Jumat, 22 Juni 2018

Al-Qur'an dan Sunnah, sumber penuntun hidup masyarakat muslim

*Al-Qur'an dan Sunnah, sumber penuntun hidup masyarakat muslim*

Ketika Abu Bakar dan Umar ra berselisih tentang siapa yang menjadi pemimpin Bani Tamim, dengan tidak menyerahkan urusan tersebut kepada Rasulullah saw, itu adalah suatu kesalahan karena terburu-buru memberi keputusan, sebelum Allah dan rasul-Nya yang memberi keputusan, diibaratkan seperti mendahului ataupun melangkahi Allah dan rasul-Nya.

Maka turunlah ayat memberi teguran, sekaligus menjadi prinsip yang mesti dipegangteguh oleh masyarakat muslim,

*_"Wahai orang-orang beriman! Janganlah kalian mendahului Allah dan rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui"_* (QS. Al-Hujurot : 1)

Maka seluruh aspek kehidupan masyarakat muslim selalu dipimpin oleh petunjuk Allah dan rasul-Nya yang tertuang di dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Tidak terburu-buru membuat keputusan, menetapkan hukum, berbicara, bertindak, mengambil pilihan, sebelum menggali terlebih dahulu petunjuknya dari kedua sumber tersebut.

Seperti yang dilakukan oleh Mu'adz bin Jabal ra ketika diutus oleh Rasulullah saw menjadi hakim (qadhi) di Yaman. Rasulullah saw bertanya, "Dengan apa engkau menetapkan hukum"? Ia menjawab, "dengan kitab Allah". Beliau bertanya lagi, "jika tidak engkau temukan?" Ia menjawab, "dengan Sunnah Rasulullah saw" Beliau bertanya lagi, "jika tidak engkau temukan?" Ia menjawab, "aku akan berijtihad dengan pikiranku". Maka Rasulullah saw menepuk dadanya seraya berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada utusannya utusan Allah, dengan apa yang membuat ridho utusan Allah (Rasulullah)." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah).

Al-Qur'an dan Sunnah harus menjadi panglima bagi masyarakat muslim yang memberikan arahan dalam seluruh bidang kehidupannya. Baik dalam ibadah mahdoh, muamalah, ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, politik, budaya, militer, termasuk hukum yang diberlakukan, karena tidak ada satu keadaan pun kecuali ada hukum Allah yang berkaitan dengannya baik yang tampak jelas ataupun yang dapat disingkap melalui ijtihad para ulama, dan seluruh aktifitas apapun yang dilakukan oleh manusia di atas muka bumi ini.

Inilah prinsip masyarakat muslim yang sebenar-benarnya. Mereka tidak membanggakan diri dengan segudang ide dan ilmu pengetahuan hasil pemikiran mereka dengan mengesampingkan petunjuk Allah dan rasul-Nya. Akal mereka selalu digunakan untuk mentadaburi Al-Qur'an dan Sunnah, mengikuti petunjuk-petunjuk yang diraih dari keduanya, mengembangkan ide dan pemikiran semata-mata untuk berkhidmat pada keduanya, mengaplikasikan dan menegakkannya dalam kehidupan.

Wallahu A'lam.

Kamis, 21 Juni 2018

Hukum meminta jabatan

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ لِيْ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ

Dari Abdurrahman bin Samurah dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepadaku, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan! Karena sesungguhnya jika diberikan jabatan itu kepadamu dengan sebab permintaan, pasti jabatan itu (sepenuhnya) akan diserahkan kepadamu (tanpa pertolongan dari Allâh). Dan jika jabatan itu diberikan kepadamu bukan dengan permintaan, pasti kamu akan ditolong (oleh Allâh Azza wa Jalla) dalam melaksanakan jabatan itu. Dan apabila kamu bersumpah dengan satu sumpah kemudian kamu melihat selainnya lebih baik darinya (dan kamu ingin membatalkan sumpahmu), maka bayarlah kaffârah (tebusan) dari sumpahmu itu dan kerjakanlah yang lebih baik (darinya)”.

Hadits shahih. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhâri (6622, 6722, 7146, & 7147) dan Muslim (1652)

dgn hadits ini pokok asal meminta jabatn itu terlarang baik dgn meminta secara langsung maupun mencalonkan dgn tes.

namun jika kondisi zaman sudah bersifat kapitalis, bnyknya pemimpin zhalim ,munafiq, dan calon pemimpin yg kafir / agama libral, maka dlm fiqih siyasah, boleh dan d haruskan umat muslim mencalonkan jd pemimpin dgn tujuan untuk membereskan hukum dan membasmi kapitalis yg menyebar.

hal ini d lakukan krna d indonesia negara demokrasi yg semuanya bs d atur d bawah UU.

hal ini berlaku dlm senua aspek dgn tujuan menerapkan hukum agama dan atau membasi hukum kapitalis, mk umat Islam yg mampu d bidangnya WAJIB meminta/mencalonkan menjadi pemimpin / meminta jabatan

Senin, 11 Juni 2018

Fikih Idain Bertepatan dengan hari Jumat

Fikih Idain Bertepatan dengan hari Jumat

Secara Hisab, 1 Dzulhijjah 1438 H, jatuh bertepatan dengan Rabu, 23 Agustus 2017. karena itu hari raya Idul Adha 10 Dzulhijjah bertepatan pada hari JUmat, 1 September 2017. Persolan tersebut sudah dibahas dalam Sidang Dewan Hisbah pada 14 Juni 1998 dengan pertimbangan dalil sebagai berikut :

قَالَ عَطَاءٌ اجْتَمَعَ يَوْمُ جُمُعَةٍ وَيَوْمُ فِطْرٍ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَقَالَ عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَجَمَعهُمَا جَمِيعًا فَصَلَّاهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ

Atha Berkata : “hari Jumat bertepatan dengan hari Idul Fitri pada masa Ibnu Zubair”, kemudian dia berkata : “Dua Ied berkumpul dalam satu hari, maka ia bermaksud menjama’ keduanya (salat ied sekaligus salat Jumat) dalam satu salat, lalu dia salat dua rakaat di pagi hari (salat ied) serta tidak menambah dua rakaat tersebut sehingga salat Ashar (H.R. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, 3/272)

عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ ، قَالَ : صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِي يَوْمِ عِيدٍ ، فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ، ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا ، وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ ، فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ : أَصَابَ السُّنَّةَ

Dari Atha’ bin Abi Rabah berkata : “Ibnu Zubair mengimami kami pada salat ied pada hari jumat pagi hari. Kemudian kami bergegas untuk melaksanakan Jumat, tapi Ibnu Zubair tidak keluar bersama kami, maka kamipun salat masing-masing. Sedangkan Ibnu Abbas Ra sedang berada di Thaif, maka ketika beliau (Ibnu Abbas Ra) pulang, kami sampaikan masalah tersebut. Maka beliau berkata “sesuai sunnah” (H.R. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, 1/279)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ : قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

Dari Abu Hurairah RA, dari Rasulullah Saw  sesungguhnya beliau bersabda : “Dua Ied telah bersatu dalam hari kalian, maka siapa yang berkehendak (setelah salat Ied tidak melaksanakan Jumat) maka mencukupi kewajiban Jumatnya, akan tetapi kami melaksanakan Jumat (H.R. Abi Dawud, Sunan Abu Dawud, 1/281)

Penjelasan dan argumentasiya sebagai berikut :
1. Zahir hadis Ibnu Zubair menunjukan bahwa beliau tidak salat zuhur setelah paginya mengimami salat Ied yang jatuh pada hari Jumat
2. Kalimat fajama’a huma jami’an dalam hadis Ibnu Zubair menunjukan bahwa salat Ied pagi hari berarti juga sekaligus telah Jumat
3. Bagi yang wajib salat Jumat, tidak ada kewajiban salat Zuhur
4. Salat sendiri-sendiri yang dilakukan Atha’ dan lainnya tidak berdasarkan sunah, dan Atha sendiri ragu-ragu,terbukti dengan menanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas Ra.
5. Ibnu Abbas menilai ashaba assunnah itu adalah perbuatan Ibnu Zubair (tidak salat Zuhur), bukan perbuatan Atha’ dan lainnya (salat masing-masing).

