Sabtu, 30 November 2019

keutamaan berdoa di hari jumat bada ashar

Ya, itu d antara waktu terbaik. 

يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لاَ يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ شَيْئًا إِلاَّ آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

‘Pada hari Jum’at terdapat dua belas jam (pada siang hari), di antara waktu itu ada waktu yang tidak ada seorang hamba muslim pun memohon sesuatu kepada Allah melainkan Dia akan mengabulkan permintaannya. Oleh karena itu, carilah ia di akhir waktu setelah ‘Ashar.’[HR. Abu Dawud]

Iman Ahmad rahimahullah menjelaskan bahwa waktu mustajab itu adalah ba’da ashar, beliau berkata,

قال الإمام أحمد : أكثر الأحاديث في الساعة التي تُرجى فيها إجابة الدعوة : أنها بعد صلاة العصر ، وتُرجى بعد زوال الشمس . ونقله عنه الترمذي

“Kebanyakan hadits mengenai waktu yang diharapkan terkabulnya doa adalah ba’da ashar dan setelah matahari bergeser (waktu shalat jumat).” [Lihat Fatwa Sual Wal Jawab no.112165]

Ibnul Qayyim berkata,

وهذه الساعة هي آخر ساعة بعد العصر، يُعَظِّمُها جميع أهل الملل

“Waktu ini ini adalah akhir waktu ashar dan diagungkan oleh semua orang yang beragama” [Zadul Ma’ad 1/384]

Jumat, 29 November 2019

keutamaan hari jum'at

Wa'alaikum salam warohmatullooh... 

Hari Jum’at merupakan hari yang paling utama (afdhal) dari semua hari dalam sepekan. Dia adalah hari yang penuh barakah. Allah Ta’ala mengkhususkan hari Jum’at ini hanya bagi kaum Muslimin dari seluruh kaum dari ummat-ummat terdahulu. Dan di antara beberapa keutamaan dan barakah hari yang agung ini adalah sebagai berikut:

*Pertama,* terdapat berbagai hadits yang menjelaskan keutamaan dan kemuliaan hari Jum’at. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا وَلاَ تَقُومُ السَّاعَةُ إِلاَّ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ.”

“Sebaik-baik hari dimana matahari terbit di saat itu adalah hari Jum’at. Pada hari ini Adam diciptakan, hari ketika ia dimasukan ke dalam Surga dan hari ketika ia dikeluarkan dari Surga. Dan hari Kiamat tidak akan terjadi kecuali pada hari Jum’at.” (Hr. Muslim) 

Hadits berikutnya, dari Abu Hurairah dan Hudzaifah[Hr.Muslim]

“أَضَلَّ اللهُ عَنِ الْجُمُعَةِ مَنْ كَانَ قَبْلَنَا فَكَانَ لِلْيَهُوْدِ يَوْمُ السَّبْتِ وَكَانَ لِلنَّصَارَى يَوْمُ الأَحَدِ فَجَاءَ اللهُ بِنَا فَهَدَانَا اللهُ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ.”

‘Allah menyimpangkan kaum sebelum kita dari hari Jum’at. Maka untuk kaum Yahudi adalah hari Sabtu, sedangkan untuk orang-orang Nasrani adalah hari Ahad, lalu Allah membawa kita dan menunjukan kita kepada hari Jum’at.’(Hr. Muslim) 

Dan hadits-hadits lain yang menunjukkan besarnya keutamaan hari Jum’at dan keistimewaannya di banding hari-hari lainnya.

Di antara keberkahan hari Jum’at, bahwa di dalamnya terdapat waktu-waktu dikabulkannya do’a.
Dalam ash-Shahihain terdapat hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut hari Jum’at, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“فِيْهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا.”

“‘Di hari Jum’at itu terdapat satu waktu yang jika seorang Muslim melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan.’ Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menun-jukkan sedikitnya waktu itu.”[Hr. Bukhori]

Walloohu'alam...

Selasa, 26 November 2019

al anbiyaa 35 yg berjiwa akan mati

firman Allah :  al anbiyaa : 35

كُلُّ نَفْسٍۢ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةًۭ ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.

sob... apapun yg kita dapatkan dan hadapi.. selesaikan dengan cara terbaik lillah (karena Allah)

manfaatkan harta kita... raga kita.. kemampuan kita.. shahabat/keluarga kita.. untuk menimba pahala...

maafkan .. minta maaf... dan selesaikan semua urusan hutang piutang...

bershodaqoh lah... jangan sampai harta dan amal kita memberatkan pertanggung jawaban kita di sana...

الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلاَمٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salamun ‘alaikum (keselamatan sejahtera bagimu), masuklah ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan”. An Nahl: 32

semoga kita semua menjadi ahli surga tanpa hisab

aamiiin..

salam @dudimuttaqien

Musafir boleh tayamum meski ada air

*Musafir boleh tayamum meski ada air* 

Dalil tayamum terdapat dlm Qs. An-Nisa:43: 

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُباً إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوّاً غَفُوراً} [النساء:43].

Ayat ini turun setelah ayat wudhu, Qs. Al-Maidah:6. 

Ayat tayamum berkenaan dr bbrpa sebab: 
- krna tdk ada air
- karena sakit
- karena safar 

ARGUMENTASI

Kalimat 
فلم تحدوا ماء 
“kemudian kamu tidak mendapat air” ma’tuf kepada 
أو جاء أحد منكم …
 “atau datang salah seorang dari kamu …”
dan bukan kepada kalimat
 وإن كنتم مرضى أو على سفر
 “dan jika kamu dalam keadaan sakit atau sedang bepergian”.

Krna Hadats itu bukan udzur yang membolehkan tayamum, (yaitu ayat أو جاء أحد منكم من الغائط أو لامستم النساء) berbeda dengan sakit dan safar, (yaitu ayat وإن كنتم مرضى أو على سفر) oleh karena itu kalimat “lalu kamu tidak mendapatkan air” bukan ma’tuf kepada yang sakit dan Musafir, tetapi kepada hadats kecil dan hadats besar.

Dengan demikian udzur yang membolehkan tayamum itu ada tiga :

1. Sakit
2. Safar
3. Tidak mendapatkan air (bagi yang sehat dan muqim)

Apabila ayat *“kemudian kamu tidak mendapatkan air” ma’tuf kepada “yang sakit” dan “musafir” maka tidak ada faidah dalam penyebutannya (“yang sakit” dan “musafir”), karena yang sehat dan yang muqim pun jika tidak mendapatkan air, maka mesti tayammum.* Tidak mungkin al-Quran menyebutkan sesuatu yang tidak ada faidahnya.

“Safar” telah dikenal sebagai “udzur syar’i” dalam penetapan rukhsah pada ibadah-ibadah lainnya seperti shalat (jama’ dan qashar) dan shaum, maka demikian juga dalam bersuci (wudhu dan mandi janabah).

BAYAN DALIL 

Sabab an-nuzul ayat tayamum tidak dapat dijadikan “batasan keadaan” bolehnya tayamum bagi musafir karena masih bersifat mujmal (tidak jelas). apakah karena safarnya? Atau karena tidak ada airnya? Atau karena kedua-duanya?

وقائع الأحوال مجملة لا تنهض دليلا

“kejadian-kejadian suatu keadaan yang mujmal tidak dapat dibangun sebagai dalil (argument)”. 
*Dengan demikian lebih didahulukan keterangan dari ayat al-Quran yang secara jelas menerangkan udzur bolehnya tayamum, yaitu sakit, safar dan tidak mendapatkan air.”*

Qaidah Ushuliyah menyebutkan,

العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
_Pelajaran itu diambil dari keumuman lafazh bukan dari kekhususan sebab._

Maksudnya apabila ayat al-Quran atau hadits Nabi menerangkan dengan lafadz yang umum ditujukan kepada suatu sebab (baik sabab nuzul atau sabab wurud) yang khusus, maka yang diamalkan adalah lafadz yang umum tersebut.

Pada ayat tayamum tersebut diterangkan dengan lafadz
 أو على سفر 
secara umum, dengan demikian berlaku baik ketika ada air maupun tidak.

_Wallahu A'lam_

Selasa, 19 November 2019

sholat istikharah

Terkadang kita menghadapi beberapa masalah yang memiliki urgensi (tingkat kepentingan) yang sama bagi kita. Kita pun ingin memohon dengan cara istikharah, tapi bingung tentang tata caranya. Mudah-mudahan tulisan berikut ini bisa jadi jalan keluarnya.

Shalat istikharah adalah shalat sunnah yang dikerjakan ketika seseorang hendak memohon petunjuk kepada Allah, untuk menentukan keputusan yang benar ketika dihadapkan kepada beberapa pilihan keputusan. Sebelum datangnya Islam, masyarakat jahiliyah melakukan istikharah (menentukan pilihan) dengan azlam (undian). Setelah Islam datang, Allah melarang cara semacam ini dan diganti dengan shalat istikharah.

Dalil disyariatkannya shalat istikharah

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُعَلِّمُ أَصْحَابَهُ الاِسْتِخَارَةَ فِى الأُمُورِ كُلِّهَا ، كَمَا يُعَلِّمُ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ يَقُولُ « إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِك وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاقْدُرْهُ لِى وَيَسِّرْهُ لِى ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْهُ عَنِّى وَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِى الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِى – قَالَ – وَيُسَمِّى حَاجَتَهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari para sahabatnya untuk shalat istikharah dalam setiap urusan, sebagaimana beliau mengajari surat dari Alquran. Beliau bersabda, “Jika kalian ingin melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua rakaat selain shalat fardhu, kemudian hendaklah ia berdoa:

“Allahumma inni astakhiruka bi ‘ilmika, wa astaqdiruka bi qudratika, wa as-aluka min fadhlika, fa innaka taqdiru wa laa aqdiru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyub. Allahumma fa-in kunta ta’lamu hadzal amro (sebut nama urusan tersebut) khoiron lii fii ‘aajili amrii wa aajilih (aw fii diinii wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii) faqdur lii, wa yassirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Allahumma in kunta ta’lamu annahu syarrun lii fii diini wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii (fii ‘aajili amri wa aajilih) fash-rifnii ‘anhu, waqdur liil khoiro haitsu kaana tsumma rodh-dhinii bih.”

Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak tahu. Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku (atau jelek bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, dan palingkanlah aku darinya, dan takdirkanlah yang terbaik untukku apapun keadaannya dan jadikanlah aku ridha dengannya. Kemudian dia menyebut keinginanya” (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Ibn Hibban, Al-Baihaqi dan yang lainnya).

Teks Doa Istikharah

Teks doa istikharah ada dua:
Pertama,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِك وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى فَاقْدُرْهُ لِى وَيَسِّرْهُ لِى ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى فَاصْرِفْهُ عَنِّى وَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِى الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِى

“Allahumma inni astakhii-ruka bi ‘ilmika, wa astaq-diruka bi qud-ratika, wa as-aluka min fadh-likal adziim, fa in-naka taq-diru wa laa aq-diru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyub. Allahumma in kunta ta’lamu anna hadzal amro khoiron lii fii diinii wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii faq-dur-hu lii, wa yas-sirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna hadzal amro syarrun lii fii diinii wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii, fash-rifhu ‘annii was-rifnii ‘anhu, waqdur lial khoiro haitsu kaana tsumma ardhi-nii bih”

Kedua, sama dengan atas hanya ada beberapa kalimat yang berbeda, yaitu:
Kalimat [دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى] diganti dengan [عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ]. Sehingga, Teks lengkapnya:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِك وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِى فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِى وَيَسِّرْهُ لِى ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِى فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّى وَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِى الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِى

Allahumma inni astakhii-ruka bi ‘ilmika, wa astaq-diruka bi qud-ratika, wa as-aluka min fadh-likal adziim, fa in-naka taq-diru wa laa aq-diru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyub. Allahumma in kunta ta’lamu anna hadzal amro khoiron lii fii ‘aajili amrii wa aajilih faq-dur-hu lii, wa yas-sirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna hadzal amro syarrun lii fii ‘aajili amrii wa aajilih, fash-rifhu ‘annii was-rifnii ‘anhu, waqdur lial khoiro haitsu kaana tsumma ardhi-nii bih.

Kapan doa istikharah diucapkan?

Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul berkata, “Waktu doa istikharah adalah setelah salam, berdasarkan sabda beliau shallallahu Alaihi wa Sallam,

إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلِ

“Jika salah seorang di antara kalian berkehendak atas suatu urusan, hendaklah ia shalat dua rakaat yang bukan wajib, kemudian ia berdoa…..”
Teks hadis menunjukkan setelah melaksanakan dua rakaat, artinya setelah salam.” (Bughyatul Mutathawi‘, Hal. 46)

Apakah ada bacaan khusus ketika shalat?

Tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya bacaan surat atau ayat khusus ketika shalat istikharah. Jadi, orang yang melakukan shalat istikharah bisa membaca surat atau ayat apapun, yang dia hafal. Al-Allamah Zainuddin Al-Iraqi mengatakan, “Aku tidak menemukan satu pun dalil dari berbagai hadis istikharah yang menganjurkan bacaan surat tertentu ketika istikharah.”
Apakah istikharah harus dengan shalat khusus ataukah boleh dengan semua shalat sunnah?
Pada hadis tentang shalat istikharah di atas dinyatakan,

فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ

“Kerjakanlah shalat dua rakaat selain shalat fardhu…”

Berdasarkan kalimat ini, sebagian ulama menyimpulkan bahwa melakukan istikharah tidak harus dengan shalat khusus, tapi bisa dengan semua shalat sunah. Artinya, seseorang bisa melakukan shalat rawatib, dhuha, tahiyatul masjid, atau shalat sunah lainnya, kemudian setelah shalat dia membaca doa istikharah. Imam An-Nawawi mengatakan,

والظاهر أنها تحصل بركعتين من السنن الرواتب ، وبتحية المسجد، وغيرها من النوافل

“Teks hadis menunjukkan bahwa doa istikharah bisa dilakukan setelah melaksanakan shalat rawatib, tahiyatul masjid, atau shalat sunnah lainnya.” (Bughyatul Mutathawi’, Hal. 45)

Jawaban dalam mimpi?
Banyak orang beranggapan bahwa jawaban istikharah akan Allah sampaikan dalam mimpi. Ini adalah anggapan yang yang sama sekali tidak berdalil. Karena tidak ada keterkaitan antara istikharah dengan mimpi. Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhahullah mengatakan,

Mimpi tidak bisa dijadikan acuan hukum fiqih. Karena dalam mimpi setan memiliki peluang besar untuk memainkan perannya, sehingga bisa jadi setan menggunakan mimpi untuk mempermainkan manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرؤيا ثلاثة، من الرحمن ومن الشيطان وحديث نفس

“Mimpi ada 3 macam: dari Allah, dari setan, dan bisikan hati.”

Beliau juga menjelaskan bahwa mimpi tidak bisa untuk menetapkan hukum, namun hanya sebatas diketahui. Dan tidak ada hubungan antara shalat istikharah dengan mimpi. Karena itu, tidak disyaratkan, bahwa setiap istikharah pasti diikuti dengan mimpi. Hanya saja, jika ada orang yang istikharah kemudian dia tidur dan bermimpi yang baik, bisa jadi ini merupakan tanda baik baginya dan melapangkan jiwa. Tetapi, tidak ada keterkaitan antara istikharah dengan mimpi. (Al-Fatwa Al-Masyhuriyah: http://almenhaj.net/makal.php?linkid=124)

Apa yang harus dilakukan setelah istikharah?

Para ulama menjelaskan bahwa setelah istikharah hendaknya seseorang melakukan apa yang sesuai keinginan hatinya. Imam An-Nawawi mengatakan,

إذا استخار مضى لما شرح له صدره

“Jika seseorang melakukan istikharah, maka lanjutkanlah apa yang menjadi keinginan hatinya.”

Kesimpulan

Berdasarkan keterangan di atas, tata cara shalat istikharah sebagai berikut:

Istikharah dilakukan ketika seseorang bertekad untuk melakukan satu hal tertentu, bukan sebatas lintasan batin. Kemudian dia pasrahkan kepada Allah.
Bersuci, baik wudhu atau tayammum.
Melaksanakan shalat dua rakaat. Shalat sunnah dua rakaat ini bebas, tidak harus shalat khusus. Bisa juga berupa shalat rawatib, shalat tahiyatul masjid, shalat dhuha, dll, yang penting dua rakaat.
Tidak ada bacaan surat khusus ketika shalat. Artinya cukup membaca Al-Fatihah (ini wajib) dan surat atau ayat yang dihafal.
Berdoa setelah salam dan dianjurkan mengangkat tangan. Caranya: membaca salah satu diantara dua pilihan doa di atas. Selesai doa dia langsung menyebutkan keinginannya dengan bahasa bebas. Misalnya: bekerja di perushaan A atau menikah dengan B atau berangkat ke kota C, dst.
Melakukan apa yang menjadi tekadnya. Jika menjumpai halangan, berarti itu isyarat bahwa Allah tidak menginginkan hal itu terjadi pada anda.
Apapun hasil akhir setelah istikharah, itulah yang terbaik bagi kita. Meskipun bisa jadi tidak sesuai dengan harapan sebelumnya. Karena itu, kita harus berusaha ridha dan lapang dada dengan pilihan Allah untuk kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan dalam doa di atas, dengan menyatakan, [ ثُمَّ أَرْضِنِى] “kemudian jadikanlah aku ridha dengannya” maksudnya adalah ridha dengan pilihan-Mu ya Allah, meskipun tidak sesuai keinginanku.

Senin, 18 November 2019

haidh lebih dari biasa-nya

Asalamualaikum punten paustadz katitipan patarosan pami hed tos langkung ti biasana kedah ngalaksanaken solat kmha pami langkung tibiasanateh epek tina suntik KB ?

Wa'alaikum salam warohmatullooh... 
Ini haditsnya

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( إِنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ دَمَ اَلْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي مِنَ اَلصَّلَاةِ فَإِذَا كَانَ اَلْآخَرُ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي )  رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَاسْتَنْكَرَهُ أَبُو حَاتِم

Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy sedang keluar darah penyakit (istihadlah). Maka bersabdalah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam kepadanya: Sesungguhnya darah haid adalah darah hitam yang telah dikenal. Jika memang darah itu yang keluar maka berhentilah dari shalat namun jika darah yang lain berwudlulah dan shalatlah. Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim. 

Yang pertama pastikan dulu apakah itu darah haidh bukan dengan ciri² seperti dalam hadits diatas, dan kalau sudah melewati batas kebiasaan itu adalah darah penyakit maka mandilah dan sholat

Kamis, 14 November 2019

ahli bid'ah

IBNU TAIMIYAH BERKATA: IBLIS LEBIH SUKA KEPADA AHLI BID'AH DIBANDINGKAN AHLI MAKSIAT.. ALASANNYA: AHLI BID'AH SANGAT BERAT DAN SUSAH TAUBATNYA KARENA MERASA SDH BANYAK BERIBADAH

hoax info maulid nabi

[13/11 04:43] +62 838-2335-3627: bismillah ustadz bade tumaros perkawis teks berikut

وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ أَبَا لَهَبٍ رُؤِيَ بَعْدَ مَوْتِهِ فِي النَّوْمِ ، فَقِيْلَ لَهُ : مَا حَالُكَ ، فَقَالَ فِي النَّارِ ، إِلَّا أَنَّهُ يُخَفَّفُ عَنِّيْ كُلَّ لَيْلَةِ اثْنَيْنِ وَأَمُصُّ مِنْ بَيْنَ أَصْبُعِيْ مَاءً بِقَدْرِ هَذَا – وَأَشَارَ إِلَى نُقْرَةِ إِبْهَامِهِ – وَأَنَّ ذَلِكَ بِإِعْتَاقِيْ لِثُوَيْبَةَ عِنْدَمَا بَشَّرَتْنِيْ بِوِلَادَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِإِرْضَاعِهَا لَهُ
[13/11 04:50] +62 838-2335-3627: bilih lepat ngahartosken margi dgn teks di atas ada yg berpendapat bahwa abu tholib paman nabi mendapatkat keringanan siksaan di sebabkan beliau semasa hidupnya sangat bahagia dengan kelahiran muhammad

[13/11 23:19] ust abu qutbie: Astaghfirullaah... 
Dapat tulisan ini darimana? 

Pernyataan ini bohong, dusta, tidak ada sanad dan tidak ditemukan dalam kitab hadis apapun.

Kalimaynya juga _Ruwiya_, shighah Majhul, menunjukan memang tidak ada sumbernya. 

Berani sekali org yg berdusta demi menghalalkan peringatan maulidan
[13/11 23:19] ust abu qutbie: ana terjemahkan:

“Abu Lahab diperlihatkan di dalam mimpi setelah ia mati, ditanyakan kepadanya, “Bagaimana keadaanmu?” Ia menjawab, “Di dalam neraka, hanya saja azabku diringankan setiap malam Senin. Aku menghisap air di antara jari jemariku sekadar ini – ia menunjuk ujung ibu jarinya-. Itu aku dapatkan karena aku memerdekakan Tsuwaibah ketika ia memberikan kabar gembira kepadaku tentang kelahiran Muhammad dan ia menyusukan Muhammad”.

ini Khabar Dusta
[13/11 23:35] ust abu qutbie: ana temukan teks ini didalam kitab-kitab Syi'ah.

berikut diantara teksnya:

مجموع مؤلفات عقائد الرافضة والرد عليها (105/ 11)

 أن أبا لهب يخفف عنه العذاب كل يوم اثنين ، لأنه أعتق ثويبة حينما بُشر بولادة النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، فإذا كان هذا الكافر يخفف عنه العذاب وهو في جهنم لفرحه بمولد الرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ فكيف بالمؤمن الموحد . وقبل أن أذكر الرد على هذه الفرية أنقل لكم ما رواه البخاري في كتاب النكاح الباب ( 19 ) عن عروة بن الزبير حيث قال : ( قال عروة : وثويبة مولاة لأبي لهب ، وكان أبو لهب أعتقها . فأرضعت النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، فلما مات أبو لهب أُريه بعض أهله بشرحبية ، قال له : ماذا لقيت ؟ قال له أبو لهب : لم ألق بعدكم غير أني سقيت في هذه بإعتاقتي ثويبة . أ . هـ ) .
وجاء في الإصابة في تمييز الصحابة لابن حجر : أن ثويبة التي أرضعت النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ وهي مولاة أبي لهب ، كان النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ يصلها وهي بمكة وكانت خديجة تكرمها وهي على ملك أبي لهب وسألته أن يبيعها ، فلما هاجر رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ أعتقها أبو لهب ..... إلخ أ . هـ .

dalam hadis ini katanya Abu Lahab diringankan siksaannya pada setiap hari senin, kisahnya:

‘Tsuwaibah, dulunya adalah budak perempuan Abu Lahab. Abu Lahab membebaskannya, lalu dia menyusui Nabi shallallahu alaihi wasallam. Tatkala Abu Lahab mati, dia diperlihatkan kepada sebahagian keluarganya (dalam mimpi) tentang buruknya keadaan dia”.

Dia (keluarganya ini) berkata kepadanya:

“Apa yang engkau dapatkan?”.

Abu Lahab menjawab: “Saya tidak mendapati setelah kalian kecuali saya diberi minum sebanyak ini (sedikit) kerana saya memerdekakan Tsuwaibah”.

*BANTAHAN*

1. Jika kita perhatikan di dalam kitabnya para ulama, tidak kita temui dari kalangan mereka yang menggunakan hadith di atas sebagai dalil bagi membolehkan Maulid.

2. Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Kitab Fathul Bari mengkritik hadith tersebut sebagai Mursal. Kerana Urwah adalah seorang tabi’in dan beliau tidak menyebutkan dari siapa dia mendengar kisah ini. Sedangkan hadits mursal adalah termasuk dalam kategori hadits-hadits dhaif (lemah) yang tidak boleh dijadikan dalil.

Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah juga berkata:

“Hadis di atas menunjukkan bahawa di akhirat orang kafir boleh memperolehi manfaat dari amal kebaikan yang mereka lakukan, tetapi perkara ini bertentangan dengan zahir ayat al-Qur’an,

{وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا} [الفرقان: 23]
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka usahakan, lalu Kami jadikan amal tersebut seperti debu yang berterbangan.” (Surah al-Furqan: 23)

Maka, kenyataan di atas dijawab sebagaimana berikut: “Khabar tersebut adalah mursal yang dibawa oleh ‘Urwah dan dia tidak menyebutkan dari siapa dia mendapat kisah tersebut. Sekiranya hadis tersebut maushul, tetapi isi hadis tersebut adalah mimpi sehingga tidak layak untuk dijadikan sebagai hujjah. Boleh jadi saudaranya yang bermimpi itu belum masuk Islam ketika itu sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.

