Rabu, 26 September 2018

Kesalahan dalam berwudlu

*Beberapa Kesalahan Dalam Wudhu*
(Bag. 1)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya semua. Amma ba’du:

Berikut ini kami sebutkan beberapa kesalahan dalam wudhu'. Kami memohon kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala hidayah dan taufiq-Nya serta meminta kepada-Nya agar penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat bagi saudara kami kaum muslim.

1. Melafazkan niat sebelum berwudhu
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawanya (22/217) berkata, "Tempat niat adalah hati; bukan lisan berdasarkan kesepakatan imam-imam kaum muslim untuk semua ibadah."
Ia juga berkata dalam Al Fataawa Al Kubra (1/214), "Melafazkan niat adalah cacat pada akal dan agama. Adapun pada agama adalah karena ia adalah bid'ah, sedangkan pada akal adalah karena ia seperti orang yang hendak makan lalu mengatakan, "Saya berniat meletakkan tangan saya di wadah ini untuk mengambil sesuap makanan darinya, lalu saya letakkan di mulut dan saya kunyah, kemudian saya telan agar kenyang." Ini adalah kedunguan dan kebodohan."
Ibnul Qayyim berkata dalam Zaadul Ma'aad (1/196), "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengatakan di awalnya, "Saya berniat menghilangkan hadats, dan berniat memulai shalat." Baik Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam maupun seorang dari para sahabatnya, dan tidak datang satu huruf pun dari Beliau tentang hal ini baik dengan isnad yang shahih maupun dha'if."

2. Berdoa ketika membasuh anggota wudhu
Ada sebuah hadits yang bunyinya,
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu ia berkata: Aku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sedangkan di depan Beliau ada wadah berisi air, lalu Beliau berkata kepadaku, "Wahai Anas, mendekatlah kepadaku, aku akan mengajarkan kepadamu ketentuan-ketentuan wudhu." Maka aku pun mendekat. Saat Beliau mencuci kedua tangannya, Beliau membaca, "Bismillah wal hamdulillah walaa haula walaa quwwata illaa billah." Ketika Beliau beristinja, Beliau mengucapkan, "Allahumma hashshin farji wa yassir lii amriy." Saat Beliau berwudhu dan menghirup air ke hidung, Beliau mengatakan, "Allahumma laqqini hujjatiy walaa tuharrimniy raa'ihatal jannah." Ketika Beliau membasuh wajahnya, Beliau mengatakan, "Allahumma bayyidh wajhiy yauma tabyaddhu wujuuh." Ketika Beliau membasuh lengannya, Beliau mengucapkan, "Allahuuma a'thiniy kitaabi biyamiinii." Ketika Beliau mengusapkan tangannya ke kepalanya, Beliau mengatakan, "Allahumma aghitsnaa birahmatik wa jannibnaa 'adzaabak." Saat Beliau membasuh kedua kakinya, Beliau mengucapkan, "Allahumma tsabbit qadamiy yauma tazillu fiihil aqdaam." Kemudian Beliau bersabda, "Demi Allah yang mengutuskku dengan membawa kebenaran, wahai Anas! Tidak ada seorang hamba yang mengucapkannya ketika berwudhu, lalu menetes air dari sela-sela jarinya kecuali Allah akan menciptakan malaikat yang bertasbih kepada Allah dengan tujuh puluh lisan, dimana pahala tasbih itu berlanjut sampai hari Kiamat."
Hadits ini disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhiin (2/154) dalam biografi 'Abbad bin Shuhaib. Ibnu Hibban berkata, "Ia meriwayatkan hadits-hadits munkar tentang hal-hal yang masyhur yang apabila didengar oleh pemula tentang tindakan ini pasti akan menyaksikan kepalsuannya."
Adz Dzahabiy dalam Mizanul I'tidal (2/367) berkata tentang 'Abbad bin Shuhaib: Ibnul Madiniy berkata, "Haditsnya telah pergi." Imam Bukhari, Nasa'i, dan lainnya berkata, "Matruk (ditinggalkan)."
Tentang doa ketika membasuh anggota wudhu' ini, Imam Nawawi berkata dalam Ar Raudhah, "Doa ini tidak ada asalnya." Imam Ibnush Shalah berkata, "Tidak ada satu pun hadits yang sah." (At Talkhishul Habir 1/100)
Ibnul Qayyim berkata, "Tidak dihapal dari Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau membaca sesuatu dalam wudhunya selain basmalah, dan semua hadits yang menyebutkan dzikr-dzikr ketika berwudhu yang perlu dibaca adalah dusta dan dibuat-buat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkan sedikit pun darinya dan tidak mengajarkannya kepada umatnya, dan tidak sah dari Beliau selain basmalah." (Zaadul Ma'aad: 1/196)
Al Haafizh Ibnu Hajar dalam At Talkhish (1/100) berkata, "Ada riwayat tentangnya dari Ali dari beberapa jalan yang lemah sekali, disebutkan oleh Al Mustaghfiriy dalam ad Da'awat, Ibnu 'Asakir dalam Amalinya, dimana ia melalui riwayat Ahmad bin Mush'ab Al Marwaziy, dari Habib bin Abi Habib Asy Syaibani, dari Abu Ishaq As Subai'iy, dari Ali. Namun dalam isnadnya ada seorang yang tidak dikenal. Pemilik Musnad Al Firdaus juga meriwayatkannya dari jalan Abu Zur'ah Ar Raaziy, dari Ahmad bin Abdullah bin Dawud, telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Al 'Abbas, telah menceritakan kepada kami Mughits bin Budail, dari Kharijah bin Mush'ab, dari Yunus bin Ubaid, dari Al Hasan, dari Ali yang sama seperti itu. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Adh Dhu'afa dari hadits Anas seperti itu, namun di sana terdapat 'Abbad bin Shuhaib, ia adalah matruk (ditinggalkan). Al Mustaghfiriy juga meriwayatkan dari hadits Al Barra' bin 'Azib, namun tidak secara panjang, dan isnadnya lemah."
Lajnah Da'imah (komite tetap fatwa KSA) dalam fatawanya (5/206) berkata, "Tidak sah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam doa ketika berwudhu, dan doa yang dibaca oleh masyarakat awam ketika membasuh setiap anggota wudhu adalah bid'ah."

3. Pendapat yang mengatakan wajibnya mencabut gigi palsu ketika berwudhu
Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin berkata dalam Asy Syarhul Mumti' (1/240),
"Apakah seseorang harus melepas gigi palsu jika menghalangi sampainya air ke bagian dalamnya ataukah tidak wajib?"
Zhahirnya, bahwa hal itu tidak wajib. Hal ini seperti halnya cincin. Cincin tidaklah wajib dilepas ketika berwudhu. Tetapi yang lebih utama adalah menggesernya, tetapi tidak wajib, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memakainya, namun tidak ada nukilan bahwa Beliau menggerakkan cincinnya ketika berwudhu'. Cincin jelas lebih tampak menghalangi sampainya air daripada gigi-gigi ini. Terlebih, melepas gigi palsu cukup menyulitkan bagi sebagian manusia."

4. Berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung dengan enam kali saukan tangan
Enam kali saukan ini karena berkumur-kumur dengan menghirup air ke hidung dipisah, dimana untuk masing-masingnya tiga kali saukan. Memang ada hadits yang menerangkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memisahkan antara berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung sebagaimana yang diriwayatkan dari Thalhah bin Musharrif, dari ayahnya, dari kakeknya. Tetapi hadits ini dinyatakan dha'if oleh Al Hafizh Ibnu Hajar. Ia berkata dalam Bulughul Maram, "Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan isnad yang dha'if." Al Hafizh juga berkata dalam At Talkhish (1/87), "Adapun hadits Thalhah bin Musharrif dari ayahnya dari kakeknya diriwayatkan oleh Abu Dawud yang di sana disebutkan, "Aku melihat Beliau memisah antara berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung." Tetapi di dalam(sanad)nya terdapat Laits bin Abi Salim, ia adalah dha'if. Ibnu Hibban berkata, "Ia membolak-balikkan sanad-sanad dan memarfu'kan hadits-hadits yang mursal, dan datang dari orang-orang yang tsiqah dengan membawa hadits yang bukan hadits mereka." Yahya bin Al Qaththan meninggalkannya, demikian juga Ibnu Mahdiy, Ibnu Ma'in, dan Ahmad bin Hanbal. Imam Nawawi dalam Tahdzibul Asmaa' berkata, "Para ulama sepakat mendha'ifkannya."
Imam Ibnul Qayyim berkata, "Dan termasuk petunjuk Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menyatukan antara berkumur-kumur dengan menghirup air ke hidung dari satu telapak tangan. Beliau melakukan hal itu tiga kali. Dalam sebuah lafaz (hadits) disebutkan, "Beliau berkumur-kumur dan menghembuskannya sebanyak tiga kali." Inilah riwayat yang lebih sahih tentang berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung, dan tidak ada penjelasan memisahkan antara berkumur-kumur dan menghirup air ke hidup dalam satu hadits shahih pun."

5. Tidak menyempurnakan wudhu'
Misalnya ada anggota wudhu yang tidak tersentuh air wudhu.

عَنْ ‏‏عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو ‏‏قَالَ :‏ رَجَعْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ‏‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏مِنْ ‏‏مَكَّةَ ‏‏إِلَى ‏‏الْمَدِينَةِ ‏‏حَتَّى إِذَا كُنَّا بِمَاءٍ بِالطَّرِيقِ تَعَجَّلَ قَوْمٌ عِنْدَ الْعَصْرِ فَتَوَضَّئُوا وَهُمْ عِجَالٌ فَانْتَهَيْنَا إِلَيْهِمْ وَأَعْقَابُهُمْ تَلُوحُ لَمْ يَمَسَّهَا الْمَاءُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ‏‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :‏‏ وَيْلٌ ‏‏ لِلْأَعْقَابِ ‏‏ مِنْ النَّارِ، ‏‏أَسْبِغُوا‏ ‏الْوُضُوءَ .
Dari Abdullah bin 'Amr ia berkata: Kami pulang bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari Mekkah ke Madinah, sehingga ketika kami berada pada tempat air di tengah jalan, maka sebagian orang tergesa-gesa ketika tiba waktu Ashar, lalu mereka berwudhu secara tergesa-gesa, kemudan kami sampai kepada mereka ternyata tumit mereka tampak putih tidak tersentuh air, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Celakalah tumit-tumit karena tersentuh neraka. Sempurnakanlah wudhu oleh kalian." (HR. Bukhari dan Muslim)

عَنْ ‏‏جَابِرٍ ‏، ‏أَخْبَرَنِي ‏‏عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ ‏أَنَّ رَجُلًا تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِيُّ ‏‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏فَقَالَ ‏:‏ ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى
Dari Jabir radhiyallahu 'anhu, bahwa Umar bin Khaththab memberitahukan kepadaku, bahwa ada seorang yang berwudhu, lalu tidak membasuh kakinya seukuran kuku, kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melihatnya dan bersabda, "Kemballah, perbaiki wudhumu, maka ia pun kembali dan melakukan shalat." (HR. Muslim)
Imam Nawawi berkata dalam Syarh Muslim, "Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa orang yang meninggalkan bagian yang wajib dibasuh meskipun sedikit, maka bersucinya tidak sah. Ini merupakan hal yang telah disepakati."

6. Berlebihan menggunakan air ketika berwudhu

عَنْ ‏ ‏أَبِي نَعَامَةَ ‏‏أَنَّ ‏عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُغَفَّلٍ سَمِعَ ابْنَهُ يَقُولُ : اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْقَصْرَ الْأَبْيَضَ عَنْ يَمِينِ الْجَنَّةِ إِذَا دَخَلْتُهَا ، فَقَالَ : أَيْ بُنَيَّ سَلْ اللَّهَ الْجَنَّةَ ، وَتَعَوَّذْ بِهِ مِنْ النَّارِ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ‏‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏‏يَقُولُ :‏ ‏إِنَّهُ سَيَكُونُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الطَّهُورِ وَالدُّعَاءِ .
Dari Abu Na'amah, bahwa Abdullah bin Mughaffal mendengar puteranya berkata, "Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu istana  putih di sebelah kanan surga apabila aku memasukinya." Maka Ibnu Mughaffal berkata, "Wahai anakku, mintalah surga kepada Allah dan berlindunglah kepada-Nya dari neraka, karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya akan ada di tengah umat ini orang-orang yang berlebihan dalam bersuci dan berdoa." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad. Syaikh Al Albani berkata dalam Al Misykaat (418), "Dan isnadnya shahih, dishahihkan oleh jamaah, dan dianggap cacat dengan sesuatu yang sebenarnya tidak mencacatkan.")

Contoh berlebihan dalam bersuci adalah dengan membasuh anggota wudhu melebihi tiga kali dan boros dalam menggunakan air.

Bersambung…

Hadits dhaif tentang keutamaan surat al kahfi

◦Hadis-Hadis Dhaif tentang Keutamaan Surat Al-kahfi

◦Khusus Dibaca Malam Jumat

◦عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ عَبَّادٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ»

◦Dari Abu Mijlaz Darim dari Qais bin Abbad dari Abu Said Al Khudri, bahwa Nabi saw. bersabda, sesuai ngguhnya yang membaca surat al-kahfi hari jumat, baginya diterangi cahaya diantara dua jumat. H.r. Al Hakim, II : 399, Al Baehaqi, as Sunanus Sughra, I : 372, as Sunanul Kubra, III : 249, dan Syu’abul Iman, III : 113
◦Dalam hadis lain diriwayatkan pula secara mauquf dengan lafal:

◦مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيق
◦ِ
◦Barang siapa membaca surat Al Kahfi malam jumat, baginya diterangi cahaya (sejauh) antara dia dan antara al Baetul Atiq. H.r. Ad Darimi, II : 546 sedangkan dalam riwayat Al Baehaqi lainnya dalam Syu’abul Iman, III : 112), dengan lafal:

◦مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَأَدْرَكَ الدَّجَّالَ لَمْ يُسَلَّطْ عَلَيْهِ، - أَوْ قَالَ: لَمْ يَضُرُّهُ - وَمَنْ قَرَأَ خَاتِمَةَ سُورَةِ الْكَهْفِ أَضَاءَ لَهُ نُورًا مِنْ حَيْثُ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَكَّة
◦َ
◦Barang siapa membaca surat Al Kahfi hari jumat lalu mendapati Dajal, maka ia tidak akan terkuasai olehnya. Atau ia mengatakan, Dan barang siapa membaca ahir surat Al Kahfi, baginya diterangi cahaya sejauh dari antara dia dan antara Makkah”.

◦Analisis Sanad : Al Hakim menyatakan bahwa hadis yang pertama sanadnya shahih tetapi Imam Al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya. Padahal setelah diteliti, ketiga lafal hadits diatas tidak lepas dari kedaifan (ada cacat dalam sanadnya)

◦Pertama : Pada sanad hadis diatas, terdapat rawi yang bernama Abu Mijlaz. Nama Aslinya adalah Lahiq bin Humed bin Sa’id. (lihat Tahdzibul Kamal, XXXI :176)  Menurut Ad Dzahabi, dalam kitabnya Mizanul I’tidal, VII : 152, ia termasuk rawi yang tsiqat dari thabaqat tabiin. Akan tetapi ia yudallisu (berbuat tadlis/sering menyembunyikan rawi). Hal ini telah diperkuat oleh Ad Daraquthni. (Lihat Thabaqatul Mudallisin, I : 27)
◦Dalam ilmu hadis dijelaskan bahwa seorang rawi mudallis apabila meriwayatkan dengan bentuk ‘an (dari), maka periwayatannya itu munqathi (terputus) dan hadisnya tertolak. Lihat Manhajun Naqd, : 384.
◦Dan kebetulan pada hadis di atas Abu Mijlaz menerima hadis dari Qais bin Ubad  dengan bentuk ‘AN, oleh karena itulah hadis ini tertolak karena dipastikan sanadnya terputus.

