Minggu, 03 Juni 2018

Hukum wanita haidh memegang dan membaca al-quran

HUKUM WANITA HAID MENYENTUH DAN MEMBACA AL QURAN

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah wanita haid boleh menyentuh dan atau membaca Al Quran ataukah tidak. Untuk membahas masalah ini, tentu tidak adil jika satu pendapat saja yang saya sampaikan. Oleh karena itu, saya akan menyampaikan semua pendapat, dan anda berhak memilih di antara pendapat2 tersebut, mana yang lebih mendekati kebenaran dan sesuai dengan dalil yang ada. Serta anda berhak pula memilih mana yg akan anda jadikan pegangan dalam masalah ini.

Perbedaan pendapat tentang wanita haid menyentuh dan membaca Al Quran dikarenakan perbedaan penafsiran Al Quran dan hadits yang ada. jadi, jangan jadikan perbedaan pendapat (khilafiyah) yang ada untuk saling bermusuhan dan saling membenci di kalangan umat muslim satu dengan yang lainnya. Saya paparkan perihal tersebut, agar kita sama2 bisa saling memaklumi sebuah pendapat yang mungkin berbeda dengan pendapat yg kita pegang selama ini. Bisa saling menghormati satu dengan yg lainnya..

I. Pendapat Yang Mengatakan Tidak Boleh Menyentuh dan Membaca Al Quran

Berdasarkan ayat Al Quran :

لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak ada yang menyentuh (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan” [Al-Waqi’ah : 79]

Berdasarkan ayat ini, sebagian ulama melarang bagi wanita haid untuk membaca Al Quran. Sekedar menyentuhnya saja tidak boleh, apalagi membacanya. Selain itu pendapat ini didukung beberapa hadits di bawah :

أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إلَّا طَاهِرٌ
Tidaklah menyentuh al-Qur’an melainkan orang yang suci. [ Hadis daripada ‘Amr bin Hazm radhiallahu ‘anh, dikeluarkan oleh Ibn Hibban, al-Hakim, Baihaqi dan lain-lain melalui beberapa jalan yang setiap darinya memiliki kelemahan. Namun setiap darinya saling menguat antara satu sama lain sehingga dapat diangkat ke taraf sahih, atau setepatnya sahih lighairihi.]

Hadits di atas dinyatakan shahih lighairihi. Mengapa..?! hadits tersebut diriwayatkan melalui beberapa jalur sanad, jika hadits tersebut berdiri sendiri-sendiri bisa disebut hadits dhaif, tetapi jika berdiri bersama-sama dengan menghubungkan jalur2 sanad yang ada, maka hadits tersebut bisa disebut hadits shahih, sehingga shahihnya dinamakan shahih lighairihi.. dan sebuah hadits shahih bisa dijadikan acuan/dasar untuk sebuah pendapat dalam fiqih..

Ada juga hadits lainnya, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
Tidak boleh membaca sesuatu ayat Al-Quran bagi orang junub dan tidak pula perempuan-perempuan haid. [Hadis daripada Ibnu Umar. Diriwayatkan at-Tirmidzi;Ibn Majah dan al-Baihaqi. Dikeluarkan oleh Imam an-Nasa’I di dalam Sunannya no.588 dan at-Tirmidzi didalam sunanya no.121).

Berdasarkan dalil2 tersebut di atas, maka diambillah sebuah pendapat yang melarang wanita haid membaca Al Quran.

II. Pendapat Yang Membolehkan Wanita Haid Menyentuh dan Membaca Al Quran

لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak ada yang menyentuh (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan” [Al-Waqi’ah : 79]

Untuk memahami makna sebuah ayat Al Quran, tentu kita harus belajar, bagaimana para pakar tafsir Al Quran menafsirkan ayat tersebut.

Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya menerangkan penjelasan/ tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain bahwa tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya. Mari kita simak ayat2 sebelumnya dan bagaimana penafsiran para shahabat terhadap ayat tersebut :

إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيمٌ {77} فِي كِتَابٍ مَّكْنُونٍ {78} لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ {79}
77. Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia
78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh),
79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan

Ibnu Katsir menafsirkan ayat “fii Kitabim-maknun” (QS 56;77) berarti di langit, yakni di al-Lauh al-Mahfuz. Demikian pula pendapat Anas, Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Adh Dhahhak, Abu Sya’tsa’ , Jabir bin Zaid, Abu Nuhaik, As Suddi, ‘Abdurrohman bin Zaid bin Aslam, dan selain mereka sebagaimana diterangkan dalam kitab Ibnu Katsir.

Dalam kitab tafsir Tafsir Ath Thobari XI/659 bahwa Ibnu Zaid Ibnu Zaid berkata, “yaitu para malaikat dan para Nabi. Para utusan (malaikat) yang menurunkan dari sisi Allah disucikan; para nabi disucikan; dan para rasul yang membawanya juga disucikan.”
Dalam kitab tersebut juga diterangkan Adh Dhahhak berkata, “Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al Qur’an kepada Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam, maka Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya.”

Demikian juga keterangan beberapa sahabat dan tabi’in sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir al-Thabari dalam Jamii al-Bayan [Dar al-Fikr, Beirut 1999, riwayat no: 25955 – 25970. Lihat juga al-Mawardi – Al-Nukatu wa al-‘Uyun (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut), jld. 5, ms. 463-464.]