Jadi keterangan in sangatlah keliru sekali

Rabu, 13 November 2019

hadits dhoif rosul qunut shubuh sampai meninggal

ahid yaitu dari riwayat Hasan al-Basri dari Anas bin Malik
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقْتُهُ قَالَ وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقْتُهُ
Aku salat bersama Rasulullah Saw, beliau tidak meninggalkan berqunut setelah ruku’ dalam salat subuh sehingga beliau meninggal. Akupun salat dibelakang Umar bin Khattab selalu berqunut setelah ruku pada salat subuh sehingga beliau wafat
Namun dalam sanadnya ada rawi yang bernama Amr bin Ubaid yang dinilai oleh imam Ibn Ma’in “la yuktabu haditsuhu”  imam Nasai “matruk al-hadits”, Imam Ayub dan Yunus “yakdzib”. Oleh karena itu hadisnya sangat lemah sehingga tidak dapat menjadi penguat bagi hadis Abu Ja’far ar-Razi. Sehingga konsekuensinya hadis riwayat Abu Ja’far ar-Razi tersebut menyendiri dalam periwayatan, tidak bisa naik menjadi hasan lighairih.
Dengan demikian status hadis mendawamkan qunut subuh selain qunut nazilah berderajat dhoif, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah dan diamalkan. pendapat inilah menurut hasil penelitian kami yang paling rojih.

sholat isyraq

Bagaimana derajat hadis salat Isyraq ? apakah dapat diamalkan ?
Jawab :
Hadis yang dijadikan dalil salat isyraq setidaknya ada lima jaur riwayat dengan rincian sebagai berikut :
1.  Ibnu Umar
عَنْ أَنَسٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ صَلَّى الغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ.
Dari Anas bin Malik berkata : Rasulullah Saw bersabda : “ Siapa yang salat subuh berjamaah kemudian duduk berdzikir sampai terbit mataharikemudian salat dua rakaat, maka baginya pahala semisal dengan pahala haji dan umrah, sempuna, sempurna, sempurna (H.R. Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, 1/727)
Namun dalam sanadnya ada rawi bernama Abu Dzilal, berikut adalah penilaian para ulama Jarh Ta’dil terhadap Abu Dzilal, Yahya bin Ma’in “Laisa bi Syaiin” “dhaif al-Hadits” (al-Jarh wa at-Ta’dil, 9/73) Nasa’i “Dhaif” (ad-Dhu’afa wa al-Matrukin, 104) Ibnu ‘Adi “kebanyakan periwayatannya tidak disertai (mutaba’ah) periwayatan orang yang tsiqat” (al-Kamil fi Dhuafa’ ar-Rijal, 7/119) Ibnu Hibban “Seorang Syaikh yang kadang lalai, meriwayatkan dari Anas bi Malik, padahal bukan dari Anas “. Imam Bukhari “Pada riwayat Abu Dzilal dari Anas kebanyakan hadis-hadisnya munkar” (ad-Dhu’afa al-Kabir, 4/345)
Riwayat Abu Dzilal dari Anas bin Malik ada mutaba’ah bagi Abu Dzilal yaitu Yazid al Qaqqasyi, Qatadah dan Tsabit al-Bunani. Namun sayangnya ketiganya tidak menyebutkan adanya salat dua rakaat isyraq tapi hanya sekedar keutamaan salat subuh dan duduk dzikir setelahnya sampai matahari terbit. menyendiri dalam periwayatan hadis ini dari Anas bin Malik tanpa adanya mutabi’ dari yang lain, sehingga hadis tersebut terkategori munkar.
Ada tiga alasan, pertama imam bukhari memang tidak menyebutkan semua riwayatnya munkar, namun khusus jalur dari Anas bin Malik beliau menilainya munkar. Kedua, Anas bin Malik termasuk sahabat yang banyak murid, setidaknya tercatat ada 217 (tahdzib al-kamal) dan mayoritas tsiqat, namun tidak ada satupun yang meriwayatkan matan yang sama dengan Abu Dzilal. Ketiga, Abu Dzilal menyendiri dalam periwayatan, kalau seandainya riwayat tersebut dipastikan dari Anas bin Malik, tentunya para muridnya yang tsiqat, asbath, lebih banyak mulazamah dengan Anas bin Malik meriwayatkann pula hadis tersebut. Dengan demikian jalur Anas bin Malik ini termasuk hadis munkar yang sangat lemah, tidak dapat menguatkan maupun dikuatkan
2.  Abu Umamah
Hadis diatas memang ada syawahid dari riwayat yang lain, diantarannya dari Abu Umamah, Aisyah dan Ibnu Umar. Dari Jalur Abu Umamah ada dua jalur periwayatan. Pertamam dari jalur al- Ahwas. Al-Ahwas sendiri merupakan rowi yang lemah Ibnu Ma’in menilai: “La Syai” (dloif). Juga Imam An-Nasai menilai dloif. Adapun Imam Ahmad mengatakan: “Haditsnya tidak ada satupun yang lurus”. Al-Ahwash bin Hakim tidak kuat, dia rowi Munkarul Hadits. Ibnu ‘Uyainah mendahulukan Al-Ahwash daripada Tsaury dalam Hadits, maka (Nampak) keliru (penilaian) ibnu ‘Uyainah dalam mendahulukan Ahwash daripada Tsaury. Imam Tsaury itu Shoduq sedang Al-Ahwash rowi munkarul hadits”. Salah satu bukti al-Ahwas ini lemah adalah jalurnya idthirab (goncang). Berikut penjelasannya
1.   Ahwash« Abu ‘Amir « Abu Umamah r.a« Nabi saw
2.  Ahwash« Abu ‘Amir « ‘Utbah r.a« Aby Umamah r.a« Nabi saw
3.  Ahwash« Abu ‘Amir« Abu Umamah r.a dan Utbah r.a« Nabi saw
al Ahwas kadang menyebutkan dari Abu Amir dari Abu Umamah, kadang dari Abu Amir dari Utbah dari Abu Umamah, kadang pula dari Abu Amir dari Abu Umamah dan Utbah. Kesimpulanya jalur Abu Umamah yang melewati al-Ahwas ini munkar dan idhtirab sehingga dihukumi dhaif ghair muhtamal yang tidak bisa dijadikan sebagai syahid atau penguat.
Jalur kedua Jalur sanadnya: Husein« Al-Mughiroh« Utsman bin Abdurrohman« Musa bin ‘ulay« Yahya« Al-Qosim« Aby Umamah r.a« Nabi saw. Masalah ada pada rawi Ustman bin Abdurrahman dan Musa bin ‘Ulay. Usman bin Abdurrahman, komentar para ulama
1.  Ibn Hajar dalam taqrib “dia rowi shoduq, tapi kebanyakan riwayatnya dari rowi-rowi dloif dan dari rowi-rowi majhul (tidak dikenal) karena itulah ia didloifkan dengan sebab itu sehingga Ibnu Namir menisbahkannya dengan dusta. (Taqrib at-Tahdzib, 666)
2.  Imam Al-Bukhory mengatakan: “dia meriwayatkan dari orang-orang lemah (dloif). Adapun Abu hatim menilai rowi ini shoduq. Dan Abu ‘Arubah menilai: ”dia tidak apa-apa dan ia meriwayatkan dari kaum yang majhul dengan kemungkaran” (Tahdzib al-Kamal, 19/429).

Dari penelitian terbukti bahwa Musa bin ‘Ulay bukanlah Musa bin ‘Ulay al-Lahmy tapi Musa bin ‘Ulay yang termasuk majhul ‘Ain. Karena Yahya dan Musa bin ‘Ulay tidak mempunyai sanad keguruan. Begitu juga al-Lahmy tidak mempunyai murid yang bernama Usman bin Abdurrahman. 

Dengan demikian jelaslah bahwa jalur Usman bin Abdurrahman dari Musa bin “ulayya hadisnya munkar serta ada rawi yang majhul ‘Ain sehingga masuk dalam kategori sangat lemah tidak dapat menguatkan maupun dikuatkan. Sedangkan sanad yang mahfudz adalah sanad melalui Shadaqah bin Khalid (H.R. al-Baihaqi), Haitsan bin Humaid (H.R. Abu Dawud), Suwaid bin Abdul Aziz (H.R. Thabarani), Ismail bin Iyyas (H.R. Ahmad) dan al-Walid bin Muslim (H.R. Thabarani). Kelimanya merupakan murid dari Yahya bin al-Harits. Kelima rawi tersebut hanya memberitakan pertama, keutamaan seseorang keluar rumah untuk shalat wajib dengan pahala seperti orang beribadah haji. Kedua, keutamaan seseorang keluar rumah untuk salat dluha atau salat sunnah dengan pahala seperti orang beribadah umrah. Tidak menerangkan duduk-duduk kemudian salat dua rakaat isyraq.
3.  Ibnu Umar 
Adapun dari sahabat Ibnu Umar ada tiga jalur riwayat, pertama dari al Ahwas, termasuk jalur mudhtharib dan munkar. Jalur kedua, dari Khalid bin Ma’dan, dalam sanadnya ada Salm bin al-Mughirah, imam Ahmad berkata “jangan catat hadis-hadis gharib sesungguhnya termasuk hadis-hadis munkar” jalur inipun lebih dekat kepada munkar. Disamping ada keterputusan sanad antara Khalid bin Ma’dan dari Ibn Umar, sehingga jalur ini terkategori dhaif ghair muhtamal tidak dapat dijadikan penguat maupun dikuatkan. Ketiga jalur imam Nafi’ namun dalam sanadnya ada Rawi yang bernama al-Fadl bin Muwaffaq dinilai lemah oleh Abu Hatim dan terkadang meriwayatkan hadis-hadis palsu. al-Fadl bin Muwaffaq menyendiri dalam periwayatan dari gurunya Malik bin Mighwal, jika kita lihat dalam kitab-kitab jarh ta’dil tidak ditemukan bahwa murid Malik bin Mighwal adalah al-Fadl bin Muwaffaq dengan demikian lebih dekat kepada munkar dan tidak dapat menguatkan maupun dikuatkan. Dengan demikian keseluruhan jalur Ibnu Umarpun tidak terlepas dari kedhaifan yang sangat, sehingga tidak dapat dijadikan mutabaah maupun syawahid.
4.  Aisyah
Hadisnya ada dalam al-Kamil Ibn ‘Adi, namun dalam sanadnya ada Rawi yang bernama Ishaq bin Bisyri, Imam ad-Daraqutni menilainya pemalsu hadis sedangkan imam al-Azdi menilainya matruk al-hadits (Lisan al-Mizan, 2/44-45)
5.  Muaz bin Anas al-Juhany 
Hadisnya diriwayatkan oleh imam al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra, namun dalam sanadnya ada tiga rawi dhaif dan tafarrud sehingga masuk dalam kategori dhaif ghair muhtamal tidak dapat menguatkan maupun dikuatkan.
Kesimpulannya, pertama, walaupun terdapat lima jalur sahabat, namun semuanya tidak terlepas dari kedhaifan dan munkar, sehingga tidak dapat saling menguatkan maupun dikuatkan. Dengan demikian tidak dapat dijadikan hujah dan tidak dapat diamalkan.

kerja di non islam

🔴asalamualaikum Pa Ustadz , mohon pencerannya , saya bekerja pada orang  non islam di bidang tekstil , apakah gaji yang saya terima itu halal ataukah haram ... terima kasih ustadz
Jawab :
Pada dasarnya asal dalam muamalah adalah mubah, termasuk dengan orang kafir, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Rasulullahpun bermuamalah dengan orang kafir diantaranya Nabi pernah membeli makanan dari seorang Yahudi secara angsuran, bahkan ketika masih kecil, Nabi Muhammad Sallallahu alaihi wa sallam berprofesi sebagai pengembala bagi orang kafir dan para nabi lainnya berprofesi sebagai pengembala kambing
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membeli makanan dari orang Yahudi secara angsuran dan menjaminnya dengan menggadaikan baju besi Beliau". (Hr Bukhari, Sahih al-Bukhari, 3/62)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الْغَنَمَ فَقَالَ أَصْحَابُهُ وَأَنْتَ فَقَالَ نَعَمْ كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ
Dari Abu Hurairah RA dari Nabi Saw bersabda : “Allah tidak mengutus nabi kecuali mengembala kambing. Kemudian para sahabat bertanya : “apakah engkau juga ya Rasulullah ? “benar, aku dahulu mengembala kambing milik masyarakat Makah dengan beberapa kerat emas (H.R. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 3/88)
Namun ada beberapa batasan penting. Pertama, kafir yang dimaksud hanya kafir 'ahid dan dzimmi saja, tapi tidak dengan kafir harbi. Kedua, pekerjaan maupun komoditas merupakan barang dan cara yang halal, bukan yang haram. Ketiga, memberikan kebebasan dalam beribadah kepada karyawannya. Keempat, tidak dikhawatirkan terjadi fitnah baik kepada pribadi maupun identitas sebagai muslim.

