangkak.”(HR Ahmad).

(7) Bis Memiliki Kesempatan Melihat Allah SWT Pada Hari Kiamat

Tentunya hal ini merupakan ganjaran terbesar yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya.

عن جرير بن عبد الله البجلي رضي الله عنه قال: كنا جلوسًا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم إذ نظر إلى القمر ليلة البدر، فقال: (أمَا إنكم سترَون ربَّكم كما ترَون هذا القمر، لا تُضَامُّون في رؤيته، فإن استطعتم ألا تُغلبوا على صلاةٍ قبل طلوع الشمس وقبل غروبها، فافعلوا) رواه البخاري ومسلم

Dari Jarir Bin Abdullah al-Bajali Radhiallahu ‘anhu berkata, “Kami pernah duduk bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, kemudian beliau melihat ke bulan di malam purnama itu, Rasulullah bersabda, ‘Ketahuilah bahwa sesungguhnya kalian akan melihat kepada Rabb kalian sebagaimana kalian melihat kepada bulan ini. Kalian tidak terhalangi melihatnya. Bila kalian mampu untuk tidak meninggalkan shalat sebelum terbitnya matahari dan sebelum terbenamnya, maka lakukanlah!” (HR. Bukhari-Muslim)

Itikaf

Wa'alaikumussalaam warahmatullaah..

1. I'tikaf itu berdiam diri d masjid jami' selama 10 hari

2. Dimulai dari awal tanggal 21 Ramadhan pada waktu maghrib sampai akhir ramadhan di waktu maghrib lagi

3. Yg ber i'tikaf dilarang keluar baik untuk kebutuhan apapun kecuali hanya untuk hajat (bab / bak / mandi)

4. Pulang ke rumah untuk sahur atau apapun, maka i'tikafnya batal, dgn demikian, untuk sahur dan buka, wajib d antar oleh org yg tidak ber i'tikaf

Kajian Zakat fithrah

Ramadhan Bulan Berkah : “Gapai Dengan Zakat Fitrah”

Zakat fitrah, sebagaimana zakat material (maal), memainkan fungsi penting zakat, yaitu mendorong pada tindakan aktual pensucian. Dalam konteks zakat fitri, tindakan pensucian itu berupa pensucian jiwa dan pensucian karakter. Sementara dalam konteks zakat material (maal), tindakan pensucian itu berupa pensucian harta kekayaan. Dengan demikian, kedua jenis zakat ini (fitrah dan harta kekayaan) merupakan “satu paket” ajaran dalam mendorong pensucian seluruh aspek kehidupan manusia. Karena itu, dalam praktiknya mesti sesuai dengan pedoman Nabi saw. agar fungsi utama zakat itu dapat “dimainkan” secara tepat. Simak analisa pedomannya di sini

Sejarah dan Pengertian Zakat Fitrah atau Fitri

http://www.sigabah.com/beta/muliakan-diri-dengan-zakat-fitri-bagian-ke-1/

Muzakki Zakat Fitrah

http://www.sigabah.com/beta/muliakan-diri-dengan-zakat-fitri-bagian-ke-2/

Ukuran wajib zakat fitrah dan Zakat fitrah dengan uang

http://www.sigabah.com/beta/muliakan-diri-dengan-zakat-fitri-bagian-ke-3/

Makanan pokok bukan syarat sah zakat fitrah

http://www.sigabah.com/beta/muliakan-diri-dengan-zakat-fitri-bagian-ke-4/

Masharif (Sasaran) Zakat

http://www.sigabah.com/beta/muliakan-diri-dengan-zakat-fitri-bagian-ke-5/

Waktu membagikan Zakat Fitrah

http://www.sigabah.com/beta/muliakan-diri-dengan-zakat-fitri-bagian-ke-6-tamat/

Minggu, 19 Mei 2019

Dapat ruku imam dapat rakaat

إذا أدركت الإمام راكعًا فركعت قبل أن يرفع فقد أدركت، وإن رفع قبل أن تركع فقد فاتتك.

