Sabtu, 16 September 2023

Qiila wa Qaala

Qiila wa Qaala itu ada beberapa bentuk: 
1. Ghibah
2. Banyak bicara yg tdk manfaat 
3. Banyak bicara yang tidak jelas sumbernya (katanya dan katanya)

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah Saw bersabda,

إِنَّ اللهَ يَكْرَهُ لَكُمْ: قِيْلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
“Sesungguhnya Allah membenci untuk kalian qiila wa qoola, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.”(HR. Muslim dan Ahmad).

Selasa, 07 Maret 2023

ibadah perintah larangan hak Allah SWT

Perihal ibadah, perintah, larangan, pahala dan dosa merupakan hak preogratif Allah, tidak semestinya makhluk ikut campur dan menggurui sang pencipta.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَلَا تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلۡسِنَتُكُمُ ٱلۡكَذِبَ هَٰذَا حَلَٰلٞ وَهَٰذَا حَرَامٞ لِّتَفۡتَرُواْ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَفۡتَرُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَ لَا يُفۡلِحُونَ
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram," untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung."
(QS. An-Nahl 16: Ayat 116).

#wahdahislamiyah #wahdahsumbar
https://www.instagram.com/p/CpbqXcFvlmz/?igshid=MDJmNzVkMjY=

Minggu, 05 Maret 2023

doa bayi lahir

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّآمَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَآمَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَآمَّةٍ

"A’uudzu bikalimaatillaahit at-taammati min kulli syaithaanin wa haammatin wamin kulli ‘ainin lâmmatin."

Artinya : Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah dari segala setan, kesusahan, dan pandangan yang jahat.

dalil tentang qashar

Dari Umar Ra
صَحِبْتُ رَسُولَ اللهِ فَكَانَ لَا يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ
“Aku menyertai Nabi shallallahu alaihi wa sallam; dan beliau tidak pernah menambah lebih dari dua rakaat dalam safarnya. Demikian pula Abu Bakr, Umar, dan Utsman—semoga Allah meridhai mereka.” (HR. al-Bukhari no. 1102 dan Muslim no. 689)

Hadits Aisyah radhiallahu anha

فُرِضَتْ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ

“Shalat itu (pertama kali) diwajibkan dua rakaat. Kemudian shalat dalam safar tetap (dua rakaat), sedangkan shalat hadhar (mukim) ditambah/disempurnakan (empat rakaat).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَقَامَ النَّبِيُّ تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ فَنَحْنُ إِذَا سَافَرْنَا تِسْعَةَ عَشَرَ قَصَرْنَا وَإِنْ زِدْنَا أَتْمَمْنَا
Dari Ibn ‘Abbas ra, ia berkata: “Nabi saw pernah menetap sementara (dalam salah satu safarnya) selama 19 hari mengqashar shalat. Maka kami (para shahabat) apabila safar (dan menetap sementara) selama 19 hari, kami mengqashar. Dan jika lebih dari itu, kami akan shalat tam (tanpa qashar).” (Shahih al-Bukhari bab ma ja`a fit-taqshir no. 1080).

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ أَقَامَ رَسُولُ اللهِ بِتَبُوكَ عِشْرِينَ يَوْمًا يَقْصُرُ الصَّلاَةَ
Dari Jabir ibn ‘Abdillah, ia berkata: “Rasulullah saw tinggal di Tabuk selama 20 hari mengqashar shalat.” (Sunan Abi Dawud bab man aqama bi ardlil-‘aduw yaqshuru no. 1237).

Dan banyak lg

Takhrij Hadits Utsman bin Hunaif; Tawassul dengan Nabi Muhammad Setelah Wafatnya

Takhrij Hadits Utsman bin Hunaif; Tawassul dengan Nabi Muhammad Setelah Wafatnya

Diriwayatkan melalui beberapa jalur :

Jalur Pertama 

Dari Rawh bin Qasim, dari Abi Ja’far, dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif.

Yang meriwayatkan dari Rawh ada dua :

1. Syabib bin Sa’id Al-Makkiy.

Yang meriwayatkan dari Syabiib ada dua :

a. Abdullah bin Wahb.

Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam kitabnya “Al-Mu’jam Ash-Shaghir “ 1/306 no 508 :

عن عَبْد اللَّهِ بن وَهْبٍ، عَنْ شَبِيبِ بْنِ سَعِيدٍ الْمَكِّيِّ، عَنْ رَوْحِ بْنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ الْخَطْمِيِّ الْمَدَنِيِّ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ، عَنْ عَمِّهِ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ: " أَنَّ رَجُلًا كَانَ يَخْتَلِفُ إِلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي حَاجَةٍ لَهُ , فَكَانَ عُثْمَانُ لَا يَلْتَفِتُ إِلَيْهِ , وَلَا يَنْظُرُ فِي حَاجَتِهِ , فَلَقِيَ عُثْمَانَ بْنَ حَنِيفٍ , فَشَكَا ذَلِكَ إِلَيْهِ , فَقَالَ لَهُ عُثْمَانُ بْنُ حَنِيفٍ: ائْتِ الْمِيضَأَةَ فَتَوَضَّأْ , ثُمَّ ائْتِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ , ثُمَّ قُلِ: " اللَّهُمَّ , إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ عَزَّ وَجَلَّ فَيَقْضِي لِي حَاجَتِي " , وَتَذْكُرُ حَاجَتَكَ , وَرُحْ إِلَيَّ حَتَّى أَرُوحَ مَعَكَ.
فَانْطَلَقَ الرَّجُلُ , فَصَنَعَ مَا قَالَ لَهُ عُثْمَانُ , ثُمَّ أَتَى بَابَ عُثْمَانَ , فَجَاءَ الْبَوَّابُ حَتَّى أَخَذَ بِيَدِهِ , فَأَدْخَلَهُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ , فَأَجْلَسَهُ مَعَهُ عَلَى الطِّنْفِسَةِ , وَقَالَ: حَاجَتُكَ؟ فَذَكَرَ حَاجَتَهُ , فَقَضَاهَا لَهُ , ثُمَّ قَالَ لَهُ: مَا ذَكَرْتَ حَاجَتَكَ حَتَّى كَانَتْ هَذِهِ السَّاعَةُ , وَقَالَ: مَا كَانَتْ لَكَ مِنْ حَاجَةٍ , فَأْتِنَا , ثُمَّ إِنَّ الرَّجُلَ خَرَجَ مِنْ عِنْدِهِ , فَلَقِيَ عُثْمَانَ بْنَ حُنَيْفٍ , فَقَالَ: لَهُ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا , مَا كَانَ يَنْظُرُ فِي حَاجَتِي , وَلَا يَلْتَفِتُ إِلَيَّ حَتَّى كَلَّمْتَهُ فِي , فَقَالَ عُثْمَانُ بْنُ حُنَيْفٍ: وَاللَّهِ , مَا كَلَّمْتُهُ وَلَكِنْ شَهِدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَأَتَاهُ ضَرِيرٌ , فَشَكَا عَلَيْهِ ذَهَابَ بَصَرِهِ , فَقَالَ: لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: «أَفَتَصْبِرُ؟» , فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ , إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ , وَقَدْ شَقَّ عَلَيَّ , فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: «ائْتِ الْمِيضَأَةَ , فَتَوَضَّأْ , ثُمَّ صَلِّ رَكْعَتَيْنِ , ثُمَّ ادْعُ بِهَذِهِ الدَّعَوَاتِ» قَالَ عُثْمَانُ بْنُ حُنَيْفٍ: فَوَاللَّهِ , مَا تَفَرَّقْنَا وَطَالَ بِنَا الْحَدِيثُ حَتَّى دَخَلَ عَلَيْنَا الرَّجُلُ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ ضَرَرٌ قَطُّ .

Dari ‘Abdullah bin Wahb, dari Syabib bin Sa’id Al Makkiy, dari Rawh bin Qasim, dari Abu Ja’far Al Khatami Al Madini, dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif, dari pamannya 'Utsman bin Hunaif,

"Bahwa seorang laki-laki berkali-kali datang kepada 'Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu untuk suatu keperluan [hajat] tetapi 'Utsman tidak menanggapinya dan tidak memperhatikan keperluannya. Kemudian orang tersebut menemui 'Utsman bin Hunaif dan mengeluhkan hal itu. Maka 'Utsman bin Hunaif berkata: “Pergilah ke tempat berwudhu’ dan berwudhu’lah kemudian masuklah ke dalam masjid kerjakan shalat dua raka’at kemudian berdoalah: “Ya Allah aku memohon kepadamu dan menghadap kepadamu dengan Nabi kami, Nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad aku menghadap denganmu kepada TuhanMu Tuhanku agar memenuhi keperluanku”, kemudian sebutkanlah hajat atau keperluanmu, berangkatlah dan aku dapat pergi bersamamu.
Maka orang tersebut melakukannya kemudian datang menghadap 'Utsman, ketika sampai di pintu 'Utsman penjaga pintu 'Utsman memegang tangannya dan membawanya masuk kepada 'Utsman bin ‘Affan maka ia dipersilakan duduk disamping 'Utsman. 'Utsman berkata: “Apa keperluanmu?” Maka ia menyebutkan keperluannya dan 'Utsman segera memenuhinya. 'Utsman berkata: “Aku tidak ingat engkau menyebutkan keperluanmu sampai saat ini”, kemudian 'Utsman berkata: “Kapan saja engkau memiliki keperluan maka segeralah sampaikan”. 

Kemudian orang tersebut pergi meninggalkan tempat itu dan menemui 'Utsman bin Hunaif, ia berkata: “Semoga Allah subhanahu wa ta'ala membalas kebaikanmu, ia awalnya tidak memperhatikan keperluanku dan tidak mempedulikan kedatanganku sampai engkau berbicara kepadanya tentangku”. 'Utsman bin Hunaif berkata: “Demi Allah, aku tidak berbicara kepadanya, hanya saja aku pernah menyaksikan seorang buta menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengeluhkan kehilangan penglihatannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Bersabarlah”. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki penuntun yang dapat membantuku dan itu sungguh sangat menyulitkanku”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Pergilah ke tempat wudhu’, berwudhu’lah kemudian shalatlah dua rakaat kemudian berdoalah” yaitu doa ini. 'Utsman bin Hunaif berkata: “Demi Allah kami tidaklah berpisah dan berbicara lama sampai ia datang kepada kami dalam keadaan seolah-olah ia tidak pernah kehilangan penglihatan sebelumnya”.

Sanad ini sangat lemah karena ada rawi yang bernama Syabib bin Sa’id, Abu Sa’id Al-Bashriy[1] (w. 186 H).

Ibnu Adiy mengatakan : “Ibnu Wahb meriwayatkan darinya hadits-hadits mungkar, … kemungkinan Syabib ketika datang ke Mesir -dalam rangka perdagangan- Ibnu Wahb mencatat hadits darinya melalui hafalannya maka ia tersalah dan keliru”.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan : “Periwayatan haditsnya tidak mengapa (laa ba’sa bihi) jika yang meriwayatkan darinya adalah anaknya yang bernama Ahmad, tidak demikian jika yang meriwayatkan darinya adalah Ibnu Wahb”.

Kesimpulan : Hadits ini sangat lemah karena melalui periwayatan Abdullah bin Wahb dari Syabib bin Sa’id. 

b. Ahmad bin Syabib bin Sa’id.

Diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawiy dalam kitab Masyaikh-nya halaman 94 no. 113 :

قَالَ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ شَبِيبِ بْنِ سَعِيدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ رَوْحِ بْنِ الْقَاسِمِ , عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ الْمَديني، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ , عَنْ عَمِّهِ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ: أَنَّ رَجُلاً كَانَ يَخْتَلِفُ إِلَى عثمان بن عفان في حاجة , فَكَانَ عُثْمَانُ لاَ يَلْتَفِتُ إِلَيْهِ , وَلاَ يَنْظُرُ فِي حَاجَتِهِ , فَلَقِيَ عُثْمَانَ بْنَ حَنِيفٍ , فَشَكَا ذَلِكَ إِلَيْهِ , فَقَالَ لَهُ عُثْمَانُ بْنُ حَنِيفٍ: ائْتِ الْمِيضَأَةَ فَتَوَضَّأْ , ثُمَّ ائْتِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ , ثُمَّ قُلِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّي مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّي تقضي حَاجَتِي , تَذْكُرُ حَاجَتَكَ , ثم رح حَتَّى أَرُوحَ , فَانْطَلَقَ الرَّجُلُ , فَصَنَعَ ذلك , ثُمَّ أَتَى بَابَ عُثْمَانَ بن عفان، فجاء البواب، فأخذ بيده فأدخله على عثمان , فَأَجْلَسَهُ مَعَهُ عَلَى الطِّنْفِسَةِ , فقَالَ له: حَاجَتُكَ؟ فَذَكَرَ له حَاجَتَهُ , فَقَضَاهَا، ثم قَالَ ما فهمت حَاجَتَكَ حَتَّى كَانَ السَّاعَة، وقال انظر مَا كَان لَكَ مِنْ حَاجَةٍ ثُمَّ إِنَّ الرَّجُلَ خَرَجَ مِنْ عِنْدِهِ فَلَقِي عُثْمَانُ بْنُ حُنَيْفٍ، فقال له: جزاك الله خيرًا، ما كان ينظر في حاجتي، ولا يلتفت إلي حتى كلمته، فقال عثمان بن حنيف: ما كلمته ولكني سَمِعْتُ رَسُول الله صَلَّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَاءَه ضَرِيرٌ فَشَكَى إِلَيْهِ ذَهَابَ بَصَرِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَوَ تَصْبِر؟ "، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ وَقَدْ شَقَّ عَلَيَّ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " ائْتِ الْمِيضَأَةَ فَتَوَضَّأْ، ثُمَّ صَلِّ رَكْعَتَيْنِ، ثم قل اللَّهُمَّ أَسْأَلُكَ، وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّي مُحَمَّدٍ، نَبِيَّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ، إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّي، فَيجْلِي لي بَصَرِي، اللَّهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ وَشَفِّعْنِي فِي نَفْسِي "، فقَالَ عُثْمَانُ بْنُ حُنَيْفٍ: فَوَاللَّهِ مَا تَفَرَّقْنَا وَطَالَ بِنَا الْحَدِيثُ حَتَّى دَخَلَ عَلَيْنَا الرَّجُلُ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ ضرر قَطُّ.