sholat jum'at dan ashar di waktu dzuhur

Abu Khazin:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اَللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِرْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ اَلشَّمْسُ أَخَّرَ اَلظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ اَلْعَصْرِ, ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا, فَإِنْ زَاغَتْ اَلشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى اَلظُّهْرَ, ثُمَّ رَكِبَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Anas, ia berkata, "Rasulullah Saw. apabila berangkat dalam safarnya sebelum tergelincir matahari, beliau akhirkan Zuhur hingga waktu Ashar, kemudian beliau singgah dan menjamak keduanya. Jika mahahari sudah tergelincir sebelum berangkat, beliau salat Zuhur kemudian berangkat." (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari II:47, Muslim, Shahih Muslim I: 489, Ahmad, Musnad Ahmad IV: 632, 676, Abu Daud, Sunan Abi Daud II: 452, An-Nasa’i, Sunan An-Nasai I: 321, 325, As-Sunan Al-Kubra I: 497, 589, At-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Ausath VIII: 80,Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni I : 376, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra III: 230, Abu Ya’la Al-Mushili, Musnad Abi Ya’la Al-Mushili III: 276, Ibnu hibban, Shahih Ibnu Hibban IV: 463, Abu ‘Awwanah, Mustakhraj Abi Awwanah II: 80)
عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي السَّفَرِ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَدْخُلَ أَوَّلَ وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Anas, ia berkata, ”Nabi saw. itu apabila hendak menjamak antara dua salat pada waktu safar, maka beliau mengakhirkan Zhuhur hingga masuk awal waktu Ashar kemudian menjamak keduanya.” (HR. Muslim, Shahih Muslim I: 489, Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah I: 479, Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban IV: 309, Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni I: 376, 236, Al-Baihaqi, As-Sunan As-Shaghir I : 227, 228, As-Sunan Al-Kubra III: 230, 231, Abu ‘Awwanah, Mustakhraj Abi Awwanah II: 79)
3.  Kaidah 
اَلأَصْلُ فِي اْلعِبَادَاتِ اَلتَّحْرِيْمُ
Asal dalam ibadah adalah haram
اَلأَصْلُ فِي  اْلعِبَادَاتِ اَلْحَظْرُ اِلاَّ بِنَصٍّ 
Asal dalam ibadah adalah terlarang kecuali ada nash

لاَ قِيَاسَ فِي اْلعِبَادَةِ
Tidak ada qiyas dalam ibadah
MEMPERHATIKAN:
1.  Sambutan dan pengantar dari Ketua Umum PP. Persis KH. Aceng Zakaria yang menyarankan segera diputuskan masalah hukum tentang ‘Jama’ Salat Ashar dengan Salat Jumat’, dan untuk segera disosialisasikan.
2.  Sambutan dan pengarahan dari Ketua Dewan Hisbah KH. Muhammad Romli. 
3.  Pemaparan dan pembahasan makalah tentang ‘Jama’ Salat Ashar dengan Salat Jumat’ yang disampaikan oleh K.H. Dailami.
4.  Pandangan para peserta Sidang Dewan Hisbah terkait dalil, wajh al-dilalah, metode istinbat dan kesimpulan hukum makalah ‘Jama’ Salat Ashar dengan Salat Jumat’.
Atas dasar semua konsideran di atas, maka dengan bertawakkal kepada Allah, Dewan Hisbah Persatuan Islam
MENGISTINBATH:
1.  Menjama’ salat Ashar dan salat Jum’at tidak disyariatkan
2.  Bagi musafir melaksanakan salat Ashar di waktu Zuhur diperbolehkan
Demikian Keputusan Dewan Hisbah mengenai masalah tersebut dengan  makalah terlampir.
الله يأخذ بأيدينا الى ما فيه خير للإسلام و المسلمين
Bandung, 28 Rabi’ul Awwal 1438 H/ 28 Desember 2016 M.
                 DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM
        Ketua,                                   Sekretaris,


   KH. MUHAMMAD ROMLI                                              KH.ZAE NANDANG
   NIAT : 01.02.08301.094                                                              NIAT :01.02.13511.018

Penjelasan 
Maksud jama pada diktum pertama adalah menyatukan dua salat yaitu salat jumat dan salat ashar dalam satu waktu. Cara tersebut tidak ada contohnya dari Rasulullah Saw dan tidak bisa diqiyaskan kepada salat zuhur sehingga tidak di syariatkan. Adapun diktum kedua, maksudnya bukan menyatukan salat jumat dan salat ashar, tapi bagi musafir boleh salat ashar waktu zuhur pada hari jumat, jadi tidak ada kaitan dengan salat jumat. Praktiknya setelah salat jumat ada jeda dengan zikir atau aktivitas lainnya kemudian salat ashar selama masih dalam waktu zuhur dibolehkan.

hukum jual beli saham

🔵 DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM
Pada Sidang Dewan Hisbah
Di Sumedang,  4 J. Tsaniyah     1421 H
                        3   September   2000  M

TENTANG
JUAL BELI SAHAM DALAM RANGKA PROFIT TAKING
بسم الله الرحمن الرحيم
DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM (PERSIS) dalam sidangnya pada hari ahad tanggal 4 Jumadits- Tsaniyah 1421 H/3 September 2000 di Sumedang, Jawa Barat, setelah: 
Memperhatikan
1. Makalah dan uraian dari Dr. H. Adiwarman A. Karim, SE, MBA dan KH. Dr. M. Abdurrahman, MA tentang masalah tersebut; 
2. Pembahasan yang disampaikan oleh seluruh anggota Dewan Hisbah. 

Menimbang
1. Bahwa saham adalah bukti kepemilikan aset atau barang; 
2. Jual beli dinilai sah dengan syarat “An Taradhin”; 
3. Tukar menukar dinar dengan dirham dengan tunai sudah ada di zaman Nabi saw dan Nabi saw tidak melarangnya; dan 
4. Bahwa Islam mengharamkan: riba, gharar, ihtikar dan maisir. 

Dewan Hisbah mengambil istinbath:  
1.  Jual beli saham dari aset atau produk yang tidak diharamkan, dan tidak mengandung unsur riba, gharar, ihtikar, dan maisir hukumnya halal; dan 
2. Jual beli valas dengan cara tunai pada dasarnya boleh. Tapi jual beli valas sebagai komoditas atau dalam rangka profit-taking hukumnya haram. 
Demikian Keputusan Dewan Hisbah tentang masalah tersebut dengan makalah terlampir
Sumedang,  4 J. Tsaniyah     1421 H
 3   September   2000  M  

DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM
         
Ketua                            Sekretaris
        

KH. E. Sar’an                                                                  K.H. Drs. Shiddiq Amien, MBA
NIAT: 03897                            NIAT: 6490

cara tidur rosululloh saw

🔵 cara-cara tidur Rasulullah saw. 

٤٨٨٤ - حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَاللَّفْظُ لِعُثْمَانَ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا و قَالَ عُثْمَانُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ حَدَّثَنِي الْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَخَذْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَنِ ثُمَّ قُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ وَاجْعَلْهُنَّ مِنْ آخِرِ كَلَامِكَ فَإِنْ مُتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ مُتَّ وَأَنْتَ عَلَى الْفِطْرَةِ قَالَ فَرَدَّدْتُهُنَّ لِأَسْتَذْكِرَهُنَّ فَقُلْتُ آمَنْتُ بِرَسُولِكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ 

4884. Telah menceritakan kepada kami 'Utsman bin Abu Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim -dan lafadh ini milik 'Utsman- Ishaq berkata; telah mengabarkan kepada kami, dan 'Utsman berkata; telah menceritakan kepada kami Jarir dari Manshur dari Sa'd bin 'Ubaidah telah menceritakan kepadaku Al Barra' bin 'Azib bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: "Apabila kamu hendak tidur, maka berwudhulah sebagaimana kamu berwudhu untuk shalat. Setelah itu berbaringlah dengan miring ke kanan, lalu berdoalah: ' ALOOHUMMA INNII ASLAMTU WAJHII ILAIKA, WAFAWWADHTU AMRII ILAIKA, WA-ALJA'TU ZHOHRII ILAIKA ROGHBATAN WAROHBATAN ILAIKA, LAA MALJA'A WALAA MANJAA MINKA ILLAA ILAIKA, AAMANTU BIKITAABIKALLADZII ANZALTA, WABINABIYYIKALLADZII ARSALTA 'Ya AIlah ya Tuhanku, aku Pasrahkan wajahku kepada-Mu, aku serahkan urusanku kepada-Mu dan aku serahkan punggungku kepada-Mu dengan berharap-harap cemas, karena tidak ada tempat berlindung dan tempat yang aman dari adzab-Mu kecuali dengan berlindung kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan aku beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus.' Jadikan bacaan tersebut sebagai penutup ucapanmu menjelang tidur. Apabila kamu meninggal dunia pada malam itu, maka kamu meninggal dalam kesucian diri (fitrah)." Al Barra' berkata; 'Saya mengulang-ulang bacaan tersebut agar hafal dan saya ucapkan; 'Saya beriman kepada rasul-Mu yang telah Engkau utus.' Lalu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam berkata: 'Ucapkanlah; 'Saya beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus.'" Hr. Muslim.

doa sholat jenazah ganti dhomir

Tidak betul. 
Mau jenazah lelaki atau perempuan, tetap saja _Allahummaghfirla *hu*_

Krna dhomir *HU* disana bukan kembali pada lelaki / perempuan, tp kembali pd mayit.

Mayyit mah mudzakar, masa memakai dhomir "Haa", ah ngaco 😁

اللهم الغفر له 
Ya Allah, mugi anjeun ngahapunten ka ieu jenazah. 

Sanes ka ieu istri / pameget.

Dalilna, Rasul nyolatkeun jenazah istri: 

- وعن سمرة بن جندب قال: صليتُ وراء النبي ﷺ على امرأةٍ ماتت في نفاسها, فقام وسطها. متفقٌ عليه.

Doa jenazahna: 
اللهم اغفر له وارحمه، وعافه ،واعف عنه ،وأكرم نُزُله ، ووسع مُدخلهُ ، واغسله بالماء والثلج والبرد ، ونقه من الخطايا كما ينقى الثوب الأبيض من الدنس ، وأبدله داراً خيراً من داره...

Coba cari hadis yg dhomirnya Haa, ada tidak?
Doa jenazahna: 
اللهم اغفر له 
Ya Allah mugi anjeun ngahapunten ka ieu jenazah.
وارحمه، 
Sareng masihan rahmat ka ieu jenazah. Dst...

وعافه ،واعف عنه ،وأكرم نُزُله ، ووسع مُدخلهُ ، واغسله بالماء والثلج والبرد ، ونقه من الخطايا كما ينقى الثوب الأبيض من الدنس ، وأبدله داراً خيراً من داره...

Sadayana ngangge HU. HU dhomir (kata ganti) kembali kepada jenazah, bukan kepada jenis lelaki / perempuan. 

Krna setelah meninggal, manusia yg tdk bernyawa statusnya jadi mayyit / jenazah.

Dalam ibadah, wajib mengikuti bacaan sesuai redaksi yg Rasul Saw ajarkan, tidak boleh d ubah sdikitpun

مسلم 2/663

2- ابن ماجه 1/480 وأحمد 2/368 وانظر صحيح ابن ماجة1/ 251

3- أخرجه ابن ماجه ، وانظر صحيح ابن ماجة1/ 251ورواه أبو داود 3/211

4- أخرجه الحاكم وصححه ووافقه الذهبي 1/359 وانظر أحكام الجنائز للألباني ص125


[12/11 21:51] ust abu qutbie: Pami kitumah tong ngadoa: 

السلام *عليك* ايها النبي.. 
Dina maos shalawat nalika shalat, krna dhomir (kata ganti) KA kdahna d angge ka MUKHOTOB anu masih jumeneng, Rasul tos Wafat, kedahna gentos ku dhomir tunggal ghoib 😁
[12/11 21:52] ust abu qutbie: Janten dina ibadahmah aya namina "TAUQIFI", Sesuatu yg di ikuti sesuai teks aslinya yg tidak bisa d ubah.
[12/11 22:04] ust abu qutbie: perhatikan hadis ini

مصنف ابن أبي شيبة (2/ 487)

11353 - حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ، قَالَ: ثنا مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي حَبِيبُ بْنُ عُبَيْدٍ الْكَلَاعِيُّ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ الْحَضْرَمِيِّ، عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَلَى الْمَيِّتِ: " اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَأَوْسِعْ مُدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ أَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجَتِهِ، وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَنَجِّهِ مِنَ النَّارِ، أَوْ قَالَ: وَقِهِ عَذَابَ الْقَبْرِ، " حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنْ أَكُونَ هُوَ

Hadis ini shahih, dalam kitab Mushannaf Abdurrazaq juz 2 halaman 487 no 11353.

disni disebutkan dengan kalimat:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَلَى الْمَيِّتِ

Aku mendengar Nabi Saw bedoa pada Mayit:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَأَوْسِعْ مُدْخَلَهُ

klaimat dhomirnya pake HU semua, artinya dhomir HU kembali kepada MAYIT.

Selasa, 12 November 2019

hukum mlm

*HUKUM MULTI LEVEL MARKETING*

KAIDAH DALAM SISTEM MUAMALAH

Ada dua kaedah yang sangat penting untuk bisa memahami hampir seluruh permasalahan yang berhubungan dengan hukum islam, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qoyyim:

“Pada dasarnya semua ibadah hukumnya haram kecuali kalau ada dalil yang memerintahkannya, sedangkan asal dari hukum transaksi dan mu’amalah adalah halal kecuali kalau ada dalil yang melarang.” (Lihat I’lamul Muwaqqi’in 1/344)

Dalil ibadah adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عن عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mengamalkan sesuatu yang tidak ada contohnya dari kami, maka akan tertolak.” (HR. Muslim)

Adapun dalil masalah mu’amalah adalah firman Allah Ta’ala:

“Dia lah Allah yang telah menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (Qs. Al Baqoroh: 29)

Lihat Ilmu Ushul Al Bida’ oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi, Al Qowa’id Al Fiqhiyah oleh Syaikh As Sa’di hal: 58.