"Jika engkau menjumpai imam dalam keadaan rukuk lalu engkau rukuk sebelum imam bangkit, maka engkau telah mendapatkan rakaat tersebut. Namun jika imam telah bangkit sebelum engkau rukuk, maka engkau tidak mendapatkan raka'at itu."
Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam al-Mushannaf, no. 3400

Namun hadits ini bertentangan dgn hadits yg lebih shahih yg menyatakan tdk sah shalat jika tdk baca fatihah

Shaum di qodho dan fidyah untuk wanita

Catatan

*Posisi wanita Menyusui*:

1. Nifas + menyusui = qodho

2. Haidh + menyusui = qodho

3. Sakit + menyusui = qodho

4. Menyusui tanpa nifas, tdk haidh dan tdk sakit, namun ia tdk kuat shaum, kondisinya lemah krna ia hrs menyusui anaknya yg blm bs makan apapun, maka terpaksa tdk shaum. Maka kondisi yg menyusui itu masuk fidyah.

*Posisi wanita hamil*:

Yg hamil pada dasarnya wajib shaum, tdk ada hadits atau ayat al-Quran yg menyatakan yg hamil boleh tdk shaum.

Dengan begitu, jika wanita hamil tdj shaum maka:

1. Sakit/ kondisi lemah/ tdk kuat shaum + hamil = qodho

2. Safar + hamil = qodho

3. Ada kelainan pada janin sehingga janin wajib ada asupan nutrisi bagus dan cukup, maka ibu hamil tdk shaum krna sebab janinnya = Fidyah

Ujian dan cobaan

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أَذًى مَرَضٌ فَمَا سِوَاهُ إِلاَّ حَطَّ اللَّهُ لَهُ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا

“Tidaklah seorang muslim tertimpa oleh suatu yang tidak menyenangkan, sakit atau yang lainnya, melainkan Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya. Dan dosanya akan berguguran sebagaimana pohon menggugurkan daunnya.” (Muttafaq ‘alaih)

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يُرِد اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ

“Barang siapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, maka akan ditimpakan cobaan padanya.” ( HR. Al-Bukhari )

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallamI bersabda:

إن عظم الجزاء مع عظم البلاء وإن الله إذا أحب قوما ابتلاهم فمن رضي فله الرضا ومن سخط فله السخط

“Sesungguhnya besarnya pahala tergtantung pada besarnya cobaan. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala jika mencintai suatu kaum maka Dia akan memberikan cobaan kepada mereka. Barang siapa yang ridha maka dia akan memperoleh keridhaan-Nya dan barangsiapa yang murka maka dia akan memperoleh kemurkaan-Nya.”  (HR. At-Tirmidzi, dia mengatakan; Hadis ini Hasan)

Hadits tentang kredit barang

Hadits bolehnya kredit dengan harga yg berbeda antara kes dan d utangnan.

Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu.

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى خروج المصدق بأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه الألباني

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni)

Dalam fikih, jual beli kredit itu namanya bai' at-taqsith, hukumnya boleh.
Akad yg d gunakannya adalah cicilan.

Misal:
Harga kes 1jt, cicilan 1,5jt. Itu sah dan boleh selama antharodhin.

Namun jika ada denda keterlambatan membayar, itu tergantung illaynya:
1. Haram jika uang lebihnya d pake oleh penjual
2. Boleh jika tujuannya agar si yg punya utang disiplin dan memperhatikan utangnya dan uang denda itu d salurkan kepada baitul mal.

Zakat dibagikan setelah idul fitri

Tidak sah.
Krna zakat fitrah hrs d keluarkan d waktu dekat sblm org-org keluar untuk pergi lapangan ied.

مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.

“Barangsiapa yang menunaikan zakat fithri sebelum shalat (ied) maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Sebelum shalat ied = menunjukan waktu terdekat, bukan waktu jauh.

