Selasa, 30 Oktober 2018

Hukum MLM

1. Praktek MLM yang hanya mempermainkan uang (Money Game), yaitu perusahaan mengambil uang anggota, dan komisi, bonus, atau reward up line diambil dari uang pendaptaran anggota (down line) hukumnya haram.

2.  MLM yang bergerak dalam jual beli barang/produk dan atau jasa yang haram hukumnya haram.

3.  MLM yang menggunakan sistem yang mengandung unsur haram (gharar, riba, ghosy, najasy dan maisir) hukumnya haram

4.  MLM yang memperjual-belikan barang/produk dan atau jasa yang halal dengan sistem yang tidak mengandung unsur yang haram hukum halal.

Ragu rokaat dalam sholat

1.Kalo kt sholat munfarid/maghrib... *ragu apakah sdh rakaat ke3 atau ke 2, lalu kt ambil yg 2 rekaat,* lalu kt tasyahhud awal...dan dilanjutkan dg rkaat ke 3 dst..lalu salam.
Apakah perlu sujud sahwi sebekum salam ustadz...?

Hadits Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ

“Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, tiga ataukah empat rakaat maka buanglah keraguan, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia shalat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan shalatnya. Lalu jika ternyata shalatnya memang empat rakaat, maka sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan.” (HR. Muslim no. 571)

Doa keteguhan hati

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

Yaa muqollibal quluub, tsabbit qolbii 'alaa diinik.

Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.

اَللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ، صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

Allaahumma mushorrifal quluub, shorrif quluubanaa 'alaa thoo'atik.

Ya Allah, Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu.
(HR. Muslim no. 2654)

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ اِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً ۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ
robbanaa laa tuzigh quluubanaa ba’da iz hadaitanaa wa hab lanaa mil ladungka rohmah, innaka antal-wahhaab

“(Mereka berdoa), Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.”
(QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 8)

رَبَّنَاۤ اِنَّكَ جَامِعُ النَّاسِ لِيَوْمٍ لَّا رَيْبَ فِيْهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيْعَادَ
robbanaaa innaka jaami’un-naasi liyaumil laa roiba fiih, innalloha laa yukhliful-mii’aad

“Ya Tuhan kami, Engkaulah yang mengumpulkan manusia pada hari yang tidak ada keraguan padanya. Sungguh, Allah tidak menyalahi janji.”
(QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 9)

Adab ziarah qubur

Wa'alaikumussalaam warahmatullah..
1. Kita bedara dlm keadaan suci/bersih dr najis
2. Membaca doa
لسَّلامُ عَلَيكُمْ أَهْل الدِّيارِ مِنَ المُؤْمِنِينَ والمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُونَ ، أَسْأَلُ اللَّه لَنَا وَلَكُمُ العافِيَةَ
(Hr. Muslim)
3. Membersihkan makam
4. Mengingat akan diri kita kepada akhirat

Sholat sambil baca mushaf quran

Wa'alaikumussalaam warahmatullaah..

Tidak boleh shalat sambil memegang dan atau membaca al-quran,
فاقرأ ما تيسر معك من القرآن
Bacalah al-quran yg termudah bagimu.

Jd saat shalat, membaca surat apa saja yg kita hafal, bukan sambil memegang quran/melihat qura

Minggu, 28 Oktober 2018

Insya allah

Wa'alaikumussalaam warahmatullaah..

Ini sudah ana jelaskan,

Insha Allah = ini tulisan inggris
Insya Allah = ini tulisan indonesia

Di indonesia, transliterasi huruf
ص = sha
ش = sya
Ketika menulis transliterasi arab-indo, maka:

إن صاء الله = Insha Allah
إن شاء الله = Insya Allah

Jadi menurut Indo, yg benar adalah *Insya Allah*

Selasa, 23 Oktober 2018

Khitan bagi perempuan

Wa'alailumussalaam warahmatullaah wabarokaatuh..

1. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Athiyah (wanita tukang khitan):

أُخْفُضِي وَلَا تُنْهِكِي فَإِنَّهُ أَنْضَرُ لِلْوَجْهِ أَحْضَى لِلْزَوْجِ

“Khitanlah dan jangan dihabiskan (jangan berlebih-lebihan dalam memotong bagian yang dikhitan) karena yang demikian lebih cemerlang bagi wajah dan lebih menyenangkan (memberi semangat) bagi suami” [Shahih, Dikeluarkan oleh Abu Daud (5271), Al-Hakim (3/525), Ibnu Ady dalam Al-Kamil (3/1083) dan Al-Khatib dalam Tarikhnya 12/291)]

2. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

إذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ

“Bila telah bertemu dua khitan (khitan laki-laki dan wanita dalam jima’-pent) maka sungguh telah wajib mandi (junub)” [Shahih, Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi (108-109), Asy-Syafi’i (1/38), Ibnu Majah (608), Ahmad (6/161), Abdurrazaq (1/245-246) dan Ibnu Hibban (1173-1174 – Al Ihsan)]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menisbatkan khitan pada wanita, maka ini merupakan dalil disyariatkan juga khitan bagi wanita.

3. Riwayat Aisyah Radhiyallahu ‘anha secara marfu’.

اِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْخُسْلُ

” Jika seorang lelaki telah duduk di antara cabang wanita yang empat (kinayah dari jima, -pent) dan khitan yang satu telah menyentuh khitan yang lain maka telah wajib mandi (junub)” [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (1/291 – Fathul Bari), Muslim (249 – Nawawi), Abu Awanah (1/269), Abdurrazaq (939-940), Ibnu Abi Syaibah (1/85) dan Al-Baihaqi (1/164)]

Hadits ini juga mengisyaratkan dua tempat khitan yang ada pada lelaki dan wanita, maka ini menunjukkan bahwa wanita juga dikhitan.

Berkata Imam Ahmad : “Dalam hadits ini ada dalil bahwa para wanita dikhitan” [Tuhfatul Wadud]

Hanya penekanan perintah khitan itu lebih kepada lelaki.

Masbuq berjamaah lagi

wa'alaikumussalaam warahmatullah..

masbuk lebih dari seorang, bisa meneruskan kembali berjamaahnya, dalilnya bahwa Mughrah dan Rasul sempat masbuk dan mereka meneruskan berjamaah dengan mengangkat imam baru:

عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَخَلَّفْتُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى حَاجَتَهُ قَالَ أَمَعَكَ مَاءٌ فَأَتَيْتُهُ بِمِطْهَرَةٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يَحْسِرُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمُّ الْجُبَّةِ فَأَخْرَجَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْجُبَّةِ وَأَلْقَى الْجُبَّةَ عَلَى مَنْكِبَيْهِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ رَكِبَ وَرَكِبْتُ فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَوْمِ وَقَدْ قَامُوا فِي الصَّلَاةِ يُصَلِّي بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَقَدْ رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً فَلَمَّا أَحَسَّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ فَصَلَّى بِهِمْ فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا.

