Minggu, 26 Februari 2023
doa bayi yang baru lahir dan hadits tentang aqiqah
ayat tentang pendengaran, penglihatan hati akan diminta pertanggungjawaban
Sabtu, 25 Februari 2023
zakat tijaroh
Amalan-amalan sunah pada bulan sya'ban
shaum syaban
dua hal yang harus menjadi landasan dalam melaksanakan agama
AMALAN DI BULAN SYA’BANYANG SESUAI DENGAN SYARIAT NABI SAW
Tanya masalah kedudukan waqof dalam Al-Quran?
TANYA :
Hukum bagi perempuan yang sedang haid menyentuh dan membaca mushaf al-Quran?
Tanya :
banyak niat dalam satu ibadah bolehkah?
Ada dua termin yg harus kita fahami:
Zakat Maskawin dari siapa?
Assalamualaikum, izin bertanya ustadz, Kl zakat untuk emas (mas kawin) yg bayarnya dari pihak perempuan atau pria? Hatur nuhun 🙏🏻
jual makan minum sepuasnya bayar seikhlasnya? (all you can eat)
Bismillaah. Ustadz izin bertanya, apakah diperbolehkan berjualan makanan atau minuman dengan cara mempersilahkan makan atau minum sepuasnya(sekehendak konsumen) tapi bayar se ikhlasnya. Dengan tujuan untuk bersedekah, dan hasil uang yang terkumpul dipergunakan untuk memanjangkan usaha(sedekahnya) agar bisa berjalan terus! Haturnuhun. Jazzaakallaahu khairan. 🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Rangkuman tanya jawab kajian Dialog Islam subuh bersama Ust Anshorudin Ramdhani, Selasa, 2 Juni 2020
Rangkuman tanya jawab kajian Dialog Islam subuh bersama Ust Anshorudin Ramdhani, Selasa, 2 Juni 2020
tahajud setelah tarawih?
Tahajjud pada Bulan Ramadlan
Qiyamullalail, tahajjud, witir, salatullail, qiyamur ramadlan, dan tarawih itu pada hakikatnya merujuk pada objek yang sama, yaitu salat sunat yang dikerjakan pada waktu malam antara Isya dan subuh dengan jumlah sebelas rakaat. Berdasarkan waktu pelaksanaan, jika dilaksanakan pada waktu malam baik didalam maupun diluar ramadlan, maka disebut salatullalil atau qiyamul lail, sedangkan jika di bulan Ramadlan saja disebut dengan qiyamu ramadlan. Adapun berdasarkan jumlah rakaatnya yang ganjil yaitu sebelas rakaat, maka disebut juga sebagai salat witir. Khusus qiyamu ramadlan, berdsarkan sifat pelaksaannya ada jeda atau rehat diantara dua salam, maka disebut dengan salat tarawih yang artinya istirahat.
Adapun berdasarkan sifat dari jumlah rakaatnya yang ganjil, maka disebut dengan witir. Istilah witir dapat mengandung dua perngertian, pertama salat ganjil yang dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian formasi salat salat malam atau salat secara mandiri dalam bentuk ganjil. Kedua salat malam itu sendiri yang berjumlah 11 rakaat, karena jumlahnya ganjil, maka disebut dengan witir. Adapun jika pelaksanaan salat sunat malam tersebut dilaksanakan setelah tidur terlebih dahulu, maka disebut dengan tahajud.
Asal penamaan dan dalilnya
1. Salat Tarawih dan salat Malam diluar ramadlan
Tarawih itu jama’ dari tarwihatun yang artinya satu kali kali istirahat seperti satu kali salam dalam salam penutup salat. Salat secara berjamaah pada malam-malam bulan disebut tarawih karena mereka berkumpul (salat) beristirahat setiap diantara dua salam (Fath al-Bari, 4/210).