======
Dengan demikian Dewan Hisbah Persatuan Islam memutuskan Tidak ada salat Zuhur bagi orang yang wajib salat Jumat, yang pagi harinya mengikuti salat Ied yang jatuh pada hari Jumat.
======

Minggu, 03 Juni 2018

Jumlah rakaat tarawih

Sudah ana jelaskan d awal kajian Ramadhan.

Tidak ada satupun hadits yg menerangkan rasul shalat malam baik tarawih atau tahajjud dengan rakaat lebih dari 11.

Adapun hadits amalan shahabat dgn jumlah 23, semuanya dhaif bahkan munkar.

Ada juga amalan tabi'in. Namun amalan tabiin itu bukan dalil. Kita, cukup saja mengamalkan dalil yg jelas, yaitu hadits Aisyah riwayat Al-Bukhari bhwa rasul hnya shalat 11 rakaat.

Hadits qunut witir

Berikut analisa riwayat-riwayat marfu yang telah penulis kumpulkan:

Riwayat Ali r.a:
Riwayat 1:

حدثنا عبد الصمد بن علي حدثنا عبد الله بن غنام حدثنا عقبة ابن مكرم حدثنا يونس بن بكير حدثناعمرو بن  شمر عن سلام عن سويد بن غفلة قال: سمعت أبا بكر و عمر و عليا و عثمان يقولون : قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم في آخر الوتر، وكانوا يفعلون ذالك.

“Rasulullah saw melakukan Qunut di akhir shalat witir”. (Suwaid bin Goplah berkata) : dan mereka pun (abu bakar r.a, umar r.a, aly r.a dan utsman) malakukan seperti itu.

(Dikeluarkan oleh: Imam Ad-Daroquthny; Sunan Ad-Daroquthny. Juz 2 Kitab Witir. Hal.357 cet. Muassasatu Ar-Risalah)

Pada riwayat ini terdapat rowi pendusta yang bernama ‘Amr bin Syamr. Abu Hatim menilai: “’Amr bin Syamr itu munkarul Hadits Jiddan !! dan ia itu dloif haditsnya juga ditinggalkan”. Adapun Abu Jur’ah menilai: Dloiful Hadits. Ibnu Ma’in mengatakan: “Laisa Bitsiqqoh”.[2].

Imam Al-Jauzajaany: (Amr bin Syamir) Zaaigu Kadzdzab (Pendusta). Adapun ibnu hibban menambahkan dengan komentarnya:

رافضي يشتمّ الصحابة و يروي الموضوعات عن الثقات

(Amr bin Syamr) adalah seorang Syi’ah Rofidloh yang mencela para Shahabat, dan ia meriwayatkan hadits-hadits palsu dari rowi yang tsiqoh.

Imam Al-Bukhory mengatakan: “dia Munkarul Hadits”.

Imam An-Nasai dan Imam Ad-Daroquthny mengatakan: “dia Matrukul Hadits”. [3].

Atas keseluruhan komentar diatas penulis menyimpulkan riwayat yang dibawa oleh ‘Amr bin syamir disini jelas riwayatnya munkar dloif sekali dan tidak sah riwayat ini dipakai sebagai hadits penguat dengan hadits-hadits yang lain terutama dipakai sebagai hujjah.

Tidaklah benar Suwaid bin Goflah seorang kibaru tabi’in mengabarkan riwayat ini dari para Shahabat seperti Abu Bakar r.a, Umar r.a, Utsman dan Aly r.a tentang qunutnya rasul saw pada shalat witir. Dan juga tidaklah benar para Shahabat berqunut pada shalat witir atas dasar riwayat ini.

Riwayat 2:

حدثنا موسى بن إسماعيل حدثنا حماد عن هشام بن عمرو الفزاري عن عبد الرحمن بن الحارث بن هشام عن علي بن أبي طالب أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقول في أخر وتره ((اللهم إني أعوذ برضاك من سخطك وبمعافاتك من عقوبتك وأعود بك منك لأحصي ثناء عليك أنت كما أثنيت على نفسك)).

Dari Ali bin abi tholib r.a bahwa rasul saw membaca pada akhir witirnya: “Allahumma Inny…”

(Dikeluarkan oleh: Imam Abu Daud; Sunan Aby Daud. Juz 2 Bab Qunut fil Witr. Hal.254-255 cet. Muassasatu Ar-Royyan)

Riwayat ini juga dikeluarkan oleh Imam At-Tirmdizy pada bab Du’aul Witr, Imam An-Nasai pada bab “Ma Yaqulu fi Akhir Witrihi”, Ibnu Majah pada bab “Ma Jaa fil Qunut fil Witr”. Juga didapatkan di kitab Ad-Du’a Imam Athobarony, kitab Mushonnaf Ibn Aby Syaibah.

Pada riwayat ke 2 ini tidak ada penyebutan Qunut pada shalat witir. Riwayat ini mahfudz rowi-rowinya baik. Hamad disini adalah Hamad bin Salamah. Rowi tsiqoh, begitupun Hisyam bin ‘Amr rowi tsiqoh atas penilaian Abu Hatim.  Riwayat ini tidak ada penjelasan disaat apa do’a ini dibaca oleh rasulullah saw. Adapun pada riwayat pertama diatas tidak bisa di jadikan penjelas bahwa bacaan ini disebut pada qunut witir karena riwayatnya munkar. Adapun sebagai penjelas riwayat ke 2 ini penulis kutip riwayat Aisyah r.a yang dikeluarkan oleh Imam Muslim:

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا أبو أسامة حدثني عبيد الله بن عمر عن محمد بن يحيى بن حبان عن الأعرج عن أبي هريرة عن عائشة قالت فقدت رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة من الفراش فالتمسته فوقعت يدي على بطن قدميه وهو في المسجد وهما منصوبتان وهو يقول اللهم أعوذ برضاك من سخطك وبمعافاتك من عقوبتك وأعوذ بك منك لا أحصي ثناء عليك أنت كما أثنيت على نفسك

“Saya kehilangan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pada suatu malam ditempat tidur, lalu sayapun mencarinya dengan meraih-raih tanganku (karena gelap), hingga tanganku menyentuh kedua telapak kakinya, sedangkan ia dalam sujud, kedua kakinya tersebut ditegakkan, sambil berdoa: “Allaahumma a’uudzu bi ridhaaka min sakhatik, wa bi mu’aafaatika min ‘uquubatik, wa a’uudzu bika min ka, laa uhshii tsanaa-an ‘alaik, anta kamaa atsnaita ‘alaa nafsik’.

(Dikeluarkan oleh: Imam Muslim; Shahih Muslim. Kitab Shalat. Bab Maa Yuqoolu Fi Ruku’ Wa Sujud. Hal. 252 No.hadits: 486 cet. Darul Mughny)

Riwayat Aisyah ini baik rowi-rowinya tsiqoh. Imam Muslim memasukkan riwayat ini pada bab bacaan ruku’ dan sujud. Nampak jelas riwayat ke 2 diatas yang diriwayatkan oleh ‘Aly bin Aby tholib yang padanya terdapat do’a adalah bacaan rasul saw yang dibaca pada do’a sujud atas penjelasan istri Nabi saw Aisyah r.a. Riwayat ini sebagai penjelas akan kekeliruan riwayat lain yang menambahkan kata Qunut pada riwayatnya yang di bawa oleh rowi bermasalah.

