HUKUM KREDIT BARANG MELALUI LEASING
Pertanyaan: Bagaimana hukum membeli barang secara kredit dari perusahaan leasing?
Jawaban:
I. Perkreditan Melalui Pihak Kedua
Kredit barang yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang (Pihak II) dengan pembeli merupakan transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam syariat, meskipun harga beli kredit lebih tinggi dibandingkan harga harga beli tunai. Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa dalil berikut:
Pertama, firman Allah,
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)
Akad kredit termasuk salah satu bentuk jual beli utang. Dengan demikian, keumuman ayat ini menjadi dasar bolehnya akad kredit.
Kedua, Hadis dari Aisyah, ia berkata:
اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
"Rasulullah saw. membeli makanan dari orang Yahudi secara angsuran dan menjaminnya dengan menggadaikan baju besi Beliau". HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II: 739, No. 1990
Pada hadis ini, Nabi saw. membeli bahan makanan dengan cara kredit, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan baju besinya.
Ketiga, Hadis Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash Ra.
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَمَرَهُ أَنْ يُجَهِّزَ جَيْشًا قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرٍو وَلَيْسَ عِنْدَنَا ظَهْرٌ قَالَ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَبْتَاعَ ظَهْرًا إِلَى خُرُوجِ الْمُصَدِّقِ فَابْتَاعَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرٍو الْبَعِيرَ بِالْبَعِيرَيْنِ وَبِالأَبْعِرَةِ إِلَى خُرُوجِ الْمُصَدِّقِ بِأَمْرِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم
“Bahwa Rasulullah saw. memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan.” Abdullah bin Amr berkata, “Sedangkan kita tidak memiliki tunggangan.” Ia berkata, “Maka Nabi memerintahkannya untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amr pun seperintah Rasulullah saw. membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor dan beberapa ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat.” HR. Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, III: 69, No. 261, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, V:288, No. 10.309.
Kedua hadis itu menjadi dalil dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.
II. Perkreditan Melalui Pihak Ketiga (Leasing)
Istilah leasing berasal dari kata lease yang berarti sewa-menyewa. Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, leasing diistilahkan “sewa guna usaha”.
Leasing terdapat dua kategori yaitu:
1. Operating Lease yaitu suatu proses menyewa suatu barang hanya untuk mendapatkan manfaat barang yang disewanya, sedangkan barangnya itu sendiri tetap merupakan milik bagi pihak pemberi sewa. Sewa jenis operating lease sama dengan konsep ijarah di dalam syariah islam.
2. Financial Lease yaitu suatu bentuk sewa dimana kepemilikan barang tersebut berpindah dari pihak pemberi sewa kepada penyewa. Jika dimana akhir sewa pihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut tetap menjadi milik pemberi sewa atau perusahaan leasing. Akadnya dianggap sebagai akad sewa. Sedangkan jika pada masa akhir sewa pihak penyewa dapat melunasi angsurannya maka barang tersebut menjadi milik penyewa. Intinya dalam financial lease tersebut terdapat dua proses akad sewa dan akad beli. Dimana selain membayar sewa yang ditetapkan, pada akhirnya masa kontrak pembiayaan, lesse akan membeli barang-barang modal tersebut berdasarkan nilai sisa yang disepakati Bersama.
Leasing dengan hak opsi (finance lease) banyak dilakukan dalam kredit motor, mobil, barang elektronik, furnitur, dan lain-lain yang diberikan oleh berbagai bank atau lembaga pembiayaan.
Adapun para pihak yang terlibat dalam transaksi leasing terdiri atas:
1. Lessor
Adalah perusahaan leasing yang membiayai keinginan nasabahnya untuk memperoleh barang-barang modal. Pihak perusahaan yang menyewakan barang sebagai pemberi sewa, lessor tidak diharuskan memiliki barang yang disewakan.
2. Lesse
Merupakan nasabah yang mengajukan permohonan leasing kepada lessor untuk memperoleh barang modal yang diinginkan. Pihak pengguna barang yang diwajibkan membayar sewa disertai dengan hak opsi untuk membeli atau memperpanjang leasing.
3. Supplier
Pedagang yang menyediakan barang yang akan dileasing sesuai perjanjian antara lessor dengan lesse dan dalam hal ini suplier juga dapat bertindak sebagai lessor. Supplier ini dapat terdiri dari perusahaan manufaktur yang berada di dalam dan luar negeri.
4. Bank dan Kreditur
Dalam suatu perjanjian atau kontrak leasing, pihak bank atau kreditur lain tidak terlibat secara langsung dalam kontrak tersebut, namun pihak bank memegang peranan dalam hal penyediaan dana kepada lessor.
Praktik yang biasa terjadi (1)
Misal leasing motor: seseorang misal fulan datang ke lembaga pembiayaan dan ingin membeli motor secara kredit karena tak punya uang tunai. Lembaga pembiayaan membeli motor dari suplier/dealer motor, lalu dilakukan akad leasing antara lembaga pembiayaan dengan Fulan misalnya dalam jangka waktu tiga tahun.
