Rabu, 23 Oktober 2019

rebo wekasan

Ada apa dengan rebo wekasan?
Mereka yang perhatian dengan rebo wekasan berkeyakinan bahwa setiap tahun akan turun 320.000 balak, musibah, atau bencana, dan itu akan terjadi pada hari Rabu terakhir bulan Safar.
Karena keyakinan ini, sebagian orang menghimbau untuk melakukan bentuk ibadah khusus pada hari itu. Terutama orang syiah. Di berbagai forum online, mereka sangat antusias membicarakan rebo wekasan ini. Tidak lupa mereka sebutkan sederet amalan sebagai upaya tolak balak, yang sama sekali tidak pernah dicontohkan dalam islam.
Di antara amalan tersebut adalah mengerjakan shalat empat raka’at dengan satu kali salam, dalam rangka tolak balak. Shalat ini dikerjakan pada waktu dhuha atau setelah terbit matahari. Pada setiap raka’at membaca surat Al-Fatihah kemudian surat Al-Kautsar 17 kali, surat Al-Ikhlas 50 kali, Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas) masing-masing satu kali. Ketika salam membaca surat Yusuf ayat 21 yang berbunyi:
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ.
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.”
Ayat ini dibaca sebanyak 360 kali.
Kemudian ditambah dengan Jauharatul Kamal tiga kali dan ditutup dengan bacaan (surat Ash-Shaffat ayat 180-182) berikut:
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Kegiatan ini dilanjutkan dengan memberikan sedekah makanan kepada fakir miskin. Tidak cukup sampai di situ, ada juga yang menyuruh untuk membuat rajah-rajah dengan model tulisan tertentu pada secarik kertas, kemudian dimasukkan ke dalam sumur, bak kamar mandi, atau tempat-tempat penampungan air lainnya.
Mereka berkeyakinan, siapa yang melakukan ritual tersebut pada rebo wekasan, dia akan terjaga dari segala bentuk musibah dan bencana yang turun ketika itu.
Sumber Referensi yang kami jumpai yang membahas masalah ini adalah kitab Kanzun Najah karya Abdul Hamid bin Muhammad Ali Quds. Salah satu tokoh sufi, murid Zaini Dahlan. Dalam buku tersebut, dia menyatakan di pasal: Hal-hal yang Dianjurkan ketika bulan safar,
اعلم…أن مجموع الذي نقل من كلام الصالحين كما يعلم مما سيأتي أنه ينزل في آخر أربعاء من صفر بلاء عظيم، وأن البلاء الذي يفرِّق في سائر السنة كله ينزل في ذلك اليوم، فمن أراد السلامة والحفظ من ذلك فليدع أول يوم من صفر، وكذا في آخر أربعاء منه بهذا الدعاء؛ فمن دعا به دفع الله سبحانه وتعالى عنه شرَّ ذلك البلاء. هكذا وجدته بخط بعض الصالحين
Ketahuilah bahwa sekelompok nukilan dari keterangan orang shaleh – sebagaimana nanti akan diketahui – bahwa pada hari rabu terakhir bulan safar akan turun bencana besar. Bencana inilah yang akan tersebar di sepanjang tahun itu. Semuanya turun pada hari itu. Siapa yang ingin selamat dan dijaga dari bencana itu, maka berdoalah di tanggal 1 safar, demikian pula di hari rabu terakhir dengan doa yang sama. Siapa yang berdoa dengan kalimat itu maka Allah akan menyelamatkannya dari keburuhan musibah tersebut. Inilah yang aku temukan dari tulisan orang-orang shaleh.
Selanjutnya, penulis menyebutkan beberada doa yang dia ajarkan. (Kanzun Najah, hlm. 49).
Sebagai orang beriman daan meyakini bahwa sumber syariat adalah Al-Quran dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu saja berita semacam ini tidak boleh kita percaya. Karena kedatangan bencana di muka bumi ini, merupakan sesuatu yang ghaib dan tidak ada yang tahu kecuali Allah. Satu-satunya cara untuk mengetahui hal itu adalah melalui wahyu Al-Quran dan sunah. Sementara penulis sama sekali tidak menyebutkan sumber selain klaim bahwa itu tulisan orang shaleh. Terlebih tidak ada keterangan dari sahabat maupun ulama masa silam yang menyebutkan hal ini.
Lajnah Daimah pernah ditanya tentang ritual rebo wekasan yang dilakukan di akhir safar. Jawaban yang diberikan,
هذه النافلة المذكورة في السؤال لا نعلم لها أصلا من الكتاب ولا من السنة، ولم يثبت لدينا أن أحدا من سلف هذه الأمة وصالحي خلفها عمل بهذه النافلة، بل هي بدعة منكرة، وقد ثبت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد. ومن نسب هذه الصلاة وما ذكر معها إلى النبي صلى الله عليه وسلم أو إلى أحد من الصحابة رضي الله عنهم فقد أعظم الفرية، وعليه من الله ما يستحق من عقوبة الكذابين‏.‏ وبالله التوفيق‏.‏ وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم‏.‏
Amalan seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, tidak kami jumpai dalilnya dalam Al-Quran dan sunah. Tidak juga kami ketahui bahwa ada salah satu ulama masa silam dan generasi setelahnya yang mengamalkan ritual ini. Jelas ini adalah perbuatan bid’ah. Dan terdapat hadis shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Siapa yang membuat hal yang baru dalam agama ini, yang bukan bagian dari agama maka dia tertolak.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, dll)

awal dan akhir sholat dhuha

DEWAN HISBAH AWAL DAN AKHIR SHALAT DHUHA
ByPersis JakartaPosted on 3 Agustus 2017      COMMENTS
KEPUTUSAN DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM
No. 007 Tahun 1437 H. / 2016 M.

Tentang:

AWAL DAN AKHIR WAKTU DLUHA

‎بسم الله الرحمن الرحيم

Dewan Hisbah Persatuan Islam Pada Sidang Terbatas di Pesantren Persis 34 Cibegol, Kabupaten Bandung tanggal 23Jumadil Ula 1437 H/3Maret 2016 M setelah:

MENIMBANG:

Shalat adalah ibadah yang telah ditentukan waktunya.
Bahwa shalat dluha adalah shalat yang ditentukan juga waktunya.
Bahwa Rasulullah saw pun pernah melaksanakan shalat dluha waktu futuh Makkah.
Terdapat permasalahan terkait penetapan awal dan akhir waktu shalat dluha.
Bahwa Dewan Hisbah Persatuan Islam memandang perlu adanya kejelasan awal dan akhir waktu shalat tersebut.
MENGINGAT:

Firman Allaah SWT. :
‎إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” Qs.4 / An-Nisa 4 : 103

‎أقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).Qs.17 / Al-Isra : 78

Hadits Nabi SAW.:
‎عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ السُّلَمِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ اللَّيْلِ أَسْمَعُ؟ قَالَ: «جَوْفُ اللَّيْلِ الْآخِرُ، فَصَلِّ مَا شِئْتَ، فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَكْتُوبَةٌ، حَتَّى تُصَلِّيَ الصُّبْحَ، ثُمَّ أَقْصِرْ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، فَتَرْتَفِعَ قِيسَ رُمْحٍ، أَوْ رُمْحَيْنِ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَيُصَلِّي لَهَا الْكُفَّارُ، ثُمَّ صَلِّ مَا شِئْتَ، فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَكْتُوبَةٌ، حَتَّى يَعْدِلَ الرُّمْحُ ظِلَّهُ ، ثُمَّ أَقْصِرْ، فَإِنَّ جَهَنَّمَ تُسْجَرُ، وَتُفْتَحُ أَبْوَابُهَا، فَإِذَا زَاغَتِ الشَّمْسُ، فَصَلِّ مَا شِئْتَ، فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ، حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ، حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَيُصَلِّي لَهَا الْكُفَّارُ».
Dari Amer bin ‘Abasah as-Sulamiy, ia berkata, aku bertanya kepada Rasululah Saw: “wahai Rasulullah, bagian malam yang manakah yang paling dekat kepada di ijabahnya do’a?” Beliau menjawab: “sepertiga malam akhir”, shalatlah sekehendakmu, sebab shalat di waktu itu di saksikan dan dicatat amal kebaikannya oleh malaikat, hingga engkau shalat shubuh. Kemudian janganlah melakukan shalat sampai matahari terbit maka dia meninggi seukuran tombak atau dua tombak, sebab ia terbit diantara dua tanduk setan, dan orang kafir melakukan shalat pada waktu itu, kemudian shalatlah sekehendakmu, sebab shalat di waktu itu (ketika matahari satu atau dua tombak) di saksikan dan dicatat amal kebaikannya oleh malaikat, hingga Tombak seimbang dengan bayangannya (maksudnya: hingga mendekati waktu Istiwa/Kulminasi). Kemudian (setelah itu)janganlah kalian melakukan shalat sebab neraka Jahannam sedang menyala-nyala, dan pintunya di buka. Bila matahari tela tergelincir, maka shalatlah sekehendakmu, sebab shalat di waktu itu di saksikan hingga engkau melakukan shalat Ashar. Kemudian janganlah melakukan shalat hingga matahari tenggelam, sebab ia tenggelam diantara dua tanduk setan, dan orang kafir melakukan shalat pada waktu itu. (HR. Abu Daud, Sunan Abu Daud II: 25)

 

‎وَحَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالاَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ – وَهُوَ ابْنُ عُلَيَّةَ – عَنْ أَيُّوبَ عَنِ الْقَاسِمِ الشَّيْبَانِىِّ أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلاَةَ فِى غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ ».
Dan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Ibnu Numair keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Ismail yaitu Ibnu ‘Ulayyah dari Ayyub dari Al Qasim Asy Syaibani bahwa Zaid bin Arqam pernah melihat suatu kaum yang tengah mengerjakan shalat dhuha, lalu dia berkata; “Tidakkah mereka tahu bahwa shalat diluar waktu ini lebih utama? sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Shalat awwabin (orang yang bertaubat) dikerjakan ketika anak unta mulai kepanasan.”HR. Muslim II: 171 no.1780

 

‎أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ فُورَكَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ حَبِيبٍ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنِ الْقَاسِمِ ح وَأَخْبَرَنَا أَبُو الْحَسَنِ : عَلَىُّ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمُقْرِئُ أَخْبَرَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ يَعْقُوبَ الْقَاضِى حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنِ الْقَاسِمِ الشَّيْبَانِىِّ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ : أَنَّهُ رَأَى نَاسًا جُلُوسًا إِلَى قَاصٍّ فَلَمَّا طَلَعَتِ الشَّمْسُ ابْتَدَرُوا السَّوَارِى يُصَلُّونَ فَقَالَ زَيْدُ بْنُ أَرْقَمَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ :« صَلاَةُ الأَوَّابِينَ إِذَا رَمِضَتِ الْفِصَالُ ».
(Al-Baihaqi berkata) Telah menghabarkan kepada kami Abu Bakar bin Fuurak (ia berkata), telah menghabarkan kepada kami Abdullah bin Ja’far (ia berkata), telah mennceritakan kepada kami Yunus bin Habib (ia berkata), telah menceritakan kepada kami Abu Daud (ia berkata), telah menceritakan kepada kami Hisyam dari al-Qasim. (al-Baihaqi berkata), telah menceritakan juga kepada kami Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Muqri (ia berkata), telah menghabarkan kepada kami al-Hasan bin Muhammad bin Ishaq (ia berkata), telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Ya’qub al-Qaadiy (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Hammad dari al-Qasim as-Syaibaniy dari Zaid bin Arqam, bahwa ia melihat orang-orang sedang duduk kepada seorang pembaca kisah, ketika telah terbit matahari mereka bersegera melaksanakan shalat. Maka Zaid bin Arqam berkata, Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Shalat Awwabin itu ketika anak unta menderum karena kepanasan”.