Kesimpulan:

Riwayat ‘Aly yang Mahfudz adalah pada riwayat ke 2 dimana rasul saw membaca do’a “Allahumma Inny….” Di akhir witirnya bukan dibaca dalam qunut, tapi dibaca dalam sujud seperti di jelaskan dengan shorih oleh riwayat ‘Aisyah. Adapun penyebutan Qunut di akhir witir adalah Munkar yang dibawa oleh rowi Munkar yaitu ‘Amr bin Syamir.

 

Riwayat Ibu Abbas r.a

أنبأ أبو محمد عبد الله بن محمدبن إسحاق الفاكهي بمكة ثنا أبو يحيى عبد الله بن أحمد بن زكريا بن الحارث بن أبي ميسرة أخبرني أبي انبأ عبد المجيد يعني ابن عبد العزيز بن أبي رواد عن ابن جريج أخبرني عبد الرحمن بن هرمز أنّ بريد بن أبي مريم أخبره قال سمعت ابن عبّاس و محمد بن علي هو ابن الحنفية يقولان : كان النبي صلى الله عليه وسلم يقنت في صلوة الصبح وفي وتر الليل بهؤلاء الكلمات : اللهم اهدني فيمن هديت وعافني فيمن عافيت وتولّني فيمن تولّيت وبارك لي فيما أعطيت وقني شرّ ماقضيت إنّك تقضي ولا يقضي عليك إنّه لا يذل من واليت تباركت ربّنا وتعاليت.

“Adalah Nabi saw melakukan Qunut pada shalat shubuh dan pada shalat witir dengan kalimat-kalimat ini: “Allahummah dinie Fieman Hadait…….”

(Dikeluarkan oleh: Imam Al-Baihaqy;  Sunan Al-Kubra. Juz 2. Hal. 210 cet. Majlis Dairatu Al-Ma’arif)

Begitu juga dikeluarkan oleh Imam Al-Faqihy dalam kitab Fawaid Aby Muhammad Al-Faqihy. Abdurrozzaq dalam kitabnya Mushonnif Abdirrozzaq. Dan Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dalam kitabnya Shalatul Witr Lilmarwazy. Semuanya bermuara ke Ibnu Jurej dari Abdurrohman bin Hurmuz dari Buroid bin Aby Maryam dari Ibnu Abbas r.a.

Titik kritis pada sanad ini tertuju pada Abdurrohman bin Hurmuz. Apabila yang dimaksud adalah Abdurrohman bin Hurmuz Al-A’rozy yang tsiqoh, maka data riwayat menunjukkan bahwa Abdurrohman bin Hurmuz Ar-Rozy tidak memiliki sanad keguruan kepada Bureid bin Aby Maryam dan juga tidak memiliki jalur riwayat ke Abdul malik bin Abdul Aziz bin Jurej.

Abdurrohman bin Hurmuz Al-Rozy orang madinah wafat tahun 117H[4] seorang tabi’in yang banyak mendapat periwayatan dari para Shahabat Nabi saw seperti Abu Hurairoh r.a, Abu Ubaidah r.a, Mu’awiyah r.a dll, sedangkan Bureid orang Bashroh[5] wafat tahun 144H yang hanya mendapat riwayat dari beberapa shabat saja yang akhir seperti Anas bin Malik r.a, Ibnu Abbas r.a. Artinya disini dari arah wafat dan thobaqohnya sudah terbalik dalam pengertian tidak mungkin Abdurrohman bin Hurmuz Al-Rozy seorang yang termasuk Kibaru Tabi’in (w 117H) meriwayatkan dari Bureid bin Aby Maryam yang termasuk Shigoru Tabi’in (w144).

Dari analisa pertama ini terdapat kejanggalan. Siapa Abdurrohman bin Hurmuz pada riwayat ini?

Kemudian apabila kita perhatikan jalur riwayat yang lain bisa didapatkan ternyata pada riwayat lain Nampak jelas nama Abdurrohman bin Hurmuz tidak disebutkan. Berikut jalur periwayatan Imam Al-Marwazy:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ ، ثنا عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ ، حَدَّثَنِي مَنْ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ ، وَمُحَمَّدَ بْنَ عَلِيٍّ ، يَقُولانِ بِالْخَيْفِ : " كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي صَلاةِ الصُّبْحِ بِهَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ ، وَفِي الْوِتْرِ بِاللَّيْلِ " .

(Dikeluarkan oleh: Imam Al-Marwazy;  Shalatul Witr Lil-Marwazy. No.hadits 60)

Nampak jelas pada riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Al-Marwazy tidak ada penyebutan Abdurrohman bin Hurmuz. Sanad riwayat yang di keluarkan oleh Imam Al-Marwazy ini diperkuat oleh riwayat yang dikeluarkan oleh Abdurrozaq. Berikut riwayatnya:

عبد الرزاق عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ ، قَالَ : أَخْبَرَنِي مَنْ ، سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ ، وَمُحَمَّدَ بْنَ عَلِيٍّ بِالْخَيْفِ ، يَقُولانِ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ بِهَؤُلاءِ الْكَلِمَاتِ فِي صَلاةِ الصُّبْحِ ، وَفي الْوِتْرِ بِاللَّيْلِ : " اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ ، إِنَّكَ تَقْضِي وَلا يُقْضَى عَلَيْكَ ، وَإِنَّهُ لا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ "

(Dikeluarkan oleh: Imam Abdurrozaq;  Mushonnaf Abdurrozaq Juz 3 hal. 108 . No.hadits 4957 cet. Al-Maktabu Al-islamy)

Pada riwayat yang dikeluarkan Abdurrozaq ini menguatkan apa yang dikeluarkan oleh Al-Marwazy bahwa sebenarnya Ibnu Jurej meriwayatkan dari orang yang tidak dikenal (Majhul) sehingga penyebutan Abdurrohman bin Hurmuz Nampak jelas adalah rowi Majhul yang tidak didapatkan daftar biografinya. Rowi ini adalah Majhulul ‘Ain. Kemajhulannya Nampak jelas ketika pada riwayat Abu Sofwan Al-Umawy pada jalur sanadnya disebutkan beda lagi yakni Abdullah bin Hurmuz.

رَوَاهُ أَبُو صَفْوَانَ الأُمَوِيُّ ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ ، إِلا أَنَّهُ قَالَ : عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ هُرْمُزَ ، وَقَالَ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، وَابْنِ الْحَنَفِيَّةِ : " فِي قُنُوتِ صَلاةِ الصُّبْحِ "

(Dikeluarkan oleh: Imam Al-Baihaqy;  Sunan Al-Kubra. Juz 2. Hal. 210 cet. Majlis Dairatu Al-Ma’arif)

Titik masalahnya hemat penulis ada di rowi yang bernama Ibnu Jurej pula. Ibnu Jurej lah yang telah memunculkan rowi majhul ini yang tidak diketahui keberadaannya.

Yahya bin Said Al-Qotthon mengatakan:

كان ابن جريج صدوقا فإذا قال ((حدّثني)) فهو سماع، وإذا قال : ((أخبرنا)) أو ((أخبرني)) فهو قراءة، وإذا قال: (قال) فهو شبه الريح

Ibnu Jurej itu shoduq, apabila mengatakan “Haddatsany” maka dia itu mendengar (sama’) dan apabila ia mengatakan “Akhbarona” atau “Akhbarony” maka dia itu membaca, dan apabila ia mengatakan “Qola” maka riwayatnya seperti angin (berlalu).[6]

Ibnu Jurej terlihat ragu dalam periwayatannya dari apa yang ia baca, kadang menyebutkan orang tanpa nama ( من ) kadang juga menyebutkan (عبد الله بن هرمز) dan kadang juga menyebutkan (عبد الرحمن بن هرمز) ketiga-tiganya telah disebutkan oleh Ibnu Jurej atas rowi yang tidak dikenal (Majhulul ‘Ain)

Atas analisa yang kami ketahui seperti ini Al-Hafidz Ibnu Hajar telah tepat memberikan komentar pada riwayat ini dari kitabnya Talkhis Al-Habir dengan mengatakan:

عبدالرحمن بن هرمز ليس هو الأعرج، يحتاج إلى الكشف عن حاله

“Abdurrohman bin Hurmuz bukanlah Al-A’roj (yang tsiqoh). Ini dibutuhkan lagi penelitian tentangnya” (Talkhis Al-Habir Juz 1 hal.248)

Kesimpulan:

Atas dasar ini riwayat Ibnu Abbas r.a melalui informasi Ibnu Jurej dari rowi majhul ini riwayatnya adalah dloif goir muhtamal (dloif yang tidak bisa saling menguatkan dengan riwayat lemah yang lain). Tidaklah benar shabat Nabi saw yang bernama Ibnu Abbas r.a mengatakan seperti pada riwayat ini.