Sanad ini sangat lemah karena Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawiy meriwayatkannya dari Ahmad bin Syabib dengan tambahan kisah 'Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, sedangkan beberapa rawi lainnya meriwayat dari Ahmad tanpa kisah tersebut, diantaranya :

Al-‘Abbas bin Faraj Ar-Riyasiy dan Al-Husain bin Yahya Ats-Tsauriy; Keduanya meriwayatkan dari Ahmad bin Syabib tanpa menyebutkan kisah 'Utsman bin ‘Affan.

Diriwayatkan oleh Ibnu As-Suniy dalam kitabnya “’Amalul Yaum wal Lailah” halaman 581 no. 628 :

عن العَبَّاس بن فَرَجٍ الرِّيَاشِيّ، وَالحُسَيْن بْن يَحْيَى الثَّوْرِيّ، قَالَا: ثنا أَحْمَدُ بْنُ شَبِيبِ بْنِ سَعِيدٍ، قَالَ: ثنا أَبِي، عَنْ رَوْحِ بْنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ الْمَدَنِيِّ وَهُوَ الْخَطْمِيُّ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ، عَنْ عَمِّهِ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَجَاءَ إِلَيْهِ رَجُلٌ ضَرِيرٌ، فَشَكَا إِلَيْهِ ذَهَابَ بَصَرِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَلَا تَصْبِرُ» ؟ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَيْسَ لِي قَائِدٌ، وَقَدْ شَقَّ عَلَيَّ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " ايتِ الْمِيضَاةَ فَتَوَضَّأْ، وَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ قُلِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ، وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَا نَبِيَّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ، إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ، فَتُجْلِي عَنْ بَصَرِي، اللَّهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ وَشَفِّعْنِي فِي نَفْسِي " قَالَ عُثْمَانُ: وَمَا تَفَرَّقْنَا، وَلَا طَالَ بِنَا الْحَدِيثُ حَتَّى دَخَلَ الرَّجُلُ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ ضَرِيرًا قَطُّ.

Begitu pula dengan Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Zayd Ash-Shaig, ia meriwayatkan dari Ahmad bin Syabib tanpa menyebutkan kisah 'Utsman bin ‘Affan.

Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitabnya “Al-Mustadrak” 1/707 no. 1930 :

عن أَبي عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّد بن عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ الصَّائِغ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ شَبِيبِ بْنِ سَعِيدٍ الْحَبَطِيُّ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ رَوْحِ بْنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ الْمَدَنِيِّ وَهُوَ الْخَطْمِيُّ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ، عَنْ عَمِّهِ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَاءَهُ رَجُلٌ ضَرِيرٌ، فَشَكَا إِلَيْهِ ذَهَابَ بَصَرِهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَيْسَ لِي قَائِدٌ، وَقَدْ شَقَّ عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " ائْتِ الْمِيضَأَةَ فَتَوَضَّأْ، ثُمَّ صَلِّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ قُلِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ، وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ فَيُجَلِّي لِي عَنْ بَصَرِي، اللَّهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ، وَشَفِّعْنِي فِي نَفْسِي ". قَالَ عُثْمَانُ: فَوَاللَّهِ مَا تَفَرَّقْنَا، وَلَا طَالَ بِنَا الْحَدِيثُ حَتَّى دَخَلَ الرَّجُلُ وَكَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ ضُرٌّ قَطُّ

Al-Hakim rahimahullah mengatakan : Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Imam Bukhari.

2. ‘Aun bin ‘Umarah Al-Bashriy.

Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitabnya “Al-Mustadrak” 1/707 no. 1929 :

عن عَوْن بن عُمَارَةَ البَصْرِيّ، ثنا رَوْحُ بْنُ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ الْخَطْمِيِّ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ، عَنْ عَمِّهِ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ يَرُدُّ اللَّهُ عَلَيَّ بَصَرِي، فَقَالَ لَهُ: «قُلِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ، وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ إِنِّي قَدْ تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي، اللَّهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ، وَشَفِّعْنِي فِي نَفْسِي» ، فَدَعَا بِهَذَا الدُّعَاءِ فَقَامَ وَقَدْ أَبْصَرَ.

Sanad ini hasan li ghairih, karena ‘Aun bin ‘Umarah Abu Muhammad Al-Bashriy[2] (w. 212 H); Periwayatan haditsnya dilemahkan oleh jumhur ulama, akan tetapi riwayatnya ini memiliki penguat sebagaimana pada jalur kedua, ketiga dan keempat. Semuanya menyebutkan hadits ini tanpa kisah 'Utsman bin ‘Affan.

Jalur Kedua 

Dari Hisyam Ad-Dastuwa’iy, dari Abu Ja’far, dari Abi Umamah bin Sahl bin Hunaif.

Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy dalam kitabnya “As-Sunan Al-Kubraa” 9/245 no. 10421 :

عن مُعَاذ بن هِشَامٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ، عَنْ عَمِّهِ: أَنَّ أَعْمَى، أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، ادْعُ اللهَ أَنْ يَكْشِفَ لِي عَنْ بَصَرِي، قَالَ: «أَوْ أَدَعُكَ؟» قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ شَقَّ عَلَيَّ ذَهَابُ بَصَرِي، قَالَ: " فَانْطَلِقْ فَتَوَضَّأْ، ثُمَّ صَلِّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ قُلِ: اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّي مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ أَنْ تَكْشِفَ لِي عَنْ بَصَرِي، شَفِّعْهُ فِيَّ وَشَفِّعْنِي فِي نَفْسِي "، فَرَجَعَ وَقَدْ كَشَفَ لَهُ عَنْ بَصَرِهِ.

Riwayat Hisyam Ad-Dastuwa’iy tidak menyebutkan kisah 'Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.

Jalur Ketiga 

Dari Syu’bah, dari Abi Ja’far, dari Umarah bin Khuzaimah.

Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy dalam kitab Sunan-nya 5/569 no. 3578 :

عن شُعْبَة، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ خُزَيْمَةَ بْنِ ثَابِتٍ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ، أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرَ البَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَنِي قَالَ: «إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ، وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ». قَالَ: فَادْعُهْ، قَالَ: فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ، اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ».

Dari Syu'bah, dari Abu Ja'far, dari 'Umarah bin Khuzaimah bin Tsabit, dari 'Utsman bin Hunaif, 

"Bahwa seorang laki-laki yang buta matanya datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata; "Berdo`alah kepada Allah agar menyembuhkanku." Beliau bersabda: "Jika kamu berkehendak maka saya akan mendo'akanmu, dan jika kamu berkehendak maka bersabarlah, karena hal itu lebih baik bagimu." Laki-laki tersebut berkata; "Berdo`alah (kepada Allah untukku)." 'Utsman bin Hunaif berkata; "Lalu beliau ia memerintahkannya untuk berwudhu, kemudian ia pun membaguskan wudhunya dan berdo'a dengan do'a berikut ini, "Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu, menghadap kepada-Mu dengan (syafa'at) nabi-Mu Muhammad, nabi yang diutus dengan membawa rahmat. Aku telah memohon syafa'atmu kepada Rabb-ku untuk memenuhi kebutuhanku. Ya Allah! Terimalah syafa'atnya untukku."

Imam At-Tirmidzi rahimahullah mengatakan :

هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ أَبِي جَعْفَرٍ وَهُوَ الْخَطْمِيُّ

“Hadits ini hasan shahih gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali melalui jalur ini dari hadits Abi Ja’far yaitu Al-Khathmiy”.

Diriwayatkan juga oleh Al-Hakim dalam kitabnya “Al-Mustadrak” (1/458) no. 1180, dan (1/700) no. 1909, beliau mengatakan hadits ini shahih sesuai dengan syarat Syaikhain.

Riwayat Syu’bah juga tidak menyebutkan kisah 'Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.

Jalur Keempat 

Dari Hammad bin Salamah, dari Abu Ja’far, dari Umarah bin Khuzaimah.

Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy dalam kitabnya “As-Sunan Al-Kubraa” 9/244 no. 10419 :

عن حَمَّادٌ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو جَعْفَرٌ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ خُزَيْمَةَ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ: أَنَّ رَجُلًا، أَعْمَى أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي رَجُلٌ أَعْمَى، فَادْعُ اللهَ أَنْ يَشْفِيَنِي، قَالَ: «بَلْ أَدَعُكَ» قَالَ: ادْعُ اللهَ لِي، مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، قَالَ: " تَوَضَّأْ ثُمَّ صَلِّ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ قُلِ: اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّي مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى اللهِ أَنْ يَقْضِيَ حَاجَتِي، أَوْ حَاجَتِي إِلَى فُلَانٍ، أَوْ حَاجَتِي فِي كَذَا وَكَذَا، اللهُمَّ شَفِّعْ فِيَّ نَبِيِّي، وَشَفِّعْنِي فِي نَفْسِي ".

Riwayat Hammad bin Salamah juga tidak menyebutkan kisah 'Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.

Kesimpulan :

Riwayat yang menyebutkan kisah 'Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu tidak shahih dan sangat lemah (mungkar) karena menyalahi riwayat yang lebih kuat yang tidak menyebutkan kisah tersebut.

Baca penjelasan lengkap hadits ini dalam kitab “At-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu” karya Syaikh Al Albani rahimahullah halaman 68 dan 81.

Wallahu a’lam

Catatan kaki :

[1] Lihat biografi " Syabib bin Sa’id " dalam kitab Al-Kaamil karya Ibnu 'Adiy 5/47, Tahdziib Al-Kamaal karya Al-Mizziy 12/360, Miizaan Al-I'tidaal karya Adz-Dzahabi 2/262, Taqriib At-Tahdziib karya Ibnu Hajar hal. 263.

[2] Lihat biografi " ‘Aun bin ‘Umarah " dalam kitab Adh-Dhu'afaa' Al-Kabiir karya Al-'Uqaily 3/328, Al-Majruhiin karya Ibnu Hibban 2/197, Al-Kaamil 7/102, Adh-Dhu'afaa' karya Abu Nu'aim hal. 124 , Adh-Dhu'afaa' karya Ibnu Al-Jauziy 2/237, Tahdziib Al-Kamaal 22/461, Miizaan Al-I'tidaal karya Adz-Dzahabi 3/306, Taqriib At-Tahdziib hal. 434.

Shalat Khusus pada Malam Nishfu Sya'ban

*Shalat Khusus pada Malam Nishfu Sya'ban*

Al-Hafizh Al-'Iraqi berkata :

حديث صلاة ليلة نصف شعبان حديث باطل

"Hadits shalat malam nishfu Sya'ban adalah hadits yang batil" (Al-Mughni 'an hamlil Asfar, takhjrij ahadits Ihya Ulumiddin, 1/157)

Imam Nawawi berkata :

الصلاة المعروفة بصلاة الرغائب، وهي اثنتا عشرة ركعة بين المغرب والعشاء، ليلة أول جمعة من رجب، وصلاة ليلة النصف من شعبان مائة ركعة، هاتان الصلاتان بدعتان منكرتان، ولا يغتر بذكرهما في كتاب: (قوت القلوب)، و(إحياء علوم الدين)، ولا بالحديث المذكور فيهما، فإن كل ذلك باطل، ولا يغتر ببعض من اشتبه عليه حكمهما من الأئمة فصنف ورقات في استحبابهما، فإنه غالط في ذلك

"Shalat yang dikenal dengan shalat ragaib, yaitu 12 rokaat antara maghrib dan isya pada malam jum'at pertama bulan Rajab, shalat malam nishfu/pertengahan dari Sya'ban 100 rokaat, dua shalat ini adalah bid'ah yang mungkar. Jangan tertipu dengan disebutkannya keduanya dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya Ulumuddin, dan juga jangan tertipu dengan hadits yang disebutkan tentang keduanya, karena semuanya itu adalah batil, dan jangan tertipu dengan sebagian orang yang samar-samar baginya hukum keduanya dari para ulama, ia menulis lembaran-lembaran tentang menganjurkan keduanya, karena sesungguhnya ia keliru dalam hal tersebut." (Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab, 4/56).

(Muhammad Atim)

Jumat, 03 Maret 2023

hadits dhoif minta maaf sebelum ramadhan

بسم الله الرحمن الرحيم

Kebiasan-kebiasaan yang di lakukan semua orang mau shaum Rhomadon,saling minta maaf-maafan ,padahal hadistnya palsu(dhaif).






Berikut redaksi hadis yang keliru dan telah banyak beredar:
“Ketika Rasullullah sedang berkhutbah pada suatu shalat Jum’at (dalam bulan Sya’ban), beliau mengatakan Aamiin sampai tiga kali, dan para sahabat begitu mendengar Rasullullah mengatakan Aamiin, terkejut dan spontan mereka ikut mengatakan Aamiin.

