AMALAN DI BULAN SYA’BAN
YANG SESUAI DENGAN SYARIAT NABI SAW
Oleh Dr. Nashruddin Syarif, M.Pdi
Banyak sekali hadits yang menganjurkan amal-amal ibadah sunat pada bulan Sya’ban secara umum. Hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan Nishfu Sya’ban secara khusus pun memang ada. Tetapi tidak kemudian harus menyambutnya dengan membuat syari’at shalat dan shaum baru di luar yang sudah disyari’atkan.
Tidak dinafikan bahwa umat Islam hari ini masih abai dengan amal-amal ibadah sunat yang Nabi saw anjurkan di bulan Sya’ban disebabkan beberapa alasan:
Pertama,
Karena tidak paham akan keberadaan hadits-hadits yang menganjurkannya.
Kedua,
Paham terhadap hadits-hadits tersebut, tetapi memang tidak mampu, sehingga tidak mengamalkannya dan berat juga untuk menganjurkannya.
Ketiga,
Terjebak pada pemahaman sempit bahwa Sya’ban itu hanya mulia di Nishfu Sya’ban (pertengahan Sya’ban)-nya saja.
Dari ketiga alasan di atas, memang tidak ada yang sampai berdosa jika motifnya karena tidak tahu atau tidak mampu, sebab anjuran Nabi saw dalam amal-amal ibadah khusus di bulan Sya’ban ini sifatnya sebatas anjuran atau sunat, tidak ada yang wajib. Baik ‘tidak tahu’ atau ‘tidak mampu’ kedua-duanya masuk kategori la yukalliful-‘llah nafsan illa wus’aha; Allah tidak akan membebani setiap jiwa kecuali berdasarkan kemampuan (termasuk pengetahuan) maksimalnya. Hanya jika kemudian itu sampai menyebabkan ‘mematikan sunnah’ tentu ini lain lagi persoalannya. Persoalan ‘mematikan sunnah’ bisa mendorong pada ‘ketidakcintaan pada sunnah Nabi saw’ yang diancam oleh Nabi saw dengan sabdanya:
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Siapa yang tidak mencintai sunnahku, maka ia bukan dari golonganku”.
(Shahih al-Bukhari kitab an-nikah bab at-targhib fin-nikah no. 5063).
Tentunya setiap pengkaji ilmu mempunyai tanggung jawab khusus dalam hal keilmuan, untuk tetap mengajarkannya sebagai ilmu, terlepas dari keterbatasan yang dimiliki oleh masing-masing individunya yang dapat ditoleransi berdasarkan firman Allah swt: la yukalliful-‘Llah nafsan illa wus’aha.
Nishfu Sya’ban
Perhatian umat Islam mayoritas yang lebih tertuju pada Nishfu Sya’ban/pertengahan Sya’ban, dan itu biasanya diberlakukan pada tanggal 15 Sya’ban, memang tidak terlepas dari hadits-hadits yang menjelaskan fadlilah/keutamaannya secara khusus. Dua muhaddits kontemporer, Syaikh Syu’aib al-Arnauth dan al-Albani, menilai hadits-hadits tersebut shahih atau hasan bi syawahidihi; shahih atau hasan karena banyak sanad yang menguatkannya.
Penilaian seperti itu dalam istilah lainnya adalah shahih/hasan li ghairihi; shahih/hasan bukan karena sanad-sanadnya memang shahih/hasan secara sendirinya, melainkan justru sanad-sanad yang dimaksud tidak terlepas dari kedla’ifan. Akan tetapi karena dla’if-nya tidak ada yang sampai munkar atau terindikasi/terbukti sebagai pemalsuan hadits, maka secara otomatis kesemua sanadnya saling menguatkan, berdasarkan satu kaidah yang sudah disepakati oleh para ulama:
اَلْأَحَادِيْثُ الضَّعِيْفَةُ يُقَوِّيْ بَعْضُهَا بَعْضًا
“Hadits-hadits dla’if satu sama lain saling menguatkan”
Dengan catatan apabila dla’if tersebut dari segi dlabth (hafalan) dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an atau hadits lain yang shahih. Adapun jika dla’ifnya itu dari segi ‘adalah (adil) seperti kadzdzab (pendusta), yadla’ul-hadits (memalsukan hadits), fisqur-rawi atau “tertuduh dusta” maka kaidah tersebut tidak dipakai
(Thuruqul-Istinbath Dewan Hisbah bagian Beristidlal dengan Hadits no. 2).