Jika kita ingin mengeluarkan zakat fithrah d hari yg msh jauh dgn ieudul fitri, maka niatnya *menitipkan ke amilin*,

Doa bangun pagi

سنن أبي داود
رقم: 4426
كتاب:  الأدب
باب:  ما يقول إذا أصبح

حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو عَنْ عَبْدِ الْجَلِيلِ بْنِ عَطِيَّةَ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مَيْمُونٍ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرَةَ أَنَّهُ قَالَ لِأَبِيهِ
يَا أَبَتِ إِنِّي أَسْمَعُكَ تَدْعُو كُلَّ غَدَاةٍ اللَّهُمَّ عَافِنِي فِي بَدَنِي اللَّهُمَّ عَافِنِي فِي سَمْعِي اللَّهُمَّ عَافِنِي فِي بَصَرِي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ تُعِيدُهَا ثَلَاثًا حِينَ تُصْبِحُ وَثَلَاثًا حِينَ تُمْسِي فَقَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو بِهِنَّ فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَسْتَنَّ بِسُنَّتِهِ قَالَ عَبَّاسٌ فِيهِ وَتَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ تُعِيدُهَا ثَلَاثًا حِينَ تُصْبِحُ وَثَلَاثًا حِينَ تُمْسِي فَتَدْعُو بِهِنَّ فَأُحِبُّ أَنْ أَسْتَنَّ بِسُنَّتِهِ قَالَ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَوَاتُ الْمَكْرُوبِ اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
وَبَعْضُهُمْ يَزِيدُ عَلَى صَاحِبِهِ

--------

Sunan Abu Daud
No: 4426
Kitab: Adab
Bab: Doa saat bangun pagi

Telah menceritakan kepada kami [Al Abbas bin Abdul Azhim] dan [Muhammad Ibnul Mutsanna] keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami [Abdul Malik bin Amru] dari [Abdul Jalil bin Athiyah] dari [Ja'far bin Maimun] ia berkata; telah menceritakan kepadaku ['Abdurrahman bin Abu Bakrah] ia berkata kepada [bapaknya], "Wahai bapakku, di waktu pagi aku selalu mendengarmu berdoa: "ALLAHUMMA 'AAFINII FII BADANII ALLAHUMMA 'AAFINII FII SAM'II ALLAHUMMA 'AAFINII FII BASHARII LAA ILAAHA ILLA ANTA (Ya Allah, perbaikilah tubuhku, perbaikilah pendengaranku, perbaikilah penglihatanku, tidak ada Tuhan selain Engkau). Engkau ulang-ulang hingga tiga kali baik di pagi dan sore hari" Ia menjawab, "Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdoa dengannya, maka aku berkeinginan untuk mengikuti sunahnya." Abbas berkata (dengan riwayatnya) di dalam hadits tersebut; "dan kamu juga mengucapkan, "ALLAHUMMA INNII A'UUDZU BIKA MINAL KUFRI WAL FAQRI ALLAHUMMA INNII A'UUDZU BIKA MIN 'ADZZBIL QABRI LAA ILAAHA ILLA ANTA (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekafiran dan kemiskinan. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi selain Engkau). Kamu ulang-ulang hingga tiga kali baik di pagi dan sore hari, lalu kamu berdoa dengannya, (ayah Athiyyah menjawab;) maka aku ingin mengikuti sunnah beliau." Ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Beberapa doa bagi orang yang tertimpa musibah; "ALLAHUMMA RAHMATAKA ARJUU FALAA TAKILNII ILAA NAFSII THARFATA 'AININ WA ASHLIH LII SYA`NII KULLAHU LAA ILAAHA ILLA ANTA (Ya Allah ya Tuhanku, aku mengharap rahmat-Mu, karena itu janganlah Engkau serahkan urusanku kepada diriku sendiri (janganlah Engkau berpaling dariku) sekejap mata, perbaikilah semua urusanku, tidak ada Tuhan selain Engkau).", dan sebagaian perawi ada yang menambahkan do`a yang telah disebutkan.

Doa tahajud

Pertama, sesungguhnya sepertiga malam terakhir termasuk waktu yang mustajab untuk berdoa kepada Allah. Karena Allah menjanjikan akan mengabulkan doa di waktu ini. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia setiap malam, ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Kemudian Allah berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku akan Aku ijabahi doanya, siapa yang meminta-Ku akan Aku beri dia, dan siapa yang minta ampunan kepada-Ku akan Aku ampuni dia.” (HR. Bukhari 1145, Muslim 758, Abu Daud 1315, dan yang lainnya).