Tetapi para sahabat bingung, kenapa Rasullullah berkata Aamiin sampai tiga kali. Ketika selesai shalat Jumat, para sahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian beliau menjelaskan: “ketika aku sedang berkhutbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik, hai Rasullullah aamiin-kan do’a ku ini,” jawab Rasullullah.
Do’a Malaikat Zibril itu adalah sebagai berikut:

“Ya Allah tolong abaikan shaum umat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:

Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
Tidak berma’afan terlebih dahulu antara suami istri;
Tidak berma’afan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.
Maka Rasulullah pun mengatakan Aamiin sebanyak 3 kali.”
Sementara jika kita lacak hadis yang berkenaan dengan bulan Ramadhan, kita dapatkan teks asli hadis itu sebagai berikut:

عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ ، قَالَ : صَعِدَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمِنْبَرَ ، فَقَالَ : آمِينَ آمِينَ آمِينَ ، فَلَمَّا نَزَلَ قِيلَ لَهُ ، فَقَالَ : أَتَانِي جِبْرِيلُ ، فَقَالَ : رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ أَوْ فَأَبْعَدَهُ اللَّهُ ، قُلْ : آمِينَ ، فَقُلْتُ : آمِينَ ، وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ فَلَمْ يُدْخِلاَهُ الْجَنَّةَ أَوْ فَأَبْعَدَهُ اللَّهُ ، قُلْ : آمِينَ ، قُلْتُ : آمِينَ ، وَرَجُلٌ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ فَأَبْعَدَهُ اللَّهُ ، قُلْ : آمِينَ ، فَقُلْتُ : آمِينَ.

Dari ‘Ammar bin Yasir, ia berkata, “Nabi saw. naik ke atas mimbar kemudian berkata, ‘Aamiin, aamiin, amiin.’ Maka ketika beliau turun dari mimbar, ditanya oleh para sahabat (Kenapa engkau berkata, ‘Aamiin, aamiin, amiin?’) Maka Nabi saw. bersabda, ‘Malaikat Jibril telah datang kepadaku, lalu ia berkata, ‘Celaka seseorang yang masuk bulan Ramadhan tetapi keluar dari bulan Ramadhan tidak diampuni dosanya oleh Allah, atau maka Allah menjauhkannya.’ Katakanlah, ‘Aamiin!’ Maka aku berkata, ‘Aamiin.’ Kemudian Jibril berkata lagi, ‘Celaka seseorang yang mendapatkan kedua orang tuanya masih hidup tetapi justru tidak memasukkan dia ke surga atau maka Allah menjauhkannya.’ Katakanlah, ‘Aamiin!’ Maka kukatakan, ‘Aamiin.’ Kemudian Jibril berkata lagi, ‘Celaka seseorang yang jika disebut nama engkau namun dia tidak bershalawat kepadamu, maka Allah menjauhkannya.’ Katakanlah, ‘Aamiin!’ Maka kukatakan, ‘Aamiin’.” HR. Al-Bazzar. [1]

Hadis di atas diriwayatkan pula dengan redaksi yang berbeda oleh al-Bazzar dari Anas.[2] Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas. [3] Al-Baihaqi dari Jabir. [4] Ath-Thabrani[5] dan al-Baihaqi[6] dari Ka’ab bin ‘Ujrah. Ibnu Hibban[7] dan Abu Ya’la[8] dari Abu Huraerah.

 

Kedudukan Hadis

Kata Syekh al-Albani:

ضَعِيْفٌ جِدًّا

“Sangat dhaif”

Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, dari Ishaq bin Abdullah bin Kaisan, dari ayahnya, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas…

Syekh al-Albani berkata pula, “Menurut saya, ‘Dan sanad ini sangat dhaif, padanya terdapat dua sebab kedaifan:

Pertama, rawi Abdullah bin Kaisan. Dia telah dinilai dhaif oleh para ulama dan tidak ada yang menyatakan tsiqah (kredibel) selain Ibnu Hiban. Namun Ibnu Hiban pun menyatakan bahwa ia yukhti’u (keliru). Karena itu Ibnu Hajar berkata dalam kitab Taqrib at-Tahdzib, “Shaduq yukhti’u katsiran (dia jujur namun banyak salah).”

Kedua, rawi Ishaq putra Abdullah bin Kaisan. Dia sangat dha’if, dan tidak ada seorang pun ulama yang menilainya tsiqah, bahkan al-Bukhari mengatakan, “Dia munkar al-Hadits.”

Meski riwayat ath-Thabrani ini dhaif, namun matan hadis itu shahih karena diriwayatkan melalui jalur periwayatan lain versi Ibnu Hiban, al-Hakim, dan lain-lain dari Ka’ab bin ‘Ujrah.”[9]

Setelah memperhatikan teks asli hadis di atas, kita dapat mengetahui bahwa hadis di atas tidak ada hubungan dengan bermaaf-maafan sebelum shaum Ramadhan. Dengan demikian bermaaf-maafan yang dilakukan secara khusus sebelum shaum Ramadhan tidak sesuai dengan ketentuan syariat dan petunjuk agama.

 

[1] Lihat, Musnad Al-Bazzar, IV:240, No. 1405

[2] Ibid., IV:49, No. 3168

[3] Lihat, Al-Mu’jam al-Kabir, XI:82, No. 11.115

[4] Lihat, Syu’ab al-Iman, III:309, No. 3622

[5] Lihat, Al-Mu’jam al-Kabir, XIX:144, No. 315

[6] Lihat, Syu’ab al-Iman, II:215, No. 1572

[7] Lihat, Shahih Ibnu Hiban, III:188, No. 907

[8] Lihat, Musnad Abu Ya’la, X:328, No. 5922

[9] Lihat, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, Juz 14, hlm. 346-348

BOLEHKAH TIDUR DALAM KEADAAN JUNUB ?

☕☕☕
KOPI SORE




#SH



*BOLEHKAH TIDUR DALAM KEADAAN JUNUB ?*



Untuk menjawab pertanyaan diatas lihat hadits tentang hal ini  sebagai berikut :

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَيَرْقُدُ أَحَدُنَا وَهْوَ جُنُبٌ قَالَ « نَعَمْ إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرْقُدْ وَهُوَ جُنُبٌ »

_Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwa ‘Umar bin Al Khottob pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah salah seorang di antara kami boleh tidur sedangan ia dalam keadaan junub?” Beliau menjawab, “Iya, jika salah seorang di antara kalian junub, hendaklah ia berwudhu lalu tidur._” (HR. Bukhari no. 287 dan Muslim no. 306).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهْوَ جُنُبٌ ، غَسَلَ فَرْجَهُ ، وَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ

_“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa jika dalam keadaan junub dan hendak tidur, beliau mencuci kemaluannya lalu berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat._” (HR. Bukhari no. 288).

‘Aisyah pernah ditanya oleh ‘Abdullah bin Abu Qois mengenai keadaan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,

كَيْفَ كَانَ يَصْنَعُ فِى الْجَنَابَةِ أَكَانَ يَغْتَسِلُ قَبْلَ أَنْ يَنَامَ أَمْ يَنَامُ قَبْلَ أَنْ يَغْتَسِلَ قَالَتْ كُلُّ ذَلِكَ قَدْ كَانَ يَفْعَلُ رُبَّمَا اغْتَسَلَ فَنَامَ وَرُبَّمَا تَوَضَّأَ فَنَامَ. قُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى جَعَلَ فِى الأَمْرِ سَعَةً.

_“Bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika dalam keadaan junub? Apakah beliau mandi sebelum tidur ataukah tidur sebelum mandi?” ‘Aisyah menjawab, “Semua itu pernah dilakukan oleh beliau. Kadang beliau mandi, lalu tidur. Kadang pula beliau wudhu, barulah tidur.” ‘Abdullah bin Abu Qois berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan segala urusan begitu lapang.”_ (HR. Muslim no. 307


Hadits di atas intinya menjelaskan tidak mengapa seseorang tidur dalam keadaan junub, namun disarankan berwudhu terlebih dahulu. (Lihat Syarh ‘Umdatil Ahkam,) 

Namun hadits di atas masih menunjukkan bolehnya orang yang junub tidur walau tidak dengan wudhu. Ketika Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Apakah salah seorang di antara kami boleh tidur sedangan ia dalam keadaan junub?” Beliau lantas menjawab, “Iya.” Ini menunjukkan bahwa wudhu tersebut hanyalah disunnahkan, bukanlah wajib. Karena jawaban Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat berarti boleh tidur dalam keadaan junub (walau tanpa wudhu). 

( Syarh ‘Umdatil Ahkam) 

*Kesimpulan :*

1- Junub lalu mandi sebelum tidur, ini lebih sempurna.

2- Junub dan wudhu terlebih dahulu sebelum tidur, ini yang disunnahkan untuk memperingan junub.

3- Junub dan tanpa wudhu, lalu tidur. Seperti ini masih dibolehkan.

Wallahu a’lam.

KUMPULAN Hadist-Hadist LEMAH DAN PALSU SEPUTAR BULAN Sya’ban

Septyan Widianto

HomepageArtikel Islami
Septyan Widianto in Artikel Islami
*KUMPULAN Hadist-Hadist LEMAH DAN PALSU SEPUTAR BULAN Sya’ban*

Ketika memasuki Bulan Sya’ban, seringkali kita mendapati broadcast message melalui pesan singkat berupa amalan-amalan bulan Sya’ban.

Acapkali dengan broadcast tersebut, memberitahu tentang amalan-amalan yang dapat menghapuskan dosa, dan ganjaran pahala yang begitu besar.

Banyak sekali dari amalan-amalan tersebut membawakan hadist yang belum diketahui kebenarannya untuk meyakinkan pembaca bahwa amalan tersebut dikabarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wassalam.

Daftar Isi sembunyikan
1. Membawakan Hadist Dha’if Berbahaya
2. Hadist-Hadist Dha’if Tentang Bulan Sya’ban
2.1. 1. Hadist Berkaitan Keutamaan Bulan Sya’ban
2.2. 2. Hadist Berkaitan Anjuran Berpuasa di Bulan Sya’ban
2.3. 3. Anjuran Bermaafan Pada Malam Nisfu Sya’ban Agar Diampuni Dosanya
3. Penutup
Membawakan Hadist Dha’if Berbahaya
Dalam broadcast message atau dalam ceramah-ceramah yang berkaitan dengan amalan-amalan khusus di bulan Sya’ban amat berbahaya apabila yang dibawakan adalah hadist dhaif (lemah).

Karena berbohong atas nama Nabi shallallahu alaihi wassalam adalah sebuah perbuatan munkar.

Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersabda:

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ, مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidak seperti berdusta atas nama selainku. Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka sesungguhnya dia telah menyiapkan tempat duduknya di Neraka.” (HR Al-Bukhari no. 1291 dari Al-Mughirah, Muslim dalam Muqaddimatush-shahih no. 4 dari Abu Hurairah dan yang lainnya)

Sehingga, berhati-hatilah apabila mengamalkan ataupun ikut menyebarkan hadist-hadist yang belum diketahui kebenarannya. Karena sangat berbahaya sekali apabila kita berbohong atas nama Nabi shallallahu alaihi wassalam.

Hadist-Hadist Dha’if Tentang Bulan Sya’ban
Dengan banyaknya menyebar amalan-amalan yang berkaitan dengan Bulan Sya’ban, penulis akan mengumpulkan beberapa hadist-hadist dha’if yang populer dibawakan berkaitan dengan Bulan Sya’ban. Semoga kita terhindar dari menyebarkan amalan-amalan yang tidak diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wassalam.

1. Hadist Berkaitan Keutamaan Bulan Sya’ban
فَضْلُ رَجَبَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ الْقُرْآنِ عَلَى سَائِرِ الأَذْكَارِ ، وَفَضْلُ شَعْبَانَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ مُحَمَّدٍ عَلَى سَائِرِ الْأَنْبِيَاءِ ، وَفَضْلُ رَمَضَانَ عَلَى سَائِرِ الشّهُوْرِ كَفَضْلِ اللهِ عَلَى عِبَادِه

“Keutamaan bulan Rajab dari seluruh bulan adalah seperti keutamaan Al-Qur’an dari seluruh dzikir. Keutamaan bulan Sya’ban dari seluruh bulan adalah seperti keutamaan Muhammad dari seluruh nabi. Dan keutamaan bulan Ramadhan dari seluruh bulan adalah seperti keutamaan Allah dibanding dengan hamba-hamba-Nya.” (HR Salafy Al-Hafizh)

Disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Tabyiinul-‘Ajb bimaa Warada fi Fadhli Rajab. Beliau berkata, “Seluruh rijal sanad ini tsiqah kecuali As-Saqathi sesungguhnya dia Aafah. Dan sangat terkenal memalsukan hadits dan mengganti-ganti sanad serta tidak ada seorang pun yang meriwayatkan dengan sanad hadits seperti ini kecuali dia.”