Artinya: Dari muqhirah bin syu’bah dari ayahnya dia berkata: Rasulullah tertinggal (dari rombongan pasukan) dan aku tertinggal bersama beliau, ketika beliau selesai dari hajatnya, beliau bertanya apakah kamu ada air? Maka aku bawakan ember (tempat bersuci), kemudian membasuh kedua telapak tanganya, wajahnya dan menyingkap lengannya, namun lengan jubahnya terlalu sempit, maka beliau mengeluarkan tangannya dari bahwa jubah, dan meletakkan jubahnya di atas bahunya, kemudian beliau membasuh kedua lengannya dan mengusap ubun-ubunnya, dan bagian atas surbannya serta kedua khufnya (semacam kaos kaki dari kulit), kemudian beliau naik (kendaraan) dan akupun naik, ketika kami sampai pada rombongan kaum (para sahabat), mereka sedang shalat yang diimami oleh Abdurrahman bin Auf, dan sudah selesai satu rakaat, ketika (Abdurrahman bin Auf) menyadari kedatangan Rasulullah, dia mundur, maka Rasulullah memberi isyarat kepadanya, maka (Abdurrahman bin Auf) meneruskan tetap mengimami shalat mereka, maka ketika Abdurrahman bin Auf salam (selesai shalat), Rasulullah berdiri, dan aku berdiri, kami ruku’ (menyempurnakan) rakaat yang tertinggal. (HR. Imam Muslim, 2/123 Bab Al-Mashu ‘ala An-Nashiyah wa al-‘Imamah no: 81)

أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ غَزَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبُوكَ قَالَ الْمُغِيرَةُ فَتَبَرَّزَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ الْغَائِطِ فَحَمَلْتُ مَعَهُ إِدَاوَةً قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ فَلَمَّا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيَّ أَخَذْتُ أُهَرِيقُ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ الْإِدَاوَةِ وَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يُخْرِجُ جُبَّتَهُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمَّا جُبَّتِهِ فَأَدْخَلَ يَدَيْهِ فِي الْجُبَّةِ حَتَّى أَخْرَجَ ذِرَاعَيْهِ مِنْ أَسْفَلِ الْجُبَّةِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ تَوَضَّأَ عَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ أَقْبَلَ قَالَ الْمُغِيرَةُ فَأَقْبَلْتُ مَعَهُ حَتَّى نَجِدُ النَّاسَ قَدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ فَصَلَّى لَهُمْ فَأَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مَعَ النَّاسِ الرَّكْعَةَ الْآخِرَةَ فَلَمَّا سَلَّمَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُتِمُّ صَلَاتَهُ فَأَفْزَعَ ذَلِكَ الْمُسْلِمِينَ فَأَكْثَرُوا التَّسْبِيحَ فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ أَقْبَلَ عَلَيْهِمْ ثُمَّ قَالَ أَحْسَنْتُمْ أَوْ قَالَ قَدْ أَصَبْتُمْ يَغْبِطُهُمْ أَنْ صَلَّوْا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا

Artinya: “Bahwasannya Muqhirah bin Syu’bah menceritakan, bahwa dia berperang bersama Rasulullah Saw diperang Tabuk. Mughirah berkata; Rasulullah hendak membuang hajat, kemudia mencari tempat yang tertutup, maka aku bawakan satu ember air sebelum shalat subuh, ketika beliau kembali, aku tuangkan air dari ember itu ketangannya, beliau membasuh tiga kali, kemudian membasuh wajahnya, kemudian menyingsingkan jubahnya untuk mengeluarkan lengannya, akan tetapi lengan jubah itu sempet, maka Rasulullah memasukan tangannya kedalam jubahnya dan mengeluarkannya dari bawah jubah, maka beliau membasuh kedua tangannya sampai kedua sikunya, kemudian beliau berwudlu di atas khuf (maksudnya tidak membasuh kaki, tapi beliau cukup mengusap bagian atas khuf (semacam kaos kaki yang terbuat dari kulit), kemudian beliau bergegas (menyusul rombongan), Mughirah berkata: akupun bergegas bersama beliau, maka kami mendapati romobongan (para sahabat) sedang shalat shalat, dan Abdurrahman bin Auf yang menjadi imam mereka, dan sudah masuk rakaat terakhir. Maka ketika Abdurrahman bin Auf salam dan selesai shalat, Rasulullah menyempurnakan shalatnya, maka hal itu membuat kaum muslimin keheranan (Rasulullah menjadi ma’mum), merekapun memperbanyak tasbih, maka ketika Rasulullah selesai shalat, beliau menghadap kepada para sahabat dan berkata: ahsantum (kalian telah berbuat benar), Mughirah berkata: atau beliau waktu itu mengatakan: kalian benar, dimana mengajak manusia untuk shalat tepat pada waktunya”. (HR. Imam Muslim 2/107 no: 105)

Terdapat hadits juga rosul menjadi imam ketika safar dua rakaat dan muqimin mengangkat imam lagi utk menyempurnakan rokaat.

Hadits makan minum ditempat yang sakit

ini sudah ana jelaskan, haditnya dhaif.
jadi tidak benar bahwa orang yang nengok yang sakit lantas makan minum ditempat orang yang sakit akan mengugurkan paalanya.

bagi penengok, makan minum dari apa yang disuguhkan tuan rumah, itu tidak mengapa, dan bagi tuan rumah boleh menyuguhkan makanan dan minuman.

Jama di tempat sendiri

Safar jama qashar? Jama ditempat sendiri?

1. Ketika safar lebih baik d jama qoshor.

2. Di tempat sendiri tdk boleh d jama taqdim, hanya boleh d jama takhir saja, dgn ketentuan:
- kondisi sibuk
- tertidur

Pertanyaan ;
Bolehkah jama takdim atau takhir dilakukan di tempat sendiri? Dalam kondisi apa? Saya sering perjalanan pulang tidak sempat maghrib di jalan, jadi maghrib dan isya di jama dirumah, apakah boleh?
Jawab :
Ini sudah d bahas juga
Boleh juga jama takhir d tempat sendiri kasusnya sprti yg pa haji alami

Hukum jama qashar ketika safar

Itu di buku dalilnya, bhwa rasul selalu menjama qoshor setiap safar.