Kedua, berdasarkan hadis di atas, di sepertiga malam terakhir, Anda bisa memohon kepada Allah apapun yang Anda inginkan, selama tidak melanggar larangan dalam berdoa. Anda bisa berdoa dengan bahasa Arab, bahasa Indonesia atau bahasa apapun yang Anda pahami. Manfaatkan kesempatan sepertiga malam terakhir untuk banyak memohon kepada Allah. Memohon ampunan, memohon hidayah, memohon kebaikan dunia akhirat, dan memohon kepada Allah untuk menyelesaikan masalah Anda. Tidak ada doa khusus yang harus Anda baca untuk permohonan ini.

Kapan Waktunya?

Bisa Anda lakukan setiap selesai shalat 2 rakaat, atau seusai tahajud sebelum witir, atau ketika sujud, atau menjelang salam sebelum tasyahud.

Ketiga, doa khusus untuk dibaca ketika tahajud berdasarkan hadis yang shahih, terdapat pada doa iftitah dan doa setelah witir. Berikut rinciannya:

Doa yang dianjurkan untuk dibaca ketika iftitah:

1. Dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, beliau bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Apa doa yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengawali shalat malam beliau?”

Aisyah menjawab: “Beliau memulai shalat malam beliau dengan membaca doa:

اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ أَنْتَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Ya Allah, Tuhannya Jibril, mikail, dan israfil. Pencipta langit dan bumi. Yang mengetahui yang gaib dan yang nampak. Engkau yang memutuskan diantara hamba-Mu terhadap apa yang mereka perselisihkan. Berilah petunjuk kepadaku untuk menggapai kebenaran yang diperselisihan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada siapa saja yang Engkau kehendaki menuju jalan yang lurus.” (HR. Muslim 770, Abu daud 767, Turmudzi 3420 dan yang lainnya)

2. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melakukan shalat di tengah malam, beliau membaca doa iftitah:

اَللّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، أَنْتَ الْحَقُّ، وَوَعْدُكَ الْحَقُّ، وَقَوْلُكَ الْحَقُّ، وَلِقَاؤُكَ الْحَقُّ، وَالْجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالسَّاعَةُ حَقٌّ،

اَللّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ. فَاغْفِرْ لِيْ مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، أَنْتَ إِلٰهِيْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ أَنْتَ

“Ya Allah, hanya milik-Mu segala puji, Engkau cahaya langit dan bumi serta siapa saja yang ada di sana. Hanya milikMu segala puji, Engkau yang mengatur langit dan bumi serta siapa saja yang ada di sana. Hanya milikMu segala puji, Engkau pencipta langit dan bumi serta siapa saja yang ada di sana. Engkau Maha benar, janji-Mu benar, firman-Mu benar, pertemuan dengan-Mu benar. Surga itu benar, neraka itu benar, dan kiamat itu benar. Ya Allah, hanya kepada-Mu aku pasrah diri, hanya kepada-Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku bertawakkal, hanya kepada-Mu aku bertaubat, hanya dengan petunjuk-Mu aku berdebat, hanya kepada-Mu aku memohon keputusan, karena itu, ampunilah aku atas dosaku yang telah lewat dan yang akan datang, yang kulakukan sembunyi-sembunyi maupun yang kulakukan terang-terangan. Engkau yang paling awal dan yang paling akhir. Engkau Tuhanku. Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Ahmad 2710, Muslim 769, Ibn Majah 1355).

3. Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bangun malam, beliau bertakbir, kemudian membaca:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرَكَ

Maha Suci Engkau Ya Allah, aku memuji-Mu, Maha Mulia nama-Mu, Maha Tinggi keagungan-Mu, tiada tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Kemudian membaca:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah (3 kali)

dilanjutkan dengan membaca:

اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا

Allah Maha Besar (3 kali)

(HR. Abu Daud 775, Ad-Darimi 1275, dan dishahihkan al-Albani)

Doa yang Dibaca Setelah Witir

Doa pertama

سُبْحَانَ الـمَلِكِ القُدُّوْسِ

SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS

“Mahasuci Dzat yang Merajai lagi Mahasuci.”