◦Kedua : Selain kedaifan periwayatan Abu Mijlaz, terdapat kedaifan lainnya yakni periwayatan rawi bernama Husyaim. Ia adalah Husyaim bin Basyir bin Al Qasim bin Dinar As Sulami salah seorang rawi yang diperbincangkan di kalangan para ulama. Ad dzahabi dalam kitabnya Man tukullima fihi, I : 188, menyatakan ‘Husyaim bin Basyir, seorang yang hafidh, yang tsiqat, tetapi mudallis juga. Secara khusus periwayatan yang ia terima dari Az Zuhri tidak dapat dijadikan hujah.
◦Doktor Awad Ma’ruf menerangkan bahwa Ibnu Hajar menyatakan dalam kitabnya at Taqrib, Husyaim seorang rawi yang tsiqatun tsabtun, tetapi banyak mentadlis serta me mursal khafikan (merugikan) hadis. Tahdzibul Kamal XXX : 272-290. Dengan demikian, periwayatan Husyaim pun tertolak, sebab dalam periwayatannya terdapat ketidakpastian ia menerima hadis itu dari gurunya

◦عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله (: من قرأ سورة الكهف في يوم الجمعة سطع له نور من تحت قدمه إلى عنان السماء يضيء له يوم القيامة وغفر له ما بين الجمعتين

◦Dari Ibnu Umar mengatakan, Rasulullah Saw. bersabda, ‘Siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari jumat, baginya akan dipancarkan cahaya dari bawah telapak kakinya sampai awan langit yang akan bersinar pada hari kiamat serta akan diampuni dosanya di antara dua jumat. H.r. Al-Mundziri, at Targhib wat Tarhib, I:298.

◦Analisis Sanad: Menurut Umar bin Ali bin Ahmad al Wadiyasyi al Andalusi dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj/ CD, I:523, hadis diatas diriwayatkan pula oleh Ad Dhiya dalam Ahkamnya dari Ibnu Mardawaih Ahmad bin Musa dengan sanad yang disitu terdapat rawi yang la yu’rofu (tidak dikenal).
◦Disamping ketidak jelasan periwayatan Ad Dhiya, terdapat pula kedaifan lainnya yakni rawi bernama Muhammad bin Khalid Al Khutalli. Ad Dzahabi dalam kitabnya Mizanul itidal menerangkan bahwa Ibnul Jauzi dalam kitabnya al Maudhu’at menyatakan, ‘Para ulama telah mendustakannya”. Ibnu Mundah mengatakan, ‘Ia periwayat atau pemilik hadis-hadis yang munkar”. Mizanul I’tidal, VI :131, Lisanul Mizan, V :151, dan al Mughni fid Duafa, II:575.

◦عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ (مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَهُوَ مَعْصُومٌ إِلَى ثَمَانِيَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ فِتْنَةٍ تكون فَإِن خرج الدَّجَّال عصم مِنْه
◦ُ
◦Dari Ali bin Abu Thalib mengatakan, ‘Rasulullah Saw. Bersabda, ‘Barang siapa membaca surat Al-Kahfi hari jumat, ia akan terpelihara dari setiap fitnah sampai delapan hari, dan jika dajal keluar ia akan terpelihara darinya. H.r. Abu Abdullah Al Hanbali, al Ahaditsil Mukhtarah/CD, II:51

◦Analisis Sanad: Sanad hadits ini pun tidak shahih, sebab Abdullah bin Mush’ab yang menjadi periwayat hadis diatas, kami tidak mendapatkan tentang biografinya dalam kitab rijal-rijal hadis.
◦Abu Abdullah Al Hanbali mengatakan,’Al Bukhari dan Ibnu Abu Hatim tidak menerangkan kedudukan rawi ini dalam kitabnya. Disamping itu bahwa sanad hadis diatas terdapat rawi lain yang tidak ada keterangan biografinya. Al Ahaditsil Mukhtarah, II:50-51.

◦Membaca Surat Al-Kahfi Penghalang dari Neraka

◦عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ (قَالَ: " سُورَةُ الْكَهْفِ الَّتِي تُدْعَى فِي التَّوْرَاةِ الْحَائِلَةَ، تَحُولُ بَيْنَ قَارِئِهَا وَبَيْنَ النَّارِ " " تَفَرَّدَ بِهِ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ هَذَا، وَهُوَ مُنْكَرٌ. شعب الإيمان

◦Dari Ibnu Abbas, (ia berkata),”Bahwa Nabi saw. pernah bersabda,’Surat Al-Kahfi yang dinamai dalam At-Taurat Al-Haa-ilah (penghalang), yakni ia akan menghalangi antara pembacanya dan api neraka”.

◦Analisis Sanad: Muhammad bin Abdurrahman menyendiri dalam periwayatan hadis ini dan ia seorang rawi yang mungkar. Lihat Syu;abul Iman no.2223.  Dengan demikian hadis ini pun jangan dipercaya karena dhaif

◦Kesimpulan:

◦1 Membaca Surat Al-Kahfi dianjurkan pada hari dan malam apa saja karena memiliki keutamaan yakni turunnya sakinah
◦2. Siapa yang menghafal 10 ayat awal dari surat Al-Kahfi akan terhindar dari dajjal
◦3. Keutamaan Membaca surat Al Kahfi khusus pada hari atau malam jumat tidak dapat diyakini kebenarannya sebab hadis-hadisnya daif.

◦Wallaahu A’lamu Bish Shawab

Jumat, 14 September 2018

Syurga dari doa ampunan dari anak

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِى الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ : أَنَّى (لِي) هَذَا؟ فَيَقُالُ : بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ

Dari Abu Huarirah, ia berkata : telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya ada seseorang [1] yang diangkat (ditinggikan) derajadnya di jannah (surga)”. Lalu ia bertanya (terheran-heran), “Bagaimana aku bisa mendapat ini (yakni derajad yang tinggi di surga)?”. Dikatakan kepadanya, “(Ini) disebabkan istighfar (permohonan ampun) dari anakmu (kepada Allah) untukmu”.

Sujud tilawah

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِى يَقُولُ يَا وَيْلَهُ – وَفِى رِوَايَةِ أَبِى كُرَيْبٍ يَا وَيْلِى – أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِىَ النَّارُ

“Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celaka aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka.” (HR. Muslim no. 81)

Sujud yang dilakukan ketika membaca ayat sajdah ayat sajdah.
Ayat-ayat dimaksud antara lain [2] [3]:

Ayat ke-206 dari Surah Al-A'raf
إِنَّ الَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيُسَبِّحُونَهُ وَلَهُ يَسْجُدُونَ

Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nya lah mereka bersujud.

Ayat ke-15 dari Surah Ar-Ra'd
وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَظِلَالُهُمْ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ

Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.

Ayat ke-50 dari Surah An-Nahl
يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).

Ayat ke-109 dari Surah Al-Isra'
وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا

Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.

Ayat ke-58 dari Surah Maryam
أُولَئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِنْ ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا

Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israel, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.

Ayat ke-18 dari Surah Al-Hajj
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ

Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barang siapa yang dihinakan Allah maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.

Ayat ke-77 dari Surah Al-Hajj[a]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.

Ayat ke-60 dari Surah Al-Furqan
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اسْجُدُوا لِلرَّحْمَنِ قَالُوا وَمَا الرَّحْمَنُ أَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُورًا

Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Sujudlah kamu sekalian kepada Yang Maha Penyayang", mereka menjawab, "Siapakah yang Maha Penyayang itu? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami (bersujud kepada-Nya)?", dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh (dari iman).

Ayat ke-26 dari Surah An-Naml
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

"Allah, tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Dia, Tuhan Yang mempunyai Arsy yang besar."