‎حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الوهاب عن سعيد عن قتادة عن القاسم الشيباني عن زيد بن أرقم : ان نبي الله صلى الله عليه و سلم أتى على مسجد قباء أو دخل مسجد قباء بعد ما أشرقت الشمس فإذا هم يصلون فقال ان صلاة الأوابين كانوا يصلونها إذا رمضت الفصال
(al-Qathi’iy berkata) Telah menceritakan kepada kami Abdullah (ia berkata), telah menceritakan kepadaku bapakku (ia berkata), telah menceritakan kepada kami Abdul Wahab dari Said dari Qatadah dari al-Qasim as-Syaibaniy dari Zaid bin Arqam, bahwa Nabi Saw mendatangi masjid quba, atau masuk ke Masjid Quba, setelah terbit matahari. Ternyata mereka sedang shalat, maka ia berkata, sesungguhnya shalat Awwabin adalah ketika anak-anak unta menderum karena kepanasan.”(HR. Ahmad IV: 374 no. 19366)

Sayyid Sabiq mengatakan
‎وقتها: يَبْتَدِى أَوْقَاتهُاَ بِارْتِفَاعِ الشَمْسِ قَدْرَ رَمْحٍ وَيَنْتَهِي حِيْنَ الزَّوِالِ وَلَكِنَّ المُسْتَحَبَّ أَنْ تُؤَخَّرَ إِلىَ أَنْ تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَيَشْتَدَّ الْحُرُّ.

“Waktu salat Dhuha dimulai ketika matahari mulai meninggi seukuran tombak dan berakhir ketika zawwal (tergelincir matahari), namun yang mustahab adalah diakhirkan sampai matahari meninggi dan terasa panas.” (Lihat, Fiqh As-Sunnah, jilid 1, hlm. 177)

MEMPERHATIKAN :

Sambutan dan pengantar dari Ketua Umum PP.Persis KH. Aceng Zakaria yang menyarankan segera diputuskan masalah hukum tentang ‘Awal dan akhir waktu dluha ’ dan untuk segera disosialisasikan.
Sambutan dan pengarahan dari Ketua Dewan Hisbah KH.Muhammad Romli.
Pemaparan dan pembahasan makalah tentang’Awal dan akhir waktu dluha’ yang disampaikan oleh Ust.Usman Burhanudin bahwa awal waktu dluha dinyatakan masuk setelah terbit Matahari dan berakhir 5 menit sebelum waktu zhuhur.
Pandangan para peserta sidang tentang dalil dan keterangan awal dan akhir waktu dluha .
Atas dasar semua konsideran di atas, maka dengan bertawakkal kepada Allah Dewan Hisbah Persatuan Islam

MENGISTINBATH :

Waktu dluha dinyatakan masuk setelah terbit matahari.
Setelah terbit matahari dipahami bila piringan matahari yang paling bawah telah menyentuh ufuk yakni 15 menit setelah syuruq.
Waktu afdlal shalat dluha adalah saat anak unta kepanasan yakni sekitar jam 09.00-11.00.
Waktu Dluha berakhir sampai beberapa saat sebelum kulminasi yakni 5 menit sebelum waktu zhuhur.
Demikian keputusan Dewan Hisbah mengenai masalah tersebut dengan makalah terlampir.

‎الله يأخذ بأيدينا الى ما فيه خير للإسلام و المسلمين

Bandung, 23Jumadil Ula 1437 H./3Maret 2016 M.
DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM

sumbangan untuk muludan

Pa ustad ayeuna tos Bade gebyar muludan malih simkuring diulem disuhunkeun sumbangan kumaha sumpingan tong?

Mengeluarkan harta itu akan d hisab.
من اين انفقه 
_kemana kau keluarkan hartamu_? 

Jadi jangan mengeluarkan harta untuk acara bid'ah

rebo wekasan

Ada apa dengan rebo wekasan?
Mereka yang perhatian dengan rebo wekasan berkeyakinan bahwa setiap tahun akan turun 320.000 balak, musibah, atau bencana, dan itu akan terjadi pada hari Rabu terakhir bulan Safar.
Karena keyakinan ini, sebagian orang menghimbau untuk melakukan bentuk ibadah khusus pada hari itu. Terutama orang syiah. Di berbagai forum online, mereka sangat antusias membicarakan rebo wekasan ini. Tidak lupa mereka sebutkan sederet amalan sebagai upaya tolak balak, yang sama sekali tidak pernah dicontohkan dalam islam.
Di antara amalan tersebut adalah mengerjakan shalat empat raka’at dengan satu kali salam, dalam rangka tolak balak. Shalat ini dikerjakan pada waktu dhuha atau setelah terbit matahari. Pada setiap raka’at membaca surat Al-Fatihah kemudian surat Al-Kautsar 17 kali, surat Al-Ikhlas 50 kali, Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas) masing-masing satu kali. Ketika salam membaca surat Yusuf ayat 21 yang berbunyi:
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ.
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.”
Ayat ini dibaca sebanyak 360 kali.
Kemudian ditambah dengan Jauharatul Kamal tiga kali dan ditutup dengan bacaan (surat Ash-Shaffat ayat 180-182) berikut:
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Kegiatan ini dilanjutkan dengan memberikan sedekah makanan kepada fakir miskin. Tidak cukup sampai di situ, ada juga yang menyuruh untuk membuat rajah-rajah dengan model tulisan tertentu pada secarik kertas, kemudian dimasukkan ke dalam sumur, bak kamar mandi, atau tempat-tempat penampungan air lainnya.
Mereka berkeyakinan, siapa yang melakukan ritual tersebut pada rebo wekasan, dia akan terjaga dari segala bentuk musibah dan bencana yang turun ketika itu.
Sumber Referensi yang kami jumpai yang membahas masalah ini adalah kitab Kanzun Najah karya Abdul Hamid bin Muhammad Ali Quds. Salah satu tokoh sufi, murid Zaini Dahlan. Dalam buku tersebut, dia menyatakan di pasal: Hal-hal yang Dianjurkan ketika bulan safar,
اعلم…أن مجموع الذي نقل من كلام الصالحين كما يعلم مما سيأتي أنه ينزل في آخر أربعاء من صفر بلاء عظيم، وأن البلاء الذي يفرِّق في سائر السنة كله ينزل في ذلك اليوم، فمن أراد السلامة والحفظ من ذلك فليدع أول يوم من صفر، وكذا في آخر أربعاء منه بهذا الدعاء؛ فمن دعا به دفع الله سبحانه وتعالى عنه شرَّ ذلك البلاء. هكذا وجدته بخط بعض الصالحين
Ketahuilah bahwa sekelompok nukilan dari keterangan orang shaleh – sebagaimana nanti akan diketahui – bahwa pada hari rabu terakhir bulan safar akan turun bencana besar. Bencana inilah yang akan tersebar di sepanjang tahun itu. Semuanya turun pada hari itu. Siapa yang ingin selamat dan dijaga dari bencana itu, maka berdoalah di tanggal 1 safar, demikian pula di hari rabu terakhir dengan doa yang sama. Siapa yang berdoa dengan kalimat itu maka Allah akan menyelamatkannya dari keburuhan musibah tersebut. Inilah yang aku temukan dari tulisan orang-orang shaleh.
Selanjutnya, penulis menyebutkan beberada doa yang dia ajarkan. (Kanzun Najah, hlm. 49).
Sebagai orang beriman daan meyakini bahwa sumber syariat adalah Al-Quran dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu saja berita semacam ini tidak boleh kita percaya. Karena kedatangan bencana di muka bumi ini, merupakan sesuatu yang ghaib dan tidak ada yang tahu kecuali Allah. Satu-satunya cara untuk mengetahui hal itu adalah melalui wahyu Al-Quran dan sunah. Sementara penulis sama sekali tidak menyebutkan sumber selain klaim bahwa itu tulisan orang shaleh. Terlebih tidak ada keterangan dari sahabat maupun ulama masa silam yang menyebutkan hal ini.
Lajnah Daimah pernah ditanya tentang ritual rebo wekasan yang dilakukan di akhir safar. Jawaban yang diberikan,
هذه النافلة المذكورة في السؤال لا نعلم لها أصلا من الكتاب ولا من السنة، ولم يثبت لدينا أن أحدا من سلف هذه الأمة وصالحي خلفها عمل بهذه النافلة، بل هي بدعة منكرة، وقد ثبت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد. ومن نسب هذه الصلاة وما ذكر معها إلى النبي صلى الله عليه وسلم أو إلى أحد من الصحابة رضي الله عنهم فقد أعظم الفرية، وعليه من الله ما يستحق من عقوبة الكذابين‏.‏ وبالله التوفيق‏.‏ وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم‏.‏
Amalan seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, tidak kamijumpai dalilnya dalam Al-Quran dan sunah. Tidak juga kami ketahui bahwa ada salah satu ulama masa silam dan generasi setelahnya yang mengamalkan ritual ini. Jelas ini adalah perbuatan bid’ah. Dan terdapat hadis shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Siapa yang membuat hal yang baru dalam agama ini, yang bukan bagian dari agama maka dia tertolak.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, dll)

hukum mengucap milad

Bismillah. Bagaimana hukumnya mengucapkan barokallohu fi umrik atau wilujeung milad kepada orang yang ulang tahun?
Syukron

Jika di yakini itu _Tasyabbuh bil kuffar_ (menyerupai kepada org kafir) maka hukumnya dosa

hukum syukuran pada saat ulang tahun

Syukuran berasal dari kata الشُّكُرُ yang secara bahasa berarti 'tampak (Zhahir). Kalimat ذَابَّةٌ شَكُوْرٌ berarti 'binatang yang bersyukur', maksudnya bila tampak gemuk badanya, sebagai hasil dari makanan yang dimakannya.