Hadis Selengkapnya:

Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ فِي الْوِتْرِ، قَالَ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah salam shalat witir, beliau membaca: SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS. (HR. Abu Daud 1430; dishahihkan al-Albani)

Dalam riwayat Nasa’i dari Abdurrahman bin Abza radhiyallahu ‘anhu, terdapat tambahan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَكَانَ يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ: «سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ» ثَلَاثًا، وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالثَّالِثَةِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan witir dengan membaca surat Al-A’la (rakaat pertama), surat Al-Kafirun (rakaat kedua), dan surat Al-ikhlas (rakaat ketiga). Setelah salam, beliau membaca: subhaanal malikil qudduus, 3 kali. Beliau keraskan yang ketiga. (HR. Nasa’i 1732 dan dishahihkan al-Albani)

Dalam riwayat yang lain, terdapat tambahan:

… طَوَّلَ فِي الثَّالِثَةِ

“Beliau baca panjang yang ketiga.” (HR. Nasa’i 1734 dan dishahihkan al-Albani)

Tambahan “Rabbil Malaaikati war Ruuh”

Disebutkan dalam riwayat Thabrani adanya tambahan:

رَبِّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ

RABBIL MALAAIKATI WAR-RUUH

Tuhan para malaikat dan ar-Ruh

Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

فِي الْأَخِيرَةِ يَقُولُ: رَبِّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ

Di bagian akhir beliau membaca: RABBIL MALAAIKATI WAR-RUUH. (HR. Ad-Daruquthni 1660. Dalam Fatwa islam (no. 14093) dinyatakan: sanadnya shahih, dan disebutkan Ibnul Qoyim dalam Zadul Ma’ad (1/323)).

Keterangan:

Dari beberapa riwayat di atas, dapat kita simpulkan terkait bacaan doa ini:

1. Doa ini dibaca tepat setelah salam shalat witir

2. Doa ini dibaca tiga kali

3. Pada bacaan kali ketiga, dikeraskan dan dipanjangkan “Subhaaanal malikil qudduuuuu … ss”.

4. Disambung dengan membaca “Rabbil malaaikati war ruuh…”

Kalimat: “Subbuuhun qudduusun rabbul malaaikati war ruuh”

Kalimat termasuk salah satu doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika rukuk atau sujud.

Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقول في ركوعه وسجوده: سبوح قدوس، رب الملائكة والروح

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa ketika rukuk dan sujud beliau: Subbuuhun qudduusun…dst. (HR. Muslim 487).

Mengingat lafadz Subbuuhun qudduusun adalah doa sujud atau rukuk ketika shalat, sehingga tambahan ini tidak ada hubungannya dengan shalat witir. Karena tidak perlu dibaca seusai witir.

Allahu a’lam

Doa Kedua

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ ، وَبِـمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَـتِكَ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ ، لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ ، كَمَا أَثْــــنَــــيْتَ عَلَى نَــــفْسِكَ

ALLAHUMMA INNII A-‘UUDZU BI RIDHAA-KA MIN SAKHATIK, WA BI MU’AAFATIKA MIN ‘UQUUBATIK, WA A-‘UUDZU BIKA MIN-KA, LAA UH-SHII TSA-NAA-AN ‘ALAIKA ANTA, KAMAA ATS-NAITA ‘ALAA NAFSIK

“Ya Allah, aku berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu, aku berlindung dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak bisa menyebut semua pujian untuk-Mu, sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri.”

Hadis selengkapnya:

Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي وِتْرِهِ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ،…

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di penghujung shalat witirnya, beliau membaca: ALLAHUMMA INNII A-‘UUDZU BI RIDHAA-KA MIN SAKHATIK… (HR. An-Nasa’i 1747, Abu Daud 1427, dan Turmudzi 3566; dinilai shahih oleh al-Albani)

Kapankah doa ini dibaca?