 

Riwayat Ibnu Mas’ud r.a:
Riwayat ke 1:

حدثنا جعفر بن أحمد بن محمد المؤذّن حدثنا الريّ بن يحيى حدّثنا فبيصة حدّثنا سفيان عن أبان بن أبي عيّاش عن إبراهيم عن علقمة عن عبد الله قال : قنت رسول الله صلّى الله عليه وسلم في الوتر قبل الركعة، قال : فأرسلت أمّي إليه القابلة ، فأخبرتني أنّه فعل ذلك.

Ibnu Mas’ud berkata: Rasulullah saw berqunut pada shalat witir sebelum ruku’

(Dikeluarkan oleh: Imam Ad-Daroquthny; Sunan Ad-Daroquthny. Juz 2 Kitab Witir. Hal.356 cet. Muassasatu Ar-Risalah)

Juga di keluarkan oleh Ibnu Aby Syaibah yang padanya terdapat rowi matruk Aban bin Aby ‘Iyyas Fairuz Al-Basyory.

Yahya bin Ma’in dan Imam An-Nasai menilai Matruk, Abu Ishaq Al-Juzajany menilai Saqit (sederajat dengan Matruk)[7] atas penilain-penilaian ini Ibnu Hajar menyimpukan bahwa Aban bin Aby ‘Iyyas adalah rowi Matruk.[8]

Riwayat Ibnu Mas’ud r.a ini dloif goir muhtamal (dloif parah yang tidak bisa di pakai untuk katagori taqwiyah dengan riwayat lemah yang lain).

Riwayat ke 2:

حدثنا محمد بن شعيب ثنا يعقوب الدشتكي ثنا هشام بن عبيد الله السني : نا محمد بن جابر عن حماد عن إبراهيم عن علقمة و الأسود قالا قال عبد الله : ما قنت رسول الله صلى الله عليه و سلم في شيء من الصلوات إلا في الوتر وإنّه كان إذا حارب يقنت في الصلوات كلهن يدعو على المشركين وما قنت أبو بكر ولا عمر ولا عثمان حتّى ماتوا. ولا قنت علي حتى حارب أهل الشام، وكان يقنت في الصلوات كلّهن وكان معاوية يدعو (عليه) أيضا يدعو كل واحد منهما على الآخر.

(Dikeluarkan oleh: Imam Ath-Thobarony; Al-Mu’jamu Al-Ausath. Juz 7 Hal.274 cet. Darul Haromain)

Dzohirnya ini hadits berbicara tentang Qunut Nazilah. Pada riwayat ini terdapat Muhammad bin Jabir bin Sayyar As-Suhaimy. Rowi dloif. Yahya bin Main menilai rowi ini termasuk lemah dengan mengatakan: “Dia buta, dan tercampur (hafalan) haditsnya. Termasuk orang Kufah dan pindah ke negri Al-Yamamah, dan dia termasuk rowi dloif”. [9]

Amr bin ‘Aly menilai:

صدوق كثير الوهم متروك الحديث

“Shoduq banyak kekeliruan. Haditsnya Matruk”. [10]

Abu Daun menilai: “Laisa bi Syain” dan Imam An-Nasai mengatakan: “dia Dloif”.[11]

Abu Hatim dan Abu Zur’ah mengatakan: “Muhammad bin Jabir Yamamy, siapa saja yang mencatat darinya di kota Yamamah dan Makkah maka dia itu shoduq (riwayatnya diterima), kecuali pada haditsnya terjadi percampuran adapun asal mulanya ia itu (riwayatnya) shahih

Abu Zur’ah menambahkan: Muhammad bin Jabir itu Saqitul Hadits (dloif) menurut para ahli ilmu. Dan Abu hatim pun menambahkan: kedudukannya adalah Ash-Shidq (jujur) dan Muhammad bin Jabir lebih aku sukai dari pada Ibnu Lahi’ah.” [12]

Atas keseluruhan penilaian diatas, hemat penulis Ibnu Hajar sangat tepat menyimpulkan bahwa Muhammad bin Jabir ini Shuduq, kholato katsiron (jujur, banyak percampuran=perubahan riwayat). Al-Hafidz ibnu hajar tidak mengindahkan penilaian Amr bin ‘Aly yang menilainya matruk, juga tidak mengindahkan qoul Abu Zur’ah yang mengatakan Saqith (matruk dan Saqith adalah dua penilaian yang sangat lemah, yang bagi rowinya adalah goir muhtamal) karena penilaian-penilaian para imam itu dan imam yang lain yang menjarhnya dengan perkataan yang sejenisnya adalah ditujukan pada perubahan hafalannya dan tidak sedang menjatuhkan ‘Adalahnya.

Atas penilaian akhir dari Ibnu Hajar pada dasarnya riwayat yang dibawa oleh Muhammad bin Jabir adalah dapat diterima dengan beberapa syarat diantaranya ada Syahid (saksi) atau Mutabi’ (rowi penyerta).

Riwayat yang dibawa oleh Muhammad bin jabir dari Hamad adalah dloif muhtamal (dloif yang bisa diperhitungkan untuk diangkat apabila ada riwayat lain yang mengikutinya)

Riwayat 3:

وقال بن المجالد عن أبيه عن إبراهيم عن علقمة والأسود قالا ما قنت رسول الله صلى الله عليه و سلم في شيء من الصلوات إلا إذا حارب فإنه كان يقنت في الصلوات كلهن ولا قنت أبو بكر ولا عمر ولا عثمان حتى ماتوا حتى لا قنت علي حتى حارب أهل الشام فكان يقنت في الصلوات كلهن وكان معاوية يقنت أيضا فيدعو كل واحد منهما على صاحبه .

(Dikeluarkan oleh: Abdurrozzaq; Mushonnaf Li-Abdirrozzaq. Juz 3 hal.107 no.4953 cet.Habiburrohman Al-A’dzomy)

Pada riwayat yang dikeluarkan oleh abdurrozzaq ini kita dapatkan ternyata pada periwayatan Muhammad bin Jabir yang dibahas sebelumnya didapatkan Syahid baginya. Ibnu Mujalid adalah Ismail bin Mujalid bin Sa’id Al-Hamdany. Rowi ini dinilai Shoduq Yukhty atas kesimpulan Ibnu Hajar.[13] Imam Al-Bukhory menilai: “Shoduq”. Adapun Abu Zur’ah menilai “Wasath”. Adapun ayahnya Mujalid bin Sa’id Imam An-Nasai menilai “Laisa Bitsiqoh” dan ditempat yang lain mengatakan “Tsiqoh”. Rowi ini juga diketahui telah berubah hafalannya diakhir hidupnya. [14]

Melihat dua riwayat diatas yakni riwayat 2 dan riwayat 3 dengan redaksi matan yang sama, penulis memahami kedua riwayat ini terangkat saling menguatkan dari kelemahan Muhammad bin Jabir dan kelemahan Ismail bin Mujalid. Riwayat ini terlihat baik dari segi sanad begitu juga matannya hampir saling beriringan kata demi kata dari riwayat 2 yang dibawa Muhammad bin Jabir dan riwayat 3 yang dibawa Ismail bin Mujalid. Hanya saja pada riwayat 2 terdapat tambahan kata Witir yang tidak didapatkan pada riwayat 3.