Seorang hamba yang bersyukur ialah yang berterimakasih kepada Allah yang telah memberi nikmat, diwujudkan (ditampakan) dengan melaksanakan ta'at (ibadah) kepadanya.

Sahl bin Abdillah mengatakan, "syukur itu ialah bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ta'at dengan menjauhi kemaksiatan" (Tafsir al-Qurthuby 1: 397).

Sedangkan ulang tahun atau milad (maulid) adalah sebagian dari upacara agama Romawi kuno, dan merayakannya hukumnya haram.

Maka dengan demikian, bila orang Islam berulang tahun/ milad (maulid) dengan dalih syukuran, atau sengaja mengadakan syukuran pada hari ulang tahun/ milad , berarti telah melaksanakan iltibas (Mencampuradukan hak dengan bathil).

Hal ini dilarang oleh Allah SWT sebagaimana dalam firman-nya : "Janganlah kamu mencampur adukan hak dengan bathil (iltibas), dan janganlah kamu menyembunyikan hak, padahal kamu tahu." (Qs. AL-Baqarah : 42).

TMD (Ustadz Akhyar Syuhda, Ustadz I. Sodikin, Ustadz HM. Romli, Ustadz HA. Ghazali, Ustadz Usman Sholehuddin, Ustadz HM. Abdurrahman Ks, Ustadz Rahmat Najieb)

Istifta Risalah No 1 Th. 40, April 2002

https://www.persis.or.id/hukum-syukuran-bertepatan-dengan-ulang-tahun

Selasa, 22 Oktober 2019

Menggerakan Telunjuk ketika tahiyat

Analisa Matan Sahabat Wail bin Hujr secara tegas memulai riwayatnya dengan kalimat: لَأَنْظُرَنَّ اِلَى الصَّلَاةِ رَسُوْلِ اللهِ ص كَيْفَ يُصَلِّي, فَنَظَرْتُ اِلَيْهِ…ثُمَّ رَفَعَ اِصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهُا يَدْعُوْ بِهَا … “Sungguh benar-benar aku ingin melihat bagaimana Rasulullah saw bersembahyang? Lalu aku melihat padanya...kemudian Rasulullah mengangkat telunjuknya dan Aku Melihat beliau menggerak-gerakkan telunjuknya, seraya berdoa bersama telunjuknya.” Demikianlah Wail memulai pembicaraanya. Di dalam perkataannya tampak jelas terlihat keinginannya yang teguh untuk meneliti bagaimana cara Rasulullah melaksanakan salat, dan benar-benar ia telah menyaksikannya. Setelah Wail menerangkan cara Rasulullah salat seperti yang disaksikannya dan akhirnya ia menegaskan cara mengangkat telunjuk, isyarat selama tasyahud dengan menggunakan kalimat yang sharih (jelas) lagi tegas bahwa benar-benar ia melihat dengan mata kepala sendiri. Wail dengan sengaja memperhatikan dan meneliti Rasulullah dalam shalat baik ia nyatakan dengan kata-kata yang meyakinkan, yaitu “aku melihat”. Dijelaskannnya bahwa, selama bacaan tasyahhud yang isinya doa kepada Allah, beliau terus menerus menggerak-gerakkan telunjuknya. Di situ dinyatakan bahwa permulaan isyarat tersebut dari sejak beliau meletakkan tangan di atas pahanya. Jadi jelas bahwa telunjuk itu digerak-gerakkan selama bacaan tasyahud dari awal sampai akhir. Hal ini menunjukkan bahwa Keterangan Wail bersifat muqayyad, yakni ditegaskan sifat isyaratnya. Sedangkan keterangan yang menyatakan Rasulullah saw. berisyarat dengan telunjuknya tanpa keterangan tahrikus sababah (menggerak-gerakkan telunjuk), yaitu keterangan Abdullah bin Zubair dan Ibnu Umar tidak terdapat ketegasan “aku melihat” dan bagaimana bentuk berisyarat itu. Hal ini menunjukkan bahwa Keterangan mereka bersifat mutlaq (tidak ditegaskan sifatnya). Berarti di antara hadis Wail dan Ibnu Zubair-Ibnu Umar tidak bertentangan melainkan hamlul mutlaq ‘alal muqayyad, yaitu hadis Wail jadi penegas dan jadi taqyid (pembatas) keterangan Ibnu Zubair-Ibnu Umar yang mutlaq (umum). Dengan perkataan lain, isyarat yang dimaksud berupa menggerak-gerakkan telunjuk. Berdasarkan analisa di atas, kami berkesimpulan bahwa menggerak-gerakkan telunjuk waktu duduk tasyahhud merupakan sunah Rasul yang layak diamalkan.

Senin, 21 Oktober 2019

hadits dhoif sholat tasbih

Wa'alaikum salam warohmatulloohi wabarokatuh... 

Ini haditsnya

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلَا أُعْطِيكَ أَلَا أَمْنَحُكَ أَلَا أَحْبُوكَ أَلَا أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ سِرَّهُ وَعَلَانِيَتَهُ عَشْرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ الْقِرَاءَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِي سَاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُولُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي عُمُرِكَ مَرَّةً

Rasulullah bersabda kepada Abbas bin Abdul Muththalib, “Wahai Abbas, wahai pamanku, maukah engkau aku beri? Maukah engkau aku kasih? Maukah engkau aku beri hadiah? Maukah engkau aku ajari sepuluh sifat (pekerti)? Jika engkau melakukannya, Allah mengampuni dosamu; dosa yang awal dan yang akhir, dosa yang lama dan yang baru, dosa yang tidak disengaja dan yang disengaja, dosa yang kecil dan yang besar, dosa yang rahasia dan terang-terangan, sepuluh macam (dosa). Engkau shalat empat rakaat. Pada setiap rakaat engkau membaca al-Fatihah dan satu surat (al-Quran). Jika engkau telah selesai membaca (surat) pada awal rakaat, sementara engkau masih berdiri, engkau membaca, ‘Subhanallah, walhamdulillah, walaa ilaaha illa Allah, wallahu akbar sebanyak 15 kali. Kemudian ruku’, maka engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari ruku’, lalu ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau turun sujud, ketika sujud engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari sujud, maka engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau bersujud, lalu ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat kepalamu, maka engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Maka itulah 75 (dzikir) pada setiap satu rakaatnya. Engkau lakukan itu dalam empat rakaat. Jika engkau mampu melakukan (shalat) itu setiap hari sekali, maka lakukanlah! Jika engkau tidak melakukannya, maka (lakukan) setiap bulan sekali! Jika tidak, maka (lakukan) setiap tahun sekali! Jika engkau tidak melakukannya, maka (lakukan) sekali dalam umurmu”

Para ulama hadits menyatakan bahwa hadits ini termasuk hadits dhoif jadi jangan di amalkan

Hukum Arisan itu haram

Hukum Arisan itu haram

Menurut kamus Bahasa Indonesia, arisan adalah kegiatan pengumpulan uang atau barang yang bernilai uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi di antara mereka untuk menetukan siapa yang memperolehnya, Undian dilakasanakan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya.

Dengan definisi di atas jelaslah bahwa arisan terdiri atas dua kegiatan pokok ; pertama pengumpulan uang atau barang yang bernilai sama, dan kedua mengundi di antara mereka (yang mengumpulkan uang atau barang tersebut) guna menentukan siapa yang memperolehnya.

Undian bukanlah kata yang asing dan dalam bahasa hadis disebut dengan qur’ah. Hal itu pernah dilakukan oleh Rasulullah saw kepada istri-istrinya ketika beliau hendak bepergian.

Dari Aisyah ia berkata “rasulullah saw apabila pergi beliau mengadakan undian di antara istri-istrinya, lalu jatuhlah undian itu kepada Aidyah dan Hafsah, kemudian keduanya pergibersama beliau” H.R Muslim.

Ketika Maryam masih kecil, untuk menetapkan siapa yang memeliharanya, mereka mengadakan undian (qur’ah), sehingga Nabi Zakarialah yang berhak memeliharanya. Allah berfirman

Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepada kamu (hai Muhammad) ; padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak panah mereka untuk mengundi siapa di antara mereka yang akan memeliara Maryam. Dan kamu tidak hadir beserta mereka ketika mereka bersengketa” Q.S Ali-Imran : 44

Jika diteliti secara cermat, Nabi saw memilih di antara istri beliau untuk dibawa bepergian dengan cara mengundi (qur’ah) tentu cara demikian itu hukumnya halal, karena pada undian semacam itu tidak ada pemindahan hak, dan tidak ada peraslihan milik. Adapun pemindahan hak dan milik tidak boleh terjadi kecuali dengan cara yang halal oleh Islam.

Apabila Indian atau taruhan yang dimaksudkan untuk memindahkan hak dan milik, maka hal itu termasuk maisir atau qimar yakni judi, misalnya harta milik si A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L Dikumpulkan lalu diundi kemudian jatuh undiannya kepada si C, maka harta itu menjadi milik si C penuh. Perbuatan seperti ini jelas qimar dan maisr, yang hukumnya haram.

Al maisir berasal dari kata al yusru yaitu mudah, karena ia berusaha tanpa susah payah, atau berasal dari kata al yasaru yaitu kekayaan, karena dengan hal itu yang mejadi sebab mendapat kekayaan. Judi itu sebagaimana diungkapkan dalam Alquran terdapat manfaat, sehingga orang yang tidak punya modal dapat dengan mudah memperolehnya dengan cara itu. Tetapi cara seperti itu dilarang Allah SWT.

Alquran menyebut kata al maisir sebanyak 3x yaitu dalam surat Al-Baqarah : 219, al maidah:90 dan 91. Al maisir ini dipergunakan setan untuk menumbuhkan perusuhan dan kebencian diantara manusia dari mengingat Allah dan menunaikan salat. Allah berfirman

Setan itu semata-mata menginginkan terjadi di antara kamu permusuhan dan kebencian (dengan perantaraan_arak dan judi, dan memalingkan kamu dari mengingat Allah dan salat. Tidaklah kamu akan berhenti?