Jika kita kaji dari jenis bentukan isimnya dalam ayat tersebut pun, kita akan mendapatkan penjelasan bahwa lafadz yang digunakan dalam ayat tersebut adalah dalam bentuk isim maf’ul-nya (orang-orang yang disucikan), bukan dalam bentukisim fa’il (orang-orang yang bersuci). Perhatikan kalimatnya : “Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan,” yakni dengan bentuk maf’ul (obyek) bukan sebagai faa’il (subyek).”

Ulama yang membolehkan wanita haid membaca Al Quran juga menggunakan dasar Hadits dari

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ قَدِمْتُ مَكَّةَ وَأَنَا حَائِضٌ وَلَمْ أَطُفْ بِالْبَيْتِ وَلاَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ قَالَتْ فَشَكَوْتُ ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ افْعَلِي كَمَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي
‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata, “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku sedang haidh. Aku tidak melakukan thowaf di Baitullah dan (sa’i) antara Shofa dan Marwah. Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Lakukanlah apa yang biasa dilakukan oleh haji selain thowaf di Baitullah hingga engkau suci’.” (Hadits riwayat Imam Bukhori no. 1650)

Berdasarkan dalil tersebut di atas, yang tidak diperbolehkan hanya thawaf saja, sedangakn amal orang yang beribadah haji lainnhya tetap diperbolehkan termasuk berdzikir, membaca AL Quran dan lain-lain.

Thawaf tidak boleh, karena thawaf menurut hadits dari Ibnu Abbas itu seperti shalat..
“Thawaf di Ka’bah seperti shalat, namun di dalamnya dibolehkan sedikit bicara.” (HR. An Nasai no. 2922)
“Thawaf di Ka’bah seperti shalat, namun Allah masih membolehkan berbicara saat itu. Barangsiapa yang berbicara ketika thawaf, maka janganlah ia berkata selain berkata yang benar.” (HR. Ad Darimi no. 1847 dan Ibnu Hibban no. 3836).

Hadits di atas memang digolongkan sebagai hadits mauquf, yaitu hanya sampai pada sahabat dan tidak sampai pada Rasulullah.. tetapi, hadits mauquf adalah ucapan para shahabat yg telah belajar langsung kepada Rasulullah, tidak mungkin beliau berkata bohong atau mengarang cerita sendiri, maka bisa dijadikan dasar sebuah pendapat dalam agama, karena bisa digolongkan termasuk atsar para shahabat.
Menilik hal tersebut, maka thawaf tidak diperbolehkan untuk dilakukan oleh wanita haidh seperti larangan untuk shalat. Selain itu, berdzikir, membaca Al Quran dan sebagainya yang biasa dilakukan orang yg beribadah haji, tidak dilarang.

Sekarang, mari perhatikan hadits tentang tidak boleh membaca Al Quran kecuali orang yg suci. Hadits tersebut berbunyi : “

لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
hadits Ibn Umar: “Tidak boleh membaca sesuatu apa jua daripada al-Qur’an seorang yang dalam keadaan junub atau haid” , maka ia diriwayatkan oleh (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar).

Ia adalah hadis yang dha’if, didha’ifkan oleh al-Bukhari, al-Baihaqi dan selainnya.
Kedha’ifan yang terdapat padanya adalah jelas. [Majmu’ Syarh al-Muhazzab (Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, Beirut 2001), jld. 2, ms. 123-125 (Kitab Taharah, Bab Apa yang mewajibkan mandi, Bab Hukum terhadap 3 perkara).]
Al Baihaqi (si periwayat hadits tersebut) berkata, “Pada hadits ini perlu diperiksa lagi. Muhammad bin Ismail al Bukhari menurut keterangan yang sampai kepadaku berkata, ‘Sesungguhnya yang meriwayatkan hadits ini adalah Isma’il bin Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dan aku tidak tahu hadits lain yang diriwayatkan, sedangkan Isma’il adalah munkar haditsnya (apabila) gurunya berasal dari Hijaz dan ‘Iraq’.”
Al ‘Uqaili berkata, “Abdullah bin Ahmad berkata, ‘Ayahku (Imam Ahmad) berkata, ‘Ini hadits bathil. Aku mengingkari hadits ini karena adanya Ismail bin ‘Ayyasi’ yaitu kesalahannya disebabkan oleh Isma’il bin ‘Ayyasi’.”

Ada juga hadits yg membahas hal tersebut :

أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إلَّا طَاهِرٌ
Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni dan lain-lain)
Sanad hadits ini dho’if namun memiliki sanad-sanad lain yang menguatkannya sehingga menjadi shahih li ghairihi .

Menurut ulama yang berpendapat boleh menyentuh Al Quran dalam kondisi junub dan haid, kata thohir di dalam hadits tersebut adalah bersih dari najis, sedangkan orang beriman itu tidak najis.

Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain dari jalan Abu Hurairah, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan aku dalam keadaan junub, lalu aku menyingkir pergi dan segera aku mandi kemudian aku datang (menemui beliau), lalu beliau bersabda, “Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?” Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub, maka aku tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak bersih (suci)”. Maka beliau bersabda,
سُبْحَانَ اللهِ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ
“Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis” (Dalam riwayat yang lain beliau bersabda, “Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis”).