Ayat ke-15 dari Surah As-Sajdah
إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, adalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat (Kami), mereka menyungkur sujud dan bertasbih serta memuji Tuhannya, sedang mereka tidak menyombongkan diri.

Ayat ke-38 dari Surah Fussilat
فَإِنِ اسْتَكْبَرُوا فَالَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ يُسَبِّحُونَ لَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَهُمْ لَا يَسْأَمُونَ

Jika mereka menyombongkan diri, maka mereka (malaikat) yang di sisi Tuhanmu bertasbih kepada-Nya di malam dan siang hari, sedang mereka tidak jemu-jemu.

Ayat ke-62 dari Surah An-Najm
فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا

Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).

Ayat ke-21 dari Surah Al-Insyiqaq
وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ لَا يَسْجُدُونَ

Dan apabila al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud,

Ayat ke-19 dari Surah Al-'Alaq
كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ

sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan),

Ayat ke-24 dari Surah Sad[b]
وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا

Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.

Kamis, 13 September 2018

Syair di masjid

Bismillah? P. Ustadz bagaimana maksud hadits berikut:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانَ بْنِ ثَابِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِى الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ إِلَيْهِ فَقَالَ قَدْ أَنْشَدْتُ وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِى هُرَيْرَةَ فَقَالَ أَسَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : أَجِبْ عَنِّى اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ. قَالَ اللَّهُمَّ نَعَمْ. رواه أبو دادو والنسائي

Artinya :
“Dari Sa’id bin Musayyab ia berkata : suatu ketika Umar berjalan bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan sya’ir di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab : aku melantunkan sya’ir di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia dari pada kamu, kemudian dia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya, Ya Allah, mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan ruh al-qudus. Abu Hurairah menjawab : Ya Allah, benar (aku telah mendengarnya)”. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).

Diantara kesimpulannya:
1. Masjid tidak layak -meskipun tidak haram- dijadikan tempat untuk bernyanyi
2. Nasyid hukumnya mubah

Apakah yang berbuat bid'ah itu ditolak dan sesat?

Wa'alaikumussalaam warahmatullaah.

Dalam sebuah hadits di sebutkan,

وقال الشيطان اهلكتهم باالذنوب، فأهلكونى بالاشتغفار، فلما رايت ذالك، فأهلكتهم بالاهواء.

“Dan berkata syetan, aku akan mencelakakan manusia dengan mendorong untuk berbuat dosa, tapi manusia pun bisa mencelakan aku dengan beristigfar, ketika aku melihat begitu, maka aku akan mencelakakan manusia dengan peribadahan yang dasarnya hawa nafsu (bid’ah)”.

Jika bid'ah itu berkaitan dgn syari'at atau aqidah, maka jelas dosa dan ancamannya neraka:

وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
”Dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867).

Ibnu Umar berkata :

كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة

“Seluruh bid’ah itu sesat sekalipun manusia memandangnya baik”. (Al Lalika’i 11/50).

Imam Malik, seorang Ulama besar gurunya Imam Syafi’i berkata :

من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمدا ﷺ خان الرسالة

“Siapa yang membuat bid’ah dalam agama, dan memandangnya sebagai sesuatu yang baik, berarti dia telah menuduh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengkhianati risalah”. (Al I’tishom 1/64-65).

Imam Syafi’i berkata :

من استحسن فقد شرع

“Barang siapa yang menganggap baik (bid’ah), maka ia telah membuat syariat”. (Syarh Tanqih Al Fushul: 452).

Imam Syafi’i berkata :

إنما الاستحسان تلذذ

“Sesungguhnya istihsan (menganggap baik) itu hanyalah menuruti hawa nafsu”. (Ar-Risalah: 507)

Selasa, 11 September 2018

Shahihkah Riwayat senandung “Thola’al Badru Alaina” menyambut Rasul hijrah dari Makkah ke madinah?

*Shahihkah Riwayat senandung “Thola’al Badru Alaina” menyambut Rasul hijrah dari Makkah ke mAdinah?*

Al-Baihaqi, Dalailu An-Nubuwwah

(781)- أَخْبَرَنَا أَبُو عَمْرٍو الأَدِيبُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ الإِسْمَاعِيلِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا خَلِيفَةَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ ابْنَ عَائِشَةَ، يَقُولُ: " لَمَّا قَدِمَ عَلَيْهِ السَّلامُ الْمَدِينَةَ جَعَلَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ يَقُلْنَ:
طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا مِنْ ثَنِيَّاتِ الْوَدَاعْ         وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا مَا دَعَا لِلَّهِ دَاعْ

Dari Ibn ‘Aaisyah,Tatkala Rasulullah datang ke Madinah, para wanita dan anak-anak bersenandung:
thala’al badru ‘alaina, min tsaniyatil wada’i (Telah muncul purnama kepada kami, dari daerah Tsaniyatul Wada’)
wajabas syukru ‘alaina, ma da’a lillahi da’in (Wajiblah bagi kita untuk bersyukur, selagi masih ada orang yang berdoa kepada Allah)

Hadits ini dikeluarkan oleh Abul Hasan Al Khal’i dalam Al Fawa’id (2/59), Al Baihaqi dalam Dala’ilun Nubuwwah (2/233) dari Ubaidillah bin Muhammad bin ‘Aisyah.

*Analisis Sanad*

Al-Hafizh Al-Iraqi mengomentari riwayat ini sebagai hadis mu’dhal, sebab perawi Ubaidullah bin Aisyah (salah satu guru Bukhari) meninggal tahun 228 H. Jadi antara ia dan peristiwa kisah ini ada jarak yang panjang. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath, mengatakan, “Abu Sa’id mengeluarkan dalam Syaraful Mushthafa dan kami meriwayatkannya dalam Fawaidul Khal’i dari jalr Ubaidullah bin Aisyah secara munqathi (terputus sanadnya) .
Takhrij Al Ihya (2/244).

*Kritik Matan:*

Kisah ini pun lemah kalau kita tinjau dari sisi matannya yaitu: Bahwa daerah Tsaniyatul Wada’ adalah sebuah daerah yang berada di sebelah utara kota Madinah, sedangkan Makkah berada di sebelah selatan Madinah. dan orang Mekah yang hendak menuju ke Madinah tidak akan pernah melewati daerah Tsaniyatul wada’. Inilah yang diriwayatkan oleh Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma’ad, beliau berkata: “….ini adalah kesalahan yang sangat nyata, karena daerah Tsaniyatul wada’ berada di daerah Syam, daerah ini tidak akan pernah dilihat oleh orang yang datang dari mekah ke madinah, dan tidak akan dilewati kecuali oleh orang yang berangkat dari Madinah menuju syam.” (lihat Zadul Ma’ad, Ibnu Qoyyim al Jauziah, 3/10)

*Kesimpulan*

Hadits yang mengatakan tentang adanya sambutan orang-orang Madinah saat rasul Hijrah ke Madinah dengan senandung dan rebana "Thala'al badru 'alaina" derajatnya sangat Dhaif, karena terputus 3 rawi.

Amalan keliru memperingati tahun baru hijriah

Amalan Keliru dalam Menyambut Awal Tahun Hijriyah

Amalan Pertama: Do’a awal dan akhir tahun

Amalan seperti ini sebenarnya tidak ada tuntunannya sama sekali. Amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama besar lainnya. Amalan ini juga tidak kita temui pada kitab-kitab hadits atau musnad. Bahkan amalan do’a ini hanyalah karangan para ahli ibadah yang tidak mengerti hadits.

Yang lebih parah lagi, fadhilah atau keutamaan do’a ini sebenarnya tidak berasal dari wahyu sama sekali, bahkan yang membuat-buat hadits tersebut telah berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya.
Jadi mana mungkin amalan seperti ini diamalkan.[11]

Amalan kedua: Puasa awal dan akhir tahun

Sebagian orang ada yang mengkhsuskan puasa dalam di akhir bulan Dzulhijah dan awal tahun Hijriyah. Inilah puasa yang dikenal dengan puasa awal dan akhir tahun. Dalil yang digunakan adalah berikut ini.

مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الحِجَّةِ ، وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ المُحَرَّمِ فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ المَاضِيَةَ بِصَوْمٍ ، وَافْتَتَحَ السَّنَةُ المُسْتَقْبِلَةُ بِصَوْمٍ ، جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَارَةٌ خَمْسِيْنَ سَنَةً

“Barang siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah ta’ala menjadikan kaffarot/tertutup dosanya selama 50 tahun.”

Lalu bagaimana penilaian ulama pakar hadits mengenai riwayat di atas:

Adz Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (181)  mengatakan bahwa Al Juwaibari dan gurunya –Wahb bin Wahb- yang meriwayatkan hadits ini termasuk pemalsu hadits.
Asy Syaukani dalam Al Fawa-id Al Majmu’ah (96) mengatan bahwa ada dua perowi yang pendusta yang meriwayatkan hadits ini.
Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (2/566) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan Wahb yang meriwayatkan hadits ini adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits.[12]
Kesimpulannya hadits yang menceritakan keutamaan puasa awal dan akhir tahun adalah hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan dalil dalam amalan. Sehingga tidak perlu mengkhususkan puasa pada awal dan akhir tahun karena haditsnya jelas-jelas lemah.

Amalan Ketiga: Memeriahkan Tahun Baru Hijriyah

Merayakan tahun baru hijriyah dengan pesta kembang api, mengkhususkan dzikir jama’i, mengkhususkan shalat tasbih, mengkhususkan pengajian tertentu dalam rangka memperingati tahun baru hijriyah, menyalakan lilin, atau  membuat pesta makan, jelas adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya. Karena penyambutan tahun hijriyah semacam ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, para sahabat lainnya, para tabi’in dan para ulama sesudahnya. Yang memeriahkan tahun baru hijriyah sebenarnya hanya ingin menandingi tahun baru masehi yang dirayakan oleh Nashrani. Padahal perbuatan semacam ini jelas-jelas telah menyerupai mereka (orang kafir). Secara gamblang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari mereka”

Hukum memperingati tahun baru hijriah

Hukum Memperingati Tahun Baru Hijriah

Orang yang beriman tidak akan terkesan dan terpengaruh oleh sesuatu yang mereka lihat dari musuh-musuh Allah. Sebab ia yakin di dalam kepribadian Islam terdapat kebaikan serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, ia akan bersikap hati-hati terhadap berbagai cara dan pola hidup yang tidak jelas dalilnya. Sikap kehati-hatian itu diwujudkan dengan mempertanyakan berbagai macam acara dan upacara yang dikenal di dalam Islam, meskipun dikemas dengan nama dan istilah arabi bahkan islami, seperti tahun baru hijriah atau tahun baru Islam.

Sejarah Penetapan Tahun Hijriah

Tatkala Ya’la bin Umayah menjadi gubernur di Yaman pada zaman khalifah Abu Bakar, ia pernah melontarkan gagasan tentang perlunya kalender Islam yang akan dipakai sebagai patokan penanggalan. Pada waktu itu, catatan yang dipergunakan kaum muslim belum seragam. Ada yang memakai tahun gajah (‘amul fil), terhitung sejak raja Abrahah dari Yaman menyerang Kabah (yang secara kebetulan adalah tanggal kelahiran Nabi saw.), ada yang mendasarkan pada peristiwa-peristiwa yang menonjol dan berarti yang terjadi di zaman mereka. Misalnya, tahun pertama hijrah Nabi dinamakan tahun al-Izn, karena izin hijrah diberikan  pada tahun itu. Tahun kedua disebut tahun Amr, karena pada tahun itu Allah swt. telah memberikan perintah kepada kaum muslim untuk bertempur untuk melawan kaum musyrik Mekah.

Akan tetapi, realisasi tentang penetapan penanggalan yang dipakai oleh umat Islam barulah terjadi di zaman Khalifah Umar. Menurut keterangan al-Biruni, khalifah menerima sepucuk surat dari Abu Musa al-Asy’ari yang menjadi gubernur di Bashrah (Irak), isinya menyatakan, “Kami telah banyak menerima surat dari Amirul Mu’minin, dan kami tidak tahu mana yang harus dilaksanakan. Kami sudah membaca satu perbuatan yang bertanggal sya’ban, namun kami tidak tahu sya’ban mana yang maksud. Sya’ban sekarang atau sya’ban mendatang di tahun depan?”

Surat Abu Musa rupanya dirasakan oleh Khalifah Umar sebagai sindiran halus tentang perlunya ditetapkan satu penanggalan (kalender) yang seragam, yang dipergunakan sebagai tanggal, baik dikalangan pemerintahan maupun untuk keperluan umum.

Untuk menetapkan momentum apa yang sebaiknya dipergunakan dalam menentukan permulaan tahun Islam itu, Khalifah mengadakan musyawarah dengan semua ulama dan para tokoh muslim. Dalam pertemuan itu ada empat usul yang dikemukakan, yaitu:

1.   Dihitung dari kelahiran Nabi Muhammad saw.;

2.   Dihitung dari wafat Rasulullah saw.;

3.   Dihitung dari hari Rasulullah menerima wahyu pertama di gua Hira yang merupakan awal tugas risalah kenabian;

4.   Dihitung mulai dari tanggal dan bulan Rasulullah melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah (usul yang yang terakhir ini diajukan oleh Ali bin Abu Thalib).

Tetapi baik kelahiran Nabi, maupun permulaan risalah kenabian tidak diambil sebagai awal penanggalan Islam, karena tanggal-tanggal tersebut menimbulkan kontroversi mengenai waktu yang pasti dari kejadian-kejadian itu. Hari wafat Nabi juga tidak berhasil dijadikan tanggal permulaan kalender, karena dipertautkan dengan kenang-kenangan menyedihkan pada hari wafatnya. Besar kemungkinan nanti akan menimbulkan perasaan-perasaan sedih dan sendu dalam kalbu kaum muslim. Akhirnya, disetujuilah agar penanggalan Islam ditetapkan berdasarkan hijrah Rasul dari Mekah ke Madinah.

Kapankah tepatnya beliau hijrah ke Madinah? Beragam informasi dijumpai pada kitab-kitab tarikh tentang peristiwa itu. Imam at-Thabari dan Ibnu Ishaq menyatakan,“Sebelum sampai di Madinah (waktu itu bernama Yatsrib), Rasulullah saw. singgah di Quba pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 13 kenabian/24 September 622 M. waktu Dhuha (sekitar jam 8.00 atau 9.00). Di tempat ini, beliau tinggal di keluarga Amr bin Auf selama empat hari (hingga hari Kamis 15 Rabi’ul Awwal/27 September 622 M. dan membangun mesjid pertama (yang disebut mesjid Quba). Pada hari Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M, beliau berangkat menuju Madinah. Di tengah perjalanan, ketika beliau berada di Bathni Wadin (lembah di sekitar Madinah) milik keluarga Banu Salim bin ‘Auf, datang kewajiban Jumat (dengan turunnya ayat 9 surat al-Jum’ah). Maka Nabi salat Jumat bersama mereka dan khutbah di tempat itu. Inilah salat Jumat yang pertama di dalam sejarah Islam. Setelah melaksanakan salat Jumat, Nabi melanjutkan perjalanan menuju Madinah”. (Lihat,Tarikh at-Thabari, I:571; Sirah Ibnu Hisyam, juz III, hal. 22; Tafsir al-Qurthubi, juz XVIII, hal. 98).

Keterangan di atas menunjukkan bahwa Nabi tiba di Madinah pada hari Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M. Sedangkan ahli tarikh lainnya berpendapat hari Senin 12 Rabi’ul Awwal/5 Oktober 621 M, namun ada pula yang menyatakan hari Jumat 12 Rabi’ul Awwal/24 Maret 622 M.