2. Hadist Berkaitan Anjuran Berpuasa di Bulan Sya’ban
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللهَ يَنْزِلُ فِيْهَا لِغُرُوْبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُوْلُ أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلاَ مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْر

“Jika datang malam pertengahan bulan Sya’ban, maka lakukanlah qiyamul lail, dan berpuasalah di siang harinya, karena Allah turun ke langit dunia saat itu pada waktu matahari tenggelam, lalu Allah berfirman, ‘Adakah orang yang minta ampun kepada-Ku, maka Aku akan ampuni dia. Adakah orang yang meminta rezeki kepada-Ku, maka Aku akan memberi rezeki kepadanya. Adakah orang yang diuji, maka Aku akan selamatkan dia, dst…?’ (Allah berfirman tentang hal ini) sampai terbit fajar.” (HR. Ibnu Majah, 1/421; HR. al-Baihaqi dalam Su’abul Iman, 3/378)

Hadits di atas diriwayatkan dari jalur Ibnu Abi Sabrah, dari Ibrahim bin Muhammad, dari Mu’awiyah bin Abdillah bin Ja’far, dari ayahnya, dari Ali bin Abi Thalib, secara marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Hadits dengan redaksi di atas adalah hadits maudhu’ (palsu), karena perawi bernama Ibnu Abi Sabrah statusnya muttaham bil kadzib (tertuduh berdusta), sebagaimana keterangan Ibnu Hajar dalam At-Taqrib. Imam Ahmad dan gurunya (Ibnu Ma’in) berkomentar tentang Ibnu Abi Sabrah, “Dia adalah perawi yang memalsukan hadits.”[ Lihat Silsilah Dha’ifah, no. 2132]

3. Anjuran Bermaafan Pada Malam Nisfu Sya’ban Agar Diampuni Dosanya
Begitu banyak yang membawakan hadist di bawah ini sebagai permulaan untuk meminta maaf.

إن الله ليطلع ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن

“Sesungguhnya Allah melihat pada malam pertengahan Sya’ban. Maka Dia mengampuni semua makhluknya, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.”

Dengan dalil di atas, banyak yang mengirimkan permintaan maaf. Karena khawatir tidak diampuni dosanya karena khawatir masih ada permusuhan. Bagaimana kekuatan hadistnya?

Hadis ini memiliki banyak jalur, diriwayatkan dari beberapa sahabat, diantaranya Abu Musa, Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al-Khusyani, Abu Hurairah, dan Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhum. Hadis dishahihkan oleh Imam Al-Albani dan dimasukkan dalam Silsilah Ahadits Shahihah, no. 1144. Beliau menilai hadis ini sebagai hadis shahih, karena memiliki banyak jalur dan satu sama saling menguatkan. Meskipun ada juga ulama yang menilai hadis ini sebagai hadis lemah, dan bahkan mereka menyimpulkan semua hadis yang menyebutkan tentang keutamaan nisfu syaban sebagai hadis dhaif.

Penutup
Demikianlah hadist-hadist dhaif (lemah) maupun Maudhu (palsu) yang berkaitan dengan bulan Sya’ban.

Bulan Sya’ban adalah salah satu bulan mulia, di mana di dalamnya terdapat banyak kemuliaan. Tetapi berhati-hatilah dalam melakukan amalan-amalan tertentu.

Karena apabila amalan tersebut bukan berasal dari Nabi shallallahu alaihi wassalam, maka akan tertolak. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wassalam:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)

Berada dalam Bulan Sya’ban, mengisyaratkan bahwa kita semakin dekat dengan bulan suci Ramadan. Jadi mari kita tingkatkan lagi semangat kita dalam beribadah agar kita semakin siap untuk menyambut bulan suci Ramadan.

Wallahua’lam.

Artikel: SeptyanWidianto.Web.ID
      
© 2020 SeptyanWidianto.web.id | View Non-AMP Version

shalat malam nisfu syaban

JURNAL PEMUDA PERSIS KAB. BANDUNG

SELASA, 27 JULI 2010
Shalat Nisfu Sya'ban, Taubat dan Shalat Tasbih
Penulis: Bid Dakwah PD Pemuda Persis Kab Bandung

SHALAT PADA MALAM PERTENGAHAN BULAN SYA’BAN
(NISFU SYA’BAN)

Hadits Pertama :

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلاَّلُ ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِي سَبْرَةَ ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ اَبِي طَالِبٍ  قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  : إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا. فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ فِيْهَا لِغُرُوْبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُوْلُ : أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرَ لَهُ! أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ! أَلاَ مُبْتَلًي فَأُعَافِيَهُ! أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا، حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ.

(Berkata Ibnu Majah) : Telah menerangkan kepada kami Al-hasan bin ‘Ali Al-Khollal, telah menerangkan kepada kami Abdurazzaq, telah memberitakan kepada kami Ibnu Abi Sabroh, dari Ibrahim bin Muhammad, dari Mu’awiyah bin Abdillah bin Ja’far, dari ayahnya, dari ‘Ali bin Abi Thalib RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Apabila tiba malam pertengahan bulan Sya’ban maka shalatlah pada malamnya dan saumlah pada siang harinya. Karena Allah ‘azza wajalla turun pada malam tersebut waktu matahari terbenam ke langit dunia. Ia berfirman : “Ingatlah! Adakah yang memohon ampunan pada-Ku, pasti akan Ku-ampuni! Adakah yang meminta rizki, pasti aku memberinya rizki! Adakah yang sedang ditimpa bala, pasti Aku sembuhkan dia! Adakah yang begini dan begini, sampai terbit fajar.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh :
1. Imam Ibnu Majah pada Sunan Ibnu Majah Kitabu Iqomatis solat juz I halaman 438 no.1388
2. Al-Baehaqiy pada Kitab Syu'abul Iman III : 378 no.3822.

Pada sanadnya ada rowi yang bernama Ibnu Abi Sabroh, Abu Bakar bin Abdillah bin Muhammad bin Abi Sabroh.
Imam Ahmad, Ibnu Addi, Ibnu Hibban dan Al-Hakim Abu Abdillah mengatakan : Rowi tersebut suka membuat hadits palsu,berdusta.
Ibnul Madini dan Al-Bukhori berkata : munkarul hadis,
Kata An-Nasaiy : matrukul hadis. (Tahdzibut Tahdzib X : 30 no.8254, Mizanul I'tidal IV : 503 no.10024, Taqribut Tahdzib II : 698)



Hadits Kedua :

عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ  عَنِ النَّبِيِّ  قَالَ : مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ ثَلاَثِيْنَ مَرَّةً، لَمْ يَخْرُجْ حَتَّى يَرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الْجَنَّةِ وَ يَشْفَعُ فِي عَشْرَةٍ مِنْ اَهْلِ بَيْتِهِ كُلُّهُمْ وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ

Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda : “Barang siapa yang shalat pada malam pertengahan bulan Sya’ban 12 raka’at, pada setiap raka’at membaca surat Qulhuwalloohu ahad 30 kali, maka ia tidak akan keluar kecuali melihat tempat duduknya di surga, dan dapat memberi syafa’at pada sepuluh orang dari keluarganya, mereka semuanya pasti masuk surga.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ibnul Jauziy pada Kitab Al-Maudu'at II : 129.
Pada sanadnya terdapat rowi yang bernama Baqiyyah bin Al-Walid bin Sho-id bin Ka'ab yang menerima dari Laits bin Sulem dengan sighotul ada 'an, sedangkan dia itu rowi mudallis,tidak diterima dan tak dapat dijadikan hujjah bila menggunakan sighot 'an
(lihat Tahdzibut Tahdzib I : 495 no.779, Mizanul I'tidal I : 331, Taqribut Tahdzib I : 73)

Tentang Laits bin Abi Sulem bin Zunem, Ibnu Ma'in, Ibnu Uyainah, Ibnu Sa'ad, Al-Juzujaniy, Ya'qub bin Syaibah dan As-Sajiy mendla'ifkannya.
Imam Ahmad, Abu Hatim dan Abu Zur'ah berkata : mudtoribul Hadis,
Kata Ibnu Ma'in : Munkarul hadis. (Tahdzibut Tahdzib VI : 611-614 no.5881, Mizanul I'tidal III : 420 no.6997, Taqribut Tahdzib II : 497)


Hadits Ketiga :

عَنْ عَلِيِّ بْنِ اَبِي طَالِبٍ  قَالَ : رَاَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ  لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ قَامَ فَصَلَّى اَرْبَعَ عَشْرَةَ رَكْعَةً ثُمَّ جَلَسَ بَعْدَ الْفَرَاغِ فَقَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ اَرْبَعَ عَشْرَةَ مَرَّةً، وَ قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ اَرْبَعَ عَشْرَةَ مَرَّةً، وَقُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ اَرْبَعَ عَشْرَةَ مَرَّةً، وَقُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ اَرْبَعَ عَشْرَةَ مَرَّةً، وَآيَةَ الْكُرْسِيِّ مَرَّةً، وَلَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُوْلٌ الآيَةَ، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ صَلاَتِهِ سَأَلْتُ عَمَّا رَأَيْتُ مِنْ صَنِيْعِهِ، فَقَالَ : مَنْ صَنَعَ مِثْلَ الَّذِي رَاَيْتَ كَانَ لَهُ كَعِشْرِيْنَ حِجَّةٍ مَبْرُوْرَةٍ، وَكَصِيَامِ عِشْرِيْنَ سَنَةً مَقْبُوْلَةٍ، فَإِنْ اَصْبَحَ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ صَائِمًا كَانَ كَصِيَامِ سِتِّيْنَ سَنَةً مَاضِيَةً وَسَنَةً مُسْتَقْبِلَةً

Dari Ali bin Abi Thalib RA, ia berkata : Saya melihat Rasulallah SAW pada malam pertengahan Sya’ban melakukan shalat 14 raka’at, lalu beliau duduk setelah selesai. Lalu membaca Ummul Qur’an (Fatihah) 14 kali, Qulhuwalloohu ahad 14 kali, Qul a’udzu birobbil falaq 14 kali, Qul a’udzu birobbinnaas 14 kali, ayat kursi satu kali, ayat “laqod ja-akum risulun”.al-ayat.
Setelah beliau selesai shalatnya, saya bertanya kepadanya apa yang beliau lakukan tadi, lalu tutur beliau:” Barang siapa yang melakukan seperti apa yang kamu lihat tadi, maka baginya pahala seperti 20 kali haji yang mabrur, dan seperti saum selama 20 tahun yang diterima, lalu bila pagi harinya shaum, maka keadannya seperti saum selama 60 tahun yang lalu, dan setahun yang akan datang.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ibnul Jauziy pada Kitab Al-Maudu'at II : 130.
Pada sanadnya ada rowi yang bernama Muhammad bin Muhajir.
Ibnu Hanbal berkata : Rowi tersebut pemalsu hadits. (Al-Maudu'at II : 130)
Demikian juga dikatakan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dan Al-Jauzaqani.
(lihat Lisanul Mizan V : 448 rowi no. 8073)



Hadits Keempat :

عَنْ عَلِيِّ  عَنِ النَّبِيِّ  اَنَّهُ قَالَ : مَنْ صَلَّى مِائَةَ رَكْعَةٍ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ ، يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَ قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ عَشْرَ مَرَّاتٍ. قَالَ النَّبِيُّ  : يَا عَلِيُّ مَا مِنْ عَبْدٍ يُصَلِّي هَذِهِ الصَّلَوَاتِ إِلاَّ قَضَى اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ كُلَّ حَاجَةٍ طَلَبَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ. اَلْحَدِيْثَ.

Dari Ali bin Abi Thalib RA, dari Nabi SAW beliau bersabda : Barang siapa yang shalat 100 raka’at pada malam pertengahan bulan Sya’ban, pada setiap raka’at membaca Fatihah dan Qulhuwalloohu ahad 11 kali, Nabi SAW bersabda : Wahai Ali, tidak ada seorang pun yang melakukan shalat-shalat ini kecuali Allah ‘azza wajalla akan memenuhi segala kebutuhan yang orang tersebut memintanya pada malam itu. Al-hadits.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnul Jauziy pada Kitab Al-Maudu'at II : 127.
Al-Hafiz Ibnu Hajar dan Imam Ad-Dzahabi berkata : Hadis tersebut batil, Ali yang ini (Ali bin Ya'mar As-Samiy) termasuk rowi yang matruk. Mudah-mudahan Alloh mema’afkannya. (Lisanul Mizan IV : 213, Mizanul I'tidal III : 120)





SHALAT TASBIH

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ بِشْرِ بْنِ الْحَكَمِ النَّيْسَابُورِيُّ ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ ، حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ أَبَانَ ، عَنْ عِكْرِمَةَ ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ  قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ: يَا عَبَّاسُ ، يَا عَمَّاهُ ، أَلاَ أُعْطِيكَ! أَلاَ أَمْنَحُكَ! أَلاَ أَحْبُوْكَ! أَلاَ أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ ، قَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ ، خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ ، صَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ ، سِرَّهُ وَعَلاَنِيَتَهُ ، عَشْرَ خِصَالٍ : أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً. فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ الْقِرَاءَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ : سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ، ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ، ثُمَّ تَهْوِي سَاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ، ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ، فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ. إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي عُمُرِكَ مَرَّةً.