Imam Asy Syaukani berkata dalam Nailul Author, Kitab Thoharoh, Bab Wajibnya Berwudhu Ketika Hendak Melaksanakan Sholat, Thowaf, dan Menyentuh Mushhaf: “Hamba-hamba yang disucikan adalah hamba yang tidak najis, sedangkan seorang mu’min selamanya bukan orang yang najis berdasarkan hadits di atas.

Maka tidak sah membawakan arti (hamba) yang disucikan bagi orang yang tidak junub, haid, orang yang berhadats, atau membawa barang najis. Akan tetapi, wajib untuk membawanya kepada arti: Orang yang tidak musyrik sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.”(QS. At Taubah: 28)

Jadi, yg najis adalah orang2 musyrik, sedangkan orang2 beriman tidak najis (suci).

III. Pendapat Yang Tidak Boleh Menyentuh Al Quran Tetapi Membolehkan Membacanya.

Ini adalah pendapat mayoritas ulama (jumhur), karena tidak ada dalil shahih yang melarang untuk membaca Al Quran kecuali larangan menyentuhnya. Sedangkan yang dimaksud dengan menyentuh Al Quran adalah menyentuh mushaf Al Quran.

لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
hadits Ibn Umar: “Tidak boleh membaca sesuatu apa jua daripada al-Qur’an seorang yang dalam keadaan junub atau haid” , maka ia diriwayatkan oleh (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar).

Ia adalah hadis yang dha’if, didha’ifkan oleh al-Bukhari, al-Baihaqi dan selainnya. Baca penjelasan di atas.

Sedangkan yang shahih adalah dalil tidak boleh menyentuh Al Quran sesuai dalil :

لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak ada yang menyentuh (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan” [Al-Waqi’ah : 79]

Dan dalil :

أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إلَّا طَاهِرٌ
Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni dan lain-lain). Silahkan baca penjelasan sebelumnya di atas.

Dalil shahih yang ada hanya sekedar tidak boleh menyentuh mushaf, akan tetapi membaca Al Quran masih diperbolehkan karena tidak ada dalil shahih yang melarangnya.

dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى بِنَا فَيَقْرَأُ فِى الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ فِى الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُورَتَيْنِ وَيُسْمِعُنَا الآيَةَ أَحْيَانًا وَكَانَ يُطَوِّلُ الرَّكْعَةَ الأُولَى مِنَ الظُّهْرِ وَيُقَصِّرُ الثَّانِيَةَ وَكَذَلِكَ فِى الصُّبْحِ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah shalat bersama kami. Pada shalat Zuhur dan Ashar, beliau membaca al-Fatihah dan dua surat di rakaat pertama. Sesekali beliau memperdengarkan ayat yang beliau baca pada kami. Adalah beliau memanjangkan bacaan pada rakaat pertama dari shalat Zuhur dan memendekkan pada rakaat kedua, begitu juga saat shalat Shubuh.” (HR Muslim)

Imam al-Nawawi menjelaskan : “Dan adapun sabda Nabi saw : ‘Dan ayat yang beliau baca itu sesekali/kadang-kadang beliau memperdengarkan kepada kami‘, ini bisa jadi bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud untuk memberikan penjelasan atas diperbolehkannya bacaan keras (jahriyah) diwaktu shalat yang seharusnya pelan (sirriyah), dan bahwa bacaan pelan itu bukan syarat sahnya shalat, namun itu hukumnya sunnah.” (Syarah Shohih Muslim : 4/175)

sebenarnya sholat Dhuhur dan Ashar tidak mutlak harus syir (pelan) bacaannya, sesuai keterangan Imam Nawawi di atas kadang Rasulullah juga mn-jahar-kan bacaannya.

jika ditanyakan “mengapa” demikian..?! Allah dan RasulNya yg tahu, mengapa demikian. tidak ada penjelasan “mengapa” dari Rasulullah secara resmi. Tetapi ada bbrp pendapat ulama tentang hal tersebut.

1. Hukum bacaan di-syir-kan terjadi di awal perintah sholat, yakni saat masih di Mekkah. Saat itu kaum kafir Quraisy sering melecehkan Al Quran saat dibacakan saat sholat. Dan para kafir Quraisy tersebut datang melecehkannya adalah saat siang hari, dan saat malam hari mereka sudah masuk di rumahnya masing-masing dan tidak mengolok-olok.

Hal tersebut dihubungkan dengan asbabun nuzul dari QS QS. Al-Isra’: 110 :
وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. tentang firman-Nya “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya”, diturunkan (ayat ini) ketika Rasulullah saw sedang bersembunyi di Mekah, di mana apabila shalat dengan para sahabatnya, ia mengeraskan suaranya. Ketika orangorang musyrik mendengarnya, mereka mencela al-Qur’an; siapa yang telah menurunkannya; dan pada siapa diturunkan.