Syaikh Syu’aib al-Arnauth
diketahui menilai hadits ini shahih bi syawahidihi dalam takhrijnya terhadap beberapa kitab hadits seperti Shahih Ibn Hibban, Musnad Ahmad, Sunan Ibn Majah, dan Sunan at-Tirmidzi. Berikut disajikan analisa beliau terhadap hadits fadlilah nishfu Sya’ban yang diriwayatkan dalam Shahih Ibn Hibban:
ذِكْرُ مَغْفِرَةِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ لِمَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ إِلَّا مَنْ أَشْرَكَ بِهِ أَوْ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُعَافَى الْعَابِدُ بِصَيْدَا وَابْنُ قُتَيْبَةَ وَغَيْرُهُ قَالُوا: حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْرَقُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو خُلَيْدٍ عُتْبَةُ بْنُ حَمَّادٍ، عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، وَابْنِ ثَوْبَانَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ مَالِكِ بْنِ يُخَامِرَ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: يَطْلُعُ اللهُ إِلَى خَلْقِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
Bab: Riwayat tentang Ampunan Allah jalla wa ‘ala pada Malam Nishfu Sya’ban bagi Orang Yang Dikehendaki oleh-Nya selain Orang Yang Musyrik kepada-Nya atau Orang Yang Memiliki Dendam Permusuhan dengan Saudaranya.
Ibn Hibban berkata
Muhammad ibn al-Mu’afa seorang ahli ibadah di Shaida, Ibn Qutaibah, dan yang lainnya mengajarkan hadits kepada kami, mereka berkata: Hisyam ibn Khalid al-Azraq mengajarkan hadits kepada kami, ia berkata: Abu Khulaid ‘Utaibah ibn Hammad mengajarkan hadits kepada kami, dari al-Auza’i, dari Ibn Tsauban, dari bapaknya, dari Makhul, dari Malik ibn Yukhamir, dari Mu’adz ibn Jabal, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Allah turun kepada makhluqnya pada malam pertengahan Sya’ban, lalu Dia mengampuni semua makhluqnya kecuali orang musyrik atau yang memusuhi.”
(Shahih Ibn Hibban kitab al-hazhr wal-ibahah)
Syu’aib al-Arnauth menjelaskan:
حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ بِشَوَاهِدِهِ، رِجَالُهُ ثِقَاتٌ إِلاَّ أَنَّ فِيْهِ انْقِطَاعاً، مَكْحُوْلٌ لَمْ يَلْقَ مَالِكَ بْنَ يُخَامِرَ. وأخرجه ابن أبي عاصم في “السنة” (512) والطبراني في “الكبير” 20/ (215) عن هشام بن خالد بهذا الإسناد. وذكره الهيثمي في “المجمع” 8/65 وقال: رواه الطبراني في “الكبير” و”الأوسط” ورجالهما ثقات. وأخرجه أبو نعيم في “الحلية” 5/191 من طريق أزهر بن المرزبان، عن عتبة بن حماد، به.
Hadits shahih berkat syawahidnya. Rawi-rawinya tsiqat kecuali ada keterputusan sanad. Makhul tidak pernah bertemu Malik ibn Yukhamir. Ibn Abi ‘Ashim meriwayatkannya dalam kitab as-Sunnah (512) dan at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jamul-Kabir 20/215 dari Hisyam ibn Khalid dengan sanad seperti ini. al-Haitsami menyebutkannya dalam kitab Majma’uz-Zawa`id 8/65 dan berkata: “at-Thabrani meriwayatkannya dalam al-Mu’jamul-Kabir dan al-Mu’jamul-Ausath, rawi-rawinya tsiqat.” Abu Nu’aim meriwayatkannya dalam Hilyatul-Auliya` 5/191 dari sanad Azhar ibn al-Marzaban, dari ‘Utbah ibn Hammad, dengan sanad yang sama (dari al-Auza’i, dari Ibn Tsauban, dari bapaknya, dari Makhul, dari Malik ibn Yukhamir, dari Mu’adz ibn Jabal, dari Nabi saw)
Dalam bab ini ada juga hadits dari: Abu Musa al-Asy’ari riwayat Ibn Majah (1390), Ibn ‘Ashim (510) dan al-Lalika`i (763); hadits Abu Hurairah riwayat al-Bazzar (2046); hadits Abu Tsa’labah riwayat Ibn Abi ‘Ashim (511) dan al-Lalika`i (760); hadits Abu Bakar riwayat al-Bazzar (2045), Ibn Khuzaimah dalam kitab al-Wahid hlm. 90, Ibn Abi ‘Ashim (509) dan al-Lalika`i dalam kitab as-Sunnah (750); hadits ‘Auf ibn Malik riwayat al-Bazzar (2048); hadits ‘Abdullah ibn ‘Amr riwayat Ahmad 2/176; hadits ‘Aisyah riwayat at-Tirmidzi (739), Ahmad 6 : 238, Ibn Majah (1389) dan al-Lalika`i (764). Hadits-hadits penguat (syawahid) ini meskipun masing-masingnya ada masalah tetapi menguatkan hadits (Mu’adz) bab ini.
Uraian di atas menginformasikan bahwa hadits fadlilah nishfu Sya’ban tersebut diriwayatkan dari delapan shahabat; Mu’adz ibn Jabal, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Tsa’labah, Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Auf ibn Malik, ‘Abdullah ibn ‘Amr, dan ‘Aisyah. Kedelapan sanad tersebut tidak ada satu pun yang luput dari cacat. Tetapi cacat tersebut bukan cacat yang parah, sehingga bisa saling menguatkan dan menjadi shahih.
BERSAMBUNG