Oleh karena itu apapun nama dan model bisnis tersebut pada dasarnya dihukumi halal selagi dilakukan atas dasar suka rela dan tidak mengandung salah satu unsur keharaman. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqoroh: 275)

juga firman Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.” (Qs. An Nisa’: 29)

Adapun hal-hal yang bisa membuat sebuah transaksi bisnis itu menjadi haram adalah:

1. Riba

عن ابن مسعود رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : الربا ثلاث و سبعون بابا أيسرها مثل أن ينكح الرجل أمه

Dari Abdullah bin Mas’ud berkata: Rasulullah bersabda: “Riba itu memiliki tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan adalah semacam dosa seseorang yang berzina dengan ibunya sendiri.” (HR. Ahmad 15/69/230, lihat Shohihul Jami 3375)

2. Ghoror (adanya spekulasi yang tinggi) dan jahalah (adanya sesuatu yang tidak jelas)

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن بيع الغرر

Dari Abu Huroiroh berkata: “Rasulullah melarang jual beli ghoror.” (HR. Muslim 1513)

3. Penipuan

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : مر رسول الله صلى الله عليه و سلم برجل يبيع طعاما فأدخل يده فيه فإذا هو مغشوش , فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ليس منا من غش

Dari Abu Huroiroh berkata: “Rasulullah melewati seseorang yang menjual makanan, maka beliau memasukkan tangannya pada makanan tersebut, ternyata beliau tertipu. Maka beliau bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang menipu.” (HR. Muslim 1/99/102, Abu Dawud 3435, Ibnu Majah 2224)

4. Perjudian atau adu nasib

Firman Allah Ta’ala:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khomer, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib adalah perbuatan keji termasuk perbutan syaithan, maka jauhilah.” (Qs. Al Maidah: 90)

5. Kedloliman

Sebagaimana firman Allah:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil.” (Qs. An Nisa’: 29)

6. Yang dijual adalah barang haram

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إن الله إذا حرم على قوم أكل شيئ حرم علبهم ثمنه

Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia pasti mengharamkan harganya.” (HR. Abu Dawud 3477)
[11/11 21:00] Ust Yayat Supriatna: *Ada beberapa alasan MLM diharamkan dengan berbagai permasalahan sebagai berikut:*

1. Di dalamnya terdapat bentuk riba fadhl dan riba nasi-ah. Anggota diperintahkan membayar sejumlah uang yang jumlahnya sedikit lantas mengharapkan timbal balik lebih besar, ini berarti menukar sejumlah uang dengan uang yang berlebih. Ini jelas adalah bentuk riba yang diharamkan berdasarkan nash dan ijma’. Karena sebenarnya yang terjadi adalah tukar menukar uang. Dan bukan maksud sebenarnya adalah untuk menjadi anggota (seperti dalam syarikat) sehingga tidak berpengaruh dalam hukum.

2. Di dalamnya terdapat bentuk ghoror (spekulasi tinggi atau untung-untungan) yang diharamkan syari’at. Karena anggota tidak mengetahui apakah ia bisa menarik anggota yang lain ataukah tidak. Pemasaran berjenjang atau sistem piramida jika berlangsung, suatu saat akan mencapai titik akhir. Anggota baru tidaklah mengetahui apakah ketika menjadi bagian dari sistem, ia berada di level tertinggi sehingga bisa mendapat untung besar atau ia berada di level terendah sehingga bisa rugi besar. Kenyataan yang ada, anggota sistem MLM kebanyakan merugi kecuali sedikit saja yang berada di level atas sehingga beruntung besar. Jadi umumnya, sistem ini mendatangkan kerugian dan inilah hakekat ghoror. Ghoror adalah ada kemungkinan rugi besar atau untung besar. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari jual beli ghoror sebagaimana disebutkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya.

3. Di dalam MLM terdapat bentuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Karena yang sebenarnya untung adalah perusahaan (syarikat) dan anggota telah ditentukan untuk mengelabui yang lain. Ini jelas diharamkan karena Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku saling ridho di antara kamu” (QS. An Nisa’: 29).

4. Di dalam muamalah ini terdapat penipuan dan pengelabuan terhadap manusia. Karena orang-orang mengira bahwa dengan menjadi anggota nantinya mereka akan mendapatkan untung yang besar. Padahal sebenarnya hal itu tidak tercapai. Ini adalah bentuk penipuan yang diharamkan dalam syari’at. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى

“Barangsiapa menipu maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Muslim dalam shahihnya).

Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

“Orang yang bertransaksi jual beli masing-masing memilki hak khiyar (membatalkan atau melanjutkan transaksi) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli, tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan hilang” (Muttafaqun ‘alaih).

Barzanzi

BARZANJI, KITAB INDUK PERINGATAN MAULÎD NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM



SEPUTAR KITAB BARZANJI
Secara umum peringatan maulid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam selalu disemarakkan dengan shalawatan dan puji-pujian kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, yang mereka ambil dari kitab Barzanji maupun Daiba’, ada kalanya ditambah dengan senandung qasîdah Burdah. Meskipun kitab Barzanji lebih populer di kalangan orang awam daripada yang lainnya, tetapi biasanya kitab Daiba’, Barzanji dan Qasidah Burdah dijadikan satu paket untuk meramaikan maulid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang diawali dengan membaca Daiba’, lalu Barzanji, kemudian ditutup dengan Qasîdah Burdah. Biasanya kitab Barzanji menjadi kitab induk peringatan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sebagian pembacanya lebih tekun membaca kitab Barzanji daripada membaca al-Qur’an. Maka tidak aneh jika banyak di antara mereka yang lebih hafal kitab Barzanji bersama lagu-lagunya dibanding al-Quran. Fokus pembahasan dan kritikan terhadap kitab Barzanji ini adalah karena populernya, meskipun penyimpangan kitab Daiba’ lebih parah daripada kitab Barzanji. Berikut uraiannya :

Secara umum kandungan kitab Barzanji terbagi menjadi tiga :
1). Cerita tentang perjalanan hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan satra bahasa tinggi yang terkadang tercemar dengan riwayat-riwayat lemah.
2). Syair-syair pujian dan sanjungan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bahasa yang sangat indah, namun telah tercemar dengan muatan dan sikap ghuluw (berlebihan).
3). Shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi telah bercampur aduk dengan shalawat bid’ah dan shalawat-shalawat yang tidak berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

PENULIS KITAB BARZANJI
Kitab Barzanji ditulis oleh “Ja’far al-Barjanzi al-Madani, dia adalah khathîb di Masjidilharâm dan seorang mufti dari kalangan Syâf’iyyah. Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763 M dan di antara karyanya adalah Kisah Maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1]

Sebagai seorang penganut paham tasawwuf yang bermadzhab Syiah tentu Ja’far al-Barjanzi sangat mengkultuskan keluarga, keturunan dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini dibuktikan dalam doanya “Dan berilah taufik kepada apa yang Engkau ridhai pada setiap kondisi bagi para pemimpin dari keturunan az-Zahrâ di bumi Nu’mân”.[2]

KESALAHAN UMUM KITAB BARZANJI
Kesalahan kitab Barzanji tidaklah separah kesalahan yang ada pada kitab Daiba` dan Qasîdah Burdah. Namun, penyimpangannya menjadi parah ketika kitab Barzanji dijadikan sebagai bacaan seperti al-Qur’an. Bahkan, dianggap lebih mulia dari pada Al Qur’an. Padahal, tidak ada nash syar’î yang memberi jaminan pahala bagi orang yang membaca Barzanji, Daiba` atau Qasîdah Burdah. Sementara, membaca al-Qur’an yang jelas pahalanya, kurang diperhatikan. Bahkan, sebagian mereka lebih sering membaca Barzanji daripada membaca al-Qur’an apalagi pada saat perayaan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‎مَن قَرَأَ حَرفًا مِن كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاأَقُوْلُ الـمّ حَرْفٌ وَلكِن ْأَلَِفٌ حَرْفٌ وَلاًّمُ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرفٌ. رَوَاهُ التِّرْمِذِيْ وَصَحَّحَهُ اْلأَلْباَنِِيْ

“Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka dia akan mendapatkan satu kebaikan yang kebaikan tersebut akan dilipatgandakan menjadi 10 pahala. Aku tidak mengatakan Alif Lâm Mîm satu huruf. Akan tetapi, Alif satu huruf, lâm satu huruf mîm satu huruf”.[3]

KESALAHAN KHUSUS KITAB BARZANJI
Adapun kesalahan yang paling fatal dalam kitab Barzanji antara lain:

Kesalahan Pertama
Penulis kitab Barzanji meyakini melalui ungkapan syairnya bahwa kedua orang tua Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam termasuk ahlul Iman dan termasuk orang-orang yang selamat dari neraka bahkan ia mengungkapkan dengan sumpah.

‎وَقَدْ أَصْبَحَا وَاللهِ مِنْ أَهْلِ اْلإِيْمَانِ وَجَاءَ لِهَذَا فِيْ الْحَدِيْثِ شَوَاهِدُ
‎وَمَالَ إِليْهِ الْجَمُّ مِنْ أَهْلِ الْعِرْفَانِ فَسَلِّمْ فَإِنَّ اللهَ جَلَّ جَلاَلُــهُ
‎وَإِنَّ اْلإِمَامَ اْلأَشْعَرِيَ لَمُثْبِـتَ نَجَاتَهُمَا نَصًّا بِمُحْكَمِ تِبْــيَانِ

Dan sungguh kedua (orang tuanya) demi Allah Azza wa Jalla termasuk ahli iman dan telah datang dalîl dari hadîts sebagai bukti-buktinya.
Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat in,i maka ucapkanlah salam karena sesungguhnya Allah Maha Agung.
Dan sesungguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya selamat menurut nash tibyan (al-Qur’an).[4]

Jelas, yang demikian itu bertentangan dengan hadîts dari Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa sesungguhnya seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di manakah ayahku (setelah mati)?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dia berada di Neraka.” Ketika orang itu pergi, beliau Shallallahu alaihi wa sallam memanggilnya dan bersabda: “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di Neraka”.[5]

Imam Nawawi rahimahullah berkata: ”Makna hadits ini adalah bahwa barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir, ia kelak berada di Neraka dan tidak berguna baginya kedekatan kerabat. Begitu juga orang yang mati pada masa fatrah (jahiliyah) dari kalangan orang Arab penyembah berhala, maka ia berada di Neraka. Ini tidak menafikan penyampaian dakwah kepada mereka, karena sudah sampai kepada mereka dakwah nabi Ibrahim Alaihissalam dan yang lainnya.”[6]

Semua hadits yang menjelaskan tentang dihidupkannya kembali kedua orang tua Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan keduanya beriman serta selamat dari neraka semuanya palsu, diada-adakan secara dusta dan lemah sekali serta tidak ada satupun yang shâhih. Para ahli hadits sepakat akan kedhaifannya seperti Dâruquthni al-Jauzaqani, Ibnu Syahin, al-Khathîb, Ibnu Ashâkir, Ibnu Nashr, Ibnul Jauzi, as-Suhaili, al-Qurthubi, at-Thabari dan Fathuddin Ibnu Sayyidin Nas.[7]

Adapun anggapan bahwa Imam al-Asyari yang berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu alaihi wa sallam beriman, harus dibuktikan kebenarannya. Memang benar, Imam as-Suyuthi rahimahullah berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beriman dan selamat dari neraka, namun hal ini menyelisihi para hâfidz dan para ulama peneliti hadîts.[8]

Kesalahan Kedua
Penulis kitab Barzanji mengajak para pembacanya agar mereka menyakini bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir pada saat membaca shalawat, terutama ketika Mahallul Qiyâm (posisi berdiri), hal itu sangat nampak sekali di awal qiyâm (berdiri) membaca:

‎مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا مَرْحَبًا ياَ جَدَّ الْحُسَيْنِ مَرْحَبًا

Selamat datang, selamat datang, selamat datang, selamat datang wahai kakek Husain selamat datang.

Bukankah ucapan selamat datang hanya bisa diberikan kepada orang yang hadir secara fisik?. Meskipun di tengah mereka terjadi perbedaan, apakah yang hadir jasad nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama ruhnya ataukah ruhnya saja. Muhammad Alawi al-Maliki (seorang pembela perayaan maulid-red) mengingkari dengan keras pendapat yang menyatakan bahwa yang hadir adalah jasadnya. Menurutnya, yang hadir hanyalah ruhnya.

Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berada di alam Barzah yang tinggi dan ruhnya dimuliakan Allah Azza wa Jalla di surga, sehingga tidak mungkin kembali ke dunia dan hadir di antara manusia.