Maka Allah berfirman pada Nabi-Nya saw: “Dan janganlah kamu mengeraskan suara dalam shalatmu”, artinya dalam bacaannmu hingga dapat mendengarlah orang- orang musyrik lalu mencela al-Qur’an. “Dan jangan pula merendahkannya” dari para sahabatmu hingga mereka tidak mendengar. “Dan carilah jalan tengah di antara kedua itu”.” (HR. al-Bukhari, kitab Tafsir al- Qur’an)

Kemudian muncul pendapat bahwa untuk menghindari celaan terhadap Al Quran, saat siang hari bacaan sholat dipelankan krn saat itu kaum musyrikin masih terbangun dan datang mencela. Pada saat di Madinah, maka Rasulullah mulai kadang di-jahr-kan suaranya kadang di pelankan sesuai dalil di atas dan pendapat imam Nawawi atas dalil tersebut.

2. Pada saat malam hari, waktunya yg sangat baik untuk bermunajat sehingga bacaan di-jahr-kan agar lebih khusyuk dan nikmat munajatnya. Sedangkan pada siang hari adalaha waktunya bekerja tidak begitu nikmat untuk bermunajat yang sangat khusyu’. Seperti di terangkan syaikh Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatho Ad-Dimyathi As-Syafi’i dalam kitan Ianatut Tholibin :
hikmahnya magrib dan isya’ di dikeraskan krn untuk mncari klezatan munajatnya hamba pd TUHANnya klo dzuhur ashar di pelankan krn siang wktu kesibukan dan bercampurnya para manusia krn tidak pantas untuk mngheningkan diri pd munajatnya,,sedangkan shubuh disamakn sholat malam {magrib dan isya’} krn bukan waktu kesibukan.(ianatut tholibin juz 1 hal 153.)

3. Ada juga yang berpendapat bahwa saat malam hari pada jaman Rasulullah sangat gelap sekali, sehingga bacaan dikeraskan (jahr) agar terdengar bahwa sholat sudah dimulai, sedangkan saat siang hari tanpa dikeraskan saja orang sudah akan melihat dan mengetahui bahwa sholat sudah dimulai.

Tidak ada keterangan resmi dari Rasulullah, itu hanya pendapat manusia-manusia sesudahnya saja. Wallahu a’lam..

ada dua perbedaan pendapat di dalamnya saat memahami ayat :
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak ada yang menyentuh (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan” [Al-Waqi’ah : 79]

silahkan dibaca lagi dan dipahami tentang makna kata “الْمُطَهَّرُونَ” (al muthohharuun) di dalam tulisan tersebut sehubungan dengan penafsiran QS Al-Waqi’ah : 79 ..

baca dzikir seperti tahlil (Laa ilaaha illallah) saat haid tidak ada perbedaan di antara ulama tentang bolehnya..
Saat Aisyah haid pada haji wada’, kemudian Aisyah bersedih karena menganggap tidak bisa melakukan apapun pada musim haji kali ini, maka Rasulullah berpesan :

فَافْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى

“Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain dari melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.” (HR. Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211)

Sudah kita pahami, saat haji begitu banyak kalimat dzikir dan doa yang akan terucap, pada saat haid itu Aisyah diperintahkan untuk melakukan ritual haji seperti biasanya seperti dzikir dan doa, kecuali hanya thawaf saja.. Dalil ini menunjukkan bolehnya berdzikir dan berdoa saat haid..

adapun pembacaan al ma’tsurot karena di dalamnya ada juga bacaan Al Quran, memang ada perbedaan pendapat seperti halnya perbedaan pendapat tentang membaca Al Quran di dalam tulisan di atas..


Memang ada perbedaan pendapat, akan tetapi jangan asal ikut-ikutan.. harus diketahui dahulu darimana para ulama itu mendapatkan sumber hukumnya..

Imam Hanafi sebagai salah satu Imam madzhab yang muktabar berkata : “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya”. (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqau fi Fadha ilits Tsalatsatil Aimmatil FuqahaI, hal. 145).

Oleh karena itu, pelajari lagi pendapat-pendapat ulama yang ada yang didasari oleh dalil-dalil yang shahih yang ada.. jauhi taqlid buta dan juga mengikuti hawa nafsu.. begitu..

1. Wanita Haid dan Nifas Membaca Alquran.
Membaca Alquran pada dasarnya diperbolehkan bagi siapa pun kecuali ada dalil yang melarangnya. Ternyata bagi wanita haid atau nifas ada beberapa hadis yang melarang mereka untuk membaca Alquran. Namun, hadis-hadis tidak luput dari kedaifan. Agar lebih jelas, marilah kita perhatikan hadis-hadis tersebut berikut keterangan mengenai kedaifannya

Dari Ibnu Umar ra. Ia mengatakan, “Rasulullah SAW. Bersabda, “janganlah wanita haid dan yang sedang junub membaca sesuatu pun dari Alquran”.H.R At-Tarmidzi
Dari Jabir ra. Ia mengatakan, “tidklah (janganlah) wanita haid yang junub, dan yang sedang nifas membaca Alquran”.H.R Ad-Daruquthni.

Hadis pertama diriwayatkan oleh Imam At-tarmidzi dalam Kitabut Tharah I:236. Dan hadis yang semakna dengannya diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah masih dalam Kitabut Tharah I:331.