Riwayat 2 yang dibawa Muhammad bin Jabir:

ما قنت رسول الله صلى الله عليه و سلم في شيء من الصلوات إلا في الوتر وإنّه كان إذا حارب...

Riwayat 3 yang dibawa Ismail bin Mujalid:

ما قنت رسول الله صلى الله عليه و سلم في شيء من الصلوات إلا إذا حارب ....

Melihat penilaian para imam jarh dan ta’dil dapat di ketahui Ismail bin Mujalid lebih baik penilaiannya daripada Muhammad bin Jabir. Imam Al-Bukhory saja menilainya shoduq terhadap Ismail bin Mujalid, berbeda dengan Muhammad bin Jabir kelemahannya dianggap “Saqith” oleh Abu Zur’ah.

Ini berarti lafadz tambahan “Witir” pada riwayat yang dibawa oleh Muhammad bin Jabir adalah Syad (cacat). Dengan begitu dapat difahami disini bahwa menurut riwayat ini rasul saw tidak pernah melakukan qunut pada shalat apa saja (qunut didawamkan), kecuali apabila ia berperang (mendo’akan kebinasaan musuh) maka rasul saw melaksanakan qunut pada shalat-shalatnya. Dan ini banyak riwayat sebagai saksi akan pelaksanaan qunut nazilah yang dilakukan rasul saw seperti yang di keluarkan oleh Imam Al-Bukhory dan Imam Muslim.

عَنِ الْبَرَاءِ رضي الله عنه قَالَ : " قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْفَجْرِ وَالْمَغْرِبِ " أخرجه مسلم.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه : " أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَلْعَنُ رِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَوُا اللَّهَ وَرَسُولَهُ " متفق عليه واللفظ لمسلم .
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه : " أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ قَنَتَ اللَّهُمَّ أَنْجِ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ اللَّهُمَّ أَنْجِ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ ". أخرجه البخاري .

Bahkan pada riwayat 2 dan riwayat 3 diatas dijelaskan juga bahwa Abu Bakar r.a, Umar r.a, Utsman r.a dan Ali r.a tidak pernah melakukan qunut yang didawamkan kecuali apabila melakukan qunut nazilah seperti halnya Ali r.a pada riwayat ini terlihat perseteruannya dengan mu’awiyah dimana sejarah mencatat terjadinya perang siffin.

Kesimpulan:

Tidaklah benar Ibnu Abbas r.a pada riwayat ke 1 mengabarkan riwayat qunut witirnya rasul saw karena informasinya melawati rowi matruk yang bernama Aban bin Aby ‘Iyyas.

Bahkan riwayat 2 dan riwayat 3 sebagai penjelas bahwa rasul saw tidak pernah melakukan qunut kecuali apabila berperang mendo’akan musuh-musuh Allah swt (qunut nazilah) dimana tentang qunut nazilah Imam Al-Bukhory dan Imam Muslim telah mencantumkannya di kitab shahihnya.

 

Riwayat Ibnu Umar r.a:

حدثنا محمود بن محمد المروزي : نا سهل بن العباس الترمذي : نا سعيد بن سالم القداح ، عن عبيد الله بن عمر عن نافع عن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم  كان يوتر بثلاث ركعات ويجعل القنوت قبل الركوع.

لم يرو هذا الحديث عن عبيد الله بن عمر إلا سعيد بن سالم.

Dari Ibnu Umar r.a bahwa Nabi saw Shalat witir dengan 3 roka’at dan melakukan qunut sebelum ruku’

(Dikeluarkan oleh: Imam Ath-Thobarony; Al-Mu’jamu Al-Ausathu Lithobarony. Juz 8 hal.36 no.7885 cet.Darul Haromain)

Imam Ath-Thobarony mengomentari bahwa riwayat ini tidak ada seorangpun yang meriwayatkan dari ‘Ubaidillah bin Umar kecuali Sa’id bin Salim. Dan penulis katakan: tidak ada juga seorangpun yang meriwayatkan dari Sa’id bin Salim kecuali Sahl bin Al-Abbas.

Sahl bin Al-Abbas lah yang buat riwayat ini seolah-olah dari Ibnu Umar r.a dari Nabi saw. Sahl bin Al-Abbas adalah rowi matruk. Imam Ad-Daroquthny mengatakan: “Laisa bitsiqoh, Matruk”. Dia tidak kuat, termasuk rowi matruk.

Riwayat ini dloif syadid termasuk dloif goir muhtamal (dloif yang tidak bisa saling menguatkan dengan riwayat lain). Pada riwayat ini tidaklah benar Ibnu Umar r.a mengatakan bahwa Nabi saw melakukan qunut sebelum ruku’.

 

Riwayat Al-Hasan bin ‘Aly r.a:

حدثنا الحسن بن المتوكل البغدادي ثنا عفان بن مسلم ثنا أبو الأحوص عن أبي إسحاق عن بريد بن أبي مريم عن أبي الحوراء عن الحسن بن علي رضي الله عنه قال: علمني رسول الله صلى الله عليه وسلم كلمات أقولهن في قنوت الوتر ( اللهم اهدني فيمن هديت وعافني فيمن عافيت وتولني فيمن توليت وبارك لي فيما أعطيت وقني شر ما قضيت فإنك تقضي ولا يقضى عليك إنه لا يذل من واليت ولا يعز من عاديت تباركت ربنا وتعاليت

Dari Al-Hasan bin ‘Aly r.a ia berkata: Rasul saw mengajariku beberapa kalimat yang aku baca kalimat itu pada qunut witir: “Allahummahdini …..”

(Dikeluarkan oleh: Imam Ath-Thobarony; Al-Mu’jamu Al-Kabir Lithobarony. Juz 3 hal.74 no.2705 cet.Maktabu ibn Taimiyyah)

Berkenaan dengan riwayat Al-Hasan bin Aly r.a cukup banyak dan untuk mempermudah penjelasan dari apa yang penulis fahami maka setelah penelusuran riwayat di kitab mashodir Asliyyah (kitab-kitab primer) penulis susun bagan riwayat berikut ini:

[1] Kitab Masail Abdullah Liabihi Ahmad bin Hanbal hal.9291 no.323

[2] Kitab Jarh wa Ta’dil: Juz 6 hal.239-240 cet. Ihyau At-Turots Al-Islamy.

[3] Kitab Mizanul I’tidal: Adz-Dzahaby. Juz 5 hal.324 cet. Ihyau At-Turots Al-Islamy. Cet. Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah

[4] Kitab Tahdzibul Kamal; Juz 17 hal. 471 cet. Muassasatu Ar-Risalah

[5] Kitab Tahdzibul Kamal; Juz 4 hal. 52 cet. Muassasatu Ar-Risalah

[6] Kitab Tahdzibul Kamal; Juz 18 hal. 351 cet. Muassasatu Ar-Risalah

[7] Kitab Mizanul I’tidal; Juz 1 hal. 125  cet. Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah

[8]

[9] Kitab Tahdzibul Kamal; Juz 24 hal. 566 cet. Muassasatu Ar-Risalah

[10] Kitab Tahdzibul Kamal; Juz 24 hal. 567 cet. Muassasatu Ar-Risalah

[11] Kitab Tahdzibul Kamal; Juz 24 hal. 568 cet. Muassasatu Ar-Risalah

[12] Kitab Tahdzibul Kamal; Juz 24 hal. 567 cet. Muassasatu Ar-Risalah

[13] Kitab  Taqribu At-Tahdzib. Ibnu Hajar. Hal.143. No.rowi 480. Tahqiq Abul Ashbal. Cet.Darul ‘Ashimah.