Dan ini dalil menjama shalat saat safar tanpa ada sebab apapun selain safar:

جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍقِيْلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ

“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama antara Zhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan hujan.” Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu , beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Agar tidak memberatkan ummatnya.” (Hr. Muslim)

Hukum arisan

Hk.arisan
Hukum Arisan itu haram

Menurut kamus Bahasa Indonesia, arisan adalah kegiatan pengumpulan uang atau barang yang bernilai uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi di antara mereka untuk menetukan siapa yang memperolehnya, Undian dilakasanakan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya.

Dengan definisi di atas jelaslah bahwa arisan terdiri atas dua kegiatan pokok ; pertama pengumpulan uang atau barang yang bernilai sama, dan kedua mengundi di antara mereka (yang mengumpulkan uang atau barang tersebut) guna menentukan siapa yang memperolehnya.

Undian bukanlah kata yang asing dan dalam bahasa hadis disebut dengan qur’ah. Hal itu pernah dilakukan oleh Rasulullah saw kepada istri-istrinya ketika beliau hendak bepergian.

Dari Aisyah ia berkata “rasulullah saw apabila pergi beliau mengadakan undian di antara istri-istrinya, lalu jatuhlah undian itu kepada Aidyah dan Hafsah, kemudian keduanya pergibersama beliau” H.R Muslim.

Ketika Maryam masih kecil, untuk menetapkan siapa yang memeliharanya, mereka mengadakan undian (qur’ah), sehingga Nabi Zakarialah yang berhak memeliharanya. Allah berfirman

Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepada kamu (hai Muhammad) ; padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak panah mereka untuk mengundi siapa di antara mereka yang akan memeliara Maryam. Dan kamu tidak hadir beserta mereka ketika mereka bersengketa” Q.S Ali-Imran : 44

Jika diteliti secara cermat, Nabi saw memilih di antara istri beliau untuk dibawa bepergian dengan cara mengundi (qur’ah) tentu cara demikian itu hukumnya halal, karena pada undian semacam itu tidak ada pemindahan hak, dan tidak ada peraslihan milik. Adapun pemindahan hak dan milik tidak boleh terjadi kecuali dengan cara yang halal oleh Islam.

Apabila Indian atau taruhan yang dimaksudkan untuk memindahkan hak dan milik, maka hal itu termasuk maisir atau qimar yakni judi, misalnya harta milik si A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L Dikumpulkan lalu diundi kemudian jatuh undiannya kepada si C, maka harta itu menjadi milik si C penuh. Perbuatan seperti ini jelas qimar dan maisr, yang hukumnya haram.

Al maisir berasal dari kata al yusru yaitu mudah, karena ia berusaha tanpa susah payah, atau berasal dari kata al yasaru yaitu kekayaan, karena dengan hal itu yang mejadi sebab mendapat kekayaan. Judi itu sebagaimana diungkapkan dalam Alquran terdapat manfaat, sehingga orang yang tidak punya modal dapat dengan mudah memperolehnya dengan cara itu. Tetapi cara seperti itu dilarang Allah SWT.

Alquran menyebut kata al maisir sebanyak 3x yaitu dalam surat Al-Baqarah : 219, al maidah:90 dan 91. Al maisir ini dipergunakan setan untuk menumbuhkan perusuhan dan kebencian diantara manusia dari mengingat Allah dan menunaikan salat. Allah berfirman

Setan itu semata-mata menginginkan terjadi di antara kamu permusuhan dan kebencian (dengan perantaraan_arak dan judi, dan memalingkan kamu dari mengingat Allah dan salat. Tidaklah kamu akan berhenti?

Muhammad Ali Ashahabuni mengutip sifat al-maisir yang dilakukan pada zaman jahiliyah dar itafsir Al Kasysyaf berikut, Ada sepuluh bejana yaitu Al Fadz, At Tauam, Ar Raqib, Al Hils, An Nafis, Al musbil, Al mu’ala, Al munih, As safih dan Al wagd. Masing-masing memeiliki bagian tertentu dari unta yang mereka sembelih kecuali tiga bejana yaitu Al munih, As safih dan Al wagd. Bagi AlFadz satu bagian At Tauam dua bagian, Ar Raqib tiga bagian, Al hIls empat bagian, An Nafs lima bagian, Al musbil enam bagian, dan Al mu’alla tujuh bagian, kemudian semua itu dimasukan kedalam karung dan diserahkan kepada orang yang adil, lalu diundi dan dimasukkan tangannya untuk mengeluarkan nama masing-masing. Siapa yang keluar dengan bejana yang terdapat bagian, maka ia akan mengambil begian tersebut, dan siapa yang mengambil bejana yang tidak ada bagian, maka ia tidak mengambilnya, dan mereka harus membayar unta itu, sedangkan yang mendapat bagian pun tidak boleh makan daging onta itu, karena seluruh daging itu diberikan kepada orang-orang fakir, mereka yang menang berbangga dan sombong, seta mencaci maki orang yang kalah yang tidak mendapat bagian.

Di dalam Tafsir At-Thabari Ibnu Abbas meriwayatkan :

Dari Ibnu Abbas ia berkata “Al-Maisir itu adalah Al Qimaru, seseorang di zaman jahiliyah mempetaruhkan istrinya dan hartanya, siapa diuantara keduanya yang mengalahkan kawannya dialah yang membawa istrinya dan hartanya” H.R At-Rhabari, II: 371

Dalam kitab tafsir Al-manar terdapat keterangan bahwa beberapa orang iktu pacuan kuda, lalu semua peserta mengeluarkan uang, kemudian ditetapkan menjadi miulik pemenang pada pacuan kuda tersebut. Perbuatan seperti itu adalah qimar atau maisir.

Tetapi apabila pacuan kuda itu tidak mengeluarkan apa-apa, kemudaian khalifah menyediakan uang bagi para pemenang. Hal ini bukanlah maisir atau qimar melainkan persenan yang hukumnya halal.

Adapun yang berlaku pada arisan cara-caranya dan sifat-sifatnya sama dengan qimar yang ditekankan untuk pemindahan hak dan milik. Harta miulik seseorang baru menjadi milik seseorang yang lain, apabila iperoleh dengan cara yang dibenarkan agama, seperti waris, jual beli, shadaqah, hadiah, upah, pinjaman, ghanimah, atau hibah. Sedangkan cara pemibdahan hak milik yang berlaku pada arisan tidak termasuk kepada salah satu dari yang tersebut di atas. Peserta arisan tidak merasa meminjam, dan tidak merasa mengambil tabungan, sehingga perpindahannya tidak jelas.