Kedua hadis ini melaluia rawi yang bernama Ismail bin ‘Ayyasy bin sulaem. Dia adalah orang Syam tepatnya di Himsha. Ismail bin Ayyasy pada asalnya rawi tsiqat dan hadisnya sahih bila ia menerima hadis dari rawi yang senegeri dengannya. Tetapi bila ia menerima hadis dari rawi lain yang tidak sati negeri dengannya maka hadisnya daif, ia tidak bisa dijadikan hujjah.

Kebetulan pada hadis diatas Ismail bin ‘Ayyasy menerima hadis dari Musa bin Uqbah. Dia adalah orang Madinah. Berarti ia menerima hadis dari rawi yang tidak dari satu negeri dengannya. Imam Al-bukhari mengatak, “bila Isamail bin ‘Ayyasy menerima hadis bukan dari rawi yang senegri dengannya maka fiihi nazhar(hadisnya ditinggalkan). Sedangkan menurut Yahya bin Ma’in, bila Ismail bin ‘Ayyasy menerima hadis bukan dari rawi yang senegeri dengannya (yaitu negeri Syam) maka dia ikhtilath (pikun). (Lihat Tahdzibul Kamal, III:177, Al-Kamil fi Dhu’afair Rijal, I;294 dan Al Majruhin, I:125).

Selain itu, ada juga hadis yang sanadnya tidak melalui rawi Ismail bin ‘ayasy tetapi melalui Abu Ma’syar dari Musa bin Uqbah yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni ini terdapat rawi yang majhul (tidak dikenal). Oleh karena itu, hadisnya pun tetap ditolak.

Hadis kedua diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya juz, I:121. Hadis ini tidak bias dipakai hujjah, karena selain mauquf (sanadnya sampai sahabat) juga pada sanadnya terdapat rawi yang bernama Yahya. Nama lengkapnya adalah Yahya bin Abu Anisah. An-Nasai dan Ad-Daraquthni mengatakan, “Dia Matrukul hadis (hadisnya ditinggalkan0”. Abu Hatim, Abu Zur’ah, Yahya bin Ma’in mengatakan, “Dia dhaiful hadis (hadisnya daif) sedangkan Ali bin Al-Madini mengatakan, “La yuktabu haditsuhu (tidak dicatat hadisnya)”. (Tahdzibul Kamal, XXXI:226-227)

Dengan keterangan-keterangan di atas, cukup jelas bagi kita untuk tidak menjadikan hujah apalagi mengamalkan hadis-hadis tersebut.

2. Orang junub membaca Alquran

Kalangan ahli ilmu telah berbeda pendapat tentang orang yang junub membaca Alquran. Ada yang membolehkannya, ada yang tidk. Mereka yang melarang orang junub membaca Alquran di antaranya berdasarkan hadis-hadis di bawah ini :
Dari Ali ra.ia mengatakn, “Rasulullah biasa membacakan Alquran kepada kami di setiap keadaan tidak dalamkeadaan junub”. H.R At-Tarmidzi
Dari Ibnu Umar ra. Ia mengatakan, “Rasulullah saw. Bersabda, tidak boleh / jangan membaca sesuatu dari Aquran ornag yang sedang junub”. H.R Ad-Daruquthni, Sunan Ad-Daruquthni I”117.
Dari Abu Musa ra. Iamenatakan “rasulullah saw. Bersabda, “hai Ali Sesungguhnya aku meridhai kamu (seperti) aku meridhai sesuatu untuk diriku sendiri, dan aku tidak menyukai (sesuatu) untukmu seperti aku tidak menyukai sesuatu untuk diriku! Janganlah kamumembaca Alquran dalam keadaan junub…!!. H.R Ad-Daruquthni, Sunan Ad-Daruquthni I.:119.
Dari Abdullah bin Rawahah ra. Ia mengatakan, bahwasanya rasulullah saw melarang salah seorang di antara kami untuk membaca Alquran dalam keadaan junub”. H.R Ad-Daruquthni.

Hadis pertama diriwayatkan oleh At-Tarmidzi, I:275. Dan hadis yang semakna dengannya oleh An-nasai I:155-156, Abu Daud I:52 dan Ibnu Majah I.331. Semua sanad hadis ini melalui rawi yang bernama Abdullah bin Salimah (Salamah). Dia itu rawi yang dikenal akan tetapi diingkari. Ia juga sering berbuat salah dalam meriwayatkan hadis. Selain itu, Imam Al-Bukhari mengatakan, “la yutaba’u ‘ala haditsihi” (tidak ada mutaba’ah / penolong untuk hadisnya) (lihat Tahzibul Kamal, XV:51-52, Tahdzibul Tahdzib, V:241, Lisanul Mizan, II:431, Al-Kamil fi Dhuafair Rijal, IV:169 dan Adhu-dhuafa wal Matrukin, hal.154).

Hadis kedua juga dhaif karena pada sanadnya ada rawi yang bernama Abdul Malik bin Maslamah Al-Umwi. Ibnu Yunus mengatakan, “Munkarul hadis”. Ibnu Hibban mengatakn ia banyak meriwayatkan hadis-hdis munkar dari orang-orang Madinah”.(Lisanul mizan, IV:68 dan Al-Mughni Fidh-Dhu’afa, II:409).