[14] Kitab  Taqribu At-Tahdzib. Ibnu Hajar. Hal.980. No.rowi 6520. Tahqiq Abul Ashbal. Cet.Darul ‘Ashimah.

Penjelasan tentang Hadis Palsu seputar Huru-Hara yang Akan Terjadi di Pertengahan Bulan Ramadan

*AWAS HADITS PALSU*

*Penjelasan tentang Hadis Palsu seputar Huru-Hara yang Akan Terjadi di Pertengahan Bulan Ramadan*

Sempat beredar broadcast video yang menyebutkan hadis tentang akan terjadinya huru-hara pada pertengahan bulan Ramadan yang bertepatan dengan malam Jumat, maka para ulama ahlussunnah telah menjelaskan kedudukan hadis tersebut, di antaranya adalah:

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelasakan bahwa:

Hadis tersebut tidak memiliki dasar dari keshahihannya. Bahkan hadis ini batil dan dusta. Betapa banyak tahun-tahun yang telah berlalu dari kaum muslimin yang di dalamnya ada momen dimana malam Jumat bertepatan dengan malam pertengahan bulan Ramadan. Namun, Alhamdulillah tidak pernah terjadi huru-hara sebagaimana yang telah disebutkan para pendusta tersebut baik yang berupa suara dahsyat atau yang lainnya.

Maka dari itu, perlu dicamkan oleh siapa saja yang telah mengetahui penjelasan ini, bahwasanya tidak boleh baginya menyebarkan hadis batil tersebut. Bahkan wajib baginya merobek, membinasakan, dan memperingatkan (orang lain) akan kebatilannya.

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid hafidzahullah juga mengomentari hadis tentang huru-hara dan malapetaka yang konon akan terjadi pada tanggal 15 Ramadan apabila bertepatan dengan hari Jumat, beliau berkata:

هذا الحديث منكر لا يصح، لم يرد بسند مقبول، ولم يثبت من كلام النبي صلى الله عليه وسلم، كما أن الواقع يكذبه ويرده، فقد وافق في أعوام كثيرة سابقة مجيء يوم الجمعة في الخامس عشر من رمضان، ولذلك حكم عليه العلماء بالوضع والكذب

Hadis ini merupakan hadis yang munkar, tidak shahih. Sanadnya pun tidak bisa diterima. Tidak pula ada kepastian berasal dari ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan fakta realitanya juga ternyata tidak membenarkan hal tersebut dan bahkan justru membantahnya. Sungguh hal ini sudah sering kali terjadi di tahun-tahun sebelumnya, yaitu hari Jumat bertepatan dengan tanggal 15 Ramadan (namun hal tersebut tidak terjadi-red). Maka dari itu para ulama menghukumi hadits tersebut palsu dan dusta.

Al-‘Uqailiy rahimahullah berkata:

ليس لهذا الحديث أصل من حديث ثقة، ولا من وجه يثبت

“Hadis ini tidak memiliki dasar yang bisa dipercaya, tidak pula didapati hadis lain yang mendukung (keshahihannya).” (Adh-Dhu’afa al-Kabir 3/52)

Ibnul Jauzi rahimahullah mengomentari hadits ini seraya berkata:

هذا حديث موضوع على رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Hadis ini palsu yang disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al-Maudhu’aat 3/191)

Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata tentang bahwa hadis tersebut adalah:

موضوع

“Hadis palsu”. (Disebutkan dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah no. 6178-6179)

Memberi nama kepada binatang atau kendaraan

Assalaamu'alaikum.
Afwan sblmnya Ustadz, sya mau nanya.
Bg mna hukumnya jikalau dlm berwudhu menghindari berkumur2 krn dgn alasan preventif supaya tdk masuk ke tenggorokan...?, Apa pernyataan tsb dibenarkan mnrt syar'i...?, Apakah wudhu nya sah...?.
Syukron.

✍tetap berkumur.
عن عمر بن الخطاب:] هششتُ يومًا فقبَّلتُ وأَنا صائمٌ، فأتيتُ النَّبيَّ ﷺ، فقُلتُ: صنعتُ اليومَ أمرًا عظيمًا، فقبَّلتُ وأَنا صائمٌ، فقالَ رسولُ اللَّهِ ﷺ: أرأيتَ لوتَمضمَضتَ بماءٍ وأنتَ صائمٌ؟ قلتُ: لا بأسَ بذلِكَ، فقالَ رسولُ اللَّهِ ﷺ: فَفيمَ؟

علي بن المديني (٢٣٤ هـ)، مسند الفاروق ١/٢٧٧ • إسناده حسن • أخرجه أبو داود (٢٣٨٥)

🚥🚥🚥🚥
Assalamualaikum
Ustadz apakah ada hadits bahwa nabi memberi nama pada kendaraan nabi?
Dan bagaimana lafal haditsnya.
Sukron
Jazakallohu koir

✍sohih.
عن معاذ بن جبل:] كنتُ ردفَ النبيِّ ﷺ على حمارٍ يقال له عفيرٌ
keledai Nabi dinamai ufair (putih).
muttafaq alaih.

🚥🚥🚥🚥
Ngafwan ustadz, brrti boleh memberi nama pd kendaraan kita, misal motor?

✍boleh
Nama motor ana si blekred.

🚥🚥🚥🚥
Tadz,apa obat diare bagus yg murah?

✍laktobe.
(bukan fiqih)🤭

Tingkatan shaum

Ibnu Qudamah rahimahullah dalam ringkasan kitab Ibnul Jauzi rahimahullah yang dinamakan Mukhtasar Minhajil Qashidin, pada hal. 44, beliau menjelaskan tentang tingkatan Shaum,

وللصوم ثلاث مراتب: صوم العموم، وصوم الخصوص، وصوم خصوص الخصوص

Dan Shaum itu memiliki tiga tingkatan:

Shaum umum, Shaum khusus (VIP), dan Shaum super khusus (VVIP)

Beliaupun menjelaskan satu persatu macam-macam Shaum tersebut,

1. Shaum Orang Umum

Ibnu-Qudamah rahimahullah mengatakan,

فأما صوم العموم: فهو كف البطن والفرج عن قضاء الشهوة

“Adapun Shaum umum adalah menahan perut dan kemaluan dari menuruti selera syahwat (menahan diri dari melakukan berbagai pembatal Shaum, seperti makan,minum dan bersetubuh).”

2. Shaum Orang Khusus (VIP)

Ibnu-Qudamah rahimahullah melanjutkan penjelasannya,

وأما صوم الخصوص: فهو كف النظر، واللسان، والرجل، والسمع، والبصر، وسائر الجوارح عن الآثام

“Dan Shaum khusus adalah menahan pandangan, lisan, kaki, pendengaran, penglihatan dan seluruh anggota tubuh dari dosa-dosa.”

3. Shaum Super Khusus (VVIP)

وأما صوم خصوص الخصوص: فهو صوم القلب عن الهمم الدنية، والأفكار المبعدة عن الله ـ سبحانه وتعالى ـ، وكفه عما سوى الله ـ سبحانه وتعالى ـ بالكلية

“Dan adapun Shaum super khusus adalah puasanya hati dari selera yang rendah dan pikiran yang menjauhkan hatinya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala serta menahan hati dari berpaling kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala secara totalitas!”

Di tingkat manakah kita berada???

Hukum membungakan uang

Pertanyaan.

Begini ustadz, jika membungakan uang adalah dosa, bagaimana dengan koperasi-koperasi yang meminjamkan dana dengan bunga 20%, dan koperasi tersebut berbadan hukum? Apakah hal itu berdosa atau tidak ustadz?

Jawaban.