Muhammad Ali Ashahabuni mengutip sifat al-maisir yang dilakukan pada zaman jahiliyah dar itafsir Al Kasysyaf berikut, Ada sepuluh bejana yaitu Al Fadz, At Tauam, Ar Raqib, Al Hils, An Nafis, Al musbil, Al mu’ala, Al munih, As safih dan Al wagd. Masing-masing memeiliki bagian tertentu dari unta yang mereka sembelih kecuali tiga bejana yaitu Al munih, As safih dan Al wagd. Bagi AlFadz satu bagian At Tauam dua bagian, Ar Raqib tiga bagian, Al hIls empat bagian, An Nafs lima bagian, Al musbil enam bagian, dan Al mu’alla tujuh bagian, kemudian semua itu dimasukan kedalam karung dan diserahkan kepada orang yang adil, lalu diundi dan dimasukkan tangannya untuk mengeluarkan nama masing-masing. Siapa yang keluar dengan bejana yang terdapat bagian, maka ia akan mengambil begian tersebut, dan siapa yang mengambil bejana yang tidak ada bagian, maka ia tidak mengambilnya, dan mereka harus membayar unta itu, sedangkan yang mendapat bagian pun tidak boleh makan daging onta itu, karena seluruh daging itu diberikan kepada orang-orang fakir, mereka yang menang berbangga dan sombong, seta mencaci maki orang yang kalah yang tidak mendapat bagian.

Di dalam Tafsir At-Thabari Ibnu Abbas meriwayatkan :

Dari Ibnu Abbas ia berkata “Al-Maisir itu adalah Al Qimaru, seseorang di zaman jahiliyah mempetaruhkan istrinya dan hartanya, siapa diuantara keduanya yang mengalahkan kawannya dialah yang membawa istrinya dan hartanya” H.R At-Rhabari, II: 371

Dalam kitab tafsir Al-manar terdapat keterangan bahwa beberapa orang iktu pacuan kuda, lalu semua peserta mengeluarkan uang, kemudian ditetapkan menjadi miulik pemenang pada pacuan kuda tersebut. Perbuatan seperti itu adalah qimar atau maisir.

Tetapi apabila pacuan kuda itu tidak mengeluarkan apa-apa, kemudaian khalifah menyediakan uang bagi para pemenang. Hal ini bukanlah maisir atau qimar melainkan persenan yang hukumnya halal.

Adapun yang berlaku pada arisan cara-caranya dan sifat-sifatnya sama dengan qimar yang ditekankan untuk pemindahan hak dan milik. Harta miulik seseorang baru menjadi milik seseorang yang lain, apabila iperoleh dengan cara yang dibenarkan agama, seperti waris, jual beli, shadaqah, hadiah, upah, pinjaman, ghanimah, atau hibah. Sedangkan cara pemibdahan hak milik yang berlaku pada arisan tidak termasuk kepada salah satu dari yang tersebut di atas. Peserta arisan tidak merasa meminjam, dan tidak merasa mengambil tabungan, sehingga perpindahannya tidak jelas.

Al Ustadz K.H. E. Abdurrahman menjelaskan bahwa harta yang terkumpul bahwa harta yang terkumpul dari beberapa orang peserta dalam apa yang dinamakan arisan itu adalah harta orang lain, bukan harta milik kita (sebagai salah satu peserta), dan kemuian mengapa ia menjadi milik kita? Tidak lain hanya dengan jalan undian yang jatuh pada kita,

maka pemindahan milik dengan sifat semacam maisir, qimar yang hukumnya haram, maka hukum arisan pun tidak berbeda, dan tidak verubah menjadi halal disebabkan suka sama suka, rela sama rela atau karena maksud baik dan banyak faidahnya atau karena bermaksud hendak pindah memindahkan hak milik secara bergiliran dengan merata dengancara mengundi atau alasan-alasan lainnya.

Minggu, 20 Oktober 2019

kurang fatihah dalam 1 rakaat

Makmum harus menambah 1 raka'at karena tidak baca atau tidak mendengarkan Alfatihah.

Dari ‘Ubadah b in Ash Shoomit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah”.
(HR. Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394)

Dari Abu Hurairah, haditsnya marfu’sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَهْىَ خِدَاجٌ

“Barangsiapa yang melaksanakan shalat dan tidak membaca Al Fatihah di dalamnya, maka shalatnya itu kurang.” Perkataan ini diulang sampai tiga kali.
(HR. Muslim no. 395)

Ini maksudnya pa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَةُ الإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ

Barangsiapa memiliki imam, maka bacaan imamnya adalah bacaannya
 [HR. Ibnu Majah dan lainnya]

Sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda.

الإِمَامُ ضَامِنٌ وَالْمُؤَذِّنُ مُؤْتَمِنٌ

Imam itu menanggung sedangkan muadzin itu adalah orang yang mendapatkan amanah (untuk menentukan waktu shalat) 
[Abu daud dan lainnya]

Ini berlaku ketika sholat berjam'ah yang jahar.

Sabtu, 19 Oktober 2019

Suami istri masuk Islam, apakah pernikahannya wajib diulangi?

🔴Pertanyaan :
Suami istri masuk Islam, apakah pernikahannya wajib diulangi?
🔵Jawab :
 Apabila suami istri non muslim masuk islam, maka pernikahannya tetap sah, tanpa harus diulangi akad nikahnya. Adapun jika mempunyai istri lebih dari empat dan semuanya masuk Islam, maka wajib memilih empat orang istri saja dan menceraikan selebihnya. Begitu juga jika yang dinikahi sebelum Islam dua perempuan bersaudara
أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ: أَسْلَمَ وَتَحْتَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا "
Sesungguhnya Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi masuk Islam beserta istrinya sepuluh orang. Kemudian Nabi Saw bersabda kepadanya “pilihlah dari mereka empat” (H.R. Ahmad, Musnad Ahmad, 8/251)
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: أَسْلَمْتُ وَتَحْتِي عَشْرُ  نِسْوَةٍ أَرْبَعٌ مِنْهُنَّ مِنْ قُرَيْشٍ إِحْدَاهُنَّ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:  ”اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا وَخَلِّ سَائِرَهُنَّ"، فَاخْتَرْتُ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ ابْنَةُ أَبِي سُفْيَانَ
Dari Urwah bin Mas’ud berkata : Aku masuk Islam beserta sepuluh istriku, empat diantaranya perempuan dari suku Quraisy salah satunya putri dari Abu Sufyan. Kemudian Rasulullah Saw bersabda kepadaku “pilihlah dari mereka empat orang dan ceraikanlah sisanya”. Maka aku memilih dari mereka empat istri salah satunya putri dari Abu Sufyan (H.R. al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, 7/298) 
Sahabat ad-Dailami bertanya kepada Rasulullah Saw
يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَسْلَمْتُ وَتَحْتِي أُخْتَانِ قَالَ: " طَلِّقْ أَيَّتَهُمَا شِئْتَ 
 “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah masuk Islam beserta istri-istriku yang keduanya bersaudara. Rasulullah bersabda “Talaklah salah satunya yang engkau kehendaki” (H.R. al-Baihadi, Sunan al-Kubra, 7/299)
Dalam dua hadis pertama, Rasulullah memerintahkan Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi dan Urwah bin Mas’ud untuk memilih empat orang istri dari sepuluh istri yang keduanya nikahi sebelum Islam dan menceraikan selebihnya. Pada hadis ketiga terdapat keterangan larangan memadukan saudara, sehingga ketika suami dan kedua istrinya yang bersaudara tersebut masuk Islam, maka dia harus memilih salah satu diantara kedua istrinya tersebut dan menceraikan yang lain. Akan tetapi Nabi Saw tidak memerintahkannya kepada ketiganya untuk akad kembali dengan istri yang mereka pilih. Tidak adanya perintah tersebut menunjukan bahwa pernikahan ketika masa jahiliyah atau sebelum Islam telah diakui legalitasnya, sehingga tidak perlu akad baru.

doa sujud pakai bahasa indonesia

Konten doa dalam sujud boleh dengan bahasa selain bahasa arab, adapun maksud dari hadis dari sahabat Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami
إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَىْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ 
Sesungguhnya salat itu tidak dibenarkan padanya ada perkataan (obrolan) manusia, sungguh didalamnya hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Quran (H.R. Muslim, Sahih Muslim, 2/70)
Pertama, perlu difahami bahwa dalam secara analisis asbab al-wurud hadis tersebut bercerita tentang  ada salah seorang sahabat yang bersin ketika salat, kemudian Muawiyah bin al-Hakam menjawab “semoga Allah merahmatimu”. Karena itu maksud dari hadis tersebut adalah obrolan manusia yang sifatnya resiprok. Kedua, pada dasarnya ketika salat itu adalah manusia itu sedang bermunajat atau berkomunikasi dengan Allah.
عَنْ أَنَسِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا كَانَ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ فَلَا يَبْزُقَنَّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلَا عَنْ يَمِينِهِ وَلَكِنْ عَنْ شِمَالِهِ تَحْتَ قَدَمِهِ الْيُسْرَى
Bila dalam keadaan salat, maka sesungguhnya ia sedang bermunajat (komunikasi) dengan tuhannya, karena itu janganlah kalian meludah baik ke depan serta ke kanan, tapi meludahlah ke kiri dibawah kaki kirinya (H.R. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 2/65)
Karena itu terlarang untuk berkomunikasi dengan manusia yang lain, sehingga selesai salatnya. Sebab dia sedang berkomunikasi dengan Allah. Ketiga, terkait dengan wajh addilalah “perbanyaklah berdoa”, karena tidak disebutkan rincian doanya, maka sifatnya menjadi mutlaq, boleh berdoa apa saja sesuai kebutuhan tentunya dengan bahasa yang difahami, tidak mesti dengan bahasa arab, dan pastinya Allah maha mengetahui segala bahasa. 
Dalam berdoa ketika sujudpun harus melihat situasi, kalau sekiranya dapat mengganggu orang yang salat, maka dipelankan saja bacaannya, tidak boleh dikeraskan. Karena hal tersebut dapat mengganggu kekhusyuan salat yang lain.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ ، قَالَ : اعْتَكَفَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَسْجِدِ ، فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ ، فَكَشَفَ السِّتْرَ ، وَقَالَ : أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ ، فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ، وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ ، أَوْ قَالَ : فِي الصَّلاَةِ.
Dari Abu Said berkata Rasulullah Saw beritikaf di masjid, kemudian mendengar sebagian sahabat mengeraskan bacaannya, kemudian beliau membuka tirainya dan bersabda “Ketahulilah, sesungguhnya setiap kalian itu sedang bermunajat kepada tuhannya. Maka janganlah kalian saling mengganggu satu sama lain, dan jangan pula saling mengeraskan dalam bacaan” atau beliau bersabda “dalam salat”. (H.R. Sunan Abi Dawud, 2/38)

Apakah tempat berdoa ketika sujud itu mesti pada sujud terakhir ?