(Imam Abu Dawud berkata) : Telah menerangkan kepada kami Abdurrahman bin Bisyr bin Hakam An Naisabury, telah menerangkan kepada kami Musa bin Abdul ‘Aziz, telah menerangkan kepada kami Hakam bin Aban, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda kepada Al ‘Abbas bin Abdul Muthalib: Wahai ‘Abbas, wahai pamanku, tidakkah engkau ingin aku beri ? tidakkah engkau ingin aku anugerahi ? tidakkah engkau ingin aku beri hadiah ? tidakkah engkau ingin aku lakukan bagimu 10 urusan yang bila engkau mengerjakannya, niscaya Allah akan mengampuni dosamu yang awal dan akhirnya, yang telah lama dan yang barunya, yang tidak sengaja maupun yang disengaja, yang kecil maupun yang besar, yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, 10 urusan, yaitu :
Engkau shalat 4 raka’at, pada setiap raka’at engkau baca Al Fatihah dan surat lain. Bila telah selesai bacaan pada ra’at pertama, dalam keadaan sedang berdiri engkau ucapkan :
“Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, dan tiada Tuhan selain Allah, dan Allah Maha Agung” –sebanyak 15 kali-, kemudian ruku’, ketika ruku’ ucapkanlah yang tadi 10 kali, lalu bangkit dari ruku’, ketika itu mengucapkannya 10 kali lalu turun sujud, ketika itu mengucapkannya lagi 10 kali, lalu bangkit dari sujud, ketika itu mengucapkannya lagi 10 kali,lalu sujud lagi dan mengucapkannya lagi 10 kali,lalu bangkit dan mengucapkannya kembali 10 kali. Demikian adalah 75 kali pada setiap raka’at, engkau lakukan 4 raka’at.
Bila engkau mampu, lakukanlah setiap hari, jika tidak, lakukan tiap satu jum’at sekali, jika tidak, lakukan satu bulan sekali, jika tidak, lakukan satu tahun sekali, dan jika tidak mampu juga, lakukanlah sekali seumur hidup.

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud pada Sunan Abu Dawud Kitabu Shalat, bab shalatit tasbih pada juz I hal. 304 hadis no. 1297.
Pada sanadnya ada rowi yang bernama lengkap Musa bin Abdul ‘Aziz Al Yamaniy Al ‘Adaniy, Abu Syu’eb Al Qinbariy.,
Rowi tersebut didla’ifkan oleh Ibnul Madiniy,
As-Sulaimaniy mengatakan : Munkarul hadits.
Ibnu Hajar berkata : Shaduq sayyiul hifzhi (jujur, jelek hapalan).
(Tahdzibut Tahdzib VIII : 410 no. 7270, Taqribut Tahdzib II : 611 no. 7270, Al Mugni fid Dlu’afa II : 685 no. 6508, Mizanul I”tidal IV : 212 no. 8893)

Hadits diatas diriwayatkan juga oleh :
1. Imam Ibnu Majah pada Sunan Ibnu Majah, Kitabu Iqamatis Shalat, bab ma ja-a fi shalati tasbih pada juz I hal. 437 hadits no. 1387
2. Al-Hakim pada Al-Mustadrak I : 428 no. 1222
3. At-Tobroniy pada Al Mu’jamul Kabir IX : 442
4. Al-Baihaqi pada Syu’abul Ieman VII : 91 no. 2944
Dengan sanad sama-sama melalui Musa bin Abdul ‘Aziz diatas.

Hadits tentang Shalat Tasbih juga diriwayatkan oleh :
1. Imam At-Tirmidzi dalam Sunan At-Tirmidzi II : 25 no. 482,
2. At-Tobroniy dalam Al-Mu’jamul Kabir I : 425 no. 980
Pada sanadnya ada rowi yang bernama Musa bin ‘Ubaidah bin Nasyith bin ‘Amr bin Al-Harits Ar-Rabadziy, Abu Abdil ‘Aziz Al-Madaniy.
Rowi tersebut didla’ifkan oleh Ibnu Ma’in, Ibnul Madiniy, At-Tirmidzi, An-Nasaiy, Ya’qub bin Syaibah, Ibnu Qani’ dan Ibnu Hibban.
Imam Ahmad, Abu Hatim dan As-Sajiy berkata : Munkarul hadits.
(Tahdzibut Tahdzib VIII : 411-414 rowi no. 7271)




SHALAT TAUBAT


حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَسْمَاءَ بْنِ الْحَكَمِ الْفَزَارِيِّ قَال : سَمِعْتُ عَلِيًّا يَقُولُ : إِنِّي كُنْتُ رَجُلاً إِذَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللهِ  حَدِيثًا نَفَعَنِي اللهُ مِنْهُ بِمَا شَاءَ أَنْ يَنْفَعَنِي بِهِ ، وَإِذَا حَدَّثَنِي رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ اسْتَحْلَفْتُهُ ، فَإِذَا حَلَفَ لِي صَدَّقْتُهُ. وَإِنَّهُ حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرٍ -وَصَدَقَ أَبُو بَكْرٍ- قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ  يَقُولُ : مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ فَيَتَطَهَّرُ ثُمَّ يُصَلِّي ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللهَ إِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ. ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ{وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ}إِلَى آخِرِ الآيَةِ

(Imam At-Tirmidzi berkata) : Telah menerangkan kepada kami Qutaibah, telah menerangkan kepada kami Abu ‘Awanah, dari ‘Utsman bin Al-Mughirah, dari ‘Ali bin Rabi’ah, dari Asma bin Hakam Al-Fazariy, ia berkata : Saya mendengar ‘Ali berkata : Sesungguhnya keadaanku apabila mendengar hadits dari Rasulullah SAW, Allah memberiku manfaat darinya apa-apa yang ia hendaki untuk memberiku manfaat dengannya, dan bila seseorang dari sahabatnya menerangkan hadits kepadaku aku memintanya sumpah terlebih dulu, jika ia bersumpah maka aku pun membenarkannya. Sesungguhnya Abu Bakar menerangkan kepadaku –dan benarlah Abu Bakar- katanya : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Tiada seorang pun berbuat dosa, lalu ia bersuci, kemudian shalat, kemudian memohon ampunan kepada Allah, kecuali Allah mengampuninya. Lalu beliau membacakan ayat : {“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah - Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. 3:135)}

Hadits tersebut diriwayatkan oleh :
1. At-Tirmidzi dalam Sunan At-Tirmidzi pada Kitabut Tafsir V : 10 no. 3017
2. Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud pada Kitabu Shalat I : 352 no. 1521
3. An-Nasaiy pada As-Sunanul Kubronya VI : 110 no.10250
4. Ibnu Majah pada Sunan Ibni Majah dalam Kitabu Iqamati Shalat I : 440 no.1395
5. Ahmad dalam Musnadnya pada Musnad Abi Bakar no. 2
6. Al-Humaidi dalam Musnadnya no. 1
7. At-Toyalisiy dalam Musnadnya no. 2
8. Ibnu Hibban dalam Shahihnya II : 8 no. 622

Pada semua sanadnya ada rowi yang bernama Asma bin Al-Hakam Al-Fazaariy.
Rowi ini walaupun ditsiqatkan oleh Al-‘Ijliy, tetapi Ibnu Hibban berkata dalam At-Tsiqatnya bahwa rowi tersebut suka salah (yukhti-u). Dan Al-Bukhari memandang munkar hadits ini.
Al-‘Uqailliy mengatakan bahwa hadits ini tafarrud ‘Utsman bin Al-Mughirah dari ‘Ali bin Rabi’ah dari Asma dan kata beliau : Sesungguhnya ‘Utsman munkarul hadits. Dan Ibnul Jarud menyebutnya diantara rowi-rowi dla’if
(Tahdzibut Tahdzib I : 285 no. 441, Mizanul I’tidal I : 255 no. 979)
Jurnal Pemuda Persis Kab. Bandung di 08.25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beranda
Lihat versi web
ABOUT ME
Jurnal Pemuda Persis Kab. Bandung
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.

ayat untuk berusaha mencari rizki dan karunia alloh

Mangga bu

Surat Al-Jumu’ah Ayat 10

فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

hadits tentang jodoh rizki sudah ditentukan

Wa'alaikum salam... 
Mangga ini haditsnya

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ   ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ  الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا. [رواه البخاري ومسلم].

Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radiallahuanhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam  menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan: Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara: menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan celaka atau bahagianya. Demi Allah yang tidak ada ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli syurga hingga jarak antara dirinya dan syurga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli syurga maka masuklah dia ke dalam syurga. (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Minggu, 26 Februari 2023

doa bayi yang baru lahir dan hadits tentang aqiqah

Mangga ini haditsnya

وَعَنْ سَمُرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ, تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ, وَيُحْلَقُ, وَيُسَمَّى ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيّ

Dari Samurah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya; ia disembelih hari ketujuh (dari kelahirannya), dicukur, dan diberi nama." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi.

Ini do'anya

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّآمَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَآمَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَآمَّةٍ

 "Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah dari segala setan, kesusahan, dan pandangan yang jahat."

ayat tentang pendengaran, penglihatan hati akan diminta pertanggungjawaban

Surat Al-Isra Ayat 36

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

Sabtu, 25 Februari 2023

zakat tijaroh

وَعَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رضي الله عنه قَالَ: ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُنَا; أَنْ نُخْرِجَ اَلصَّدَقَةَ مِنَ اَلَّذِي نَعُدُّهُ لِلْبَيْعِ )  رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَإِسْنَادُهُ لَيِّن ٌ

Samurah Ibnu Jundab Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kami agar mengeluarkan zakat dari harta yang kita siapkan untuk berjualan. Riwayat Abu Dawud dan sanadnya lemah.

Berdasarkan hadits ini mengeluarkan zakat tijaroh setiap kali belanja, untuk teknisnya boleh perpekan, bulanan atau tahunan

Amalan-amalan sunah pada bulan sya'ban

Wa'alaikum salam... 
Amalan-amalan sunah pada bulan sya'ban:
1. Memperbanyak shoum sunah, senin-kamis,  ayyamul bidh, atau shoum daud 

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ, وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ, وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اِسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ, وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ

'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam biasa shaum sehingga kami menyangka beliau tidak akan berbuka dan beliau berbuka sehingga kami menyangka beliau tidak akan shaum. Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau shaum dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan Sya'ban. Muttafaq Alaihi.
2. Memperbanyak amal solih lainnya 
3. Memperbanyak taubat kepada Alloh, agar dosa itu tidak menjadi beban berat yang menghalangi semangat ibadah kepada Alloh

shaum syaban

Mangga ini haditsnya

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ, وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ, وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اِسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ, وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ

'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam biasa shaum sehingga kami menyangka beliau tidak akan berbuka dan beliau berbuka sehingga kami menyangka beliau tidak akan shaum. Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau shaum dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan Sya'ban. Muttafaq Alaihi.

Dengan hadits ini menerangkan bahwasanya Rosululloh saw memperbanyak melakukan shoum sunah di bulan sya'ban tetapi tidak full satu bulan, terkadang beliau shoum terkadang tidak, dan tidak diterangkan berapa hari beliau shoum. Adapun tujuan memperbanyak shoum pada bulan sya'ban itu:
1. Karena bulan sya'ban bulan diangkatnya amal, dilaporkan kepada Alloh
2. Shoum sya'ban sebagai shoum sunah yang menyertai shoum romadhon, seperti sholat rowatib ada qobla dan ba'da. Shoum sya'ban rowatib qobla romadhon dan shoum syawal rowatib ba'da romadhon
3. Sebagai upaya latihan untuk mempersiapkan diri melaksanakan shoum romadhon 

Nabi Saw shaum d bulan syaban sebagaimana shaum² sunnah yg sudah d tetapkan d bulan lainnya, seperti senin kamis, ayyamul bidh dll.

Jadi bukan shaum sya'ban, tapi shaum sunnah di bulan sya'ban.

Walloohu 'alam


dua hal yang harus menjadi landasan dalam melaksanakan agama

Wa'alaikum salam... 
Ada dua hal yang harus menjadi landasan dalam melaksanakan agama
1. Niat yang ikhlas
2. Mengikuti sunah rosul 

Kalaupun niatnya baik, tetapi tidak mengikuti sunah, maka tertolak tidak jadi ibadah. 
Maka tidak boleh menghadiri acara2 yang tidak disyariatkan

AMALAN DI BULAN SYA’BANYANG SESUAI DENGAN SYARIAT NABI SAW

AMALAN DI BULAN SYA’BAN
YANG SESUAI DENGAN SYARIAT NABI SAW
Oleh Dr. Nashruddin Syarif, M.Pdi

Banyak sekali hadits yang menganjurkan amal-amal ibadah sunat pada bulan Sya’ban secara umum. Hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan Nishfu Sya’ban secara khusus pun memang ada. Tetapi tidak kemudian harus menyambutnya dengan membuat syari’at shalat dan shaum baru di luar yang sudah disyari’atkan.

Tidak dinafikan bahwa umat Islam hari ini masih abai dengan amal-amal ibadah sunat yang Nabi saw anjurkan di bulan Sya’ban disebabkan beberapa alasan: 

Pertama,
Karena tidak paham akan keberadaan hadits-hadits yang menganjurkannya.

Kedua,
Paham terhadap hadits-hadits tersebut, tetapi memang tidak mampu, sehingga tidak mengamalkannya dan berat juga untuk menganjurkannya.

Ketiga,
Terjebak pada pemahaman sempit bahwa Sya’ban itu hanya mulia di Nishfu Sya’ban (pertengahan Sya’ban)-nya saja.