Al Ustadz K.H. E. Abdurrahman menjelaskan bahwa harta yang terkumpul bahwa harta yang terkumpul dari beberapa orang peserta dalam apa yang dinamakan arisan itu adalah harta orang lain, bukan harta milik kita (sebagai salah satu peserta), dan kemudian mengapa ia menjadi milik kita? Tidak lain hanya dengan jalan undian yang jatuh pada kita,

maka pemindahan milik dengan sifat semacam maisir, qimar yang hukumnya haram, maka hukum arisan pun tidak berbeda, dan tidak berubah menjadi halal disebabkan suka sama suka, rela sama rela atau karena maksud baik dan banyak faidahnya atau karena bermaksud hendak pindah memindahkan hak milik secara bergiliran dengan merata dengancara mengundi atau alasan-alasan lainnya.

Semua bidah sesat

Sebagaimana telah diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu,

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلاَ صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ « صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ ». وَيَقُولُ « بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ ». وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَيَقُولُ « أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ »

Dari Jabir bin Abdillah berkata : Jika Rasulullah berkhutbah maka merahlah kedua mata beliau dan suara beliau tinggi serta keras kemarahan (emosi) beliau, seakan-akan beliau sedang memperingatkan pasukan perang seraya berkata “Waspadalah terhadap musuh yang akan menyerang kalian di pagi hari, waspadalah kalian terhadap musuh yang akan menyerang kalian di sore hari !!”. Beliau berkata, “Aku telah diutus dan antara aku dan hari kiamat seperti dua jari jemari ini –Nabi menggandengkan antara dua jari beliau yaitu jari telunjuk dan jari tengah-, dan beliau berkata : “Kemudian daripada itu, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Al-Qur’an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang baru dan semua bid’ah adalah kesesatan” (HR Muslim no 2042)

Dalam riwayat An-Nasaai ada tambahan

وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

“Dan semua perkara yang baru adalah bid’ah dan seluruh bid’ah adalah kesesatan dan seluruh kesesatan di neraka” (HR An-Nasaai no 1578)

3 teman yang menyertai

Mutiara hadits
“ 3 teman yang menyertai”
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ ، يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ ، وَيَبْقَى عَمَلُهُ

“Yang mengikuti mayit sampai ke kubur ada tiga, dua akan kembali dan satu tetap bersamanya di kubur. Yang mengikutinya adalah keluarga, harta dan amalnya. Yang kembali adalah keluarga dan hartanya. Sedangkan yang tetap bersamanya di kubur adalah amalnya.” (HR. Bukhari, no. 6514; Muslim, no. 2960)

Hukum bank asi

" HUKUM BANK ASI "

بسم الله الرحمن الرحيم

Dewan Hisbah Persatuan Islam setelah:

MENGINGAT:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. ( QS.Al Baqarah : 233 )

وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ

“(Diharamkan atas kamu mengawini) Ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan.” (Qs an Nisa’ : 23)

Hadits Nabi SAW :

عن ابن عباس ان النبي ص : أريد على ابنة حمزة .فقال انها لا تحل لى انها ابنة اخي من الرضاعة . ويحرم من الرضاعة ما يحرم من النسب ( متفق عليه)

Dari Ibnu Abbas : Bahwa nabi SAW. Diminta untuk menikahi anak Hamzah, maka sabdanya : “Sesungguhnya ia tidk halal bagiku, karena itu anak bagi saudara susuku. Karena haram dari penyusuan itu apa-apa yang diharamkan dengan nasab.

انَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنْ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍفَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنْ الْقُرْآنِ

 "Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah saw wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu." ( HR Muslim )

Kaidah Fiqhiyyah :

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

“Menghindari kerusakan-kerusakan itu harus didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan”

MEMPERHATIKAN :

Sambutan dan pengarahan dari Ketua Dewan Hisbah KH.Usman Sholehuddin

Sambutan dan pengantar dari Ketua Umum PP Persis Prof. Dr. KH. M Abdurrahman, MA.

Makalah dan pembahasan yang disampaikan oleh: 1. KH. Taufik Azhar, S. Ag, 2. Dr. Hari Rayadi, Mars AV

Pembahasan dan penilaian dari anggota Dewan Hisbah terhadap masalah tersebut di atas

MENIMBANG:

Air susu adalah asupan terbaik untuk bayi yang tidak tergantikan nilainya.

ASI dari seorang ibu dapat diberikan kepada bayi, walaupun bukan anaknya.

ASI bisa diberikan kepada bayi baik langsung ataupun tidak langsung.

Dalam kadar tertentu, bayi-bayi yang menyusu kepada ibu yang sama menjadi saudara sesusu dan termasuk mahram.

Keberadaan Bank ASI terus berkembang sesuai dengan kebutuhan ibu dan anak.

Pada kenyataannya, tidak semua mengerti dan memperhatikan hukum mahram akibat dari saudara sesusu.

Perlu kejelasan hukum bank ASI.

Dengan demikian Dewan Hisbah Persatuan Islam

MENGISTINBATH :

Bank ASI *yang tidak memelihara kejelasan asal usul ibu pendonor dan bayi penerima donor*, sehingga akan mengakibatkan kerancuan nasab *hukumnya haram*.

Bank ASI *yang memelihari kejelasan ibu pendonor dan bayi penerima donor* sehingga tidak mengakibatkan kerancuan nasab, *hukumnya halal*.

Menjadikan ASI sebagai komoditi, hukumnya haram.

Hukum mencukur bulu alis

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

لَعَنَ اللَّهُ الوَاشِمَاتِ وَالمُوتَشِمَاتِ، وَالمُتَنَمِّصَاتِ وَالمُتَفَلِّجَاتِ، لِلْحُسْنِ المُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ

“Allah melaknat tukang tato, orang yang ditato, al-mutanamishah, dan orang yang merenggangkan gigi, untuk kecantikan, yang mengubah ciptaan Allah.” (HR. Bukhari 4886, Muslim 2125, dan lainnya).

Makna Al-Mutanamishah

Al-Mutanamishah adalah para wanita yang minta dicukur bulu di wajahnya. Sedangkan wanita yang menjadi tukang cukurnya namanya An-Namishah. (Syarh Muslim An-Nawawi, 14/106).

An-Nawawi juga menegaskan, bahwa larangan dalam hadis ini tertuju untuk bulu alis,

وأن النهي إنما هو في الحواجب وما في أطراف الوجه

“Larangan tersebut adalah untuk alis dan ujung-ujung wajah..” (Sharh Shahih Muslim, 14/106).