🔴Pertanyaan 
Apakah tempat berdoa ketika sujud itu mesti pada sujud terakhir ?
🔵Jawab :
Berdoa merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Salah satu adabnya adalah berdoa pada waktu atau tempat yang mempunyai kemungkinan dikabulkan lebih besar dari pada waktu atau tempat lainnya berdasarkan nash yang sahih dan sarih. Salah satu saat atau tempat tersebut adalah ketika sujud, sehingga kita diperintahkan banyak berdoa didalamnya.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ ».
Dari Abu Hurairah Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda “keadaan paling dekat antara hamba dan tuhannya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah doa”. H.R. Muslim, Sahih Muslim, 2/49)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَشَفَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- السِّتَارَةَ وَالنَّاسُ صُفُوفٌ خَلْفَ أَبِى بَكْرٍ فَقَالَ « أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهُ لَمْ يَبْقَ مِنْ مُبَشِّرَاتِ النُّبُوَّةِ إِلاَّ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ يَرَاهَا الْمُسْلِمُ أَوْ تُرَى لَهُ أَلاَ وَإِنِّى نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِى الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ ».
صحيح مسلم (2/ 70)
Dari Ibnu Abbas RA Rasulullah Saw menyingkapkan tirainya, sedangkan para sahabat bebaris dibelakang Abu Bakar, kemudian beliau bersabda “Hai manusia, sungguh tidak adak tersisa dari kabar gembira nubuwah kecuali mimpi yang saleh yang dialami seorang muslim atau diperlihatkan padanya. Ketahuilah, aku dilarang untuk membaca al-Quran pada waktu rukuk dan sujud, adapun ketika rukuk maka agungkanlah tuhanmu azza wa jalla padanya. Adapun ketika sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, maka peluangnya lebih besar untuk diijabah doamu. (H.R. Muslim, Sahih Muslim, 2/48)
Pertanyaan yang sering muncul adalah terkait dengan pengamalan sebagian masyarakat yang berdoa biasa pada sujud terakhir dengan isyarat sujud yang lama, apakah tempat saat diijabah doa tersebut adalah khusus pada sujud terakhir atau kedudukannya sama dengan sujud yang lain. Dalam setiap rakaat ada dua sujud, setidaknya dalam salat dua rakaat ada empat kali sujud, jika empat rakaat, maka delapan kali sujud. Dalam hadis tersebut tidak ditemukan pengkhususan atau taqyid pada sujud yang mana, sehingga sifatnya menjadi mutlak, boleh pada sujud manapun termasuk sujud terakhir. Adapun berkeyakinan bahwa saat ijabah doa itu hanya ada pada sujud terakhir dan berdoa didalamnya, maka masuk dalam kategori bid’ah.
Perbanyaklah doa, masuk kategori mutlak, sehingga boleh berdoa apapun setelah bacaan sujud. Tentunya terkait konten dan bahasa doa disesuaikan dengan kebutuhan dan menggunakan bahasa yang difahami. Bagaimana jika berdoa dengan menggunakan redaksi al-Quran dalam sujud, bukankah ada larangannya ? benar ada larangan membaca al-Quran dalam rukuk dan sujud berdasarkan keterangan Ali bin Abi Thalib
قَالَ نَهَانِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقْرَأَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا.
Rasulullah Saw melarangku membaca al-Quran ketika rukuk dan sujud (Muslim, Sahih Muslim, 2/48)
 Dan sahabat Ibnu Abbas
أَلاَ وَإِنِّى نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا 
Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca al-Quran ketika rukuk dan sujud (Muslim, Sahih Muslim, 2/48)
Maksud larangan tersebut adalah melafalkan al-Quran dengan niat qiraah atau tilawah ketika rukuk dan sujud, adapun melafalkan doa dengan menggunakan redaksi al-Quran, bukan niat membaca al-Quran, maka dibolehkan. Dengan demikian tergantung dari niat orang yang melafalkannya. Sesuai keterangan dari sahabat Umar bin Khatab
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda : “sesungguhnya segala amal itu tergantung niatnya, dan segala urusan itu tergantung niatnya” (H.R. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 1/6)

anak sudah baligh

🔵 Setiap muslim jika telah dewasa dan berakal maka telah dibebani taklif atau syariat, maka mulai berlaku baginya pahala dan dosa. Sebaliknya jika belum dewasa dan tidak berakal, maka belum dibebani dosa atau mendapatkan pahala.
عَنْ عَلِيٍّ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ : عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ.
dari Ali dari nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Pena pencatat amal dan dosa itu diangkat dari tiga golongan; orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia bermimpi dan orang gila hingga ia berakal." (HR Abu Dawud, 4/141)
tanda kedewasaan bagi laki-laki adalah dengan ihtilam atau mimpi basah keluar mani, sedangkan bagi perempuan adalah haid. Jika telah terjadi tanda kedewasaan diatas baik laki-laki atau perempuan, maka sudah tercatat baginya pahala dan dosa.

khutbah jumat setelah ramadhan

📜 Resume Khutbah Jumat Rizky Ramadhan di Masjid Al Ittihad gg muncang jl pungkur.

1⃣ Khutbah 1

➡ segala puji bagi Allah yang telah memberikan kepada kita rahmat, hidayah serta karunianya. Karena itulah kita bisa menunaikan sebagian kewajiban kita yaitu shalat Jumat.

➡ Diantara wasiat terindah dan terbaik Nabi Muhammad kepada Sahabat Abu Sufyan Ats Tsaqafi yakni Ittaqillaha tsummastaqim (bertaqwalah kepada Allah kemudian beristiqamahlah)

➡ Beristiqamah yang dimaksud yaitu mendapatkan taufiq untuk beramal kebaikan setelahnya.

➡ Diantara Amal sunnah setelah ramadhan yang disyari'atkan yakni shaum 6 hari di bulan syawwal.

📝 Berikut 3 faidah seputar puasa syawal:

1. Puasa syawal melengkapi pahala puasa Ramadhan.

Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

"Barang siapa puasa Ramadhan kemudian diikuti 6 hari di bulan syawal, maka dihitung seperti puasa satu tahun penuh" [HR. Muslim]

2. Puasa syawal merupakan rowatib buat puasa Ramadhan.

Kalau pada ibadah shalat wajib ada sunnah rowatib yang mengiringinya dan menjadi penyempurna pada hari kiamat jika ada kekurangan,

Begitu pula ibadah puasa Ramadhan ada ibadah sunnah yg mengiringinya, yaitu puasa sebelumnya dan puasa sesudahnya.

Rasulullah dahulu memperbanyak puasa sya'ban, sebagaimana disampaikan 'Aisyah radhiallahu 'anha, begitu pula beliau menganjurkan puasa syawal, sebagaimana hadits di atas.

Sedang suatu amal menjadi mulia kadang disebabkan ibadah yang mengiringinya.

3. Puasa syawal merupakan tanda diterimanya puasa Ramadhan kita.

Al-Imam Ibnu Rajab rahimahulloh mengatakan dalam kitab beliau lathoiful ma'arif:

"Membiasakan puasa setelah puasa Ramadhan adalah tanda diterimanya puasa Ramadhannya, karena Allah apabila menerima amal seorang hamba, akan memberikan taufik untuk beramal shalih setelahnya".

Sebagaimana kejelekan bisa mengantarkan seseorang berbuat kejelekan yang lain, Allah berfirman:

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا

"Balasan kejelekan adalah berupa kejelekan serupa" [Surat Ash-Syura: 40]

Maka kebaikan juga tabiatnya membuahkan kebaikan yang lainnya,
Allah berfirman:

هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ

"Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)." [Surat Ar-Rahman: 60]

➡ shaum syawwal boleh dilakukan dari 2 syawwal, laksanakan dari tanggal itu 6 hari. Namun apabila udzur maka bisa memilih yang mana saja 6 hari untuk shaum syawwal.

➡ shaum syawwal boleh didahulukan sebab terbatas dalam sebulan, sedangkan qadha shaum ramadhan (bagi yang tertinggal) muwasa' (waktunya luas) sampai bulan sya'ban.

2⃣ Khutbah 2

➡ Bila saja kita tidak mampu shaum 6 hari maka sia-sialah waktu yang Allah berikan kepadanya.

➡ karena 2 perkara yang sering disia2kan yakni kesempatan dan waktu luang.

➡ Hanya orang2 yg mempergunakan akalnya yg mengambil pelajaran. Sebagaimana Allah berfirman:

Wa maa yadzdzakkaru illaa ulul Albab (dan tiadalah yang mengingatnya (mengambil pelajaran) kecuali orang2 yg mempergunakan akalnya.

Dan Allah berfirman: wa Tilkal ayyaamu nudawwilihaa bainannaas (Dan itulah hari2 yang Allah tetapkan diantara manusia. 

Dan Allah berfirman: 
Qs Al 'Ashr ayat 1-3. Ketika beliau menjelaskan ayat 2, beliau mengatakan", betapa ruginya yg ia di bulan ramadhan shalat tarawih, shalat rawatib, tilawah quran, shadadah jika ia tidak meneruskannya pasca Ramadhan.

Dan juga berapa ruginya orang yang di bulan Ramadhan meninggalkan maksiat jika pasca Ramadhan ia bermaksiat kembali.

➡ Diantara sifat orang2 yg shalih ia mempunyai iman yang menakjubkan dan meneruskannya dan ia mengisi hidupnya dalam beramal shalih. dan memberikan nasihat kepada kebenaran dan kesabaran.

➡ senantiasa pula shalat fardhu awal waktu. Sifat orang2 shalih adalah bersegera dan berlomba2 dalam kebaikan.

➡ Maka jadilah kita memiliki sifat2 tersebut agar kita tidak merugi.

➡ demikian yg dapat disampaikan, ditutup dengan doa Taqabbalallahu minnaa wa minkum. Mohon maaf atas kekurangan dari pencatatan faidah resume yg dituliskan.

doa ketenangan hati

Wa'alaikumussalaam warahmatullaah..

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ نَفْسًا بِكَ مُطْمَئِنَّةً، تُؤْمِنُ بِلِقَائِكَ، وَتَرْضَى بِقَضَائِكَ، وَتَقْنَعُ بِعَطَائِكَ

Allahumma inni as-aluka nafsan bika muthma-innah, tu’minu biliqo-ika wa tardho bi qodho-ika wataqna’u bi ’atho-ika.

“Ya Allah, aku memohon kepadaMu jiwa yang merasa tenang kepadaMu, yang yakin akan bertemu denganMu, yang ridho dengan ketetapanMu, dan yang merasa cukup dengan pemberianMu.”