Terlepas dari perbedaan tanggal dan tahun, baik hijriah maupun masehi, namun para ahli tarikh semuanya bersepakat bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan Muharram (awal Muharram ketika itu jatuh pada tanggal 15 Juli 622 M).

Ketika para sahabat sepakat menjadikan hijrah Nabi sebagai permulaan kalender Islam, timbul persoalan lain di kalangan mereka tentang permulaan bulan pada kalender itu. Ada yang mngusulkan Rabi’ul Awwal (sebagai bulan hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah). Namun ada pula yang mengusulkan bulan Muharram. Namun akhirnya Umar memutuskan bahwa tahun 1 Islam/Hijriah di awali dengan 1 Muharram bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 M. Dengan demikian, antara permulaan hijrah Nabi dan permulaan kalender Islam sesungguhnya terdapat jarak sekitar 82 hari.

Peristiwa penetapan kalender Islam oleh Umar ini terjadi pada hari Rabu, dua puluh hari sebelum berakhirnya Jumadil Akhir, tahun ke-17 sesudah hijrah atau pada tahun ke-4 dari kekhalifahan Umar bin Khatab.(Lihat, tulisan Dr. Thomas Djamaluddin tentang “Kalender Hijriah” dalam buku Almanak Alam Islami, hal. 183-184, dan Makalah tentang “Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriah”)

Asal Muasal Peringatan Tahun Hijriah

Peringatan tahun baru Islam tiap 1 Muharam baru dimulai sejak tahun 1970-an yang berasal dari ide pertemuan cendekiawan muslim di Amerika Serikat. Waktu itu terjadi fenomena maraknya dakwah, masjid-masjid dipenuhi jemaah, dan munculnya jilbab hingga kemudian dikatakan sebagai kebangkitan Islam, Islamic Revival. (Lihat, Pikiran Rakyat Online)

Dari kedua latar belakang sejarah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

1.   Penetapan bulan Muharram oleh Umar bin Khatab sebagai permulaan tahun hijriah tidak didasarkan atas pengagungan dan peringatan peristiwa hijrah Nabi. Buktinya beliau tidak menetapkan bulan Rabi’ul Awwal (bulan hijrahnya Rasul ke Madinah) sebagai permulaan bulan pada kalender Hijriah. Lebih jauh dari itu, beliau pun tidak pernah mengadakan peringatan tahun baru hijriah, baik tiap bulan Muharram maupun Rabi’ul Awwal, selama kekhalifahannya.

2.   Peringatan tahun baru hijriah pada bulan Muharram dengan alasan memperingati hijrah Nabi ke Madinah merupakan kesalahkaprahan, karena Nabi hijrah pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan Muharram.

3.   Menyelenggarakan berbagai bentuk acara dan upacara untuk menyambut tahun baru Hijriah adalah bid’ah dhalalah (sesat dan menyesatkan).

Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar

Mengingat kematian

MENGINGAT KEMATIAN :

فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ

“Maka apabila telah tiba ajal mereka (waktu yang telah ditentukan), tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula mereka dapat mendahulukannya.” (An-Nahl: 61)

أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا، أُولَئِكَ أَكْيَاسٌ

“Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.” (HR. Ibnu Majah)

mengingat akan agenda kematian kita... tidak akan berpengatuh apapun bagi kita jika kita tidak beriman kepada hari akhirat..

....... وَبِٱلْـَٔاخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ

...... serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat..... (al baqarah : 4)

karena itu... yakini bahwa surga dan neraka itu ada...  dan berdoalah :

..... يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ ۖ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا

....."Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal". (al furqan : 65)

semoga kita yakini keberadaan akhirat.. sehingga saat kita mengingat kematian .. kita akan mewapadainya...

lakukan yang paaling baik dan benar.. supaya kita layak mendapatkan ridlo Allah...

Khutbah jumat munafiqun 10

isi khuthbah jumat :

al munafiqun : 10

وَأَنفِقُوا۟ مِن مَّا رَزَقْنَٰكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِىَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَآ أَخَّرْتَنِىٓ إِلَىٰٓ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ ٱلصَّٰلِحِينَ

Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?"

jangan sempitkan jiwa kita oleh kumpulan harta.. (ini penjajahan yang sesungguhnya)

tapi penuhi oleh tauhidullah (iman kpd Allah) dan ilmu... (ini kemerdekaan yang haqiqi)

maka kita akan dapatkan hati yang luas...

semoga shodaqoh kita hari ini .. lebih melapangkan hati kita

Renungan Tahun baru hijriah

*Renungan malam ke-2*
Tahun baru hijriyyah.

- Penanggalan Hijriah itu bermula dari usulan dari Sahabat Abu Musa Al-asy'ati

- Itu terjadi 17 tahun pasca Hijrahnya Rasulullah dari Makkah Ke Madinah

- Tahun Hijrahnya Rasulullah awalnya dikenal dengan Tahun Idznus Safar ( Diizinkannya safar oleh Allah)

- Hari Hijrahnya Rasulullah itu 8 Rabi'ul Awwal yaitu 66 setelah 1 Muharram ( ada perbedaan penetapan tanggal )

- Usulan menjadikan Tahun Hijrah Rasulullah sebagai awal Tahun Hijriah itu usulan Sahabat Ali bin Abi Thalib.

- Usulan menjadikan Muharram sebagai Awal Bulan Hijriah itu usulan Sahabat Utsman bin 'Affan

- Jadi penetapan Tahun Hijriah itu terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Al-khaththab yaitu pada 19 April 622 M ( Ada perbedaan penetapan )

Adapun menjadikan awal hijriah sebagai Awal Hijrah Rasulullah itu keliru.
Kecuali dianggap hanya tahunnya saja yg bertepatan.

Menjadikan hari ini sebagai hari spesial bukan bagian Sunnah Sahabat apalagi Sunnah Nabi !

Menjadikan hari ini mempunyai amalan khusus juga tidak didapati dari para Sahabat yg memprakarsai penamaan ini.

Mari berpikir kritis

Berdoa ketika sakit oleh diri sendiri

Wa'alaikumussalaam warahmatullah..

Ah ieumah seueur dina buku 99 obat dengan al-quran.
Sadayana lepat, terasa d paksa2kan.

*Yg shahih ini:* 👇

بِسْمِ اللَّهِ، (3 مرات)
أَعُوذُ بِاللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرّ ما أجِدُ وأُحَاذِرُ،  (7 مرات)

BISMILLAH... (3 kali)
A-‘UUDZU BILLAAHI WA QUDRATIHII MIN SYARRI MAA AJIDU WA UHAA-DZIRU (7 kali)

Bismillah.., aku berlindung kepada Allah dan dengan kekuasaannya, dari keburukan yang aku jumpai dan aku khawatirkan.

*Keterangan :*
a. Doa ini dibaca ketika ada salah satu bagian tubuh kita yang sakit
b. Caranya: letakkan tangan kita di bagian tubuh yang sakit, pijat pelan-pelan, sambil membaca doa di atas. Bismillah 3 kali, kemudian dilanjuti A-udzu... dst (7 kali).

Hadis selengkapnya:

عن عثمان بن أبي العاص رضي الله عنه، أنه شكا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وجعاً يجده في جسده، فقال له رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: " ضَعْ يَدَكَ على الَّذِي تألم مِنْ جَسَدِكَ، وَقُلْ: بِسْمِ اللَّهِ ثَلاثاً، وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أعُوذُ بِاللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرّ ما أجِدُ وأُحاذِرُ "
Dari Utsman bin Abil ‘Ash radhiyallahu 'anhu, bahwa beliau mengadu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena rasa sakit yang ada di badannya. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberi nasihat kepadanya:
“Letakkan tanganmu di bagian tubuh yang sakit, dan ucapkanlah, Bismillah...(3 kali),  dan A-uudzu...dst”. (HR. Muslim, Abu Daud, Malik, dll)

Amalan bulan muharam

Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

أفضل الصيام بعد شهر رمضان شهر الله الذي تدعونه المحرم، وأفضل الصلاة بعد الفريضة قيام الليل . رواه مسلم في صحيحه

“Puasa yang paling utama setelah puasa bulan ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yang kalian sebut bulan muharam, dan sholat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.“ (HR.Muslim)

Shaum yg d maksud adalah shaum 9-10 muharram

*1. Shaum Asyura*
Rasulullah mengatakan bahwa dengan puasa Asyura di bulan Muharram, Ia berharap Allah menghapus doa setahun yang lalu.

…وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ.
“… Dan puasa di hari ‘Asyura’ saya berharap kepada Allah agar dapat menghapuskan (dosa) setahun yang lalu.” (HR Muslim no. 1162/2746).

*2. Puasa Tasu'a*

وعن ابن عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُما قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: ((لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع)) رَوَاهُ مُسلِمٌ.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dia berkata : ” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada (hari) kesembilan” (HR Muslim)

*3. Shodaqoh pada pakir miskin atau sabilillah untuk majunya dan menyebarnya dakwah*

Selain dua puasa tersebut, umat Muslim dapat memperbanyak amalan sunnah lain di bulan Muharram.
Pada bulan Muharram, umat Muslim juga dianjurkan untuk memperbanyak sedekah dlm rangka jihad bil maal (jihad dgn harta)

Sunnahnya shaum 9-10 muharam

Sunnahnya 9-10 muharram.

Ibnu Abbas ra berkata bahwa ketika Nabi saw melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang bertanya,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.

“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan,

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

“Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)– kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,

فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.

“Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134).

Namun, apabila shaum tgl 10 nya saja, itupun boleh, hanya kurang afdhal dr yg puasa dr tgl 9.

Anak menghajikan atau umroh orang tua yang sudah meninggal

Tidak boleh.

Anak cukup haji dan umroh dgn niat untuk dirinya sndiri, dgn begitu org tuanya tetap aka dapat pahala krna amal jariyyah org tua pd anaknya:

ولد صالح

Amalan surat al kahfi

Hadits2 tentang surah al-kahfi sudah pernah di bahas.

1. Baca al-kahfi setiap malam jum'at haditsnya dhaif

2. Baca al-kahfi /menghafal 10 ayat surah al-kahfi (teu aya batasan waktos) haditsnya shahih.

Hadits yg d tanyakan d atas ada dalam Muslim. Haditsnya shahih

Senin, 10 September 2018

Amalan bulan muharam

Sebagaimana telah kita maklumi bahwa pada bulan Muharram kaum muslimin disyariatkan melaksanakan shaum pada tanggal 9-10 yang dikenal dengan sebutan saum Tasu’a-‘Asyura. Meski begitu, proses penetapan keduanya tidaklah bersamaan, karena semula hanya satu hari tanggal 10 Muharram yang disebut ‘Asyura. Namun pada masa akhir kenabian, untuk membedai kebiasaan Jahiliyah, Yahudi atau Nasrani, Rasulullah saw. memerintahkan agar umat Islam melakukan shaum sehari sebelumnya, 9 Muharam yang disebut Tasu’a. Proses penetapan demikian itu hanya sekadar fakta syar’I, bukan dalil syar’I, sehingga yang menjadi acuan bagi umat Islam bukan terletak pada proses penetapannya melainkan pada ketetapan akhir dari Nabi sebagai dalil syar’i. Nabi saw. bersabda:

فَإِذَا كَانَ عَامُ الْمُقْبِلِ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا اليَوْمَ التَّاسِعَ

“Nanti tahun depan (12 H) insya Allah kita akan melaksanakan shaum tanggal sembilannya.”HR. Muslim dan Abu Dawud. [1]

Di dalam riwayat lain, dengan redaksi :

لَئِنْ بَقَيْتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ يَعْنِي يَوْمَ عَاشُورَاءَ

”Jika aku masih hidup sampai tahun depan (12 H), niscaya aku akan shaum tanggal sembilannya, yaitu hari Asyura.” HR. Ahmad dan Muslim. [2]

Rasululah saw. sendiri tidak berkesempatan melaksanakan shaum tanggal sembilan Muharam di tahun 12 H. itu, karena beliau wafat bulan Rabi’ul Awwal tahun 11 H. Namun, rencana beliau untuk melaksanakannya membuktikan bahwa shaum di tanggal 9 Muharram itu telah disyariatkan.

Shaum ini, selain memiliki keutamaan, juga “berkhasiat” dapat menghapus dosa-dosa kecil satu tahun yang telah berlalu, sebagaimana dinyatakan Nabi saw.:

صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبِلَةً ، وَصَوْمُ عَاشُوراَءَ يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً

“Shaum hari Arafah itu akan mengkifarati (menghapus dosa) dua tahun, yaitu setahun yang telah lalu dan setahun kemudian. Sedangkan shaum Asyura akan mengkifarati setahun yang lalu.” HR.Al-Jama’ah kecuali al-Bukhari dan at-Tirmidzi.[3]

Walaupun keterangan di atas begitu terang benderang menunjukkan syariat shaum Muharram 2 hari (9-10), namun dalam praktinya terdapat sebagian di antara saudara kita yang masih ragu akan “jumlah shaum” di bulan Muharram ini, sehubungan dengan banyaknya informasi fatwa dan tulisan, yang bertebaran di MedSos, bahwa shaum Muharram itu bukan hanya 2 hari, bahkan bisa saja dilakukan sejak 1 Muharram.

Setelah meluncur ke “TKP Dumay (Dunia Maya)”, dapat saya informasikan kembali bahwa fatwa dan tulisan tentang itu secara umum mengacu kepada dua sumber: Pertama, dalil juz’i (parsial) yang menunjuk secara langsung hari dan tanggal lain, di luar 9-10 Muharram. Kedua, dalil juz’i yang menjelaskan keutamaan shaum bulan Muharram tanpa menunjuk secara langsung hari dan tanggalnya.

Dalil Juz’I: Shaum 1 Muharram

Ditemukan hadis yang menunjukkan bahwa shaum di bulan Muharaam disyariatkan pula pada 1 Muharram, namun hadis itu dhaif bahkan palsu, dengan penjelasan sebagai berikut:

مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ وَأَوَّلَ يَوْمٍ مِنَ الْمُحَرَّمِ فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ بِصَوْمٍ وَافْتَتَحَ السَّنَةَ الْمُسْتَقْبِلَةَ بِصَوْمٍ فَقَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَّارَةَ خَمْسِينَ سَنَةً.

“Siapa yang shaum pada hari terakhir bulan Dzulhijah dan hari pertama bulan Muharam, maka ia telah menutup tahun lalu dengan shaum dan membuka tahun yang datang dengan shaum. Sungguh Allah telah menjadikan kifarat dosa selama lima puluh tahun baginya.” [4]

Imam asy-Syaukani mengutip pula riwayat itu dengan sedikit perbedaan redaksi pada akhir hadis, sebagai berikut:

فَقَدْ جَعَلَهُ اللهُ كَفَّارَةَ خَمْسِينَ سَنَةً

“Sungguh Allah telah menjadikannya kifarat dosa selama 50 tahun.” [5]

Menurut para pengutip hadis di atas, hadis ini dinilai daif, bahkan palsu (maudhu’). Sumber kepalsuannya berporos pada dua rawi pendusta, yaitu Ahmad bin Abdullah al-Harawi dan Wahb bin Wahb. Kata Imam as-Suyuthi, “keduanya pendusta.” [6] Kata Imam Ibn al-Jauzi, “Keduanya pendusta dan pemalsu hadis.” [7]

Kesimpulannya, hadis yang menjelaskan shaum akhir Dzulhijjah (akhir tahun) dan 1 Muharram (awal tahun) merupakan hadis palsu, sehingga tidak dapat dijadikan dalil pengamalan shaum di luar 9-10 Muharram.