Ibnul Atsir mengatakan,

النمص: ترقيق الحواجب وتدقيقها طلبا لتحسينها

“An-Namsh adalah menipiskan bulu alis untuk tujuan kecantikan…”

Ibnul Allan mengatakan dalam Syarh Riyadhus Shalihin,

وَالنَّامِصَةُ”: الَّتي تَأخُذُ مِنْ شَعْرِ حَاجِبِ غَيْرِهَا، وتُرَقِّقُهُ لِيَصِيرَ حَسَناً. “وَالمُتَنَمِّصَةُ”: الَّتي تَأمُرُ مَنْ يَفْعَلُ بِهَا ذَلِكَ

“An-Namishah adalah wanita yang mencukur bulu alis wanita lain atau menipiskannya agar kelihatan lebih cantik. Sedangkan Al-Mutanamishah adalah wanita yang menyuruh orang lain untuk mencukur bulu alisnya.” (Dalil al-Falihin, 8:482).

Beberapa ulama yang mengarang kitab kumpulan dosa-dosa besar, seperti Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-Kabair, demikian pula Al-Haitami dalam kitabnya Az-Zawajir ‘an Irtikab Al-Kabair menyebutkan bahwa salah satu diantara dosa yang masuk daftar dosa besar adalah mencukur atau menipiskan bulu alis. Karena terdapat hadis yang menyebutkan bahwa Allah melaknat para wanita yang mencukur bulu asli di wajahnya, seperti bulu alis, meskipun itu untuk tujuan kecantikan.

Hukum cadar

Cadar

2. Hukum Cadar

PERINTAH MENUTUP AURAT BAGI PEREMPUAN
‎الأمر بستر العورة للمرأة
‎1. قَالَ تَعَالَى: وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ ...ألآية. النور : 31.
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka. Q.s. An-Nur : 31.
‎سبب نزول الآية
‎وسبب هذه الآية أن النساء كن في ذلك الزمان إذا غطين رءوسهن بالاخمرة وهى المقانع سدلنها من وراء الظهر. قال النقاش: كما يصنع النبط، فيبقى النحر والعنق والأذنان لا ستر على ذلك، فأمر الله تعالى بلى الخمار على الجيوب، وهيئة ذلك أن تضرب المرأة بخمارها على جيبها لتستر صدرها- تفسير القرطبي 12: 130.
Sebab turunnya ayat :
Sebab turunnya ayat ini adalah, bahwa para perempuan pada zaman itu jika menuntupi kepala mereka dengan kerudung ; yaitu penutup wajah, mereka menariknya dari bagian punggung.
An-Naqqash berkata : seperti membuat …. Sehingga bagian leher, pundak dan kedua telinga tetap terbuka. Kemudian Allah memerintahkan untuk merendahkan kerudung sampai dadanya, yaitu dengan cara seorang perempuan merendahkan kain kerudungnya sebingga menutupi dadanya. (Tafsir Al-Qurthubi, 12 : 130).

‎عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: يَرْحَمُ اللهُ نِسَاءَ الْمُهَاجِرَاتِ الأُوَلَ لَمَّا أَنْزَلَ اللهُ {وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ} شَقَّقْنَ مُرُوطَهُنَّ فَاخْتَمَرْنَ بِهَا. رواه البخاري
Dari Aisyah RA ia berkata : semoga Allah merahmati generasi pertama perempuan kaum muhajirin. Ketika allah menurunkan " Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya" mereka merobek
‎2. "يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا". –سورة الأحزاب: 59.
Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang. Q.s. Al-Ahzab : 59.
‎سبب نزول الآية
‎قال ابن الجوزي: سبب نزولها أن الفُسَّاق كانوا يؤذون النساء إِذا خرجن بالليل ، فاذا رأوا المرأة عليها قناع تركوها وقالوا : هذه حُرَّة ، وإِذا رأوها بغير قناع قالوا : أَمَة ، فآذَوها ، فنزلت هذه الآية. روائع البيان 2: 377.
‎روى أنه لما كانت الحرائر والإماء في المدينة يخرجن ليلا لقضاء الحاجة في الغيطان وبين النخيل بلا فارق بين الحرائر والإماء ، وكان في المدينة فساق يتعرضون للإماء وربما تعرضوا للحرائر ، فإذا كلّموا في ذلك قالوا حسبناهن إماء - فطلب من رسوله أن يأمر الحرائر أن يخالفن الإماء في الزي. –المراغي 22: 7.

‎3. عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إلاَّ بِخِمَارٍ. رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلاَّ النَّسَائِيّ.
‎4. عَنْ أُمّ سَلَمَةَ أَنَّهَا سَأَلَتْ النَّبِيَّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: أَتُصَلِّي الْمَرْأَةُ فِي دِرْعٍ وَخِمَارٍ وَلَيْسَ عَلَيْهَا إزَارٌ ؟، قَالَ : إذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُورَ قَدَمَيْهَا. رَوَاهُ أَبُو دَاوُد.
‎إستثناء الوجه والكفين في ستر العورة للمرأة
‎1. معنى وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
‎- عن ابن عباس:( وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ) قال: الكحل والخاتم. – الطبري-
‎- عن ابن عباس، قوله:( وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ) قال: والزينة الظاهرة: الوجه، وكحل العين، وخضاب الكفّ، والخاتم. –الطبري-
‎- وقالت عائشة: القُلْبُ والفتخة، قالت عائشة: دَخَلَتْ عليّ ابنة أخي لأمي عبد الله بن الطفيل مُزَيَّنةً، فدخل النبيّ صلى الله عليه وسلم ، فأعرض، فقالت عائشة: يا رسول الله إنها ابنة أخي وجارية، فقال: "إذا عركت المرأة لم يحلّ لها أن تظهر إلا وجهها، وإلا ما دون هذا"، وقبض على ذراع نفسه، فترك بين قبضته وبين الكفّ مثل قبضة أخرى. وأشار به أبو عليّ.- الطبري-
‎- عن سعيد بن جُبير، في قوله:( وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ) قال: الوجه والكفّ. –الطبري-
‎- عن عطاء في قول الله( وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ) قال: الكفان والوجه. –الطبري-
‎- وقال مجاهد قوله:( إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ) قال: الكحل والخضاب والخاتم.-الطبري-
‎- عن قَتادة:( وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ) قال: المسكتان والخاتم والكحل. –الطبري-
‎- عن الضحاك في قول:( وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ ) قال الكفّ والوجه.- الطبري-
‎- سئل الأوزاعي عن( وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ) قال: الكفين والوجه. –الطبري-

‎بيان قول ابن مسعود في أن ما ظهر منها " الثياب"
‎1. عن عبد الله، أنه قال:( وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ) : قال: هي الثياب. –الطبري-
‎2. عن ابن مسعود، قال: الزينة زينتان: فالظاهرة منها الثياب، وما خفي: الخَلْخَالان والقرطان والسواران.- الطبري-
‎ج. وقول ابن مسعود في أن ما ظهر منها الثياب لا معنى له، لأنه معلوم أنه ذكر الزينة والمراد العضو الذي عليه الزينة الا ترى ان سائر ما تتزين به من الحلى والقلب والخلخال والقلادة يجوز أن تظهرها للرجل اذا لم تكن هي لابستها فعلمنا ان المراد موضع الزينة. –احكام القرآن الجصاص 3: 316.