Kamis, 17 Oktober 2019

hadits jarak safar walaupun tidak jadi patokan pasti

hadits jarak safar walaupun tidak jadi patokan pasti

وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُ قَالَ: ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَال ٍ أَوْ فَرَاسِخَ, صَلَّى رَكْعَتَيْنِ )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Anas Radliyallaahu 'anhu berkata: Adalah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila keluar bepergian sejauh tiga mil atau farsakh, beliau sholat dua rakaat. Riwayat Muslim.

Ukuran jarak, 1 parsak = 5542 meter

Tuntunan Rosululloh sebelum tidur.

Tuntunan Rosululloh sebelum tidur. 

1. Berwudhu 
2. Berbaring ke sebelah kanan kemudian berdo'a
3. Membaca surat al ikhlas, al-falaq, an-nas kemudian ditiupkan ke telapak tangan dan diusapkan ke seluruh tubuh
3. Boleh perbanyak istighfar

Perintah pelihara janggut dan cukur kumis

Perintah pelihara janggut dan cukur kumis
Ada beberapa riwayat atau hadits tentang perintah dan anjuran memelihara janggut dan mencukur kumis, antara lain sbb :

1. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ص يَقُوْلُ : اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ : اَلْخِتَانُ, وَاْلإِسْتِحْدَادُ, وَقَصُّ الشَّارِبِ, وَتَقْلِيْمُ اْلأَظْفَارِ, وَنَتْفُ الإِبْطِ – رواه البخاري ومسلم وابن حبان –

1- Dari Abi Hurairah ra. Aku mendengar Nabi saw. Bersabda : Yang termasuk Fitrah ada lima : khitan, mencukur bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak. HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Hibban. (Shahih Bukhari 4 : 79 No. 5773; Fathul Bari 10 : 411; Syarah Muslim An-Nawawi 2 : 146 ; Al-Ihsan 7 : 409 No. 5456)

2. عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ ص عَشْرٌ مِنْ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الإِبِطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ – رواه مسلم –
2- Dari Aisyah berkata, bersabda Rasulullah saw. Sepuluh yang termasuk fitrah : Mencukur kumis, membiarkan janggut, menggosok gigi, berkumur, memotong kuku, membersihkan kotoran di badan, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan bercebok. HR Muslim ( Syarah Muslim An-Nawawi 3 : 147, Ahmad, Musnad Al-Imam Ahmad, XXXXXI : 66, Ibnu Abu Syaibah, Mushnaf, I : 223, Al-Baihaqi, Syu’abul Iman, VI : 283, Ibnu Khuzaimah, I : 161, At-Thahawi, Musykilul Atsar, II : 168, Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, VIII : 14, Ishak bin Rahawaih, II : 79, Abu Daud, Sunan Abu Daud, I : 19, At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, V : 91, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I ; 107)

3. عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ ص : أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى – رواه أحمد و مسلم وغيره –
3- Dari Ibnu Umar ra. Dari Nabi saw, bersabda : Cukurlah kumis kamu dan biarkanlah janggut kamu. HR. Ahmad, Muslim dan yang lainnya. ( Mausu’ah Musnad Ahmad 8 : 279 No. 4654 : Al-Fathur Rabani 17 : 313-314 ; Syarah Muslim An-Nawawi 3 : 147 ; An-Nasai 8 : 181-182 ; Al-Baihaqi 1 : 149-150 ; At-Tirmidzi No. 2763 ; Abu Awanah 1 : 189 ; At-Thohawi 4 : 230 ; Ibnu Abi Syaibah : 8 : 564 : ; Ibnu Abdil Bar dalam At- Tamhid 24 : 143 ; Al-Khotib dalam Tarikhnya 4 : 345)

Ada juga yang diriwayatkan dengan redaksi sebaliknya :

وَأَوْفُوا اللِّحَى وَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ – رواه احمد : رقم 5135 ؛ النسائي : رقم 9291 ؛ ابوا يعلى –
Biarkanlah Janggut dan cukurlah kumis. H.r. Ahmad, An-Nasai, dan Abu Ya’la.

4. عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولُ اللهِ ص أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ – رواه أحمد و مسلم وابن حبان –

4- Dari Ibnu Umar ra. Dari Nabi saw. Bahwasanya beliau memerintahkan untuk mencukur kumis dan membiarkan (tumbuh) janggut. HR. Ahmad, Muslim dan Ibnu Hibban. ( Mausuah Musnad Ahmad 9 : 139 No. 5138 : Syarah Muslim An-Nawawi 3 : 147 : Al-Ihsan 7 : 407- 408 No. 5451)

5. عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ ص انْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى – رواه البخاري –

5- Dari Ibnu Umar ra. Berkata: bersabda Rasulullah saw : Cukur bersih kumis kamu dan biarkanlah janggut kamu. HR. Al-Bukhari ( Shahih Al-Bukhari 4 : 80 No. 5775 ; Farhul Bari 10 : 430, Ibnu Abu Syaibah, Mushnaf, VI : 110, Al-Baihaqi, Syu’abul Iman XIII : 442,

6. عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ ص : خُذُوا مِنْ هذَا وَدَعُوْا هذَا يَعْنِي شَارِبَهُ الأَعْلىَ يَأْخُذُ مِنْهُ يَعْنِي الْعَنْفَقَةَ – رواه أحمد و الطبراني وابن عدي –

6- Dari Ibnu Umar ra. Berkata: bersabda Rasulullah saw : Cukurlah olehmu yang ini dan biarkanlah yang ini, yakni bulu dibawah bibir dibersihkan ( dan jenggot selebihnya dibiarkan ). HR. Ahmad, At- Thabrani dan Ibnu ‘Adi ( Mausu’ah Musnad Ahmad 9 : 234 No. 5326 ; Al-Fathur Rabani : 17 : 314 ; Al-Kabir No. 13476 ; Al-Kamal 2 : 534 ) Hadits ini dla’if karena ada rawi bernama Tsuwaeri atau Ibnu Abi Fakhitah, kata Ad-Daruquthni : matruk

7. عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ ص : خَالِفَوا المُشْرِكِيْنَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحْىَ – رواه مسلم والبيهقي وأبو عوانة –
7- Dari Ibnu Umar ra. Berkata : bersabda Rasulullah saw. : Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, cukurlah kumis dan biarkanlah janggut. HR. Muslim, Al-Baihaqi dan Abu Awanah ( Syarah Muslim An-Nawawi 3 : 147 ; Al-Baihaqi, Syu’abul Iman VII1 : 414 ; Abu Awanah 1 : 189, Abu Nu’aim, Al-Musnad Al-Mustakhraj Ala Shahihi Imami Muslim, I : 317, Al-Bukhari, V : 2209 )

8. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ ص : جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحْىَ خَالِفُوا المَجُوْسَ – رواه أحمد و مسلم –

8- Dari Abi Hurairah ra. Berkata : bersabda Rasulullah saw. : Cukur habislah kumismu dan biarkanlah janggutmu, berbedalah kamu dengan majusi. HR. Muslim ( Syarah Muslim An-Nawawi 3 : 147 ; Ahmad, Musnad Al-Imam Ahmad, 17 : 472, Al-Baihaqi, Syu’abul Iman, VIII : 14, ).

9. عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ ص قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ – رواه البخاري –

9- Dari Ibnu Umar ra. Dari Nabi saw, bersabda : Berbedalah kamu dengan orang-orang musyrik, biarkanlah janggutmu dan cukurlah kumismu. Adapun Ibnu Umar apabila haji atau umrah, ia menggenggam janggutnya, dan yang tidak tergenggam dipotongnya. HR. Al-Bukhari ( Shahih Bukhari 4 : 79 No. 5774 ; Fathul Bari 10 : 428, Al-Baihaqi, Syu’abul Iman, V : 225 )

10. عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : ذُكِرَ لِرَسُوْلِ اللهِ ص المَجُوْسَ, فَقَالَ : اَنَّهُمْ يُوَفُّوْنَ سِبَالَهُمْ وَيَحْلِقُوْنَ لِحَاهُمْ فَخَالِفُوْهُمْ – رواه ابن حبان –

10- Dari Ibnu Umar ra. Berkata : diterangkan kepada Rasulullah saw. Tentang majusi. Beliau bersabda : Sesungguhnya mereka membiarkan kumis dan mencukur janggut mereka, maka berbedalah kamu dari mereka. HR. Ibnu Hibban ( Al-Ikhsan 7 : 408 No. 5452, Al-Baihaqi, Syu’abul Iman, V : 222 )

11. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ص قَالَ أَعْفُوا اللِّحَى وَخُذُوا الشَّوَارِبَ وَغَيِّرُوا شَيْبَكُمْ وَلاَ تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَالنَّصَارَى – رواه أحمد –
11. Dari Abi Hurairah ra. Bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda : Biarkanlah janggutmu dan cukurlah kumismu dan rubahlah ubanmu dan janganlah kamu menyerupai Yahudi dan Nashrani. HR. Ahmad ( Al-Fathur Rabani 17 : 314 )

12. عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ : قُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ يَقُصُّونَ عَثَانِينَهُمْ وَيُوَفِّرُونَ سِبَالَهُمْ قَالَ فَقَالَ النَّبِيُّ ص قُصُّوا سِبَالَكُمْ وَوَفِّرُوا عَثَانِينَكُمْ وَخَالِفُوا أَهْلَ الْكِتَابِ – رواه أحمد –
12- Dari Abi Umamah ra. Berkata : kata kami wahai Rasulullah sesungguhnya ahlul kitab mencukur janggut mereka dan membiarkan kumis mereka, bersabda Nabi saw. : Cukurlah kumis kamu dan biarkanlah janggut kamu dan berbedalah kamu dari Ahli Kitab. HR. Ahmad ( Al-Fathur Rabani 17 : 314-315, At-Thabrani, Al-Mujamul Kabir, VIII : 236, Al-Baihaqi, Syu’abul Iman V : 214)

Dari hadits-hadits tersebut di atas kita bisa mengambil kesimpulan :

1- Hadits No. 1 dan 2 menyatakan bahwa memelihara janggut dan mencukur kumis termasuk fitrah

2- Hadits No. 3, 4, 5, dan 6 berisi perintah untuk mencukur kumis dan memelihara janggut secara mutlak. Dan karena semuanya bersifat amar bias jatuh kepada wajib

3- Hadits No. 7. 8, 9, 10 dan 11, menunjukan bahwa perintah memelihara janggut dan mencukur kumis itu karena,illah, yakni dalam rangka membuat pembeda dengan orang musyrik dan kafir. Maka dalam hal ini berlaku kaidah :

اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ الْعِلَّةِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا

” Ada tidaknya hukum tergantung pada ilatnya ”

Ketika sekarang orang musyrik dan kafir banyak yang berjanggut, maka ilatnya sudah tidak ada, berarti perintah itu menjadi gugur.