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ تَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ تَنَامُ عَيْنِي وَلَا يَنَامُ قَلْبِي
dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman bahwasanya dia mengabarkan kepadanya bahwa dia pernah bertanya kepada 'Aisyah radliallahu 'anha tentang cara shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di bulan Ramadhan. Maka 'Aisyah radliallahu 'anha menjawab: "Tidaklah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan lainnya lebih dari sebelas raka'at, Beliau shalat empat raka'at, dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya kemudian Beliau shalat empat raka'at lagi dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya kemudian Beliau shalat tiga raka'at". 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; Aku bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum melaksanakan witir?" Beliau menjawab: "Wahai 'Aisyah, kedua mataku tidur, namun hatiku tidaklah tidur". (HR Bukhari, Sahih al-Bukhari, 4/191)
Kalimat فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ yang artinya pada bulan ramadlan dan selain ramadlan menunjukan bisa menjadi dalil salat tarawih (pada bulan ramadlan) maupun salat malam diluar ramadlan dengan jumlah rakaat 11.
2. Salat Witir
Pertama witir dalam artian salat dengan jumlah rakaat ganjil sebagai bagian dari formasi salat malam
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ مَا تَرَى فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ قَالَ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ الصُّبْحَ صَلَّى وَاحِدَةً فَأَوْتَرَتْ لَهُ مَا صَلَّى وَإِنَّهُ كَانَ يَقُولُ اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ وِتْرًا فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِهِ
dari 'Abdullah bin 'Umar berkata, "Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang pada saat itu sedang di atas mimbar, "Bagaimana cara shalat malam?" Beliau menjawab: "Dua rakaat dua rakaat. Apabila dikhawatirkan masuk shubuh, maka shalatlah satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalatnya sebelumnya." Ibnu 'Umar berkata, "Jadikanlah witir sebagai shalat terakhir kalian, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan hal yang demikian." (HR. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 1/102)
kedua witir dalam artian kesuluhan rakaat yang berjumlah 11 rakaat, dari Aisyah
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً كَانَتْ تِلْكَ صَلَاتَهُ تَعْنِي بِاللَّيْلِ فَيَسْجُدُ السَّجْدَةَ مِنْ ذَلِكَ قَدْرَ مَا يَقْرَأُ أَحَدُكُمْ خَمْسِينَ آيَةً قَبْلَ أَنْ يَرْفَعَ رَأْسَهُ
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat sebelas rakaat, begitulah cara beliau malam, Dalam shalat tersebut beliau sujud seperti lamanya kalian membaca sekitar lima puluh ayat sebelum mengangkat kepalanya. (HR. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 2/25)
Imam Bukhari menempatkan hadis tersebut dalam bab apa yang datang tentang salat witir
3. Salat Malam
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ مَا تَرَى فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ قَالَ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ الصُّبْحَ صَلَّى وَاحِدَةً فَأَوْتَرَتْ لَهُ مَا صَلَّى وَإِنَّهُ كَانَ يَقُولُ اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ وِتْرًا فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِهِ
dari 'Abdullah bin 'Umar berkata, "Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang pada saat itu sedang di atas mimbar, "Bagaimana cara shalat malam?" Beliau menjawab: "Dua rakaat dua rakaat. Apabila dikhawatirkan masuk shubuh, maka shalatlah satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalatnya sebelumnya." Ibnu 'Umar berkata, "Jadikanlah witir sebagai shalat terakhir kalian, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan hal yang demikian." (HR Bukhari, Sahih al-Bukhari, 1/102)
4. Salat Qiyamullalil
{يَاأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (1) قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا (2) نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا (3) أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا (4)}
Hai orang yang berselimut (Muhammad),
bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya),
(yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit,
atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur'an itu dengan perlahan-lahan.
(al-Muzzamil : 1-4)
5. Salat Tahajjud
{وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji (al Isra : 79)
.