Membungakan uang adalah dosa dan termasuk riba / meminjamkan uang dengan disertakan bunga adalah dosq dan riba.

Riba telah diharamkan dengan dasar al-Qur`an dan Sunnah serta ijma’ Umat Islam, bahkan ia termasuk dosa besar yang membinasakan. Allâh Azza wa Jalla tidak mengumandangkan perang  dan mengizinkan perang atas seorang dari pelaku maksiat selain pemakan riba dalam firman-Nya:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ﴿٢٧٥﴾يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ﴿٢٧٦﴾إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ﴿٢٧٧﴾يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ﴿٢٧٨﴾فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allâh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allâh. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allâh memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allâh tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allâh dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.[Al-Baqarah/2:275-279].

Dalam ayat yang mulia ini Allâh Azza wa Jalla melarang riba secara umum baik yang dilakukan pribadi ataupun lembaga.

Meminjamkan uang dengan tambahan bunga merupakan salah satu bentuk perbuatan riba yang ada ketika Allâh Azza wa Jalla turunkan ayat-ayat larangan riba.

Al-Jashash menyatakan, “Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara tertunda dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan kesepakatan bersama”. [Ahkâmul Qur’ân 1/465]

Di lain kesempatan, beliau menjelaskan: “Sudah dimaklumi bahwa riba di masa jahiliyyah adalah berbentuk pinjaman berjangka dengan bunga yang ditentukan. Tambahan atau bunga itu adalah kompensasi dari tambahan waktu. Maka Allâh Azza wa Jalla menjelaskan kebatilannya dan mengharamkannya. ” [Ahkâmul Qur’ân, 1/67]

Dengan demikian jelaslah bahwa *membungakan uang termasuk dalam perbuatan riba yang Allâh larang pada pribadi atau lembaga.*

Wa'alaikumussalaam warohmatullooh..

Pinjem uang ke bank jelas masul riba dan haram.

Namun boleh jika keadaannya madharat dan terpaksa.

Contoh seperti ana kemarin2 butuh biaya perawatan istri ke RS, namun tdk punya biaya, akhirnya terpaksa meminjam ke banl dgn menjaminkan bpkb ke bank. Itu boleh

Wallâhu a’lam.

Sifat malu

Malu itu ada 2:
1. Sifat kemanusiaan
Erat dgn kejiwaan atau nilai sikologi manusia yang bersifat umum.

Contoh dasar; seseorg malu jika berjoget d depan org lain, namun sbgian org ada yg tdk malu.

Seseorg malu jk berbicara dgn lelaki, namun untuk sbgian wanita tdk malu.

Dari sini bs d ukur akan nilai rasa malu itu yg bersifat relatif.

2. Syari'at

Rasa malu ini bersifat mutlaq. Seperti rasa malu yg timbul karena memang faktor syariat meski secara kemanusiaan pun akan malu.

Contoh dasarnya adalah terlihatnya aurat.
Faktor syariatnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam

إنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا ، وَإنَّ خُلُقَ الإسْلاَمِ الحَيَاء

“Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.” (HR. Ibnu Majah no. 4181. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain,

الحَيَاءُ وَالإيمَانُ قُرِنَا جَمِيعًا ، فَإنْ رُفِعَ أحَدُهُمَا رُفِعَ الآخَر

“Malu dan iman itu bergandengan bersama, bila salah satunya di angkat maka yang lainpun akan terangkat.”(HR. Al Hakim dalam Mustadroknya 1/73. Al Hakim mengatakan sesuai syarat Bukhari Muslim, begitu pula Adz Dzahabi)

Begitu jelas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memberikan teladan pada kita, bahwasanya rasa malu adalah identitas akhlaq Islam. Bahkan rasa malu tak terlepas dari iman dan sebaliknya. Terkhusus bagi seorang muslimah, rasa malu adalah mahkota kemuliaan bagi dirinya. Rasa malu yang ada pada dirinya adalah hal yang membuat dirinya terhormat dan dimuliakan.

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128) Di antara makna wanita yang berpakaian tetapi telanjang adalah wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/191)

DIKALA ALLOH TURUN KE LANGIT BUMI.

DIKALA ALLOH TURUN KE LANGIT BUMI.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ الْأَغَرِّ وَأَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَتَنَزَّلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Abu Abdullah Al Aghar dan Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Rabb kita Tabaraka wata'ala setiap malam turun ke langit bumi ketika sepertiga malam terakhir,seraya berfirman :
Barangsiapa yang berdoa kepadaKu, niscaya do'anya akan diijabah,barang siapa yang meminta sesuatu kepadaKu, niscaya Aku akan memberinya dan barangsiapa yang meminta ampun kepadaKu,niscaya akan diberi pengampunan."
Bukhari no. 5846.

Husnuzhon pada Allah, itulah yang diajarkan pada kita dalam do’a.
Ketika kita berdo’a pada Allah kita harus yakin bahwa do’a kita akan dikabulkan, dan terus melakukan,dan terkabulnya do’a perlu diikuti dengan memenuhi perimtahNya,serta menjauhi berbagai larangannya yang dapat menghalangi terkabulnya do’a. 
Dan ingatlah bahwasanya do’a itu begitu ampuh jika seseorang husnuzhon pada Allah swt.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.”
QS.Al Mu’min 60

عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قال، سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقو ل ثلاثة أيام قبل وفاته، لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'Anhu, berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda tiga hari sebelum meninggal :

“Janganlah salah seorang kalian mati, kecuali dia berhusnudzon kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”
HR.Muslim.