Dari ketiga alasan di atas, memang tidak ada yang sampai berdosa jika motifnya karena tidak tahu atau tidak mampu, sebab anjuran Nabi saw dalam amal-amal ibadah khusus di bulan Sya’ban ini sifatnya sebatas anjuran atau sunat, tidak ada yang wajib. Baik ‘tidak tahu’ atau ‘tidak mampu’ kedua-duanya masuk kategori la yukalliful-‘llah nafsan illa wus’aha; Allah tidak akan membebani setiap jiwa kecuali berdasarkan kemampuan (termasuk pengetahuan) maksimalnya. Hanya jika kemudian itu sampai menyebabkan ‘mematikan sunnah’ tentu ini lain lagi persoalannya. Persoalan ‘mematikan sunnah’ bisa mendorong pada ‘ketidakcintaan pada sunnah Nabi saw’ yang diancam oleh Nabi saw dengan sabdanya:

فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Siapa yang tidak mencintai sunnahku, maka ia bukan dari golonganku”.
(Shahih al-Bukhari kitab an-nikah bab at-targhib fin-nikah no. 5063).
Tentunya setiap pengkaji ilmu mempunyai tanggung jawab khusus dalam hal keilmuan, untuk tetap mengajarkannya sebagai ilmu, terlepas dari keterbatasan yang dimiliki oleh masing-masing individunya yang dapat ditoleransi berdasarkan firman Allah swt: la yukalliful-‘Llah nafsan illa wus’aha.
 

Nishfu Sya’ban

Perhatian umat Islam mayoritas yang lebih tertuju pada Nishfu Sya’ban/pertengahan Sya’ban, dan itu biasanya diberlakukan pada tanggal 15 Sya’ban, memang tidak terlepas dari hadits-hadits yang menjelaskan fadlilah/keutamaannya secara khusus. Dua muhaddits kontemporer, Syaikh Syu’aib al-Arnauth dan al-Albani, menilai hadits-hadits tersebut shahih atau hasan bi syawahidihi; shahih atau hasan karena banyak sanad yang menguatkannya. 
Penilaian seperti itu dalam istilah lainnya adalah shahih/hasan li ghairihi; shahih/hasan bukan karena sanad-sanadnya memang shahih/hasan secara sendirinya, melainkan justru sanad-sanad yang dimaksud tidak terlepas dari kedla’ifan. Akan tetapi karena dla’if-nya tidak ada yang sampai munkar atau terindikasi/terbukti sebagai pemalsuan hadits, maka secara otomatis kesemua sanadnya saling menguatkan, berdasarkan satu kaidah yang sudah disepakati oleh para ulama:

اَلْأَحَادِيْثُ الضَّعِيْفَةُ يُقَوِّيْ بَعْضُهَا بَعْضًا

“Hadits-hadits dla’if satu sama lain saling menguatkan”

Dengan catatan apabila dla’if tersebut dari segi dlabth (hafalan) dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an atau hadits lain yang shahih. Adapun jika dla’ifnya itu dari segi ‘adalah (adil) seperti kadzdzab (pendusta), yadla’ul-hadits (memalsukan hadits), fisqur-rawi atau “tertuduh dusta” maka kaidah tersebut tidak dipakai 
(Thuruqul-Istinbath Dewan Hisbah bagian Beristidlal dengan Hadits no. 2).

Syaikh Syu’aib al-Arnauth

diketahui menilai hadits ini shahih bi syawahidihi dalam takhrijnya terhadap beberapa kitab hadits seperti Shahih Ibn Hibban, Musnad Ahmad, Sunan Ibn Majah, dan Sunan at-Tirmidzi. Berikut disajikan analisa beliau terhadap hadits fadlilah nishfu Sya’ban yang diriwayatkan dalam Shahih Ibn Hibban:

ذِكْرُ مَغْفِرَةِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ لِمَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ إِلَّا مَنْ أَشْرَكَ بِهِ أَوْ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ

 أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُعَافَى الْعَابِدُ بِصَيْدَا وَابْنُ قُتَيْبَةَ وَغَيْرُهُ قَالُوا: حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْرَقُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو خُلَيْدٍ عُتْبَةُ بْنُ حَمَّادٍ، عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، وَابْنِ ثَوْبَانَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ مَالِكِ بْنِ يُخَامِرَ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: يَطْلُعُ اللهُ إِلَى خَلْقِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

Bab: Riwayat tentang Ampunan Allah jalla wa ‘ala pada Malam Nishfu Sya’ban bagi Orang Yang Dikehendaki oleh-Nya selain Orang Yang Musyrik kepada-Nya atau Orang Yang Memiliki Dendam Permusuhan dengan Saudaranya.

Ibn Hibban berkata

Muhammad ibn al-Mu’afa seorang ahli ibadah di Shaida, Ibn Qutaibah, dan yang lainnya mengajarkan hadits kepada kami, mereka berkata:  Hisyam ibn Khalid al-Azraq mengajarkan hadits kepada kami, ia berkata: Abu Khulaid ‘Utaibah ibn Hammad mengajarkan hadits kepada kami, dari al-Auza’i, dari Ibn Tsauban, dari bapaknya, dari Makhul, dari Malik ibn Yukhamir, dari Mu’adz ibn Jabal, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Allah turun kepada makhluqnya pada malam pertengahan Sya’ban, lalu Dia mengampuni semua makhluqnya kecuali orang musyrik atau yang memusuhi.” 
(Shahih Ibn Hibban kitab al-hazhr wal-ibahah)

Syu’aib al-Arnauth menjelaskan:

حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ بِشَوَاهِدِهِ، رِجَالُهُ ثِقَاتٌ إِلاَّ أَنَّ فِيْهِ انْقِطَاعاً، مَكْحُوْلٌ لَمْ يَلْقَ مَالِكَ بْنَ يُخَامِرَ. وأخرجه ابن أبي عاصم في “السنة” (512) والطبراني في “الكبير” 20/ (215) عن هشام بن خالد بهذا الإسناد. وذكره الهيثمي في “المجمع” 8/65 وقال: رواه الطبراني في “الكبير” و”الأوسط” ورجالهما ثقات. وأخرجه أبو نعيم في “الحلية” 5/191 من طريق أزهر بن المرزبان، عن عتبة بن حماد، به.

Hadits shahih berkat syawahidnya. Rawi-rawinya tsiqat kecuali ada keterputusan sanad. Makhul tidak pernah bertemu Malik ibn Yukhamir. Ibn Abi ‘Ashim meriwayatkannya dalam kitab as-Sunnah (512) dan at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jamul-Kabir 20/215 dari Hisyam ibn Khalid dengan sanad seperti ini. al-Haitsami menyebutkannya dalam kitab Majma’uz-Zawa`id 8/65 dan berkata: “at-Thabrani meriwayatkannya dalam al-Mu’jamul-Kabir dan al-Mu’jamul-Ausath, rawi-rawinya tsiqat.” Abu Nu’aim meriwayatkannya dalam Hilyatul-Auliya` 5/191 dari sanad Azhar ibn al-Marzaban, dari ‘Utbah ibn Hammad, dengan sanad yang sama (dari al-Auza’i, dari Ibn Tsauban, dari bapaknya, dari Makhul, dari Malik ibn Yukhamir, dari Mu’adz ibn Jabal, dari Nabi saw)


Dalam bab ini ada juga hadits dari: Abu Musa al-Asy’ari riwayat Ibn Majah (1390), Ibn ‘Ashim (510) dan al-Lalika`i (763); hadits Abu Hurairah riwayat al-Bazzar (2046); hadits Abu Tsa’labah riwayat Ibn Abi ‘Ashim (511) dan al-Lalika`i (760); hadits Abu Bakar riwayat al-Bazzar (2045), Ibn Khuzaimah dalam kitab al-Wahid hlm. 90, Ibn Abi ‘Ashim (509) dan al-Lalika`i dalam kitab as-Sunnah (750); hadits ‘Auf ibn Malik riwayat al-Bazzar (2048); hadits ‘Abdullah ibn ‘Amr riwayat Ahmad 2/176; hadits ‘Aisyah riwayat at-Tirmidzi (739), Ahmad 6 : 238, Ibn Majah (1389) dan al-Lalika`i (764). Hadits-hadits penguat (syawahid) ini meskipun masing-masingnya ada masalah tetapi menguatkan hadits (Mu’adz) bab ini.

Uraian di atas menginformasikan bahwa hadits fadlilah nishfu Sya’ban tersebut diriwayatkan dari delapan shahabat; Mu’adz ibn Jabal, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Tsa’labah, Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Auf ibn Malik, ‘Abdullah ibn ‘Amr, dan ‘Aisyah. Kedelapan sanad tersebut tidak ada satu pun yang luput dari cacat. Tetapi cacat tersebut bukan cacat yang parah, sehingga bisa saling menguatkan dan menjadi shahih.

BERSAMBUNG

Tanya masalah kedudukan waqof dalam Al-Quran?

 TANYA :

Bagaimana kedudukan waqof dalam Al-Qur'an. apakah hukumnya wajib diikuti?
bagaimana kalo kondisi di baca ketika sholat?

JAWAB :
Waqof artinya berhenti, maksudnya seperti dijelaskan ulama tajwid,
قطع الصوت على آخر الكلمة زمنًا ما، أو هو قطع الكلمة عما بعدها زمنًا يتنفس فيه القارئ - عادة - بنيَّة استئناف القراءة؛ إما بأن يستأنف بما يلي الكلمةَ الموقوف عليها، أو بما قبلها، أو بها، لا بنية الإعراض عن القراءة
_Memutus/menghentikan suara sesaat diakhir kalimat atau memisahkan kalimat yang dibaca dengan kalimat setelahnya sesaat (untuk) si qari mengambil nafas biasanya, dengan niyat memulai lagi bacaan, baik pada kalimat setelahnya, kalimat sebelumnya atau kalimat yang dia berhenti padanya, bukan niyat untuk berpaling dari bacaan._

waqaf ini biasanya diujung ayat bisa juga ditengahnya yang jelas bukan ditengah kalimat. Dan ditandai dengan bernafas, jika tidak bernafas dinilai bukan waqaf tetapi sukut/diam saja.

perlu dimaklumi bahwa tanda-tanda waqaf yang terdapat pada ayat al Qur'an dibubuhkan oleh para ulama saja bukan bagian dari ayat qur'an sendiri. dan hakikatnya itu bersifat ijtihadiyyah. para ulama sepakat menghukumi berhenti pada tanda-tanda waqaf hukumnya hanya sunnah, berdasarkan hadits berikut,
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ يَقُولُ { الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ } ثُمَّ يَقِفُ { الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ } ثُمَّ يَقِفُ وَكَانَ يَقْرَؤُهَا { مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ }
Dari Ummu Salamah ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa memotong bacaan beliau, beliau membaca: AL HAMDULILLAAHI RABBIL 'AALAMIIN, kemudian beliau berhenti, ARRAHMAANIRRaHIIM, kemudian beliau berhenti, lalu beliau membaca MAALIKI YAUMIDDIIN." (HR. Tirmidzi 2851)

Artinya jika tidak berhenti dan berlanjut saja dalam bacaan, maka tidaklah haram, makruh dan tidak dosa. Ini baik dalam salat maupun diluar salat. Demikian pula sama tidak berdosa berhenti bukan pada tanda waqaf dengan syarat tidak sengaja untuk mengaburkan makna ayat. Imam Ibnul Jazarii rahimahullah berkata:
وليس في القرآن من وقف يجبْ    ولا حرام غير ما له سبب
_Tiada dalam al Qur'an dari waqaf yang menjadi wajib atau haram selain yang memiliki sebab._

Beliau juga berkata:
 إِنَّمَا يُرِيدُونَ بِهِ الْجَوَازَ الْأَدَائِيَّ، وَهُوَ الَّذِي يَحْسُنُ فِي الْقِرَاءَةِ وَيَرُوقُ فِي التِّلَاوَةِ، وَلَا يُرِيدُونَ بِذَلِكَ أَنَّهُ حَرَامٌ وَلَا مَكْرُوهٌ، اللَّهُمَّ إِلَّا أَنْ يَقْصِدَ بِذَلِكَ تَحْرِيفَ الْقُرْآنِ وَخِلَافَ الْمَعْنَى الَّذِي أَرَادَهُ اللَّهُ، فَإِنَّهُ يَكْفُرُ فَضْلًا عَنْ أَنْ يَأْثَمَ
_Sesungguhnya mereka maksudkan boleh secara pelaksanaan yang membuat bagus bacaan dan elok dalam tilawah dan tidak mereka maksudkan bahwa hal itu haram atau makruh, kecuali dimaksudkan dengan hal itu untuk merubah al Qur'an dan menyelisihi makna yang dikehendaki oleh Allah. Itu tidak sekedar doa melainkan bisa jadi kufur._ (dikutip al Suyuthi dalam al Itqan)

Kesimpulan
Mengikuti tanda waqaf dalam al Qur'an hukumnya sunnah, Dan tidak haram/makruh jika diwashalkan kecuali ada niyat-an merubah ayat atau menyamarkan maknanya.

Allahu A'lam
Ust. Ismail Hasyim Al-Fasiry

Hukum bagi perempuan yang sedang haid menyentuh dan membaca mushaf al-Quran?

 Tanya :

Bagaimana hukum nya bagi perempuan yang sedang haid menyentuh dan membaca mushaf al-Quran?