6. Larangan dua kali witir dalam satu malam
عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ
dari Qais bin Thalq bin Ali dari ayahnya dia berkata, saya mendengar Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak ada dua kali witir dalam satu malam." (HR Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, 1/482)
dari keterangan-keterangan diatas dapat disarikan
1. Tidak ditemukan dalil Rasulullah Saw salat malam, tahajud, qiyamullail, qiyamurramadlan, tarawih dan witir pada satu malam. Sekiranya nama-nama salat tersebut ibadah tersendiri, tentunya lebih utama mengerjakannya pada satu malam, namun faktanya tidak ada ada satupun riwayat terkait hal tersebut.
2. Salat malam, qiyamullail, qiyamurramadlan, tarawih, witir pada pelaksanaaanya merujuk pada salat yang sama yaitu salat malam yang waktunya dari Isya sampai sebelum terbit fajar. Kesamaan sabab waktu tersebut menunjukan bahwa nama-nama tersebut merujuk pada salat yang sama.
3. Terdapat hadis larangan dua kali witir dalam satu malam, semakin menguatkan bahwa nama salat-salat tersebut merujuk pada salat yang sama.
Kesimpulan
1. Boleh salat tahajjud pada bulan ramadlan
2. Tidak ada tahajjud setelah tarawih
GN
Perbedaan Yatim dan Piatu
Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هكَذَا » وأشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما شيئاً
“Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya (HR Al Bukhori)
Penjelasan :
- Yatim : Ditinggal wafat ayahnya di usia belum baligh
- Piatu/muqtha' : Ditinggal wafat ibunya sebelum baligh
- Dalam hadits diatas disebutkan menyantuni anak yatim dengan pahala spesialnya.
- Menyantuni anak piatu/muqtha' teemasuk pahala shodaqoh. Anak piatu masih ada yang menanggung nafkahnya/mencarikan nafkahnya yaitu ayahnya yang masih hidup
Shaum Tasu'a Asyura
Shaum Tasu'a Asyura
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata:”Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal sembilan.”, tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat. (HR Muslim)
Jangan lupa, shaum tasu'a asyura pada 9 dan 10 Muharram bertepatan dengan 7 dan 8 Agustus 2022, pada hari Ahad dan Senin.
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari Asyura, maka beliau menjawab : “Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada tahun kemarin” (HR Muslim)
Shaum 11 Muharam?
disunnahkan shaum tiga hari sekaligus, yaitu 9, 10 dan 11 Muharram. Jadi, jika tidak sempat tanggal 9 dan 10, maka bisa memilih tanggal 10 dan 11 untuk shaum. Benarkah pendapat ini? Hemat kami pendapat ini mengacu kepada salah satu hadis berikut ini:
صُوْمُوْا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَخَالِفُوْا فِيْهِ اليَهُوْدَ ، صُوْمُوْا قَبْلَهُ يوْمًا وَ بَعْدَهُ يَوْمًا.
“Shaumlah pada hari ‘Asyuraa (10 Muharram), dan berbedalah dengan orang-orang Yahudi, oleh karena itu shaumlah satu hari sebelumnya (9 Muharram) dan satu hari sesudahnya (11 Muharram).” HR. Ahmad
Pada hadis ini terdapat masalah dari aspek sanad dan matan. Namun analisa sanad dipandang cukup memadai untuk menunjukkan permasalahan hadis ini, dengan alasan sebagai berikut:
Hadis di atas diriwayatkan Imam Ahmad melalui jalur periwayatan Husyaim. Ia menerima dari Ibnu Abi Laila, dari Dawud bin Ali, dari bapaknya (Ali bin Abdullah bin Abbas), dari kakeknya (Ibnu Abbas).