Hadis ketiga sanadnya melalui rawi Abu Malik, yang nama lengkapnya adalah Abdul Malik bin Al-Husain (Husain) An-Nakhai. Dia dinyatakan daif oleh Abu hatim, Abu Zur’ah dan oleh Ad-Daraqutni sendiri. Imam Al-Bukhari mengatakan, “Laisa bil qowi (dia tidak kuat). Sedangkan Al-Azdiy dan An-Nasai mengatakan, “dia matrukul hadis (hadisnya ditinggalkan)” (lihat Mizanul I’tidal,II”653, Al-jarhu wat ta’dil, V:347, Al-Kamil, V:303, dan Ad-Duafa wal Matrukin, hal.166)

Hadis yang keempat pun daif karena pada sanadnya ada rawi yang bernama Salamah bin Wahram. Ahmad bin Hanbal berkata, “Zamrah bin Salih meriwayatkan hadis-hadis munkar darinya, dan aku khawatir akan keberadaan hadisnya itu daif. Selai itu ia juga dinyatakan daif oleh Abu Daud. Ibnu Addiy mengatakan, “hadisnya tidak teranggap”. Sedangkan Ibnu Hibban mengomentari, “boleh hadisnya dijadikan I’tibar (perbandingan) jika diriwayatkan melalui rawi selain Zam’ahbin salih”. (lihat Tahdzibul Kamal, XI:328, Mizanul I’tidal II:193, Tahdzibut Tahdzib IV:161, Al-Kamil, III:328, al-Kasyif, II:387 dan Al-Mughni I:276)

Selain itu, ada keterangan Ali bin Abu thalib riwayat Abu Ya’la Al-Mushili, Musnad Abu Ya’la, I:300 dan Ahmad bin Hanbal, beliau menyatakan bahwa yang junub tidak boleh membaca Alquran walaupun satu ayat, Pernyataan Ali bin Abu Thalib ini hanya merupakan ijtihad beliau saja bukan ijma’ sahabat, karena sahabat lain pun seperti Ibnu Abbas berpendapat bahwa tidak ada halangan bagi orang yang junub halangan bagi orang yang junub membaca Alquran (lihat Fathul Bari, I:541).

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas tidak ada satupun dalil yang sahih yang melarang orang junub membaca Alquran.

3. Membaca Alquran tanpa wudhu (ketika hadas kecil)

Pada pembahasan sebelumnya telah diterangkan, bahwa orang yang sedang junub, wanita haid atau nifas (yang berhadas besar) boleh membaca Alquran, sebab hadis-hadis yang melarang mereka unutk membaca Alquran semuanya tidak luput dari kedaifan.

Maka jita dpat memahami bahwa yang berhadas besar saja boleh membaca Alquran apalagi yang berhadas kecil. Dan dalam keterangan lain di sunatkan sebelum berwudu itu membaca bismillahirrahmanirrahim, dan bismillahirrahmanirrahim merupakan ayat Alquran.

Tidak sah salat bagi yang tidak berwudu dan tidak sempurna wudu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah

Agar lebih menentramkan hait, marilah kita perhatikan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bikhari dari sahabat Ibnu Abbas. Dalam hadis itu diterangkan, bahwa Hirakla (Raja Najasyi) membaca surat dari Rasulullah saw, yang beisi ayat suci Alquran, padahal ia non muslim itu sudah tentu tidak bersih dari hadas kecil maupun hadas besar. Perhatikan hadis dibawah ini
Ubni Abbas bekata, “telah mengkhabarkan kepadaku Abu Sufyan, bahwa Hirakla pernah meminta surat dari Nabi saw, Kemudian ia membacanya. Ternyata dalam surat itu tercantum (ayat) “ Bismillahirrahmanirrahim” dan “ya ahlal kitabi ta’alau ila kalimatin” (Ali Imran”64) H.R Shahih Al-Bukhari.

Pada hadis di atas, Rasulullah saw tidak memerintahkan unuk berwudu kepada Hirakla yang akan membaca surat yang berisikan ayat Alquran, demikian juga kepada sahabatnya yang menulis dan membaca isi surat itu. Dengan demikian jelaslah, bahwa orang membaca Alquran tidak perlu berwudu terlebih dahulu.

4. Menangis ketika membaca Alquran

Ada sebagian yang berpendapat, bahwa di antara ketika membaca Alquran itu adalah harus sambil menangis, bahkan jika tidak bias menangis, hendaklah berusaha agar dapat menangis. Alasan mereka yang berpendapat seperti itu adalah berdasarkan keterangan di bawah ini :
Dari Abdurrahman bin As-saib ra. Ia berkata, “telah mendatangi kami Sa’ad bin Abu Waqqas(saat itu) sudah tidak berfingsi lagi penglihatannya. Lalu aku mengucapkan salamkepadanya. Sa’ad betanya.”siapa kamu?” Lalu aku memberitahukan kepadanya, kemudianSa’ad bekata lagi, “selamat dating anak saudaraku! Telah sampai berita kepadaku bahwa kamu bersuara bagus dlaam mambaca Alquran. Aku pernah mendengar Rasulullah saw. Bersabda, “sesungguhnya Aquran ini turun dengan kesedihan. Apabila kamu membacanya, menangislah, bila tidak bias menangis, berusahal menangis. Dan alunkanlah oleh kalian membaca Aquran itu. Barangsiapa tidak mengalunkannya, bukanlah golongan kami”