Jawaban :
Pertama, tidak ada dalil yang sahih dan sarih yang melarang orang yang berhadas untuk menyentuh dan membaca al-Quran atau menjadikan bersih dari hadas sebagai syarat membaca al-Quran.
Kedua, karena tidak ada dalil yang sarih dan sarih, maka Kembali kepada hukum asal yaitu orang yang berhadas boleh menyentuh dan membaca al-Quran.
Ketiga, perhatikan hadis berikut tentang keutamaan membaca al-Quran
عَبْدَ اللهِ بْنَ مَسْعُودٍ ، يَقُولُ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا ، لاَ أَقُولُ الْم حَرْفٌ ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
Aku mendengar Abdullah bin Mas'ud berkata; Rasulullah ﷺ bersabda: "Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah (Al Quran), maka baginya satu pahala kebaikan dan satu pahala kebaikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali, aku tidak mengatakan ALIF LAAM MIIM itu satu huruf, akan tetapi ALIF satu huruf, LAAM satu huruf dan MIIM satu huruf." (HR. Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, 5/25)
Dalam hadis diatas menggunakan kalimat “man” yang artinya barangsiapa yang mencakup umum, siappun yang membaca al-Quran, tanpa dibatasi apakah dia berhadas atau tidak, baik hadas besar ataupun hadasa kecil.
Keempat, Rasululah pernah mengirim surat kepada Hiraklius melalui sahabat Dihya, lengkapnya sebagai berikut :
فَدَفَعَهُ إِلَى هِرَقْلَ فَقَرَأَهُ فَإِذَا فِيهِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ سَلَامٌ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ {وَيَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لَا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ}
Maka diberikannya surat itu kepada Heraklius, maka dibacanya dan isinya berbunyi: Bismillahir rahmanir rahim. Dari Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya untuk Heraklius. Penguasa Romawi, Keselamatan bagi siapa yang Kemudian daripada itu, aku mengajakmu dengan seruan Islam; masuk Islamlah kamu, maka kamu akan selamat, Allah akan memberi pahala kepadamu dua kali. Namun jika kamu berpaling, maka kamu menanggung dosa rakyat kamu, dan: Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah) (HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, 1/9)
Dalam surat tersebut Rasulullah Saw, ada sebuah ayat yaitu surat Ali Imran ayat 64,  yang berisi seruan untuk masuk Islam yang ditujukan kepada Heraklius raja Romawi ketika itu. Heraklius dan pasukannya pasti dalam keadaan kafir yang tidak terlepas dari hadas kecil maupun besar. Surat tersebut pasti disentuh dan dibaca oleh Heraklius atau pengikutnya yang kafir. Sekiranya orang yang berhadas itu terlarang untuk menyentuh dan membaca al-Quran, tentu RAsulullah Saw tidak berkirim surat yang didalamnya ada ayat al-Quran tersebut.
Kesimpulan, orang yang berhadas, baik hadas besar, termasuk di dalamnya orang yang haid, maupun hadasa kecil, boleh menyentuh  dan membaca mushaf al-Quran. 

By Ginanjar Nugraha

banyak niat dalam satu ibadah bolehkah?

 Ada dua termin yg harus kita fahami: 


1. ibadah yg maqsudah li dzatiha, artinya keberadaan ibadah merupakan tujuan utama disyariatkannya ibadah tersebut. Sehingga ibadah ini harus ada secara khusus. Semua ibadah wajib, shalat wajib, puasa wajib, dst, masuk jenis pertama ini.

Termasuk juga ibadah yang disyariatkan secara khusus, seperti shalat witir, shalat dhuha, dst.

Termasuk jenis ibadah ini adalah ibadah yang menjadi tabi’ (pengiring) ibadah yang lain. Seperti shalat rawatib. Dan sebagian ulama memasukkan puasa 6 hari bulan syawal termasuk dalam kategori ini.

2. kebalikan dari yang pertama, ibadah yang laisa maqsudah li dzatiha, artinya keberadaan ibadah itu bukan merupakan tujuan utama disyariatkannya ibadah tersebut. Tujuan utamanya adalah yang penting amalan itu ada di kesempatan tersebut, apapun bentuknya.

Satu-satunya cara untuk bisa mengetahui apakah ibadah ini termasuk maqsudah li dzatiha ataukah laisa maqsudah li dzatiha, adalah dengan memahami latar belakang dari dalil masing-masing ibadah.

Dalam hal penggabungan niat, para ulama berbeda pendapat: 
1. Ada yg membolehkan
Jika sifatnya sama namun terminnya berbeda, seperti yg maqsudah lidzatiha dan yg bukan maqsudah lidzatiha

2. Ada yg tdk membolehkan Jika sifatnya aaqsudah lidzatiha dgn maqsudah lidzatiha

Hemat kami, terkait niat itu hukumnya wajib

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (Muttafaq ’alaih)

Dan niat d cukupkan dgn 1 Niat 1 pekerjaan pada ibadah yg bersifat maqsudah lidzatihaa, dgn demikian, di saat kita shaum syawal, tetapkanlah niat shaum syawal, terkait pahala insya Allah akan mendapatkan pahala tambahan jika bertepatan pada hari senin kamis atau ayyamul bidh

Zakat Maskawin dari siapa?

 Assalamualaikum, izin bertanya ustadz, Kl zakat untuk emas (mas kawin) yg bayarnya dari pihak perempuan atau pria? Hatur nuhun 🙏🏻

Dimusyawarahkan saja. Pokoknya harus dibayar zakatnya kalau perhiasan sebelum dipakai.
Nash syarief

jual makan minum sepuasnya bayar seikhlasnya? (all you can eat)

 Bismillaah. Ustadz izin bertanya, apakah diperbolehkan berjualan makanan atau minuman dengan cara mempersilahkan makan atau minum sepuasnya(sekehendak konsumen) tapi bayar se ikhlasnya. Dengan tujuan untuk bersedekah, dan hasil uang yang terkumpul dipergunakan untuk memanjangkan usaha(sedekahnya) agar bisa berjalan terus! Haturnuhun. Jazzaakallaahu khairan. 🙏🏻🙏🏻🙏🏻

Setahu saya tidak ada yang melarang dan masih termasuk _'an taradlin_ (saling ridla) yg jadi unsur kehalalan suatu transaksi perdagangan. Hanya memang sementara ini akal saya masih susah memahami bagaimana perdagangan semacam itu bisa bertahan 😇
NS.

Rangkuman tanya jawab kajian Dialog Islam subuh bersama Ust Anshorudin Ramdhani, Selasa, 2 Juni 2020

 Rangkuman tanya jawab kajian Dialog Islam subuh bersama Ust Anshorudin Ramdhani, Selasa, 2 Juni 2020



*Tanya*
Kalau saya memisahkan diri sholat berjamaah dari yg renggang, apakah saya hrs menunggu selesai sholat mrk atau bisa berbarengan namun beda tempat?
*Jawab*
Pernah terjd pd zaman Rasulullah, ada sahabat yg memisahkan diri krn imamnya terlalu panjang bacaannya. 

Bisa menunggu setelah mrk selesai sholat berjamaah dan melakukan sholat munfarid. 

*Tanya*
Betulkah Al Qur'an dpt memberi syafaat,, maksudnya bgmn ?
*Jawab*
Memberi syafaat dlm pengertian dpt membantu menambal kekurangan2 dari amalan sholeh yg kita lakukan. 
Tadarus, mendengarkan dan kajian Al Qur'an, meski hanya menyimak dpt menambah amal sholeh. 

*Tanya*
 Ada Imam maju mundur,  maksudnya kalau mau  ruku maju selangkah,  terus kalau mau sujud mundur.  Bgmn, mohon   penjelasannya.
*Jawab*
Tdk mengapa.
Mngkn imam tsb sdng mencari posisi tumaninahnya, sehingga mengubah posisinya. 

*Tanya*
Bagaimana saya harus memilih, masjid di lingkungan saya buka namun jarak antara ma'mum diatur, saya shalat harian dirumah dan hari jum'at dhuhur dirumah atau ikut ma'mum di masjid dgn kondisi seperti itu?
*Jawab*
Sebaiknya sholat munfarid di masjid ataupun di rmh drpd sholat berjamaah tp kaifiyat sholatnya dirusak.

*Tanya*
Bila tahun ini tdk ada ibadah haji, apakah penyembelihan hadyu msh tetap ada disini?
*Jawab*
Penyembelihan hadyu khusus utk jamaah haji disana, kalau tdk melaksanakan haji tdk ada hadyu, sdngkn yg tdk melaksanakan haji dpt melaksanakan penyembelihan hewan qurban dan dibagikan. 

*Tanya*
Mertua saya sakit dirawat di rmh sakit, saya gantian merawatnya. Amalan apa yg bisa saya lakukan dan bisa jd amal sholeh?
*Jawab*
Amalan yg dpt kita lakukan adalah berdoa dan disela2 menunggu yg sakit bisa diisi dgn membaca Qur'an.


*Tanya*
Saya makan bareng bersama ortu dan suami,, yg hrs saya ladeni lbh dulu siapa?
*Jawab*
Lakukan dgn situasi dan kondisi,, krn suatu saat akan mendahulukan ortu dan disaat lain akan mendahulukan suami. 

*Tanya*
Anak saya sdng hamil 4 bulan,, saya tdk ingin mengadakan acara 4 bulanan. Apa yg sebaiknya saya lakukan?
*Tanya*
Sholat wajib tepat waktu,, tahajud, tambah durasi bacaan Qur'an, periksakan kehamilan scr rutin,, jaga kondisi dan kestabilan lahir batin,, makan teratur dgn asupan gizi seimbang.

*Tanya*
Bila kita sedang safar menunaikan Umroh atau Haji apakah dalam menunaikan sholat qiyamul lail nya sebaiknya di kerjakan ditempat menginap atau di Masjid. 
*Jawab*
Boleh dua2nya,, kalau di tempat menginap tdk kondusif suasananya sehingha kekhusyuan sholat tdk terjaga, sebaiknya sholat qiyamul lailnya di masjid. Tdk mengapa melaksanakan sholat tahajud di masjid, yg tdk ada dalilnya adalah sholat tahajud berjamaah di masjid.

*Tanya*
Sekarang  ini di Fb sedang ramai mengedit wajah sendiri dgn aplikasi Face App agar tampil cantik dan kelihatan muda bahkan kelihatan jauh lebih muda daripada aslinya dan diposting secara masif. Hukumnya gimana?.
*Jawab*
Hukumnya mubah (boleh) krn itu hanya bersifat hiburan, tp yg jauh lbh penting adalah mempercantik akhlak. 

*Tanya*
Kalau sholat jumat di semua masjid sdh direnggangkan shafnya,, apakah kita hrs kembali pd sholat dhuhur?
*Jawab*
Jika kita sdh berusaha mencari masjid yg tdk direnggangkan shafnya dan berusaha utk melaksanakan sholat jumat di rmh, tp ternyata tdk bisa, maka boleh kembali ke sholat dhuhur. 

*Tanya*
Sempurnakah sholat seseorng dgn melewati bacaan basmalah atau tdk dibaca. Imam tdk membaca basmalah tp langsung membaca alhamdulillah.
*Jawab*
Kalau memang itu sebagai penghapusan sebagian ayat Al Qur'an, jelas berdosa. Namun jika bkn tdk membaca akan tetapi disirkan, krn tdk sdkt imam yg tdk menzaharkan bacaan bismillahnya alias bacaan basmallahnya disirkan, hanya terlihat bibirnya saja yg bergerak tp tdk terdengar bacaannya.

*Tanya*
Apakah bayi perempuan harus di sunat ?
*Jawab*
Bukan suatu keharusan.
Boleh disunat boleh tidak disunat.


*Tanya*
Dlm sholat berjamaah ada adab ma'mum mengingatkan apabila imam ada yg salah  atau yg lupa bacaannya. Kalau kasusnya imam dlm membaca surat harusnya dipanjangkan 4 harokat akan tetapi dibaca pendek 1 atau 2 harokat, apakah termasuk yg hrs diingatkan?
*Jawab*
Biarkan saja, mngkn krn nafasnya terbatas, nanti setelah sholat bisa ditanyakan mengapa dibacanya pendek. Sholatnya tetap sah.

*Tanya*
Bgmn hukumnya kalau tdk  sholat jumat lbh dari  3x, krn kondisi di mesjid tidak sesuai dgn kafiat sholat jumat?
*Jawab*
Kalau tdk ada alasan tdk melakukan sholat jumat 3x berturut2, bisa dicap sbg orng yg munafik. Tp krn ada alasan, tdk apa2.

*Tanya*
Mohon dijelaskan asbabun nuzul dan inti makna Al Baqarah ayat 62  dan Al Maidah 69, krn sebagian orng mengartikan ayat itu bhw Nasrani dan Yahudi jg kakau berbuat amal sholeh akan masuk syurga
*Jawab*
Ayat ini sering dijadikan dalil oleh penganut  pluralisme yg dipelopori oleh Nurcholis Madjid dan Jalaludin Rahmat. Pdhl ayat ini menjelaskan kpd kita bhw, barulah akan dihargai keimanan dan amal sholeh jika mengimani kpd Nabi terakhir, yaitu Muhammad SAW. Bahkan akan diberikan ganjaran 2x lipat, krn mengimani kenabian dan kerasulan yg terdahulu dan mengimani kenabian dan kerasulan Muhammad SAW. 


*Tanya*
Shaumlah pd hari yg sangat panas utk memghadapi hari kebangkitan dan sholatla dua rakaat di kegelapan malam utk.menghadapi gelapnya kubur.
Sholat dua rakaat itu sholat apa?
*Jawab*
Kita.mengerjakan hholat sunat diluar sholat wajib minimal dua rakaat. Itu bisa sholat syukrul wudhu, boleh dikatakan sholat thuhur atau sholat mutlak. 

*Tanya*
Apa arti di beri inayah ?
*Jawab*
Inayah itu penjagaan, perlindungan yg diberikan oleh Allah kpd kita semua.