Pada bait berikutnya semakin jelas nampak bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diyakini hadir, meskipun sebagian mereka meyakini yang hadir adalah ruhnya.

‎يَا نَبِيْ سَلاَمٌ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ
‎يَا حَبِيْبُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْكَ

Wahai Nabi salam sejahtera atasmu, wahai Rasul salam sejahtera atasmu
Wahai kekasih salam sejahtera atasmu, semoga rahmat Allah tercurah atasmu.

Para pembela Barzanji seperti penulis “Fikih Tradisionalis” berkilah, bahwa tujuan membaca shalawat itu adalah untuk mengagungkan nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurutnya, salah satu cara mengagungkan seseorang adalah dengan berdiri, karena berdiri untuk menghormati sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang hal itu dilakukan untuk menghormati benda mati. Misalnya, setiap kali upacara bendera dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada waktu yang lain, ketika bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan, seluruh peserta upacara diharuskan berdiri. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati bendera merah putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa. Jika dalam upacara bendera saja harus berdiri, tentu berdiri untuk menghormati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih layak dilakukan, sebagai ekspresi bentuk penghormatan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukankah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia teragung yang lebih layak dihormati dari pada orang lain?[9]

Ini adalah qiyâs yang sangat rancu dan rusak. Bagaimana mungkin menghormati Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam disamakan dengan hormat bendera ketika upacara, sedangkan kedudukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mulia dan derajatnya sangat agung, baik saat hidup atau setelah wafat. Bagaimana mungkin beliau disambut dengan cara seperti itu, sedangkan beliau berada di alam Barzah yang tidak mungkin kembali dan hadir ke dunia lagi. Disamping itu, kehadiran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke dunia merupakan keyakinan batil karena termasuk perkara ghaib yang tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan wahyu Allah Azza wa Jalla, dan bukan dengan logika atau qiyas. Bahkan, pengagungan dengan cara tersebut merupakan perkara bid’ah. Pengagungan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terwujud dengan cara menaatinya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya, dan mencintainya.

Melakukan amalan bid’ah, khurafat, dan pelanggaran, bukan merupakan bentuk pengagungan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga dengan acara perayaan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan perbuatan tersebut termasuk bid’ah yang tercela.

Manusia yang paling besar pengagungannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para sahabat Radhiyallahu ‘anhum -semoga Allah meridhai mereka- sebagaimana perkataan Urwah bin Mas’ûd kepada kaum Quraisy: “Wahai kaumku….demi Allah, aku pernah menjadi utusan kepada raja-raja besar, aku menjadi utusan kepada kaisar, aku pernah menjadi utusan kepada Kisra dan Najasyi, demi Allah aku belum pernah melihat seorang raja yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana pengikut Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengagungkan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam meludah kemudian mengenai telapak tangan seseorang di antara mereka, melainkan mereka langsung mengusapkannya ke wajah dan kulit mereka. Apabila ia memerintahkan suatu perkara, mereka bersegera melaksanakannya. Apabila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, mereka saling berebut bekas air wudhunya. Apabila mereka berkata, mereka merendahkan suaranya dan mereka tidak berani memandang langsung kepadanya sebagai wujud pengagungan mereka”.[10]

Bentuk pengagungan para sahabat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas sangat besar. Namun, mereka tidak pernah mengadakan acara maulid dan kemudian berdiri dengan keyakinan ruh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang hadir di tengah mereka. Seandainya perbuatan tersebut disyariatkan, niscaya mereka tidak akan meninggalkannya.

Jika para pembela maulîd tersebut berdalih dengan hadîts Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,’Berdirilah kalian untuk tuan atau orang yang paling baik di antara kalian [11], maka alasan ini tidak tepat.

Memang benar Imam Nawawi rahimahullah berpendapat bahwa pada hadits di atas terdapat anjuran untuk berdiri dalam rangka menyambut kedatangan orang yang mempunyai keutamaan[12]. Namun, tidak dilakukan kepada orang yang telah wafat meskipun terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan pendapat yang benar, hadits tersebut sebagai anjuran dan perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang-orang Anshar Radhiyallahu ‘anhum agar berdiri dalam rangka membantu Sa’ad bin Muadz Radhiyallahu ‘anhu turun dari keledainya, karena dia sedang luka parah, bukan untuk menyambut atau menghormatinya, apalagi mengagungkannya secara berlebihan[13].

Kesalahan Ketiga
Penulis kitab Barzanji mengajak untuk mengkultuskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai tempat untuk meminta tolong dan bantuan sebagaimana pernyataannya.

‎فِيْكَ قَدْ أَحْسَنْتُ ظَنِّيْ ياَ بَشِيْرُ ياَ نَذِيـْـُر
‎فَأَغِثْنِيْ وَأَجِـــن ياَ مُجِيْرُ مِنَ السَّعِيْرِ
‎يَاغَيَاثِيْ يَا مِــلاَذِيْ فِيْ مُهِمَّاتِ اْلأُمُــوْرِ

Padamu sungguh aku telah berbaik sangka. Wahai pemberi kabar gembira wahai pemberi peringatan.
Maka tolonglah aku dan selamatkanlah aku. Wahai pelindung dari neraka Sa’ir
Wahai penolongku dan pelindungku. Dalam perkara-perkara yang sangat penting (suasana susah dan genting)

Sikap berlebihan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengangkatnya melebihi derajat kenabian dan menjadikannya sekutu bagi Allah Azza wa Jalla dalam perkara ghaib dengan memohon kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersumpah dengan nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sikap yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan termasuk perbuatan syirik. Do’a dan tindakan tersebut menyakiti serta menyelisihi petunjuk dan manhaj dakwah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan menyelisihi pokok ajaran Islam yaitu tauhîd. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhawatirkan akan terjadinya hal tersebut, sehingga ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit yang membawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kematian, beliau bersabda: “Janganlah kamu berlebihan dalam mengagungkanku sebagaimana kaum Nasrani berlebihan ketika mengagungkan Ibnu Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah aku adalah hamba dan utusan-Nya”.[14]

Telah dimaklumi, bahwa kaum Nasrani menjadikan Nabi Isa Alaihissalam sebagai sekutu bagi Allah Azza wa Jalla dalam peribadatan mereka. Mereka berdoa kepada Nabi-nya dan meninggalkan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla, padahal ibadah tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan peringatan kepada umatnya agar tidak menjadikan kuburan beliau sebagai tempat berkumpul dan berkunjung, sebagaimana dalam sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kamu jadikan kuburanku tempat berkumpul, bacalah salawat atasku, sesunggguhnya salawatmu sampai kepadaku dimanapun kamu berada”.[15]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan peringatan keras kepada umatnya tentang sikap berlebihan dalam menyanjung dan mengagungkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa salllam. Bahkan, ketika ada orang yang berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berkata: “Engkau Sayyid kami dan anak sayyid kami, engkau orang terbaik di antara kami, dan anak dari orang terbaik di antara kami”, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka: “Katakanlah dengan perkataanmu atau sebagiannya, dan jangan biarkan syaitan menggelincirkanmu”.[16]

Termasuk perbuatan yang berlebihan dan melampui batas terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bersumpah dengan nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sumpah adalah bentuk pengagungan yang tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa bersumpah hendaklah bersumpah dengan nama Allah Azza wa Jalla, jikalau tidak bisa hendaklah ia diam”.[17]

Cukuplah dengan hadits tentang larangan bersikap berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi dalil yang tidak membutuhkan tambahan dan pengurangan. Bagi setiap orang yang ingin mencari kebenaran, niscaya ia akan menemukannya dalam ayat dan hadits tersebut, dan hanya Allah-lah yang memberi petunjuk.

Kesalahan Keempat
Penulis kitab Barzanji menurunkan beberapa shalawat bid’ah yang mengandung pujian yang sangat berlebihan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Para pengagum kitab Barzanji menganggab bahwa membaca shalawat kepada nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan ibadah yang sangat terpuji. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. [al-Ahzâb/ 33:56]

Ayat ini yang mereka jadikan sebagai dalil untuk membaca kitab tersebut pada setiap peringatan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal, ayat di atas merupakan bentuk perintah kepada umat Islam agar mereka membaca shalawat di manapun dan kapanpun tanpa dibatasi saat tertentu seperti pada perayaan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tidak dipungkiri bahwa bersalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terutama ketika mendengar nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut sangat dianjurkan. Apabila seorang muslim meninggalkan salawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia akan terhalang dari melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan manfaat, baik di dunia dan akhirat, yaitu:

1). Terkena doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh celaka bagi seseorang yang disebutkan namaku di sisinya, namun ia tidak bersalawat atasku”.[18]
2). Mendapatkan gelar bakhil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang bakhîl adalah orang yang ketika namaku disebut di sisinya, ia tidak bersalawat atasku”[19].
3). Tidak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Azza wa Jalla, karena meninggalkan membaca salawat dan salam atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarganya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa membaca salawat atasku sekali, maka Allah Azza wa Jalla bersalawat atasnya sepuluh kali”.[20]
4). Tidak mendapatkan keutamaan salawat dari Allah Azza wa Jalla dan para Malaikat.
Allah Azza wa Jalla berfirman:”Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya memohonkan ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” [Al-Ahzâb/ 33:43]

Bahkan, membaca shalawat menjadi sebab lembutnya hati, karena membaca shalawat termasuk bagian dari dzikir. Dengan dzikir, hati menjadi tenteram dan damai sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla : “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah Azza wa Jalla. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”. (Ar-Ra’du/ 13:28). Tetapi dengan syarat membaca shalawat secara benar dan ikhlas karena Allah Azza wa Jalla semata, bukan shalawat yang dikotori oleh bid’ah dan khufarat serta terlalu berlebihan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga bukan mendapat ketenteraman di dunia dan pahala di akherat, melainkan sebaliknya, mendapat murka dan siksaan dari Allah Azza wa Jalla. Siksaan tersebut bukan karena membaca shalawat, namun karena menyelisihi sunnah ketika membacanya. Apalagi, dikhususkan pada malam peringatan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, yang jelas-jelas merupakan perayaan bid’ah dan penyimpangan terhadap Syariat.

Kesalahan Kelima
Penulis kitab Barzanji juga menyakini tentang Nur Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang terungkap dalam syairnya:

‎وَماَ زَالَ نُوْرُ الْمُصْطَفَى مُتْنَقِلاً مِنَ الطَّيِّبِ اْلأَتْقَي لِطاَهِرِ أَرْدَانٍ

Nur Mustafa (Muhammad) terus berpindah-pindah dari sulbi yang bersih kepada yang sulbi suci nan murni.

Bandingkanlah dengan perkataan kaum zindiq dan sufi, seperti al-Hallaj yang berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki cahaya yang kekal abadi dan terdahulu keberadaannya sebelum diciptakan dunia. Semua cabang ilmu dan pengetahuan di ambil dari cahaya tersebut dan para Nabi sebelum Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimba ilmu dari cahaya tersebut.

Demikian juga perkataan Ibnul Arabi Atthâ’i bahwa semua Nabi sejak Nabi Adam Alaihissalam hingga Nabi terakhir mengambil ilmu dari cahaya kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu penutup para Nabi”.[2]

Perlu kita diketahui bahwa ghuluw itu banyak sekali macamnya. Kesyirikan ibarat laut yang tidak memiliki tepi. Kesyirikan tidak hanya terbatas pada perkataan kaum Nasrani saja, karena umat sebelum mereka juga berbuat kesyirikan dengan menyembah patung, sebagaimana perbuatan kaum jahiliyah. Di antara mereka tidak ada yang mengatakan kepada Tuhan mereka seperti perkataan kaum Nasrani kepada Nabi Isa Alaihissalam , seperti ; dia adalah Allah, anak Allah, atau menyakini prinsip trinitas mereka. Bahkan mereka mengakui bahwa tuhan mereka adalah kepunyaan Allah Azza wa Jalla dan di bawah kekuasaan-Nya. Namun mereka menyembah tuhan-tuhan mereka dengan keyakinan bahwa tuhan-tuhan mereka itu mampu memberi syafaat dan menolong mereka.