Dalil Juz’I: Shaum 9-11 Muharram (3 hari) atau 10-11 (2 hari)

Ditemukan hadis yang menunjukkan bahwa shaum di bulan Muharaam disyariatkan pula pada 11 Muharram sehingga berjumlah 3 hari. Hadis yang dimaksud sebagai berikut:

صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً

“Shaumlah pada hari ‘Asyura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi pada hari itu, shaumlah sehari sebelumnya (9 Muharram) atau sehari sesudahnya (11 Muharram).” HR. Ahmad, Al-Baihaqi, dan Ibnu Khuzaimah. [8]

Imam Al-Baihaqi meriwayatkan pula redaksi:

صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا وَبَعْدَهُ يَوْمًا

“Shaumlah sehari sebelumnya (9 Muharram) dan sehari sesudahnya (11 Muharram).”[9]

Meski diriwayatkan oleh tiga pencatat hadis (mukharrij), namun secara kuantitaif semua jalurnya melalui para periwayat yang sama: Ibnu Abi Laila, dari Dawud bin Ali, dari Ali, dari Ibnu Abbas. Dengan demikian hadis ini bersanad tunggal (Gharib Muthlaq). Sementara secara kualitatif hadis ini lemah (dha’if), karena poros jalur periwayatan itu, yang bernama Ibnu Abu Laila, berkualitas buruk hapalan. Kata Syekh al-Mubarakafuri:

وهو محمد بن عبد الرحمن بن أبي ليلى الأنصاري الكوفي القاضي أبو عبد الرحمن صدوق سئ الحفظ جدا قاله الحافظ في التقريب

“Dia Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Laila al-Anshari al-Kufi al-Qadhi, Abu Abdurrahman, jujur (shaduq) namun sangat buruk hapalan (Sayyi al-hifzh jiddan) sebagaimana dinyatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Taqrib at-Tahdzib.” [10]

Sehubungan dengan itu, Syekh Abdurrauf al-Munawi berkata:

رمز المصنف لصحته وهو غفول عن قول الحافظ الهيثمي وغيره : فيه محمد بن أبي ليلى وفيه كلام كثير اه وفيه أيضا داود بن علي الهاشمي قال في الميزان : ليس بحجة

“Penyusun kitab (as-Suyuthi) telah memberi kode untuk menunjuk kesahihan hadis itu, dan beliau lupa akan penjelasan al-Haitsami dan lainnya bahwa pada hadis itu terdapat rawi Muhammad bin Abu Laila, dia telah banyak diperbincangkan, begitu pula terdapat rawi Dawud bin Ali al-Hasyimi, dia (adz-Dzahabi) berkata dalam kitab Mizan al-I’tidal: ‘Dia tidak dapat digunakan sebagai hujjah’.”[11]

Oleh karena itu, Syekh al-Albani menyatakan hadis ini lemah (dha’if). [12]Begitu pula sikap Syekh Abdullah bin Shalih al-Fauzan, ia berkata:

وقد صح عن ابن عباس موقوفاً: (صوموا التاسع والعاشر خالفوا اليهود) وهذا هو المحفوظ عن ابن عباس، أما ما ورد عنه مرفوعاً بلفظ: (صوموا قبله يوماً أو بعده يوماً) فهذا حديث ضعيف وكذا ما جاء بلفظ: (صوموا قبله يوماً وبعده يوماً)

“Sungguh telah shahih perkataan Ibnu Abas (hadis mauquf: ‘Shaumlah kalian pada hari kesembilan dan kesepuluh dan berbedalah kalian dengan orang-orang Yahudi.’ Redaksi inilah yang terpelihara dari Ibnu Abbas. Adapun sabda Nabi (hadis marfi’) yang bersumber dari Ibnu Abbas dengan redaksi: ‘shaumlah sehari sebelumnya (9 Muharram) atau sehari sesudahnya (11 Muharram),’ maka ini hadis dha’if begitu pula yang diriwayatkan dengan redaksi: ‘Shaumlah sehari sebelumnya (9 Muharram) dan sehari sesudahnya (11 Muharram)’.”[13]

Kesimpulannya, hadis yang menjelaskan shaum 3 hari (9-11 Muharram) atau 2 hari (10-11 Muharram) merupakan hadis dhaif, sehingga tidak dapat dijadikan dalil pengamalan shaum di luar 9-10 Muharram.

Dalil Juz’I: keutamaan shaum bulan Muharram

Selain merujuk kepada dua dalil juz’i (parsial) yang menunjuk secara langsung hari dan tanggal lain, di luar 9-10 Muharram, sebagaimana tersebut di atas, sebagian orang berdalil dengan dalil juz’i yang menjelaskan keutamaan shaum bulan Muharram tanpa menunjuk secara langsung hari dan tanggalnya. Adapun hadis yang dimaksud sebagai berikut:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ : أَفْضَلُ الصِّياَمُ بَعْدَ رَمَضَانِ شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ

Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., beliau bersabda, “Shaum yang paling utama setelah (shaum) Ramadhan adalah bulan Allah Muharam.” HR. Muslim, Ahmad, Abd bin Humaid. [14]

Menurut sementara pihak, hadis di atas menunjukkan disunnahkannya shaum selama sebulan penuh di bulan Muharram atau sebagian besar bulan Muharram.

Hemat kami, penggunaan hadis di atas sebagai dalil shaum Muharram secara bebas pada tanggal berapapun atau selama sebulan penuh, diniali kurang tepat dengan pertimbangan sebagai berikut:

Pertama, hadis itu sedang membicarakan keutamaan shaum bulan Muharram dengan bulan-bulan hijriah lainnya, bukan membicarakan jumlah hari bershaum (miqdar syar’i). Menisbatkan bulan Muharam kepada Allah tiada lain sebagai bentuk pengagungan bulan tersebut. Sebab pada hakikatnya, semua bulan-bulan dan hari-hari itu seluruhnya milik Allah Swt. [15]

Kedua, jumlah hari bershaum (miqdar syar’i) selain telah disabdakan oleh Nabi (bayaan bil qawl), juga telah beliau amalkan (bayaan bil fi’li), yaitu 9-10 Muharram.

Sabda dan pengamalan Nabi inilah yang selayaknya dijadikan petunjuk pelaksanaan (juklak) shaum di bulan Muharram.

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

 

[1] Lihat, HR. Muslim, Shahih Muslim, II:797, No. 1134; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:327, No. 2445.

[2] Lihat, HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:224, No. 344; Muslim, Shahih Muslim, II:798, No. 1135.

[3] Lihat, Fath al-Ghaffar al-Jami’ li Ahkam Sunnati Nabiyyinaa al-Mukhtar, IX:43

[4] Lihat, al-La’aali al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah, karya As-Suyuthi, II:92; al-Maudhu’at, karya Ibnul Jauzi, II:199; Tadzkirrah al-Maudhu’at, karya Abu al-Fadhl al-Maqdisi, hlm. 118; Tanzih as-Syari’ah, karya Al-Kinani, II:176

[5] Lihat, al-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah, hal. 96, No. 31

[6] Lihat, al-La’aali al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah, karya As-Suyuthi, II:92.

[7] Lihat, al-Maudhu’at, II:199.

[8] Lihat, HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:241, No. hadis 2154, Fadha’il ash-Shahabah, II:986, No. 1951, Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IV:287, No. 8189, Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, III:290, No. 2095.

[9] Lihat, as-Sunan al-Kubra, IV:287, No. 8189.

[10] Lihat, Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Sunan at-Tirmidzi, II:65.

[11] Lihat, Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ ash-Shagir, IV:215.

[12] Lihat, Dha’if al-Jaami’ash-Shagir, hlm. 286, No. 3506.

[13] Lihat, Minhah al-‘Allam Syarh Bulugh al-Maram, I:62

[14] Lihat, HR. Muslim, Shahih Muslim, II:821, No. 1163, Ahmad, Musnad Ahmad, II:344, No. 8515, Abd bin Humaid, al-Musnad, I:416, No. 1423.

[15] Lihat, Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Sunan at-Tirmidzi, III:368