‎اقول المفسرين في أن الوجه والكفين ليستا بعورة
‎1. ابن جرير الطبري
‎وأولى الأقوال في ذلك بالصواب: قول من قال: عنى بذلك: الوجه والكفان، يدخل في ذلك إذا كان كذلك: الكحل، والخاتم، والسوار، والخضاب.
‎وإنما قلنا ذلك أولى الأقوال في ذلك بالتأويل؛ لإجماع الجميع على أن على كلّ مصل أن يستر عورته في صلاته، وأن للمرأة أن تكشف وجهها وكفيها في صلاتها، وأن عليها أن تستر ما عدا ذلك من بدنها، إلا ما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه أباح لها أن تبديه من ذراعها إلى قدر النصف. فإذا كان ذلك من جميعهم إجماعا، كان معلوما بذلك أن لها أن تبدي من بدنها ما لم يكن عورة، كما ذلك للرجال; لأن ما لم يكن عورة فغير حرام إظهاره؛ وإذا كان لها إظهار ذلك، كان معلوما أنه مما استثناه الله تعالى ذكره، بقوله:( إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ) لأن كل ذلك ظاهر منها. –الطبري 18: 94.-
‎2. ابن كثير
‎ويحتمل أن ابن عباس ومن تابعه أرادوا تفسير ما ظهر منها بالوجه والكفين، وهذا هو المشهور عند الجمهور، ويستأنس له بالحديث الذي رواه أبو داود (وهو حديث اسماء) ابن كثير 2: 282.
‎3. القرطبي
‎قلت: هذا قول حسن، إلا أنه لما كان الغالب من الوجه والكفين ظهورهما عادة وعبادة وذلك في الصلاة والحج، فيصلح أن يكون الاستثناء راجعا إليهما. يدل على ذلك ما رواه أبو داود عن عائشة رضى الله عنها: أن أسماء بنت أبى بكر ...الحديث. فهذا أقوى من جانب الاحتياط، ولمراعاة فساد الناس فلا تبدي المرأة من زينتها إلا ما ظهر من وجهها وكفيها، والله الموفق لا رب سواه. –القرطبي 12: 229.-
‎4. القاسمي
‎وقال السيوطي في الأكليلن فسر ابن عباس قوله الا ما ظهر منها بالوجه والكفين كما اخرجه ابن حاتمز فاستدل به من أباح النظر الى وجه المرأة وكفيها حيث لا فتنة. –القاسمي 12: 4511.
‎5. المراغي
‎أي ولا يظهرن شيئا من الزينة للأجانب إلا ما لا يمكن إخفاؤه مما جرت العادة بظهوره كالخاتم والكحل والخضاب ، فلا يؤاخذن إلا فى إبداء ما خفى منها كالسوار والخلخال. –المراغي 18: 99.
‎6. الجلالين
‎ولا يبدين زينتهن-الخفية وهي ما عدا الوجه والكفين. الجلالين 2: 54,
‎7. سعيد حوى (الأساس في التفسير)
‎{ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ } أي ما يتزين به من الحلى ونحوه { إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا } أي إلا ما جرت العادة والجبلة على ظهوره والأصل فيه الظهور كالخاتم والفتخة والكحل والخضاب فلا مؤاخذة في إبدائه للأجانب وإنما المؤاخذة في إبداء ما خفي من الزينة كالسوار والخلخال والدملج والقلادة والأكليل والوشاح والقرط. الأساس في التفسير 7: 3751.

‎اقوال الفقهاء والمحدثين في أن الوجه والكفين ليستا بعورة
‎1. فقه السيد سابق (فقه السنة)
‎بدن المرأة كله عورة يجب عليها ستره، ما عدا الوجه والكفين قال الله تعالى (ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها)، أي ولا يظهرن مواضع الزينة، إلا الوجه والكفين. فقه السنة 1: 127.
‎2. الشوكاني (نيل الأوطار)
‎وقد جعل في التبويب: أَنَّ الْمَرْأَةَ الْحُرَّةَ كُلَّهَا عَوْرَةٌ إلَّا وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا. نيل الأوطار 2: 75.
‎3. المباركفوري (تحفة الأحوذي)
‎الْعَوْرَاتُ جَمْعُ عَوْرَةٍ وَهِيَ كُلُّ مَا يُسْتَحَى مِنْهُ إِذَا ظَهَرَ وَهِيَ مِنْ الرَّجُلِ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ ، وَمِنْ الْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ جَمِيعُ جَسَدِهَا إِلاَّ الْوَجْهُ وَالْيَدَيْنِ إِلَى الْكُوعَيْنِ. - تحفة الأحوذي 8: 53.-
‎4. أبو الطيب محمد شمس الحق (عون المعبود)
‎وَالْحَدِيث فِيهِ دَلاَلَة عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ الْوَجْه وَالْكَفَّانِ مِنْ الْعَوْرَة ، فَيَجُوز لِلأَجْنَبِيِّ أَنْ يَنْظُر إِلَى وَجْه الْمَرْأَة الأَجْنَبِيَّة وَكَفَّيْهَا عِنْد أَمْن الْفِتْنَة مِمَّا تَدْعُو الشَّهْوَة إِلَيْهِ مِنْ جِمَاع أَوْ مَا دُونه.... وَيَدُلّ عَلَى أَنَّ الْوَجْه وَالْكَفَّيْنِ لَيْسَتَا مِنْ الْعَوْرَة قَوْله تَعَالَى فِي سُورَة النُّور { وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا }. عون المعبود 11: 162.
‎5. احمد عبد الرحمن البنا ( الفتح الرباني)
‎قال في التبويب: باب ما جاء في أن المرأة الحرة كلها عورة الا وجهها وكفيها. –الفتح الرباني 3: 89.-
‎بيان حديث أسْماء بنت أبِي بكر
‎حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ كَعْبٍ الأَنْطَاكِىُّ وَمُؤَمَّلُ بْنُ الْفَضْلِ الْحَرَّانِىُّ قَالاَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ بَشِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ خَالِدٍ - قَالَ يَعْقُوبُ ابْنُ دُرَيْكٍ - عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِى بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَقَالَ « يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا ». وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ. –أبو داود 2: 383، عون المعبود 11: 161، البيهقي 2: 226.
‎س. فهو حديث منقطع الاسناد وفي بعض رواته ضعف وفيه كلام وهو في سنن ابي داود...
‎قَالَ أَبُو دَاوُدَ هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رضى الله عنها، وفي اسناده سعيد بن بشير ابو عبد الرحمن فيه غير واحد – انتهى- روائع البيان 2: 2157.
‎ج 1. قال الشيخ مع هذا المرسل قول من مضى من الصحابة رضى الله تعالى عنهم في بيان ما اباح الله من الزينة الظاهرة فصار القول بذلك قويا وبالله التوفيق. – البيهقي 2: 226.-
‎وقول الصحابة هو:
‎-عن ابن عباس قال ولا يبدين زينتهن الا ما ظهر منها قال ما في الكف والوجه
‎- عن عائشة رضى الله عنها قالت ما ظهر منها الوجه والكفان.
‎- عن ابن عمر انه قال الزينة الظاهره الوجه والكفان. –البيهقي 2: 226.-
‎ج 2. بيان حول سعيد بن بشير
‎الناقد
‎- قال البخاري: يتكلمون في حفظه.
‎- قال عثمان - عن ابن معين: ضعيف.
‎- قال النسائي: ضعيف.
‎- وقال ابن نمير يروي عن قتادة المنكرات
‎- وذكره ابو زرعة في الضعفاء وقال لا يحتج به. –ميزان الإعتدال 2: 128.