Footnotes
[1]. Al-Munjid fî al A’lâm, 125
[2]. Majmûatul Mawâlid, hal. 132.
[3]. HR.Tirmidzi dan dishahîhkan al Albâni di dalam shâhihul jam’i hadits yang ke 6468
[4]. Lihat Majmûatul Mawâlid Barzanji, hal. 101.
[5]. Shahih diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (348) dan Abu Daud dalam Sunannya (4718).
[6]. Lihat Minhâj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, 3/ 74.
[7]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
[8]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
[9]. Lihat Fikih Tradisionalisme, Muhyiddîn Abdusshâmad (277-278)
[10]. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri : 3/187, no : 2731, 2732, al-Fath 5/388.
[11]. Shahih diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3043) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1768)
[12]. Lihat Minhâj Syarah Shahîh Muslim, Imam Nawawi, juz XII, hal. 313.
[13]. Lihat Ikmâlil Mu’lim Bi Syarah Shahîh Muslim, Qadhi Iyadh, 6/ 105.
[14]. Shahîh diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3445)
[15]. Shahîh diriwayatkan oleh Abu Dâwud dengan sanad yang shahîh (2042) dan dishahîhkan oleh Syaikh Albâni dalam Ghâyatul Marâm : 125
[16]. Shahîh, dishahîhkan oleh Albâni dalam Ghâyatul Marâm 127, lihatlah takhrîj beliau di dalamnya.
[17]. Shahîh, diriwayatkan oleh Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (2679) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1646)
[18]. Shahîh, diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (3545), Imam Ahmad dalam Musnadnya 2/254, dan dishahîhkan oleh Albâni dalam irwâ’ : 6
[19]. Shahîh diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam Sunannya (3546), Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/201 dan dishahîhkan Albâni dalam irwâ’ : 5
[20]. Shahîh diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîhnya (284).
[21]. Majmûatul Mawâlîd(101).
[22]. Lihat perinciannya dalam kitab Mahabbatur Rasûlullâh oleh Abdur Rauf Utsman (169-192).
[23]. Insya Allah, untuk lebih jelasnya akan penulis sampaikan dalam buku ”Ritual Tradisional”. Semoga Allah Azza wa Jalla memudahkan penulisan buku ini yang memuat 40 bid’ah populer di kalangan kaum tradisional di Indonesia yang meliputi, Shalawâtan, Barzanjian, Daibaan, Yasinan, Tahlilan, Ratiban, Manaqiban, Rajaban, Sya’banan, Selamatan dan bid’ah-bid’ah lain.

Senin, 11 November 2019

maulid nabi sama dengan zakat fithrah?

Wa'alaikumussalaam warahmatullaah...

Zakat dgn beras ada dalilnya, yaitu: 
صاعا من طعام 
Satu sha' dr makanan pokok.
Makanan pokok org indo dgn beras (nasi), maka zakatnya dgn beras.

Apa hubungannya maulid d kaitkan dgn zakat dgn beras?? 

Ust Adi Hidayat dari sinipun sudah keliru, manamungkin maulid bisa d takwil dalilnya, karena tidak ada dasar dalilnya.

Bid'ah ya bi'dah.
Setiap yg tdk ada contohnya dlm ibadah, ya bid'ah. Ini hadis.

jarak safar 3 mil?

Wa'alaikum salam warohmatullooh... 
Bukan kurang dari 5 KM, akan tetapi 3 mil

وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُ قَالَ: ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَال ٍ أَوْ فَرَاسِخَ, صَلَّى رَكْعَتَيْنِ )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Anas Radliyallaahu 'anhu berkata: Adalah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila keluar bepergian sejauh tiga mil atau farsakh, beliau sholat dua rakaat. Riwayat Muslim.

doa sayidul akbar

‎عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : سَيِّدُ الْاِسْتِغْفارِ أَنْ يَقُوْلَ الْعَبْدُ: اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ ، لَا إِلٰـهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمتِكَ عَلَيَّ ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ مَنْ قَالَهَا مِنَ اceنَّهَارِ مُوْقِنًا بِهَا ، فَمَـاتَ مِنْ يوْمِهِ قَبْل أَنْ يُمْسِيَ ، فَهُو مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وَهُوَ مُوْقِنٌ بِهَا فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ . 

Dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi kwa sallam , "Sesungguhnya Istighfâr yang paling baik adalah seseorang hamba mengucapkan : 

ALLAHUMMA ANTA RABBII LÂ ILÂHA ILLÂ ANTA KHALAQTANII WA ANA 'ABDUKA WA ANA 'ALA 'AHDIKA WA WA'DIKA MASTATHA'TU A'ÛDZU BIKA MIN SYARRI MÂ SHANA'TU ABÛ`U LAKA BINI'MATIKA 'ALAYYA WA ABÛ`U BIDZANBII FAGHFIRLÎ FA INNAHU LÂ YAGHFIRU ADZ DZUNÛBA ILLÂ ANTA 

(Ya Allâh, Engkau adalah Rabbku, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau. Engkau yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menetapi perjanjian-Mu dan janji-Mu sesuai dengan kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku, aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku kepada-Mu, maka ampunilah aku. Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau). 

(Beliau bersabda) “Barangsiapa mengucapkannya di waktu siang dengan penuh keyakinan lalu meninggal pada hari itu sebelum waktu sore, maka ia termasuk penghuni surga. Barangsiapa membacanya di waktu malam dengan penuh keyakinan lalu meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk penghuni surga. 

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh:
1. Imam al-Bukhari dalam shahîhnya (no. 6306, 6323) dan al-Adabul Mufrad (no. 617, 620)
2. Imam an-Nasâ-i (VIII/279), as-Sunanul Kubra (no. 9763, 10225), dan dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 19, 468, dan 587)
3. Imam Ibnu Hibbân (no. 928-929-at-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahih Ibni Hibbân)
4. Imam ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 7172), al-Mu’jamul Ausath (no. 1018), dan dalam kitab ad-Du’aa (no. 312-313)
5. al-Hâkim (II/458)
6. Imam Ahmad dalam musnadnya (IV/122, 124-125)
7. Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 1308), dan lainnya dari Shahabat Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu 

Diriwayatkan juga oleh Imam at-Tirmidzi (no. 3393) dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu dengan lafazh awalnya berbeda, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى سَيِّدِ الْإِسْتِغْفَار ...

Maukah aku tunjukkan kepadamu sayyidul Istighfâr ? …

at-Tirmidzi berkata, ‘Hadits Hasan Gharib.’ Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dengan beberapa jalan dan syawâhid (penguat)nya dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1747).

Imam Bukhâri rahimahullah memasukkan hadits ini dalam “Bab Istighfâr yang paling utama”. Ini menunjukkan bahwa Imam Bukhâri t menganggap ini adah lafazh Istighfâr terbaik. Juga kandungan makna dalam hadits ini menunjukkan bahwa doa ini layak disebut dengan Sayyidul Istighfâr (penghulu Istighfâr) sebagaimana yang disifati oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

PENJELASAN TENTANG ANJURAN ISTIGHFAR
Setiap bani Adam itu pasti banyak berbuat dosa, namun yang terbaik dari oang yang berbuat dosa yaitu yang memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla dan bertaubat. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan hamba-Nya untuk selalu memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya. Allâh pun berjanji akan mengampuni orang-orang yang meminta ampun dan bertaubat kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

‎وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ

Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk.” [Thâha/20:82]

‎قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ 

Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allâh. Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [az-Zumar/39:53]

Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada kita untuk banyak beristighfâr/meminta ampun kepada-Nya. Begitu pula Allâh memerintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk beristighfâr. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

‎وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ 

“…Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan dosa orang mukmin laki-laki dan perempuan…” [Muhammad/47:19]

‎فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا 

“Maka aku berkata (kepada mereka), ‘Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, Sungguh, Dia Maha Pengampun.’” [Nûh/71:10]

‎وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا 

Dan mohon ampunlah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an-Nisâ’/4:106]

‎فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا 

Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. [an-Nashr/110: 3]

‎وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ 

Dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allâh). [adz-Dzâriyât/51:18]

Maksudnya, bangun di akhir malam untuk shalat tahajjud dan di waktu sahur mereka memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla .

‎وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا 

Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya kemudian dia mohon ampun kepada Allâh, niscaya ia mendapati Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an-Nisâ’/4:110]

‎وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ 

Dan sekali-kali Allâh tidaklah akan mengadzab mereka, sedang kamu (Muhammad) berada diantara mereka, dan tidaklah pula Allâh akan mengadzab mereka sedang mereka meminta ampun.” [al-Anfâl/8:33]

Dalam hadits Qudsi, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

‎... يَاعِبَادِيْ إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ، وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ، فَاسْتَغْفِرُوْنِيْ أَغْفِرْلَكُمْ...

…Wahai hamba-hamba-Ku! Sesungguhnya kalian selalu berbuat kesalahan (dosa) di waktu malam dan siang hari, dan Aku mengampuni dosa-dosa seluruhnya, maka mohonlah ampunan kepada-Ku niscaya Aku mengampuni kalian…[1] 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa Istighfâr ketika ruku’ atau sujud sebagai berikut :

‎سُبْحَانَكَ اللهم رَبَّنَا وَ بِحَمْدِكَ اللهم اغْفِرْلِيْ.

Maha suci Engkau, ya Allâh! Rabb kami dan dengan memuji-Mu ya Allâh ampunilah dosaku. [2]

Para Ulama menyebutkan bahwa Allâh Azza wa Jalla memberikan rasa aman kepada manusia dengan 2 hal, yaitu adanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diantara mereka dan Istighfâr. Sekarang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, berarti yang masih tinggal satu yaitu istighfâr. Oleh karena itu istighfâr menjadi pengaman dari kemarahan Allâh Azza wa Jalla .

‎وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allâh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari Allâh ? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu sedang mereka mengetahui. [Ali ‘Imrân/3:135]

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata :

‎لَا كَبِيْرَةَ مَعَ اسْتِغْفَارٍ وَلَا صَغِيْرَةَ مَعَ إِسْرَارٍ 

Tidak ada dosa besar jika diiringi dengan istighfâr dan tidak ada dosa kecil jika dikerjakan terus menerus.[3] 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‎واللهِ إِنِّي لأَسْتَغْفِرُ اللهَ وأَتُوبُ إِلَيْهِ في الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سبْعِينَ مَرَّةً 

Demi Allâh, sesungguhya aku benar-benar memohon ampun kepada Allâh dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari semalam lebih dari 70 kali.[4] 

Dalam riwayat Imam Muslim : 

‎…وَإِنِّيْ لأَسْتغْفِرُ اللهَ فِيْ الْيوْمِ مِئَةَ مرَّةٍ 

…Dan sesungguhnya aku benar-benar memohon ampunan Allâh dalam sehari semalam sebanyak 100 kali.[5] 

‎وعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كُنَّا نَعُدُّ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ : « ربِّ اغْفِرْ لِيْ ، وتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ » .

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma beliau berkata, “Kami dahulu menghitung dalam satu majlis Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam 100 kali membaca, ‘Ya Allâh ampunilah dosaku, dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang.’” [6]

‎وعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : منْ قَالَ : « أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ »، غُفِرَتْ ذُنُوبُهُ وإِنْ كَانَ قَدْ فَرَّ مِنَ الزَّحْفِ .

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membaca : 

‎أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ

(Aku mohon ampun kepada Allâh yang tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, yang Maha Hidup dan Maha Berdiri sendiri, dan aku bertaubat kepadaNya) maka akan diampuni dosa-dosanya walaupun pernah lari dari medan perang.[7] 

Di antara do’a Istighfâr yang paling baik adalah sayyidul Istighfâr, sebagimana yang telah diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu .

SYARAH HADITS
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan lafazh istigfâr ini dengan Sayyidul Istighfâr karena terkandung dalam hadits ini makna taubat dan merendahkan diri di hadapan Allâh Azza wa Jalla , yang tidak terdapat dalam hadits-hadits taubat lainnya. 

Imam ath-Thîbiy rahimahullah berkata, “Karena do’a ini mengandung makna-makna taubat secara menyeluruh maka dipakailah istilah sayyid, yang pada asalnya, sayyid itu artinya induk atau pimpinan yang dituju dalam semua keperluan dan semua urusan kembali kepadanya.”[8] 

Ibnu Abi Jamrâh rahimahullah berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan dalam hadits ini makna-makna yang indah dan lafazh-lafazh yang bagus sehingga pantas untuk dinamakan sayyidul Istighfâr. Dalam hadits ini terdapat : 

• Pengakuan terhadap uluhiyah Allâh dan ibadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla • Pengakuan bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah satu-satu-Nya yang Maha Pencipta. Pengakuan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan janji yang diambil untuk hamba-Nya. 
• Harapan yang telah Allâh janjikan kepada hamba-Nya, 
• Berlindung dari keburukan yang telah diperbuat hamba terhadap dirinya, 
• Menisbatkan semua nikmat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang telah mengadakan semua nikmat ini, menisbatkan dosa kepada diri seorang hamba, 
• Keinginan dan harapan dia agar diampuni dosa-dosanya oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala 
• Dan pengakuannya bahwa tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Allâh.” [9]

SAYYIDUL ISTIGHFAR
‎1. اللّٰـهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ (Ya Allâh Engkau adalah Rabb-ku) [10]
Pengakuan seorang hamba bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah Rabbnya. Rabb adalah pemilik, pencipta, pemberi rizki dan pengatur semua urusan makhluk-Nya. Terkandung dalam hadits ini pengakuan tentang rububiyyah Allâh Azza wa Jalla .

‎2. لَا إِلٰـهَ إِلَّا أَنْتَ (Tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Engkau) 
Yaitu tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Engkau ya Allâh. Kalimat ini merupakan perwujudan tauhid uluhiyyah. Semua Muslim wajib meyakini bahwa satu-satunya yang berhak diibadahi dengan benar hanyalah Allâh, sedangkan selain Allâh tidak boleh disembah dan kita hanya berdo'a kepada Allâh saja.