Kapan terjadinya nuzulul quran

Kapan Terjadinya Nuzulul Quran?
Mayoritas kaum muslimin di Indonesia tentu akan menjawab tanggal 17 Ramadhan. Jika pertanyaan itu dilanjutkan, mengapa 17 Ramadhan? Jawabannya belum tentu diketahui oleh mayoritas kaum muslimin di Indonesia.
Sejauh pengetahuan kami, gagasan ini berawal dari Ibnu Ishaq (w. 150 H), seorang pakar tarikh Islam. Ia menyatakan bahwa ayat Al-Quran pertama kali turun adalah pada tanggal 17 Ramadhan. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah:
‎إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“…jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami  (Muhammad) di hari Furqan yaitu di hari bertemunya  dua pasukan.” (QS. Al- Anfal: 41).
Adapun kerangka metodologinya sebagai berikut:
Furqan adalah pemisah antara yang hak dan yang batil. Yang dimaksud dengan hari Al-Furqan ialah hari  kemenangan kaum Muslimin dan kekalahan orang kafir, yaitu hari bertemunya dua pasukan di perang Badar. Bertemunya dua pasukan, muslimin dan musyrikin, itu terjadi pada hari Jumat tanggal 17 Ramadhan tahun 2 H. Dan hari Furqan adalah hari ketika Al-Quran pertama kali diturunkan. Kedua hari itu sama-sama hari Jumat dan tanggal 17 Ramadhan, tapi tahunnya berbeda.
Selain itu didasarkan pada atsar (pendapat sahabat) sebagai berikut:
‎عَنْ حَوْطٍ الْعَبْدِيِّ قَالَ: سَأَلْتُ زَيْدَ بن أَرْقَمَ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ؟ فَقَالَ: مَا أَشُكُّ وَمَا أَمْتَرِيْ أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعَ عَشْرَةَ لَيْلَةَ نُزُولِ الْقُرْآنِ وَيَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ
Dari Hawth Al-‘Abadiy, ia berkata, “Saya bertanya kepada Zaid bin Arqam tentang Lailatul Qadar?” Maka ia menjawab, “Saya tidak ragu bahwa Lailatul Qadar itu pada malam ke-17 sebagai malam turunnya Al-Quran dan hari bertemunya dua pasukan.” HR. Ath-Thabrani. [1]
Kata Ibnu Hajar, “Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah dan Ath-Thabrani dengan redaksi:
‎مَا أَشُكُّ وَلاَ أَمْتَرِي أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعَ عَشْرَةَ مَنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ أُنْزِلَ الْقُرْآنُ
‘Saya tidak ragu bahwa Lailatul Qadar itu pada malam ke-17 Ramadhan sebagai malam turunnya Al-Quran.’ Dan diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud.” [2]
Pendapat “17 Ramadhan” dipilih juga oleh Ustadz Muhammad Hudhari Bik dan Syekh Mushthafa Al-Maragi. Syekh al-Maraghi menjelaskan, “Surat Al-Qadr menegaskan, bahwa turunnya Al-Quran itu pada malam Lailah Al-Qadar.  Ayat dalam surat Ad-Dukhan menguatkan dan menjelaskan, bahwa turunnya (Al-Quran) itu pada malam yang diberkahi. Ayat yang terdapat pada surat Al-Baqarah menunjukkan bahwa turunnya al-Quran itu pada bulan Ramadan. Dan ayat pada Surat Al-Anfal menunjukkan, bahwa turunnya Al-Quran itu pada hari yang sama (nama harinya) dengan hari bertemunya dua pasukan besar pada perang Badar yang pada hari itu Allah memisahkan yang haq dan yang batal. Maka jelaslah bahwa malam itu adalah malam Jumat tanggal 17 Ramadhan. [3]
Pandangan para ulama
Pendapat Ibnu Ishaq ini diterima secara meluas di Indonesia. Tapi Imam Az-Zarqani membantah pendapat ini, walaupun ia tidak menyebutkan secara jelas tanggal berapa ayat Al-Quran itu pertama kali turun.
Hemat kami, menurut pendapat ini yang dimaksud Nuzulul Quran adalah turunnya ayat Al-Quran untuk pertama kali kepada Nabi saw. Ini berarti dapat dikategorikan Nuzulul Quran pada tahap ketiga, yaitu ketika Al-Quran turun kepada Nabi saw. secara berangsur-angsur.
Adapun berkenaan dengan atsar, selain status hadisnya mauquf (perkataan shahabat Nabi), bukan sabda Nabi saw.(hadis marfu’), juga menurut para ahli hadis, hadis tersebut tidak lepas dari kedha’ifan.
Status Hadis Zaid bin Arqam
Ath-Thabrani meriwayatkan hadis di atas melalui rawi bernama Muhammad bin Abdullah Al-Hadhrami, dari Salm bin Junadah, dari Zaid Al-Hubbaab, dari Al-Mas’udiy, dari Hawth Al-‘Abadiy. [4]Sementara Ibnu Abu Syaibah melalui rawi Yazid bin Harun, dari Al-Mas’udiy, dari Hawth Al-‘Abadiy.[5]
Adapun sebab kedha’ifannya berporos pada rawi Hawth Al-‘Abadiy. Menurut Abul Fidaa Zainuddin Qasim Quthluubugha, namanya Hawth bin ‘Abdul ‘Aziz Al-‘Abadiy. Dia meriwayatkan hadis dari Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Arqam. Sementara yang meriwayatkan darinya adalah Abdul Malik bin Maisarah dan Al-Mas’udiy. [6]
Kata Imam Al-Bukhari:
‎حَدِيثُهُ هَذَا مُنْكَرٌ
“Hadisnya ini munkar (diingkari).” [7]
Sementara dalam kitab At-Tarikh Al-Kabir-nya, setelah Imam Al-Bukhari menyebutkan riwayat “17 Ramadhan” tersebut, ia berkata:
‎وَ هَذَا مُنْكَرٌ لاَ يُتَابَعُ عَلَيْهِ
“Ini adalah hadis munkar, tidak ada taa’bi’ (penguat) atasnya.” [8]
Kata Ibnu Hajar Al-Asqalani:
‎وَلاَ يُدْرَى مَنْ هُوَ
“Dan tidak diketahui siapa dia.” [9]
Berdasarkan penjelasan para ahli hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa riwayat di atas tidak benar disandarkan sebagai perkataan Zaid bin Arqam, karena hadisnya dha’if.
Status Hadis Ibnu Mas’ud
Hadis Ibnu Mas’ud diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dengan redaksi sebagai berikut:
‎عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ:الْتَمِسُوهَا لَيْلَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ، فَإِنَّهَا صَبِيحَةُ يَوْمِ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ
Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Carilah Lailatul Qadar itu pada malam ke-17 karena malam itu adalah permulaan siang hari Furqan sebagai hari bertemunya dua pasukan.” HR. Ath-Thabrani. [10]
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Syaibah dan Abdurrazaq dengan redaksi sebagai berikut:
‎الْتَمِسُوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ لَيْلَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ ، فَإِنَّهَا صَبِيحَةُ بَدْرٍ يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ
“Carilah Lailatul Qadar itu pada malam ke-17 karena malam itu adalah permulaan siang hari Badar, sebagai hari Furqan, hari bertemunya dua pasukan.” [11]
Ath-Thabrani meriwayatkan hadis di atas melalui rawi bernama “’Abdan bin Ahmad, dari Abu Bakar bin Abu Syaibah, dari Wakii’, dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Hujair Ats-Tsa’labiy, dari Al-Aswad bin Yazid, dari Ibnu Mas’ud. [12]
Sementara Ibnu Abu Syaibah dan Abdurrazaq melalui rawi Wakii’, dari Israildan ayahnya. Keduanya dari Abu Ishaq, dari Hujair Ats-Taghlabiy, dari Al-Aswad bin Ali’, dari Ibnu Mas’ud. [13]
Adapun sebab kedha’ifannya berporos pada rawi Abu Ishaq. Menurut Syekh Al-Albaniy, “Ini sanad yang dha’if, Abu Ishaq adalah As-Sabii’I, ia mudallis (menyamarkan sanad) dan mukhtalith (berubah daya hapalannya). Selain itu, hadis tersebut menyalahi riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud dan lainnya bahwa bahwa Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir (dari bulan Ramadhan).” [14]
Berdasarkan penjelasan para ahli hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa riwayat di atas tidak benar disandarkan sebagai perkataan Ibnu Mas’ud, karena hadisnya dha’if.
Dengan demikian, pendapat bahwa Al-Quran itu diturunkan pada “17 Ramadhan” sama sekali tidak merujuk kepada nash(keterangan agama) yang shahih lagi sharih (jelas). Sekarang, kita tinggal menelusuri celah lain yang menunjukkan waktu berbeda, antara 21 dan 24 Ramadhan. Analisa peluang kedua tanggal tersebut akan disampaikan pada edisi selanjutya.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
[1]Lihat, Al-Mu’jamul Kabir, V:131-132, No. hadis 4939.
[2]Lihat, Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, juz 4, hlm. 263.
[3]Lihat, Tafsir Al-Maraghi, juz 10, hlm. 207.
[4]Lihat, Al-Mu’jamul Kabir, V:131.
[5]Lihat, Al-Mushannaf, II:326.
[6]Lihat, Ats-Tsiqat Mimman Lam Yaqa’ fiil Kutub As-Sittah, IV:71.
[7]Lihat, Majma’uz Zawaa`id wa Manba’ul Fawaa`id, juz 3, hlm. 178.
[8]Lihat, At-Tarikh Al-Kabir, III:91.
[9]Lihat, Lisaanul Miizaan, III:307.
[10]Lihat, Al-Mu’jamul Kabir, X:130, No. hadis 10.203.
[11]Lihat, Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, II:396, No. hadis 21; Mushannaf Abdurrazaq, II:251, No. hadis 8680.
[12]Lihat, Al-Mu’jamul Kabir, X:130.
[13]Lihat, Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, II:396; Mushannaf Abdurrazaq, II:251.
[14]Lihat, Dha’iif Sunan Abu Dawud, II:65-66.