4- Hadits No. 9 menunjukan bahwa Ibnu Umar salah seorang sahabat yang meriwayatkan hadits ttg harus memelihjara janggut dan mencukur kumis, ternyata memotong janggutnya juga, meskipun tidak dipotong habis.

5- Hadits No. 10, 11 dan 12 memberikan penjelasan tentang latar belakang atau bisa dikatakan ” Asbabul Wurud ” adanya perintah memelihara janggut dan mencukur kumis sebagai upaya membedakan diri dari orang kafir dan musyrik.

6- Dengan memperhatikan hadits-hadits no. 3 s/d 12 menunjukan bahwa yang termasuk 5 dan 10 fitrah itu dalam hal janggut dan kumis bukan pada aspek memelihara dan mencukurnya, melainkan yang termasuk fitrah itu, adalah usaha membedakan diri dari orang kafir dan musyrik.
Usaha yang dil;akukan, di zaman Nabi saw. Untuk membuat pembeda dengan orang kafir dan musyrik bukan hanya dengan janggut dan kumis tapi juga dengan hal lain, misalnya :

عَنْ يَعْلَى بْنِ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ  خَالِفُوا الْيَهُودَ فَإِنَّهُمْ لاَ يُصَلُّونَ فِي نِعَالِهِمْ وَلاَ خِفَافِهِمْ – رواه ابو داود –

” Dari Ya’la bin Syaddad bin Aus dari bapaknya berkata : bersabda Rasulullah saw. : berbedalah kamu dengan Yahudi, sesungguhnya mereka shalat dengan tidak memakai sandal dan sepatu mereka. ” HR. Abu Daud ( Aunul Ma’bud 6 : 254 ).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ ص : اِنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبُغُوْنَ فَخَالِفُوْهُمْ – رواه ابن حبان –

Dari Abi Hurairah ra. Berkata : bersabda Rasulullah saw. Sesungguhnya Yahudi dan Nashrani mereka tidak mencelup ( rambutnya ), maka berbedalah kamu dengan mereka. HR. Ibnu Hibban

( Al-Ihsan 7 : 406 No. 5446 )

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : لَمَّا نَزَلَ بِرَسُولِ اللهِ لَمَّا نَزَلَ بِرَسُولِ اللهِ ص طَفِقَ يَطْرَحُ خَمِيصَةً عَلَى وَجْهِهِ فَإِذَا اغْتَمَّ كَشَفَهَا عَنْ وَجْهِهِ فَقَالَ وَهُوَ كَذَلِكَ لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ يُحَذِّرُ مَا صَنَعُوا– رواه البخاري –
Dari Aisyah ra berkata : ketika sakit Nabi agak berkurang, beliau mulai menutupkan selimutnya ke wajahnya, jika merasa pengap beliau menyingkapkannya dari wajahnya, lalu berkata dalam keadaan begitu : Semoga laknat Allah ditimpakan kepada Yahudi dan Nashrani mereka menyediakan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid , berhati-hatilah kamu atas apa yang mereka kerjakan. HR. Bukhari ( Shahih Al-Bukhari 1 : 178 No. 431 )

Hadis-Hadis Dhaif tentang Keutamaan Surat Al-kahfi

◦ Hadis-Hadis Dhaif tentang Keutamaan Surat Al-kahfi

◦ Khusus Dibaca Malam Jumat

◦ عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ عَبَّادٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ»

◦ Dari Abu Mijlaz Darim dari Qais bin Abbad dari Abu Said Al Khudri, bahwa Nabi saw. bersabda, sesuai ngguhnya yang membaca surat al-kahfi hari jumat, baginya diterangi cahaya diantara dua jumat. H.r. Al Hakim, II : 399, Al Baehaqi, as Sunanus Sughra, I : 372, as Sunanul Kubra, III : 249, dan Syu’abul Iman, III : 113
◦ Dalam hadis lain diriwayatkan pula secara mauquf dengan lafal:

◦ مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيق
◦ ِ
◦ Barang siapa membaca surat Al Kahfi malam jumat, baginya diterangi cahaya (sejauh) antara dia dan antara al Baetul Atiq. H.r. Ad Darimi, II : 546 sedangkan dalam riwayat Al Baehaqi lainnya dalam Syu’abul Iman, III : 112), dengan lafal:

◦ مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَأَدْرَكَ الدَّجَّالَ لَمْ يُسَلَّطْ عَلَيْهِ، - أَوْ قَالَ: لَمْ يَضُرُّهُ - وَمَنْ قَرَأَ خَاتِمَةَ سُورَةِ الْكَهْفِ أَضَاءَ لَهُ نُورًا مِنْ حَيْثُ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَكَّة
◦ َ
◦ Barang siapa membaca surat Al Kahfi hari jumat lalu mendapati Dajal, maka ia tidak akan terkuasai olehnya. Atau ia mengatakan, Dan barang siapa membaca ahir surat Al Kahfi, baginya diterangi cahaya sejauh dari antara dia dan antara Makkah”.

◦ Analisis Sanad : Al Hakim menyatakan bahwa hadis yang pertama sanadnya shahih tetapi Imam Al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya. Padahal setelah diteliti, ketiga lafal hadits diatas tidak lepas dari kedaifan (ada cacat dalam sanadnya)

◦ Pertama : Pada sanad hadis diatas, terdapat rawi yang bernama Abu Mijlaz. Nama Aslinya adalah Lahiq bin Humed bin Sa’id. (lihat Tahdzibul Kamal, XXXI :176)  Menurut Ad Dzahabi, dalam kitabnya Mizanul I’tidal, VII : 152, ia termasuk rawi yang tsiqat dari thabaqat tabiin. Akan tetapi ia yudallisu (berbuat tadlis/sering menyembunyikan rawi). Hal ini telah diperkuat oleh Ad Daraquthni. (Lihat Thabaqatul Mudallisin, I : 27)
◦ Dalam ilmu hadis dijelaskan bahwa seorang rawi mudallis apabila meriwayatkan dengan bentuk ‘an (dari), maka periwayatannya itu munqathi (terputus) dan hadisnya tertolak. Lihat Manhajun Naqd, : 384.
◦ Dan kebetulan pada hadis di atas Abu Mijlaz menerima hadis dari Qais bin Ubad  dengan bentuk ‘AN, oleh karena itulah hadis ini tertolak karena dipastikan sanadnya terputus.

◦ Kedua : Selain kedaifan periwayatan Abu Mijlaz, terdapat kedaifan lainnya yakni periwayatan rawi bernama Husyaim. Ia adalah Husyaim bin Basyir bin Al Qasim bin Dinar As Sulami salah seorang rawi yang diperbincangkan di kalangan para ulama. Ad dzahabi dalam kitabnya Man tukullima fihi, I : 188, menyatakan ‘Husyaim bin Basyir, seorang yang hafidh, yang tsiqat, tetapi mudallis juga. Secara khusus periwayatan yang ia terima dari Az Zuhri tidak dapat dijadikan hujah.
◦ Doktor Awad Ma’ruf menerangkan bahwa Ibnu Hajar menyatakan dalam kitabnya at Taqrib, Husyaim seorang rawi yang tsiqatun tsabtun, tetapi banyak mentadlis serta me mursal khafikan (merugikan) hadis. Tahdzibul Kamal XXX : 272-290. Dengan demikian, periwayatan Husyaim pun tertolak, sebab dalam periwayatannya terdapat ketidakpastian ia menerima hadis itu dari gurunya

◦ عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله (: من قرأ سورة الكهف في يوم الجمعة سطع له نور من تحت قدمه إلى عنان السماء يضيء له يوم القيامة وغفر له ما بين الجمعتين

◦ Dari Ibnu Umar mengatakan, Rasulullah Saw. bersabda, ‘Siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari jumat, baginya akan dipancarkan cahaya dari bawah telapak kakinya sampai awan langit yang akan bersinar pada hari kiamat serta akan diampuni dosanya di antara dua jumat. H.r. Al-Mundziri, at Targhib wat Tarhib, I:298.

◦ Analisis Sanad: Menurut Umar bin Ali bin Ahmad al Wadiyasyi al Andalusi dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj/ CD, I:523, hadis diatas diriwayatkan pula oleh Ad Dhiya dalam Ahkamnya dari Ibnu Mardawaih Ahmad bin Musa dengan sanad yang disitu terdapat rawi yang la yu’rofu (tidak dikenal).
◦ Disamping ketidak jelasan periwayatan Ad Dhiya, terdapat pula kedaifan lainnya yakni rawi bernama Muhammad bin Khalid Al Khutalli. Ad Dzahabi dalam kitabnya Mizanul itidal menerangkan bahwa Ibnul Jauzi dalam kitabnya al Maudhu’at menyatakan, ‘Para ulama telah mendustakannya”. Ibnu Mundah mengatakan, ‘Ia periwayat atau pemilik hadis-hadis yang munkar”. Mizanul I’tidal, VI :131, Lisanul Mizan, V :151, dan al Mughni fid Duafa, II:575.

◦ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ (مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَهُوَ مَعْصُومٌ إِلَى ثَمَانِيَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ فِتْنَةٍ تكون فَإِن خرج الدَّجَّال عصم مِنْه
◦ ُ
◦ Dari Ali bin Abu Thalib mengatakan, ‘Rasulullah Saw. Bersabda, ‘Barang siapa membaca surat Al-Kahfi hari jumat, ia akan terpelihara dari setiap fitnah sampai delapan hari, dan jika dajal keluar ia akan terpelihara darinya. H.r. Abu Abdullah Al Hanbali, al Ahaditsil Mukhtarah/CD, II:51

◦ Analisis Sanad: Sanad hadits ini pun tidak shahih, sebab Abdullah bin Mush’ab yang menjadi periwayat hadis diatas, kami tidak mendapatkan tentang biografinya dalam kitab rijal-rijal hadis.
◦ Abu Abdullah Al Hanbali mengatakan,’Al Bukhari dan Ibnu Abu Hatim tidak menerangkan kedudukan rawi ini dalam kitabnya. Disamping itu bahwa sanad hadis diatas terdapat rawi lain yang tidak ada keterangan biografinya. Al Ahaditsil Mukhtarah, II:50-51.