‎3. خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ (Engkau telah menciptakan aku, dan aku adalah hamba-Mu) 
Pengakuan hamba bahwa tidak ada yang menciptakan alam semesta beserta isinya ini melainkan hanya Allâh Azza wa Jalla saja. Seluruhnya adalah makhluk, baik di langit maupun di bumi. Allâh Azza wa Jalla yang telah menciptakan semua makhluk. Kalimat ini mengandung (prilaku hamba) yang menghinakan dan merendahkan dirinya di hadapan Allâh Azza wa Jalla . Di dalamnya terkandung tauhid rububiyyah. Doa ini diucapkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menunjukan bahwa beliau n adalah seorang hamba, yang tidak berhak untuk diibadahi.

‎4. وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَاسْتَطَعْتُ (Aku menetapi perjanjian-Mu dan janji-Mu sesuai dengan kemampuanku) 
Aku tetap dalam perjanjian-Mu Ya Allâh, beriman kepada-Mu, melaksanakan ketaatan kepada-Mu dan melaksanakan perintah-perintah-Mu semampuku. Menurut kemampuan aku, karena Allâh tidaklah membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya. Yang dimaksud janji di sini adalah janji ketika Allâh mengeluarkan calon-calon makhluk atau ruh. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

‎وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ

Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allâh Mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya Berfirman), ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami bersaksi.’ (Kami Lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.’” [al-A’râf/7:172]

Kalau mereka bersaksi bahwa Allâh Azza wa Jalla sebagai Rabb mereka, maka konsekuensinya adalah mereka harus beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla. Konsekuensinya adalah melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla dan meninggalkan larangan Allâh Azza wa Jalla .

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

‎أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ ۖ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ﴿٦٠﴾وَأَنِ اعْبُدُونِي ۚ هَٰذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ

Bukankah Aku telah Memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan ? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu, dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.” [Yâsîn/36:60-61]

Kalimat (وَوَعْدِكَ)“janji-Mu” yaitu tentang balasan pahala dan ganjaran, yaitu ‘Aku tetap dalam perjanjianku dengan Allâh selama aku mampu. Aku yakin dengan janji-Mu Ya Allâh.’ Bagi orang-orang yang bertauhid dan menjauhkan perbuatan syirik, dijanjikan dengan Surga dan pahala yang besar.’ 

Oleh karena itu hadits di atas menyebutkan barangsiapa membacanya dengan penuh keyakinan maka dijanjikan dengan Surga.

‎5. أَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّ مَاصَنَعْتُ (Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku) 
Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan amal perbuatanku dan akibat buruknya, (Aku berlindung kepada-Mu agar tidak) ditimpa dengan petaka, agar diampuninya dosa, dan kembali kepada perbuatan jelekku.

Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan perbuatan dosa dan maksiat. Sesungguhnya perbuatan dosa membawa akibat yang jelek. Orang yang durhaka kepada orang tua, memutuskan silaturahim, menzhalimi orang lain, mengambil hak orang lain, makan riba, dan dosa-dosa lainnya akan membawa akibat yang jelek. Diantara akibat buruknya adalah hilangnya barakah dalam ilmu kita dan hafalan kita. Akibat dosa yang paling berbahaya adalah akan di adzab oleh Allâh Azza wa Jalla . Harta yang diperoleh dengan cara zhalim maka harta itu tidak akan mendapatkan barakah, akan membuat istrinya dan anak-anaknya durhaka. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika khutbatul haajah bersabda :

‎وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا...

Kami berlindung kepada Allâh dari keburukan jiwa kami dan kejelekan amal perbuatan kami…

Oleh karena itu, hendaknya kita berlindung kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari segala perbuatan dosa kita.

Akibat dosa tersebut diantaranya hilangnya barakah umur kita, barakah ilmu kita, amal ketaatan, dan hilangnya hafalan. Yang paling bahaya adalah tidak diampuni dosa kita. Atau kita kembali kepada perbuatan dosa itu. Nas-alullâha al-‘afwa wal ‘âfiyah was salâmah fid dunyâ wal akhirah. 

‎6. أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ (Aku akui nikmat-Mu kepadaku) 
Aku mengakui dan menetapkan besarnya nikmat-Mu kepadaku, dan agungnya karunia-Mu dan kebaikan-Mu kepadaku. Setiap Muslim dan Muslimah wajib menisbatkan semua nikmat kepada Allâh Azza wa Jalla . Semua nikmat yang diberikan Allâh Azza wa Jalla , baik di langit, bumi dan diantara keduanya adalah berasal dari Allâh Azza wa Jalla .

Firman Allâh Azza wa Jalla :

‎وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ 

Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allâh, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. [an-Nahl/16:53]

Nikmat Allâh Azza wa Jalla yang diberikan kepada kita sangatlah banyak. Kita tidak akan pernah bisa menghitungnya. Cobalah kita hitung nikmat yang Allâh Azza wa Jalla berikan sejak kita lahir ! Nikmat mata, telinga, lisan, rambut, hati, udara, oksigen, air, tumbuhan, nikmat hidayah, kesehatan, dijauhkan dari malapetaka, nikmat di atas tauhid dan sunnah, dan lainnya. 

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

‎وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allâh, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allâh). [Ibrâhîm/14:34]

Apabila kita mengakui nikmat-nikmat Allâh Azza wa Jalla , maka konsekuensinya adalah bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla . Bila seorang hamba bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh akan menambah nikmat-nikmat-Nya kepada kita. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

‎وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ 

Dan (ingatlah) ketika Rabbmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” [Ibrâhîm/14:7]

Jika seseorang bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla maka Allâh Azza wa Jalla tidak akan mengadzabnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

‎مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا

Allâh tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman. Dan Allâh Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui. [an-Nisâ’/4:147]

‎7. وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ (Aku mengakui dosaku kepada-Mu) 
Aku mengakui kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan, berupa perbuatan dosa, kesalahan, kelalaian, kewajiban yang aku tinggalkan, perbuatan haram dan maksiat yang aku lakukan. Pengakuan ini sebagai langkah awal untuk bertaubat dan kembali kepada Allâh Azza wa Jalla . 

‎8. فَاغْفِرْلِيْ (Ampunilah dosaku) 
Ya Allâh, ampunilah seluruh dosa yang telah aku lakukan. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Seorang hamba yang bertakwa tatkala ia berbuat dosa, ia segera memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla . Sebagaimana firman-Nya :

‎وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka (segera) mengingat Allâh, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allâh ? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” [Ali ‘Imrân/3:135]

‎9. فَإِنَّهُ لاَيَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ (Karena yang tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau ya Allâh) 
Pengakuan kita bahwa tidak ada yang dapat mengampuni semua dosa-dosa kecuali hanya Allâh Azza wa Jalla . Oleh karena kita memohon ampun hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , tidak kepada selain-Nya. Allâh Maha Pengampun dan Penerima taubat.

10. Barangsiapa yang membacanya di pagi hari dengan penuh keyakinan, kemudia ia meninggal dunia sebelum sore hari, maka ia termasuk penghuni Surga. Barangsiapa yang membacanya di sore hari dengan penuh keyakinan, kemudia ia meninggal dunia sebelum esok pagi hari, maka ia termasuk penghuni Surga

Yaitu membacanya dengan penuh keyakinan, ikhlas, mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , meninggalkan syirik, membenarkan kandungan do’a sayyidul Istighfâr ini, mengakui tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah, mengakui semua dosa-dosanya, mengakui semua nikmat dari Allâh Azza wa Jalla dan meminta ampunan hanya kepada Allâh Azza wa Jalla . 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita untuk membacanya dengan penuh keyakinan ketika kita di waktu pagi dan sore hari.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Orang yang mengenal Allâh Azza wa Jalla yang ia tuju, maka dia mempersaksikan bahwa semua itu karunia Allâh dan menyadari dirinya yang banyak dosa dan aib.”[11] 

Beliau rahimahullah menjelaskan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan 2 hal, yaitu persaksian semua nikmat dari Allâh Azza wa Jalla dan pengakuan dosa-dosa yang telah dilakukan, bahwa kita banyak berbuat kesalahan. Lalu dilanjutkan dengan amal. Menyaksikan semua nikmat, anugerah dan karunia Allâh Azza wa Jalla kepada kita, konsekuensinya adalah wajibnya kita mencintai Allâh Azza wa Jalla . Ini juga menuntut kita memuji Allâh, bersyukur kepada Allâh karena Allâh telah memberi semua nikmat dan kebaikan. Kita pun harus menyadari diri kita yang banyak berbuat dosa dan kesalahan, yang menuntut kita agar menghinakan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , merendahkan diri kita di hadapan Allâh Azza wa Jalla serta menyatakan diri kita fakir, membutuhkan Allâh dan kita wajib bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla pada setiap waktu dan dia tidak melihat dirinya kecuali orang yang tidak punya apa-apa sama sekali.[12] 

FAIDAH-FAIDAH HADITS 
1. Wajib menetapkan rububiyyah Allâh Azza wa Jalla , karena Allâh adalah Pencipta, Yang Maha Pemberi Rezeki, Yang Maha Pemberi karunia, Yang Maha Menahan, dan Yang Maha Melapangkan, Yang Maha menghidupkan, Yang Maha mematikan, dan Yang Maha mengatur segala urusan.

2. Wajib menetapkan ‘ubudiyyah, uluhiyyah, dan wahdaniyyah bagi Allâh Azza wa Jalla . Bahwa hanya Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang wajib dan berhak diibadhi dengan benar.

3. Dalam sayyidul Istighfâr terdapat penetapan dan pengakuan seorang hamba bahwa dirinya adalah hamba yang hina di hadapan Rabb-nya, Pencipta-nya, dan Pemberi Rezeki-nya.

4. Di dalamnya juga terdapat penetapan seorang hamba bahwa dia berpegang kepada perjanjian yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala ambil atasnya.

5. Hendaklah seorang hamba melaksanakan perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan kemampuannya. Ini seperti dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

‎فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ 

“…Maka bertakwalah kamu kepada Allâh menurut kesanggupanmu…” [at-Taghâbun/64:16] 

6. Pengakuan seorang hamba atas dosa-dosanya dengan taubat.

7. Penetapan dan pengakuan seorang hamba kepada Rabb-nya dengan kelemahan dan kekurangan, dengan menyembah-Nya dengan sebenar-benarnya.

8. Tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allâh Azza wa Jalla.

9. Hendaklah seorang hamba berlindung kepada Allâh Azza wa Jalla dari kejelekan apa-apa yang telah dia perbuat.

10. Keutamaan Istighfâr (meminta ampun kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala) dan keutamaan sayyidul Istighfâr.

11. Hendaklah seorang hamba berlindung kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari kejelekan perbuatan dan niatnya, karena itu merupakan sebab mendapat hukuman dan adzab.

12. Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa segala tujuan itu hendaknya dicapai dengan cara-cara yang benar, dan sebab-sebab yang mencapai kepada tujuan itu. Adapun menggunakan khurafat, bid’ah, cara-cara yang syirik, maka itu tidak menambah (kedudukan) seorang manusia di hadapan Rabb-nya kecuali (tetap seorang) hamba (yang hina).

Shahih: HR. Muslim (no.2577), Ahmad (V/160), dan selain keduanya dari Shahabat Abu Dzarr al-Ghifâri z .
[2]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 794, 817) dan Muslim (no. 484).
[3]. Shahih: HR. Ibnu Jarir Atsar at-Thabari dalam tafsirnya (no. 9207) dan lainnya. Syaikh Masyhur Hasan Salman berkata, ‘Sanadnya shahih mauquf dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma . (al-Kabâir, hlm. 47 karya Imam adz-Dzahabi)
[4]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 6307), at-Tirmidzi (no. 3259), Ahmad (II/282, 341), an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 438, 439), dan lainnya dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. 
[5]. Shahih: HR. Muslim (no. 2701 (42)), dari shahabat al-Agharr bin Yasar al-Muzani Radhiyallahu anhu.
[6]. HR. Abu Dawud (no. 1516), at-Tirmidzi (no. 3434), dan Ibnu Majah (no. 3814). Hadits ini adalah lafazh at-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan shahih gharib.”
[7]. Shahih: HR. Abu Dawud (no. 1517). Lihat Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1358).
[8]. Fat-hul Bâri (XI/99).
[9]. Fat-hul Bâri (XI/100).
[10]. Syarah mufradat ini dinukil dari kitab Fat-hul Bâri (XI/98-100) karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fiqhul Ad’iyati wal Adzkâr (III/18-20), Syaikh DR. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, dan kitab-kitab lainnya.
[11]. Dibawakan perkataan ini oleh Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah t (murid beliau) dalam kitab al-Wâbilis Shayyib, Lihat Shahîh al-Wâbilis Shayyib (hlm. 16).
[12]. Shahîh al-Wâbilis Shayyib (hlm. 17).