‎المعدل
‎- قال ابو مسهر: لم يكن في بلدنا احفظ منه وهو منكر الحديث
‎- قال ابو حاتم : محله الصدق
‎- قال بقية: سألت شعبة عنه، فقال: ذاك صدوق اللسان.
‎- قال عباس - عن ابن معين: ليس بشئ.
‎- قال ابن الجوزي : قد وثقه شعبة ودحيم
‎- قال ابن عيينة: حدثنا سعيد بن بشير وكان حافظا
‎- قال ابن عدي : لا أرى بما يروي بأسا ولعله يهم ويخلط. –ميزان الإعتدال 2: 128.
‎فستستخلص منها أن سعيد بن بشير ضعفه جماعة ووثقه آخرون والذي ضعفه لا يبينون سبب ضعفه.
‎ج 3. وسعيد بن بشير ضعيف كما في التقريب للحافظ بن حجر لكن الحديث قد جاء منه ظرق آخر يتقوى بها وهي:
‎1. وأخرج أبو داود في مراسيله عن قتادة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال « إن الجارية إذا حاضت لم يصلح أن يرى منها إلا وجهها ويداها إلى المفصل ». الدر المنثور 5: 2,
‎2. وعن أسماء بنت عميس أنها قالت: دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم يوماً على عائشة وعندها أختها أسماء وعليها ثياب سابغة واسعة الأكمة فلما نظر إليها رسول الله صلى الله عليه وسلم قام فخرج فقالت لها عائشة: تنحى فقد رأى منك رسول الله صلى الله عليه وسلم أمراً كرهه فتنحت فدخل رسول الله صلى الله عليه وسلم فسألته عائشة لم قام فقال: ألم ترى إلى هناتها إنه ليس للمرأة المسلمة أن يبدو منها إلا هكذا وأخذ كميه فغطى بهما ظهر كفيه حتى لم يبد من كفيه إلا أصابعه ثم نصب كفيه على صدغيه حتى لم يبد إلا وجهه. روى الطبراني في الكبير والأوسط. مجمع الزوائد 5: 127.
‎س. وقال البيهقي: اسناده ضعيف.- حجاب المرأة المسلمة.
‎ج 1. وعلته ابن لهيعة هذا واسمه عبد الله الحضرمي ابو عبد الرحمن المصري القاضي وهو ثقة فاضل لكنه كان يحدث من كتبه فاحترقت فحدث من حفظه فخلط وبعض المتأخرين يحسن حديثه وبعضهم يصححه. -حجاب المرأة المسلمة.-
‎2. قال الهيثمي: وفيه ابن لهيعة وحديثه حسن. وبقية رجاله رجال الصحيح. مجمع الزوائد 5: 127.
‎3. قال ناصر الدين الألباني: والذي لا شك فيه ان حديثه في المتابعات والشواهد لا ينزل عن رتبة الحسن وهذا منها. -حجاب المرأة المسلمة: 25,-

‎الأدلة الدالة على عدم الوجوب ستر الوجه والكفين وجريان العمل عليه في عهد النبي
‎1. قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ...الآية النور : 30-31.
‎وجه الإستدلال
‎فإنها تشعر بأن في المرأة شيئا مكشوفا يمكن النظر اليه فلذلك امر تعالى بغض البصر عنهن وما ذلك غير الوجه والكفين. -حجاب المرأة المسلمة: 34.-
‎2. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي : لا تتبع النظرة النظرة فإن لك الأولى وليست لك الآخرة. –الترمذي-
‎وجه الإستدلال
‎ولولا أن في المرأة شيئا مكشوفا لما ينهى عن نظرة الثانية وذلك مشعر بأن منها مايباح كشفها.
‎3. عن جرير بن عبد الله قال : سألت رسول الله صلى الله عليه و سلم عن نظرة الفجأة فأمرني أن أصرف بصري. –مسلم-
‎4. عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- الصَّلاَةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلاَلٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ فَقَالَ « تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ ». فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ اللهِ. الحديث. –مسلم 1: 350، البيهقي 3: 296.
‎- سطة النساء خيارهن
‎- والسفعاء من السفعة وهو وزان غرفة: سواء مشرب بحمرة –حاشية صحيح مسلم-
‎- والحديث واضح الدلالة على من أجله اوردناه والا لما استطاع الراوي ان يصف تلك المرأة بأنها سفعاء الخدين. –حجاب المرأة : 25.-
‎5. عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ جِئْتُ لأَهَبَ لَكَ نَفْسِي فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَعَّدَ النَّظَرَ إِلَيْهَا وَصَوَّبَهُ ثُمَّ طَأْطَأَ رَأْسَهُ فَلَمَّا رَأَتْ الْمَرْأَةُ أَنَّهُ لَمْ يَقْضِ فِيهَا شَيْئًا جَلَسَتْ...-البخاري-
‎6. عن عَائِشَةَ قَالَتْ: كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلاَةَ لاَ يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنْ الْغَلَسِ. –البخاري-
‎ووجه الإستدلال به هو قولها: لا يعرفن من الغلس فان مفهومه انه لولا الغلس لعرفن وانما يعرف عادة من وجوههن وهي مكشوفة. –حجاب المرأة-