Pada hadis di atas tidak dijelaskan kapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa tersebut ketika shalat witir. Dalam catatan untuk Sunan An-Nasa’i, As-Sindi mengatakan:

قوله: ” كان يقول في آخر وتره”: يحتمل أنه كان يقول في آخر القيام ، فصار هو من القنوت ؛ كما هو مقتضى كلام المصنف، ويحتمل أنه كان يقول في قعود التشهد ، وهو ظاهر اللفظ

Keterangan beliau “di penghujung shalat witirnya, beliau membaca…” mungkin maknanya adalah beliau baca di akhir tahajud, sehingga itu termasuk doa qunut, sebagaimana isyarat keterangan An-Nasa’i, mungkin juga dimaknai bahwa doa ini dibaca ketika duduk tasyahud akhir, dan ini makna yang tersirat dari hadis tersebut. (Dinukil dari Bughyatul Mutathawi’, hlm. 30).

Akan tetapi disebutkan dalam kitab Amalul Yaum wa Lailah karya an-Nasai, demikian pula ibnu Sunni, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan:

بت عند رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة ، فكنت أسمعه إذا فرغ من صلاته وتبوأ مضجعه يقول : اللهم إني أعوذ بمعافاتك من عقوبتك …

Saya menginap di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di suatu malam. Ketika beliau usai shalat dan bersiap di tempat tidurnya, beliau membaca: ALLAHUMMA INNII A-‘UUDZU BI MU’AAFATIKA MIN ‘UQUUBATIK, … dst. (Muntaqa Amalul Yaum wa Lailah An-Nasai, Hal. 25).

Diantara kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau kembali ke tempat tidur seusai melaksanakan shalat tahajud. Sambil mempersiapkan tempat tidurnya, beliau membaca doa tersebut.

Sementara itu, disebutkan dalam riwayat yang lain, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan:

فَقَدْتُ رَسُولَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَانْتَهَيْتُ إِلَيْهِ وَهُوَ سَاجِدٌ وَقَدَمَاهُ مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ،

Saya kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di suatu malam, ternyata aku dapati beliau dalam keadaan sedang sujud, dan dua kaki beliau dipancangkan , sementara beliau membaca: ALLAHUMMA INNII A-‘UUDZU BI RIDHAA-KA MIN SAKHATIK… (HR. Ahmad 25655, An-Nasa’i 1100, Ibn Majah 3841, Ibnu Hibban dalam shahihnya 1932, Ibn Khuzaimah dalam shahihnya 655, dan dishahihkan al-Albani)

Kesimpulan:

Berdasarkan dua riwayat ini, dapat kita simpulkan bahwa ada dua tempat untuk membaca doa ini ketika witir atau tahajud:

a. Setelah shalat witir

b. Ketika sujud dalam shalat

Allahu a’lam

Doa ketetapan hati

Hafalan doa harian

صحيح مسلم
رقم: 4897
كتاب:  الذكر والدعاء والتوبة والاستغفار
باب:  التعوذ من شر ما عمل ومن شر ما لم يعمل

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ دِينَارٍ حَدَّثَنَا أَبُو قَطَنٍ عَمْرُو بْنُ الْهَيْثَمِ الْقُطَعِيُّ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ الْمَاجِشُونِ عَنْ قُدَامَةَ بْنِ مُوسَى عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيهَا مَعَاشِي وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيهَا مَعَادِي وَاجْعَلْ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلْ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ

--------

Shahih Muslim
No: 4897
Kitab: Dzikir, doa, taubat dan istighfar
Bab: Berlindung dari sesuatu yang telah diamalkan dan apa-apa yang belum diamalkan