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Majah III:129, Al-Baihaqi dlam As-Sunanul Kubra X:231 dan Abu Ya’la Al-Mushili dlam musnadnya, II:50. Semua sanad hadis di atas melalui rawi yang bernama Abu Rafi, yang nama aslinya Ismali in Rafi bin Uwaimir. Ia dijarah oleh para ahli hadis. Seperti An-Nasai menyatakan, “dia itu Matrukul hadsi, daifdan laisa bitsiqatin”. Ad-Daruquthni berkata, “ Abu rafi itu natruk”. Sedangkan Ya’qub bin Sufyan berkata, “ Abu Rafi tidak tergolong matruk, akan tetapi hadisnya tetap tidak bias dipakai hujah”(Tahdzibul Kamal, II:88)

Dengan keterangan-keterangan di atas jelaslah, bahwa orang yang berpendapat harus menangis ketika membaca Alquran itu tertolak

Catatan : Adapun menagis ketika membaca Alquran bagi orang yang tersentuh hatinya, sebab ia mengerti faham kepada ini kandungan ayat-ayatnya, maka hal itu termasuk bagian dari rahmat. Dan ini sama halnya seperti orang yangmenangis ketika mendengar seseorang membaca Alquran, karena mengetahui kebenaranya.(Q.S Al-Isra,107-108 dan Al-Maidah:83)

Dari Amr bin Mjurrah ra. Ia berkata “rasulullah saw bersabda kepadaku “bacalah Alquran untukkku. Aku menjawab “apakah aku pantas membacaka Alquran untukmu padahal ia diturunkan kepadamu”. Beliau bersabda”aku sukamendengarnya dari yang lain. Lalu aku membaca untuk beliau surat An-Nisa hinga ayat “maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)”. Nabi bersabda, ‘berhebtilah! Ternyata kedua mata beliau berlinang…” sahih bukhari fathul bari, X:121.

5. Menyentuh Alquran dalam keadaan hadas.

Entah sejak kapan munculnya akidah atau keyakinan bahwa menyentuh Alquran itu tidak boleh kecuali harus dalam keadaan suci (bersih dari hadis kecil dan besar). Keyakinan seperti ini sudah menjamur di kalangan masyarakat hingga sekarang. Mereka berkeyakinan seperti itu tentu memiliki dasar, baik dari Alquran atau hadis, karenaini masalah ibadah. Bila keterangan-keterangan itu memang ada dan dapat diterima secara ilmu, tentu semua umat Islam wajib menaatinya. Akan tetapi bila keterangan-keterangan itu tidak dapat diterima secara ilmu atau salah dalam memahami maknanya maka kita wajib menolak.

Ternyata mengenai keyakinan menyentuh Alquran harus dalam harus dalam keadaan suci berdasarkan hadsi-hadis dibawah ini :
Dari Abdullah bin Abu Bakar dari Ayahnya (Abu Bakar) ia berkata, “dlam surat Rasulullah saw. Untuk Amr bin Hazm (kakek Abu Bakar) tercantum padanya, tidak (bolah) menyentuh Alquran kecuali dalam keadan suci”
Dari ibnu Umar ra. Ia berkata “Rasulullah saw bersabda”tidak bolah menyentuh Alquran kecuali dalam keadaan suci.
Dari Hassan bin Bilal dari Hukaim bin Hizam, (ia berkata), “bahwa Nabi saw berkata kepadanya (Hakim), “tidak (boleh) kamu menyentuh Alquran kecuali kamu dalam keadaan suci”
Dari Ustman bin Al-Ash, nabi pernah bersabda kepadaku : “Sungguh aku telah mengangkatmu sebagai pemimpin (ketua dlam suatu perjalanan) atas sahabat-sahabatmu padahal kamu yang paling muda di antara mereka, dan janganlah kamu menyentuh kecuali kamu dalam keadaan suci”
Dari Tsauban, ia memarfu’kan (Nabi saw bersabda), “tidak (boleh) menyentuh Alquran kecuali orang yang suci”

Takhrij Hadis

Hadis nomor satu sampai empat diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam sunannya I:121. pada hadis pertama diriwayatkan oleh juga oleh Al-Baihaqi dlam As-Sunanul Kubra, I:88 dan Syu’abul Iman, II:380, Imam Malik dalam Al-Muwaththa, I:203, Ad-Darimi daam Kitabut Talaq, II:161dan abu Daud dalam kitab Marasil, hal:121-122. hdis kedua diriwayatkan juga oleh Ath-Thabrani dalam Mu’jamul kabir Wal Ausath (CD), Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra, I:188 dan tercantum dalam kitab Majma’uz Zawaid tulisan Al-Haitsami, I:282. hadis ketiga diriwayatkan juga oleh At-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir wal Ausath (CD), dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Hadis keempat diriwayatkan juga oleh Ath-thabrani dalam Mu’jamul kabir dan tercantum dalam Majma’uz Zawaid, I:282. Sedangkan hadis kelima diriwayatkan oleh Ali bin Abdul Aziz dalam kitab Muntakhabul Musnad (CD)

Semua hadis di atas tidak bias dijadikan hujah untuk menetapkan hukum karena terdapat kedaifan. Agar lebih jelas, perhatikanlah keterangan-keterangan berikut nin:

Hadis pertama walaupan rawi-rawi tsiqat tetapu hadis tersebut mursal tabi’I, karena Abu Bakar tidak bertemu dengan Amr bin Hazm (kakeknya). Dalam ilmu Mushtalah hadis, hadis yang mursal tabi’I itu dikategorikan daif.