Pertama, cadar dalam konteks niqab. Secara bahasa, sebagaimana tercatat dalam kitab Fath al-Bari, niqab adalah kain tutup muka yang diikat di atas hidung atau di bawah kelopak mata.
Tertanggal 25-26 November 1989, Dewan Hisbah Persis tercatat pernah mengadakan sidang di Pesantren Persis Taragong Garut dengan membahas 11 permasalahan yang di antaranya membahas terkait cadar. Pada pembahasan tersebut, Dewan Hisbah berfatwa dengan berdasar kepada tiga hal; al-Qur’an surat an-Nur ayat 30-31 dan al-Ahzab ayat 59; hadis-hadis dari Asma Abu Bakar yang diperkuat oleh hadis-hadis lain; dan kenyataan-kenyataan yang ada di zaman Nabi saw, dengan simpulan bahwa wanita tidak disyariatkan memakai cadar.
Menurut Ustaz Amin, hujjah yang dimiliki muslim yang meyakini cadar sebagai syariat biasanya menggunakan dua dalil al-Qur’an, yaitu pada surat al-Nur ayat 31 dan al-Ahzab ayat 59. Untuk memahami ayat 31 surat al-Nur, Dewan Hisbah menjadikan landasan sabab al-nuzul ayat dimaksud sebagaimana tercantum dalam Tafsir al-Qurthubi jilid XII halaman 130.
“Imam Al-Qurthubi berkata, “Sebab turunnya ayat ini, bahwa perempuan-perempuan pada zaman itu apabila mereka menutup kepala mereka dengan tutup, yaitu tutup kepala, mereka menurunkannya di balik punggung. An-Naqqaas berkata, ‘Sebagaimana diperbuat oleh rakyat jelata,’ maka leher, tengkuk, dan kedua telinga tetap terbuka tidak tertutup, maka Allah Ta’ala memerintah menutupkan kain kudung kepada dada dan caranya itu, perempuan menutupkan kain kudung ke dadanya agar tertutup.”
Sebagaimana yang dipahami oleh Dewan Hisbah Persis, Ustaz Amin mengutarakan bahwa ayat tersebut tidak relevan jika dikaitkan dengan masalah cadar. “Maka menurut Dewan Hisbah, istidlal tentang cadar dengan ayat ini tidak tepat, karena tidak ada hubungan dengan urusan cadar. Realitas waktu itu justru mereka sudah berkudung, tapi kudung adat, ‘urf. Lalu dibuatlah panduan berkudung secara syar’i dengan cara ditutup leher, tengkuk, dan telinganya,” tutur Ustaz Amin.
Sedangkan ayat 59 pada surat al-Ahzab, menurut Ustaz Amin, ditujukan untuk membedakan antara perempuan merdeka dan perempuan hamba sahaya. Hal ini dilandaskan kepada sabab al-nuzul ayat dimaksud yang tercatat dalam Tafsir Rawaiy al-Bayan bahwa orang-orang fasik menyakiti perempuan-perempuan apabila keluar malam. Jika mereka melihat perempuan memakai qina’ (dapat bermakna kudung kepala atau cadar) mereka tidak mengganggunya dan mengatakan, “Perempuan ini orang merdeka.” Sedangkan jika perempuan tersebut tidak mengenakan qina’, mereka mengatakan, “Perempuan ini hamba sahaya.” Lalu mereka menyakitinya. Maka turunlah ayat ini.
“Andai kata dua ayat ini dipakai sebagai dalil yang berkaitan dengan masalah cadar, menurut Dewan Hisbah, surat al-Nur tidak ada hubungan. Andai kata surat al-ahzab mau dipakai dalil tentang cadar, maka turunnya surat al-Ahzab tidak berkenaan dengan syari’at cadar selain mu’allalah, yaitu ada ‘illat. Illatnya adalah pembeda antara wanita merdeka dengan hamba sahaya agar aman dari gangguan,” simpul Ustaz Amin.
Selain itu, ditegaskan oleh Sa’id bin Jubair dalam Tafsir al-Thabari bahwa maksud dari firman Allah pada surat al-Nur, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya,” maksudnya ialah wajah dan telapak tangan.
Kedua, cadar dalam konteks ritual sebuah agama diluar Islam. Jaina merupakan salah satu agama yang eksis pada masa pra-Aria. Dalam agama tersebut terdapat dua aliran; aliran Swatembara dan aliran Digambara. Aliran Swatembara merupakan aliran yang sangat ketat dalam berpakaian, sampai tidak boleh menyisakan satu bagian di tubuh kecuali harus tertutup dengan kain putih, termasuk wajah.
“Dalam konteks simbol ritual Agama Jaina, memakai cadar hukumnya haram karena tasyabbuh dengan kaum kafir,” tegas Ustaz Amin.
Dalam memberikan materi kajian manhajy keenam ini, Ustaz Amin menyampaikan bahwa dalam menyikapi penggunaan cadar, Ketua Dewan Hisbah Persis, KH. M. Romli berpesan kepada keluarga besar Persis sebagai berikut:
“Andaikata tidak setuju terhadap fatwa Dewan Hisbah hukumnya mubah, silakan ajukan. Tapi, kemudian menerima terhadap hukum Dewan Hisbah mubah, terus keukeuh hayang dicadar, ceuk Akeh (KH. M. Romli), tanya ka diri, aya naon nepi ka keukeuh teuing hayang dicadar, padahal sadar secara ilmu hukumna mubah. (Andaikata tidak setuju terhadap fatwa Dewan Hisbah hukumnya mubah, silakan ajukan. Tapi, kemudian menerima terhadap hukum Dewan Hisbah mubah, terus bersikukuh ingin dicadar, kata Akeh, tanyakan kepada diri, ada apa sampai bersikukuh ingin dicadar, padahal sadar secara ilmu hukumnya mubah,)” tegas Ustaz Amin Muchtar menyampaikan pesan Ketua Dewan Hisbah Persis, KH. M. Romli. (/IF)