*Tanya*
Allah memerimtahkan sholat, shaum, zakat dan haji, sdngkn Allah tdk sholat, shaum, zakat dan berhaji. Allah memerintahkan bersholawat kpd Nabi dan Allah pun bersholawat kpd Nabi. Maksudnya bgmn ?
*Jawab*
Berdasarkan Qs Al Ahzab ayat 56, _sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya  bersholawat kpd Nabi. Wahai orng2 yg beriman, bersholawatlah kamu utk Nabi dan ucapkanlah salam dgn penuh penghormatan kepadanya_

Sebagaimana yg kita ketahui, sholawat adalah bentuk jamak dari kata sholla atau sholat yg berarti doa, keberkahan, kemuliaan, kesejahteraan dan ibadah.

Arti bersholawat pd ayat ini, jika dilihat dari pelakunya;  
 - Apabila sholawat itu dtng dari Allah, berarti Allah memberikan rahmat kpd makhluk-Nya.
- Adapun sholawat dari malaikat, berarti Allah memberikan ampunan.  
- Sholawat dari kita orng2 mukmin adalah doa agar Allah memberikan rahmat atau kesejahteraan, keselamatan kpd Nabi Muhammad beserta kpd keluarganya.

Sholawat juga bisa diartikan doa baik utk diri sendiri, orng banyak atau kepentingan bersama. 
Sholawat sbg bentuk ibadah adalah pernyataan seorng hamba atas ketundukannya kpd Allah, serta mengharapkan pahala dari Allah sbgmn yg dijanjikan oleh Nabi Muhammad SAW,  bhw orng yg bersholawat padanya akan mendptkan pahala yg besar, baik sholawat dlm bentuk lisan, tulisan dan perbuatan. 

*Tanya*
Boleh tidak do'a  lailatul qadr dibaca di luar bln Ramadhan setiap sudah shalat ?
*Jawab*
Boleh jika sekedar meminjam redaksi doanya krn misalnya sesuai dgn kebutuhan kita.


*Tanya*
Apakah boleh seorang makmum ketika berlangsung sholat berjamaah, kemudian memisahkan diri menjadi munfarid karena surat yg dibaca imam sangat panjang?
*Jawab*
Boleh, seperti yg pernah dilakukan oleh Mu"adz bin Jabal ketika mengimami sholat isya atau subuh bacaannya terlalu panjang, sehingga ada ma'mum yg mufaroqqoh (memisahkan diri) dan melaksanakan sholat scr munfarid. . Hal ini sampai kpd Rasulullah dan Mu'adz bin Jabal ditegur oleh Rasulullah krn telah membuat fitnah (kerusakan), sehingga membuat jamaah menjauh dari agama, yg tadinya berjamaah jd terpisah. 

صحيح البخاري
رقم: 664
كتاب:  الأذان
باب:  من شكا إمامه إذا طول

حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَارِبُ بْنُ دِثَارٍ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيَّ قَالَ
أَقْبَلَ رَجُلٌ بِنَاضِحَيْنِ وَقَدْ جَنَحَ اللَّيْلُ فَوَافَقَ مُعَاذًا يُصَلِّي فَتَرَكَ نَاضِحَهُ وَأَقْبَلَ إِلَى مُعَاذٍ فَقَرَأَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ أَوْ النِّسَاءِ فَانْطَلَقَ الرَّجُلُ وَبَلَغَهُ أَنَّ مُعَاذًا نَالَ مِنْهُ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَشَكَا إِلَيْهِ مُعَاذًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ أَوْ أَفَاتِنٌ ثَلَاثَ مِرَارٍ فَلَوْلَا صَلَّيْتَ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى فَإِنَّهُ يُصَلِّي وَرَاءَكَ الْكَبِيرُ وَالضَّعِيفُ وَذُو الْحَاجَةِ
أَحْسِبُ هَذَا فِي الْحَدِيثِ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ وَتَابَعَهُ سَعِيدُ بْنُ مَسْرُوقٍ وَمِسْعَرٌ وَالشَّيْبَانِيُّ قَالَ عَمْرٌو وَعُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مِقْسَمٍ وَأَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَرَأَ مُعَاذٌ فِي الْعِشَاءِ بِالْبَقَرَةِ وَتَابَعَهُ الْأَعْمَشُ عَنْ مُحَارِبٍ

--------

Shahih Bukhari
No: 664
Kitab: Adzan
Bab: Orang yang mengadukan imamnya karena suka memanjangkan shalat

Telah menceritakan kepada kami [Adam bin Abu Iyas] berkata, telah menceritakan kepada kami [Syu'bah] berkata, telah menceritakan kepada kami [Muharib bin Ditsar] berkata, Aku mendengar [Jabir bin 'Abdullah Al Anshari] berkata, "Seoranglaki-laki datang dengan membawa dua unta yang baru saja diberinya minum saat malam sudah gelap gulita. Laki-laki itu kemudian tinggalkan untanya dan ikut shalat bersama Mu'adz. Dalam shalatnya Mu'adz membaca surah Al Baqarah atau surah An Nisaa' sehingga laki-laki tersebut meninggalkan Mu'adz. Maka sampailah kepadanya berita bahwa Mu'adz mengecam tindakannya. Akhirnya laki-laki tersebut mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan mengadukan persoalannya kepada beliau. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu bersabda: "Wahai Mu'adz, apakah kamu membuat fitnah?" Atau kata Beliau: "Apakah kamu menjadi pembuat fitnah? -Beliau ulangi perkataannya tersebut hingga tiga kali- "Mengapa kamu tidak membaca saja surat 'Sabbihisma rabbika', atau dengan 'Wasysyamsi wa dluhaahaa' atau 'Wallaili idzaa yaghsyaa'? Karena yang ikut shalat di belakangmu mungkin ada orang yang lanjut usia, orang yang lemah atau orang yang punya keperluan." Perawi berkata, "Menurutku sampai inilah kalimat hadits ini." Abu 'Abdullah berkata; hadits ini dikuatkan oleh [Sa'id bin Masruq] dan [Mis'ar] dan [Asy Syaibani]. [Amru] dan [Ubaidullah bin Miqsam] dan [Abu Az Zubair] dari [Jabir] bahwa dalam shalat Isya Mu'adz membaca surat Al Baqarah. Dan hadits ini dikuatkan oleh [Al A'masy] dari [Muharib]."


*Tanya*
Apakah hrs berwudhu lagi dgn sempurna, ketika kita sdng mandi junub yg telah memenuhi syariat lalu kentut. Apakah berwudhu lagi atau cukup menyiran saja seluruh tubuh?
*Jawab*
Cukup menyiram saja krn msh dlm proses mandi/blm selesai mandinya.


*Tanya*
Apakah dlm memandikan jenazah, bagian wajah dan rambut hrs memakai sabun sampai bersih ?
*Jawab*
Utk kesempurnaan, scr teknis diperbolehkan memandikan jenazah dgn menggunakan sabun dan shampoo.

tahajud setelah tarawih?

  Tahajjud pada Bulan Ramadlan

Qiyamullalail, tahajjud, witir, salatullail, qiyamur ramadlan, dan tarawih itu pada hakikatnya merujuk pada objek yang sama, yaitu salat sunat yang dikerjakan pada waktu malam antara Isya dan subuh dengan jumlah sebelas rakaat. Berdasarkan waktu pelaksanaan, jika dilaksanakan pada waktu malam baik didalam maupun diluar ramadlan, maka disebut salatullalil atau qiyamul lail, sedangkan jika di bulan Ramadlan saja disebut dengan qiyamu ramadlan. Adapun berdasarkan jumlah rakaatnya yang ganjil yaitu sebelas rakaat, maka disebut juga sebagai salat witir. Khusus qiyamu ramadlan, berdsarkan sifat pelaksaannya ada jeda atau rehat diantara dua salam, maka disebut dengan salat tarawih yang artinya istirahat.

Adapun berdasarkan sifat dari jumlah rakaatnya yang ganjil, maka disebut dengan witir. Istilah witir dapat mengandung dua perngertian, pertama salat ganjil yang dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian formasi salat salat malam atau salat secara mandiri dalam bentuk ganjil. Kedua salat malam itu sendiri yang berjumlah 11 rakaat, karena jumlahnya ganjil, maka disebut dengan witir. Adapun jika pelaksanaan salat sunat malam tersebut dilaksanakan setelah tidur terlebih dahulu, maka disebut dengan tahajud. 

Asal penamaan dan dalilnya

1. Salat Tarawih dan salat Malam diluar ramadlan

Tarawih itu jama’ dari tarwihatun yang artinya satu kali kali istirahat seperti satu kali salam dalam salam penutup salat. Salat secara berjamaah pada malam-malam bulan disebut tarawih karena mereka berkumpul (salat) beristirahat setiap diantara dua salam (Fath al-Bari, 4/210). 


عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ تَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ تَنَامُ عَيْنِي وَلَا يَنَامُ قَلْبِي

dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman bahwasanya dia mengabarkan kepadanya bahwa dia pernah bertanya kepada 'Aisyah radliallahu 'anha tentang cara shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di bulan Ramadhan. Maka 'Aisyah radliallahu 'anha menjawab: "Tidaklah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan lainnya lebih dari sebelas raka'at, Beliau shalat empat raka'at, dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya kemudian Beliau shalat empat raka'at lagi dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya kemudian Beliau shalat tiga raka'at". 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; Aku bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum melaksanakan witir?" Beliau menjawab: "Wahai 'Aisyah, kedua mataku tidur, namun hatiku tidaklah tidur". (HR Bukhari, Sahih al-Bukhari, 4/191)

Kalimat فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ yang artinya pada bulan ramadlan dan selain ramadlan menunjukan bisa menjadi dalil salat tarawih (pada bulan ramadlan) maupun salat malam diluar ramadlan dengan jumlah rakaat 11.

2. Salat Witir

Pertama witir dalam artian salat dengan jumlah rakaat ganjil sebagai bagian dari formasi salat malam

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ مَا تَرَى فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ قَالَ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ الصُّبْحَ صَلَّى وَاحِدَةً فَأَوْتَرَتْ لَهُ مَا صَلَّى وَإِنَّهُ كَانَ يَقُولُ اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ وِتْرًا فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِهِ

dari 'Abdullah bin 'Umar berkata, "Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang pada saat itu sedang di atas mimbar, "Bagaimana cara shalat malam?" Beliau menjawab: "Dua rakaat dua rakaat. Apabila dikhawatirkan masuk shubuh, maka shalatlah satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalatnya sebelumnya." Ibnu 'Umar berkata, "Jadikanlah witir sebagai shalat terakhir kalian, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan hal yang demikian." (HR. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 1/102)

kedua witir dalam artian kesuluhan rakaat yang berjumlah 11 rakaat, dari Aisyah

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً كَانَتْ تِلْكَ صَلَاتَهُ تَعْنِي بِاللَّيْلِ فَيَسْجُدُ السَّجْدَةَ مِنْ ذَلِكَ قَدْرَ مَا يَقْرَأُ أَحَدُكُمْ خَمْسِينَ آيَةً قَبْلَ أَنْ يَرْفَعَ رَأْسَهُ 

bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat sebelas rakaat, begitulah cara beliau malam, Dalam shalat tersebut beliau sujud seperti lamanya kalian membaca sekitar lima puluh ayat sebelum mengangkat kepalanya. (HR. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 2/25)

Imam Bukhari menempatkan hadis tersebut dalam  bab apa yang datang tentang salat witir 

3. Salat Malam

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ مَا تَرَى فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ قَالَ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ الصُّبْحَ صَلَّى وَاحِدَةً فَأَوْتَرَتْ لَهُ مَا صَلَّى وَإِنَّهُ كَانَ يَقُولُ اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ وِتْرًا فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِهِ

dari 'Abdullah bin 'Umar berkata, "Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang pada saat itu sedang di atas mimbar, "Bagaimana cara shalat malam?" Beliau menjawab: "Dua rakaat dua rakaat. Apabila dikhawatirkan masuk shubuh, maka shalatlah satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalatnya sebelumnya." Ibnu 'Umar berkata, "Jadikanlah witir sebagai shalat terakhir kalian, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan hal yang demikian." (HR Bukhari, Sahih al-Bukhari, 1/102)

4. Salat Qiyamullalil

{يَاأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (1) قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا (2) نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا (3) أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا (4)} 

Hai orang yang berselimut (Muhammad),

bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya),

(yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit,

atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur'an itu dengan perlahan-lahan.

(al-Muzzamil : 1-4)

5. Salat Tahajjud

{وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا 

Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji (al Isra : 79)

.

6. Larangan dua kali witir dalam satu malam

عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ

dari Qais bin Thalq bin Ali dari ayahnya dia berkata, saya mendengar Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak ada dua kali witir dalam satu malam." (HR Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, 1/482)

dari keterangan-keterangan diatas dapat disarikan

1. Tidak ditemukan dalil Rasulullah Saw salat malam, tahajud, qiyamullail, qiyamurramadlan, tarawih dan witir pada satu malam. Sekiranya nama-nama salat tersebut ibadah tersendiri, tentunya lebih utama mengerjakannya pada satu malam, namun faktanya tidak ada ada satupun riwayat terkait hal tersebut.

2. Salat malam, qiyamullail, qiyamurramadlan, tarawih, witir pada pelaksanaaanya merujuk pada salat yang sama yaitu salat malam yang waktunya dari Isya sampai sebelum terbit fajar. Kesamaan sabab waktu tersebut menunjukan bahwa nama-nama tersebut merujuk pada salat yang sama.

3. Terdapat hadis larangan dua kali witir dalam satu malam, semakin menguatkan bahwa nama salat-salat tersebut merujuk pada salat yang sama.  

Kesimpulan

1. Boleh salat tahajjud pada bulan ramadlan

2. Tidak ada tahajjud setelah tarawih

GN