Hadis kedua dinyatakan daif oleh Al-Haitsami, bahwa rawi-rawinya tsiqat (rijaluhu muwtstsaqun), padahal terdapat rawi tang bernama Sulaiman binMusa (sulaiman bin arqm) Al-Asydaq Al-Qurasi Al-Umwi. An-Nasai berkata, ‘Sulaiman itu laisa bil qawwi (tidak kuat dlam meriwayatkan hadis). Sedangkan Al-Bukhari berkata, “padanya terdapat hadis-hadis munkar” (lihat Haisyah Ad-Daruquthnim I:121, Tahdzibul Kamal, XII:97, Al-Kamil, III::263 dan Adh-Dhuafa wal Matrukin, hal 122)
Hadis ketiga daif karena pada sanadnya ada rawi bernama Suwaid Abu Hatim, yang nama lengkapnya Suwaid bin Ibrahim Al-Jahdari Al-Bashri. Dia dinyatakan daif oleh Yahya bin Ma’in. Abu Daud dan An-Nasai berkata “ia Daif. Sedang Abu Zur’ah berkata “laisa bil Qawwi” Tahdzibul kamal, XII:234-244 dan majma’uz zawaid,I:282

Hadis keempat daif karena pada sanadnya ada rawi bernama Ismail bin Rafi bin Uwaimir Abu Ubaid. An-Nasai berkata, “Matrukul hadis (hadisnya ditinggalkan)” Hanbal dan abu hatim berkata “munkarul hadis” dan pada kesempatan lain An-Nasai vberkata “Ismail bin Rafi itu rawi yang daif dan tidak tsiqat” tahdzibul kamal, III:87-88 dan Al- kamil, I:280)

Hadis kelima daif karena pada sanadnya ada rawi bernama Hashib bin jahdar. Dia Matruk, daif karena sering berdusta meriwayatkan hadis dari Abi Shalih. Aunul Ma’bud, dan Nailul Authar, I:247

Pertanyaan : Walaupun hadis-hadis diatas daif, bukankah makna hadis-hadis tersebut sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam Alquran surat Al-Waqiah ayat 79 yang artinya : Tidak menyentuhnya(Alquran) kecuali mereka yang disucikan.

Jawaban : Ayat tersebut sama sekali tidak ada kaitan dengan hadis-hadis diatas, sebab yang dimaksud dengan muthahharun (mereka yang disucikan) menurut pendapat yang kuat adalah para malaikat, sebab alQuran yang dimaksud dalam ayat itu adalah kitabullah yang ada dilangit yakni di lauhulmahfizh. Hal ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Anas, Said bin Jubair dan Ikrimah, mereka adalah para ahli tafsir di zamannya. Adapun maksud ayat ini untuk membantah perkataan orang-orang kafir yang menuduh, bahwa Alquran yang turun kepada Nabi saw, bukan dari Allah SWT melainkan dari syetan(At-Tafsirul Munir, 27:275 dan 280, Ad-Durrul Mansur, IIX:26, Ibnu Katsi, IV:296 dan Ath-Thabari, 27:205). Dengan demikian, keliru bila ayat ini dijadikan dalil tidak boleh menyentuh alquran kecuali dalam keadaan suci, sebab menurut penelitian kami tidak ada satupun riwayat sahih yang menerangkan bahwa yang dimaksud muthahharun itu adalah orang yang bersih dari hadas.

6. Memperlombakan Bacaan Quran (MTQ)

Memperlombakan bacaan Quran atau musabaqah tilawatil quran sudah menjadi tradisi dikalangan umat Islam, apalagi pada acara nuzul quran. Untuk mengetahui boleh dan tidaknya tentang MTQ ini marilah perhatikan hadis dibawah ini
Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata “rasulullah saw Bersabda sesungguhnya manusia yang akan ditetapkan keputusan baginya pada hari kiamat adalah orang yang telah belajar ilmu dan mengajarkannya, dan ia membacakan Alquran. Kemudian dihadapkan dan diterangkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang telah diberikan), lalu ia mengetahui.Allah berfirman “apa yang telah kamu perbuat pada kenikmatan itu? Ia mwnjawab aku nelajar ilmu serta mengajarkan dan aku membaca Alquran karenaMu (ikhlas) Allah befirman. Kamu berdusta Akan tetapi kamu belajar ilmu karena hanya akan ingin disebut alim dan kamu membaca ALquran karena hanya ingin disebut qari (pembaca yang mahir)..Kemudian diprintahkan agar ia diseret ke dalam api neraka”H.R Muslim

Dengan hadis ini,membaca Alquran dengan cara dipertontonkan di depan umum hanya yntuk disebut sebagai qari yang terbaik adalah riya, sedangkan riya adalah syirik.