◦ Membaca Surat Al-Kahfi Penghalang dari Neraka

◦ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ (قَالَ: " سُورَةُ الْكَهْفِ الَّتِي تُدْعَى فِي التَّوْرَاةِ الْحَائِلَةَ، تَحُولُ بَيْنَ قَارِئِهَا وَبَيْنَ النَّارِ " " تَفَرَّدَ بِهِ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ هَذَا، وَهُوَ مُنْكَرٌ. شعب الإيمان

◦ Dari Ibnu Abbas, (ia berkata),”Bahwa Nabi saw. pernah bersabda,’Surat Al-Kahfi yang dinamai dalam At-Taurat Al-Haa-ilah (penghalang), yakni ia akan menghalangi antara pembacanya dan api neraka”. 

◦ Analisis Sanad: Muhammad bin Abdurrahman menyendiri dalam periwayatan hadis ini dan ia seorang rawi yang mungkar. Lihat Syu;abul Iman no.2223.  Dengan demikian hadis ini pun jangan dipercaya karena dhaif

◦ Kesimpulan:

◦ 1 Membaca Surat Al-Kahfi dianjurkan pada hari dan malam apa saja karena memiliki keutamaan yakni turunnya sakinah
◦ 2. Siapa yang menghafal 10 ayat awal dari surat Al-Kahfi akan terhindar dari dajjal
◦ 3. Keutamaan Membaca surat Al Kahfi khusus pada hari atau malam jumat tidak dapat diyakini kebenarannya sebab hadis-hadisnya daif. 

◦ Wallaahu A’lamu Bish Shawab

Syahid

secara bahasa merupakan turunan dari kata sya-hi-da [arab: شهد] yang artinya bersaksi atau hadir. Saksi kejadian, artinya hadir dan ada di tempat kejadian.

Istilah ini umumnya digunakan untuk menyebut orang yang meninggal di medan jihad dalam rangka menegakkan kalimat Allah.

Ulama berbeda pendapat tentang alasan mengapa mereka disebut syahid. Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan sekitar 14 pendapat ulama tentang makna syahid. Berikut diantaranya,

Karena orang yang mati syahid hakekatnya masih hidup, seolah ruhnya menyaksikan, artinya hadir. Ini merupakan pendapat An-Nadhr bin Syumail.
Karena Allah dan para malaikatnya bersaksi bahwa dia ahli surga. Ini merupakan pendapat Ibnul Anbari.
Karena ketika ruhnya keluar, dia menyaksikan bahwa dirinya akan mendapatkan pahala yang dijanjikan.
Karena disaksikan bahwa dirinya mendapat jaminan keamanan dari neraka.
Karena ketika meninggal tidak ada yang menyaksikannya kecuali malaikat penebar rahmat.
Dan masih beberapa pendapat lainnya yang dirinci oleh ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari syarh Shahih Bukhari (6/42 – 43).

Hukum Khusus untuk Jenazah Mati Syahid

Ada 4 kewajiban kaum muslimin terhadap jenazah muslim yang lain: dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikubur.

Khusus untuk jenazah muslim yang mati syahid, ada 2 hukum khusus:

1. Tidak boleh dimandikan

Jenazah ini dibiarkan sebagaimana kondisi dia meninggal, sehingga dia dimakamkan bersama darahnya yang keluar.

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda terkait jenazaj korban perang Uhud:

لَا تُغَسِّلُوهُمْ، فَإِنَّ كُلَّ جُرْحٍ – أَوْ كُلَّ دَمٍ – يَفُوحُ مِسْكًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Jangan kalian mandikan mereka, karena setiap luka atau darah, akan mengelluarkan bau harum minyak misk pada hari kiamat.” (HR. Ahmad 14189 dan dinilai shahih oleh Syuaib Al-Arnauth).

Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda ketika perang Uhud:

ادْفِنُوهُمْ فِي دِمَائِهِمْ

“Kuburkan mereka bersama darah mereka.” Jabir mengatakan: “Mereka tidak dimandikan.” (HR. Bukhari 1346)

2. Boleh tidak dishalatkan

Artinya, jenazah korban perang fi sabilillah tidak wajib dishalatkan, dan boleh juga dishalatkan.

Jenazah yang meninggal di perang Uhud, dimakamkan tanpa dishalatkan. Jabir mengatakan,

وَأَمَرَ بِدَفْنِهِمْ فِي دِمَائِهِمْ، وَلَمْ يُغَسَّلُوا، وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar memakamkan mereka bersama dengan darah mereka, tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. (HR. Bukhari 1343)

Sementara dalil bahwa mereka boleh dishalatkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatkan jenazah Hamzah bin Abdul Muthalib, paman beliau yang meninggal ketika perang Uhud. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

أنّ شهداء أُحد لم يغسّلوا، ودفنوا بدمائهم، ولم يُصَلَّ عليهم؛ غير حمزة

“Para syuhada perang Uhud tidak dimandikan, mereka dikuburkan bersama darahnya, tidak dishalatkan, selain Hamzah.” (Shahih Sunan Abu Daud no. 2688).

Bukan Syahid tapi Mendapat Pahala Syahid

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa orang yang mati di selain medan jihad, namun beliau menggelarinya sebagai syahid.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat, “Siapakah syahid menurut kalian?”

‘Orang yang mati di jalan Allah, itulah syahid.’ Jawab para sahabat serempak.

“Berarti orang yang mati syahid di kalangan umatku hanya sedikit.” Lanjut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‘Lalu siapa saja mereka, wahai Rasulullah?’ tanya sahabat.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan daftar orang yang bergelar syahid,

مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الطَّاعُونِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَالْغَرِيقُ شَهِيدٌ

“Siapa yang terbunuh di jalan Allah, dia syahid. Siapa yang mati (tanpa dibunuh) di jalan Allah dia syahid, siapa yang mati karena wabah penyakit Tha’un, dia syahid. Siapa yang mati karena sakit perut, dia syahid. Siapa yang mati karena tenggelam, dia syahid.” (HR. Muslim 1915).

Dalam hadis lain, dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

“Siapa yang terbunuh karena membela hartanya maka dia syahid.” (HR. Bukhari 2480).

Dari Jabir bin Atik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ: الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ، وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ، وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ، وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ، وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ، وَالَّذِي يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ، وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ

“Selain yang terbunuh di jalan Allah, mati syahid ada tujuh: mati karena tha’un syahid, mati karena tenggelam syahid, mati karena sakit tulang rusuk syahid, mati karena sakit perut syahid, mati karena terbakar syahid, mati karena tertimpa benda keras syahid, wanita yang mati karena melahirkan syahid.” (HR. Abu Daud 3111 dan dishahihkan Al-Albani).

Mereka digelari oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai syahid, namun jenazahnya disikapi sebagaimana jenazah kaum muslimin pada umumnya. Artinya tetap wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dimakamkan. Para ulama mengistilahkan dengan syahid akhirat. Di akhirat dia mendapat pahala syahid, namun di dunia dia ditangani sebagaimana umumnya jenazah.

Ketika mejelaskan hadis daftar orang yang mati syahid selain di medan jihad, Al-Hafidz Al-Aini mengatakan,

فهم شُهَدَاء حكما لَا حَقِيقَة، وَهَذَا فضل من الله تَعَالَى لهَذِهِ الْأمة بِأَن جعل مَا جرى عَلَيْهِم تمحيصاً لذنوبهم وَزِيَادَة فِي أجرهم بَلغهُمْ بهَا دَرَجَات الشُّهَدَاء الْحَقِيقِيَّة ومراتبهم، فَلهَذَا يغسلون وَيعْمل بهم مَا يعْمل بِسَائِر أموات الْمُسلمين

“Mereka mendapat gelar syahid secara status, bukan hakiki. Dan ini karunia Allah untuk umat ini, dimana Dia menjadikan musibah yang mereka alami (ketika mati) sebagai pembersih atas dosa-dosa mereka, dan ditambah dengan pahala yang besar, sehingga mengantarkan mereka mencapai derajat dan tingkatan para syuhada hakiki. Karena itu, mereka tetap dimandikan, dan ditangani sebagaimana umumnya jenazah kaum muslimin.” (Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 14/128).

Macam-Macam Syahid

Dari berbagai hadis yang menyebutkan tentang mati syahid, Al-Hafidz Al-Aini membagi syahid menjadi tiga macam. Beliau mengatakan dalam lanjutan penkelsannya,

وَفِي (التَّوْضِيح) : الشُّهَدَاء ثَلَاثَة أَقسَام: شَهِيد فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَة، وَهُوَ الْمَقْتُول فِي حَرْب الْكفَّار بِسَبَب من الْأَسْبَاب، وشهيد فِي الْآخِرَة دون أَحْكَام الدُّنْيَا، وهم من ذكرُوا آنِفا. وشهيد فِي الدُّنْيَا دون الْآخِرَة، وَهُوَ من غل فِي الْغَنِيمَة وَمن قتل مُدبرا أَو مَا فِي مَعْنَاهُ.

Dalam kitab ‘At-Taudhih’ disebutkan: Orang yang mati syahid ada 3:

Syahid dunia dan akhirat, merekalah orang yang terbunuh karena sebab apapun di medan perang melawan orang kafir.
Syahid akhirat, namun hukum di dunia tidak syahid. Mereka adalah orang yang disebut syahid, namun mati di selain medan perang.
Syahid dunia, dan bukan akhirat. Dialah orang yang mati di medan jihad, sementara dia ghulul (mencuri ghanimah), atau terbunuh ketika lari dari medan perang, atau sebab lainnya.
(Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 14/128).

Untuk orang yang berstatus syahid dunia, namun bukan akhirat, karena ketika dia mati, kaum muslimin menyikapinya sebagaimana orang yang mati di medan perang, jasadnya tidak dimandikan. Namun mengingat orang ini melakukan pelanggaran ketika jihad, dia tidak mendapatkan pahala mati syahid di akhirat.

Minggu, 06 Oktober 2019

Ikuti imam qunut

Kata ustadz adi hidayat jika imam qunut harus ikuti imam qunut.

Jawab :

Ust adi hidayat yg aneh dan jangar.

Nabi mengajarkan qunut, qunut apa?
Yg nabi ajarkan hnya qunut nazilah, derajat hadis qunut khusus shubuh adalah dhaif, makanya sbgian sahabat ada yg bilang bid'ah, itu kata sahabat.

Bermakmum d ahli bid'ah boleh, selama tdk d ikuti bid'ahnya, itupun dalil dan ulama spakat.

Dalil _innama ju'ilal iman liyu' tamma hihi_, kata Adi Hidayat kalo imam qunut ikutilah qunut, ini justru yg jangar dan aneh.

Dalil _innama juila..._ itu untuk gerakan shalat yg bagian dr shalat, masa qunut d artikan gerakan shalat yg bagian dr shalat... !!! 🤦🏻‍♂