Telah menceritakan kepada kami [Ibrahim bin Dinar] telah menceritakan kepada kami [Abu Qathan 'Amru bin Al Haitsam Al Qutha'i] dari ['Abdul 'Aziz bin 'Abdullah bin Abu Salamah Al Majisyun] dari [Qudamah bin Musa] dari [Abu Shalih As Samman] dari [Abu Hurairah] dia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: "ALLOOHUMMA ASHLIH LII DIINII ALLADZII HUWA 'ISHMATU AMRII, WA ASHLIH LII DUN-YAAYA ALLATII FIIHAA MA'AASYII, WA ASH-LIH LII AAKHIROTII ALLATII FIIHAA Meriwayatkan'AADZII, WAJ'ALIL HAYAATA ZIYAADATAN LII FII KULLI KHOIRIN, WAJ'ALIL MAUTA ROOHATAN LII MIN KULLI SYARRIN "Ya Allah ya Tuhanku, perbaikilah bagiku agamaku sebagai benteng urusanku; perbaikilah bagiku duniaku yang menjadi tempat kehidupanku; perbaikilah bagiku akhiratku yang menjadi tempat kembaliku! Jadikanlah ya Allah kehidupan ini mempunyai nilai tambah bagiku dalam segala kebaikan dan jadikanlah kematianku sebagai kebebasanku dari segala kejahatan!"

Doa Setelah Shalat Witir

Doa Setelah Shalat Witir

Ada dua doa yang bisa diamalkan sebagai berikut:

[1]

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ

“Subhaanal malikil qudduus –dibaca 3x- [artinya: Maha Suci Engkau yang Maha Merajai lagi Maha Suci dari berbagai kekurangan]” (HR. Abu Daud no. 1430, An-Nasai no. 1735, dan Ahmad 3: 406. Al-Hafizh Abu Thahir mengatkaan bahwa sanad hadits ini shahih)

[2]

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

“Allahumma inni a’udzu bi ridhaoka min sakhotik wa bi mu’afaatika min ‘uqubatik, wa a’udzu bika minka laa uh-shi tsanaa-an ‘alaik, anta kamaa atsnaita ‘ala nafsik” -dibaca 1x- [artinya: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari hukuman-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjukan kepada diri-Mu sendiri]. (HR. Abu Daud no. 1427, Tirmidzi no. 3566, An-Nasa’i no. 1748 dan Ibnu Majah no. 1179. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Cara Baca “Subhaanal Malikil Qudduus”

Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata,

فَإِذَا فَرَغَ قَالَ عِنْدَ فَرَاغِهِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ يُطِيلُ فِي آخِرِهِنَّ

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai dari witirnya, beliau membaca ‘subhaanal malikil qudduus (sebanyak tiga kali)’, beliau memanjangkan di akhirnya.” (HR. An-Nasa’i no. 1700, Ibnu Majah no. 1182. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari Ibnu ‘Abdirrahman bin Abza, dari bapaknya, ia berkata,

وَكَانَ يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلَاثًا وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالثَّالِثَةِ

“Jika mengucapkan salam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca, ‘Subhaanal malikil qudduus’ sebanyak tiga kali lalu beliau mengeraskan suaranya pada ucapan yang ketiga.” (HR. An-Nasa’i no. 1733 dan Ahmad 3: 406. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Cara membacanya:

Mengeraskan bacaan terakhir berbeda dengan bacaan “subhaanal malikil qudduus” di pertama dan kedua.
Memanjangkan bacaan “qudduus” dengan empat atau enam harakat.
Apakah Ada Tambahan “Rabbil Malaikati war Ruuh”?

Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata,

فَإِذَا سَلَّمَ قَالَ :« سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ يَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ فِى الآخِرَةِ يَقُولُ :« رَبِّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ »

“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam, beliau mengucapkan, ‘Subhaanal malikil qudduus’ sebanyak tiga kali dan di suara ketiga, beliau memanjangkan suaranya. Lalu beliau mengucapkan, ‘Rabbil malaikati war ruuh.’ ” (HR. As-Sunan Al-Kubra Al-Baihaqi 3: 40 dan Sunan Ad-Daruquthni 4: 371. Tambahan ‘rabbil malaikati war ruuh’ adalah tambahan maqbulah yang diterima).

Tambahan ‘rabbil malaikati war ruuh’ adalah tambahan yang diterima. Sehingga doa setelah witir bisa pula dengan ‘subhaanal malikil quddus’ sebanyak 3 kali lalu bacaan terakhir dikeraskan atau dipanjangkan lalu ditambahkan dengan rabbil malaikati war ruuh.