Hadis di atas tidak dapat dijadikan hujjah adanya shaum tanggal 11 Muharram, karena hadisnya dhaif dengan sebab kedaifan rawi bernama Muhammad bin Abdurahman Ibnu Abi Laila, sebagaimana dijelaskan para ulama berikut ini:
Imam Abdurrazaq (w. 211 H) menyatakan:
وَأَمَّا حَدِيْثُ (صُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ وَ يَوْمًا بَعْدَهُ) فَهذَا رَوَاهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ وَمَدَارُهُ عَلَى مُحَمَّدِ ابْنِ عَبْدِالرَّحْمنِ ابْنِ أَبِيْ لَيْلَى وَقَدْ قَالَ عَنْهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ كَانَ سَيِّءَ الْحِفْظِ مُضْطَرِبَ الْحَدِيْثِ وَأَيْضًا قَدْ خُوْلِفَ فِي إِسْنَادِهِ فَالْخَبَرُ مُنْكَرٌ وَلاَيَصِحُّ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ رَغِبَ بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ فِي عَاشُوْرَاءَ وَإِنَّمَا جَاءَتْ فَضِيْلَةُ صِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ بِأَدِلَّةٍ عَامَّةٍ لاَتُخْتَصُّ بِشَهْرِ اللهِ الْمُحَرَّمِ . وَكَذلِكَ الْحَدِيْثُ الآخَرُ (صُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ يَوْمًا بَعْدَهُ) هذَا الْخَبَرُ مُنْكَرٌ
“Adapun hadis: ‘Shaumlah satu hari sebelumnya (9 Muharram) dan satu hari sesudahnya (11 Muharram).’ Maka ini riwayat Imam Ahmad, dan jalur periwayatannya berporos pada Muhammad bin Abdurahman Ibnu Abi Laila, dan sungguh Imam Ahmad telah mengomentarinya, ‘Dia buruk hapalan, hadisnya goncang.’ Selain itu terjadi pertentangan dalam sanadnya. Maka hadis itu munkar, dan tidak shahih bersumber dari Nabi bahwa beliau menganjurkan shaum tiga hari pada Asyura. Keutamaan shaum tiga hari diriwayatkan berdasarkan dalil-dalil umum yang tidak dikhususkan pada bulan Muharram. Begitu pula hadis lain (dengan menggunakan kata aw/atau): ‘‘Shaumlah satu hari sebelumnya atau satu hari sesudahnya.’ Hadis ini munkar.” [28]
Selanjutnya, Imam Abdurrazaq mencantumkan hadis shahih dari Ibnu Abbas, yang menyatakan:
(صُومُوا التَاسِعَ مَعَ العَاشِرِ) وَهذَا هُوَ الْمَحْفُوْظُ
Shaumlah kalian pada hari yang kesembilan bersama kesepuluh dan.” Dan (Imam Abdurazaq mengatakan) Inilah yang terpelihara (shahih).” [29]
Sehubungan dengan itu, Imam Asy-Syawkani berkata:
رِوَايَةُ أَحْمَدَ هَذِهِ ضَعِيفَةٌ مُنْكَرَةٌ مِنْ طَرِيقِ دَاوُدَ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ رَوَاهَا عَنْهُ اِبْنُ أَبِي لَيْلَى ، قَالَ : وَقَدْ أَخْرَجَهُ بِمِثْلِهِ الْبَيْهَقِيُّ وَذَكَرَهُ فِي التَّلْخِيصِ وَسَكَتَ عَنْهُ اِنْتَهَى
“Riwayat Ahmad munkar dari jalur Dawud bin Ali, dari bapaknya, dari kakeknya, diriwayatkan dari Dawud bin Ali oleh Ibnu Abu Laila.” Ia berkata pula, “Hadis semisal diriwayatkan pula oleh Al-Baihaqi dan menyebutkannya dalam kitab At-Talkhis, dan ia tidak berkomentar apapun terhadapnya.”[30]
Hadis ini dinilai dhaif pula oleh Imam Adz-Dzahabi[31], Al-Haitsami[32], Imam Abdurrauf Al-Munawi,[33] dan Syekh Al-Albani. [34]
Dengan demikian, mengamalkan shaum Muharram sebanyak tiga hari (tanggal 9, 10, 11) atau tanggal 10 dan 11 Muharram hukumnya menyalahi Sunnah Nabi saw., bahkan dinilai bid’ah oleh sebagian ulama.