Dalam akad leasing itu terdapat fakta transaksi sebagai berikut:
Pertama, lessor (lembaga pembiayaan) sepakat setelah motor itu dia beli dari dealer/suplier, dia sewakan kepada lessee selama jangka waktu tiga tahun.
Kedua, lessor sepakat setelah seluruh angsuran lunas dibayar dalam jangka waktu tiga tahun, lessee (Fulan) langsung memiliki motor tersebut.
Ketiga, menurut fakta leasing yang ada, selama angsuran belum lunas dalam jangka tiga tahun itu motor tetap milik lessor.
Keempat, motor itu dijadikan jaminan secara fidusia untuk leasing tersebut. Karena itu BPKB motor itu tetap berada di tangan lessor hingga seluruh angsuran lunas. Konsekuensinya jika lessee (Fulan) tidak sanggup membayar angsuran sampai lunas, motor akan ditarik oleh lessor dan dijual.
Fidusia adalah pendelegasian wewenang pengolahan uang dari pemilik uang kepada pihak yang didelegasi (Lihat, KBBI)
Kelima, barang yang dijual belum selesai diserahterimakan. Maksudnya, ketika pihak lessor membeli motor dari dealer, barang itu belum diserahkan/berpindah tempat dari dealer ke lessor, tetapi langsung dijual kembali kepada lessee (fulan).
Berdasarkan praktik di atas, maka terdapat tiga pokok masalah pada kredit melalui leasing dalam pandangan syariat:
1. Terdapat penggabungan dua akad, yaitu sewa menyewa dan jual beli, menjadi satu akad (akad leasing).
2. Perubahan harga sewa karena perubahan suku bunga pinjaman
3. Terdapat jual-beli barang yang belum selesai diserahterimakan
Masalah Pertama, dalam leasing terdapat penggabungan dua akad, yaitu sewa menyewa dan jual beli, menjadi satu akad (akad leasing) dalam satu waktu. Padahal hukum syara’ telah melarang penggabungan akad menjadi satu akad.
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ
“Nabi saw. melarang dua transaksi dalam satu akad.” HR. Ahmad, Musnad Musnad, I:398, No. 3783
Jadi, dalam syariat Islam, bila akad yang digunakan berupa sewa maka tetap harus berlaku sewa sampai batas akhir waktu penyewaan. Demikian pula, suatu akad jual-beli tetap harus berlaku sebagai jual beli. Sekiranya jual-beli itu dilakukan dengan mencicil dan pihak pembeli belum dapat melunasi seluruh utang pembeliannya pada waktu yang telah disepakati, akad tersebut tetap jual-beli dan tidak dapat dialihkan menjadi akad apapun, termasuk diubah menjadi akad sewa.
Masalah Kedua, dalam akad leasing biasanya terdapat bunga. Maka harga sewa yang dibayar per bulan oleh lesse bisa jadi dengan jumlah tetap (tanpa bunga), namun bisa jadi harga sewanya berubah-ubah sesuai dengan suku bunga pinjaman. Maka leasing dengan bunga seperti ini dapat dikategorikan riba (kredit uang atas nama sewa barang)
Masalah Ketiga, terlarangnya menjual barang yang belum selesai diserahterimakan. Larangan ini berlaku bagi bahan makanan dan barang lainnya. Karena itu, barang yang sudah dibeli harus diserahterimakan terlebih dahulu sebelum dijual kembali kepada pihak lain. Dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw. bersabda:
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.”
Selanjutnya, Ibnu Abbas mengatakan:
وَأَحْسِبُ كُلَّ شَىْءٍ مِثْلَهُ
“Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” HR. Muslim, Shahih Muslim, III: 1160, No. 1525. Diriwayatkan oleh oleh Al-Bukhari dengan perbedaan redaksi (Shahih Al-Bukhari, II: 750, No. 2025).
Maka alternatif yang sesuai syariah adalah mengajukan pembiayaan kendaraan atau KPR ke leasing atau lembaga pembiayaan syariah yang menggunakan skema atau kontrak sesuai syariah, di antaranya akad Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik (IMBT), yaitu akad sewa barang dalam jangka waktu tertentu yang diikuti dengan kepemilikan dari barang yang disewa. Misalnya seseorang melakukan akad IMBT untuk sebuah rumah, ia membayar uang sewa selama 20 tahun, lalu setelah 20 tahun rumah tersebut menjadi miliknya.
Agar terhindar dari adanya dua transaksi yang berbeda dalam satu waktu pada satu barang, maka fatwa Dewan Syariah Nasional No.27/DSN-MUI/III/2002 tentang IMBT, mengharuskan terlaksananya akad ijârah terlebih dahulu, lalu akad pemindahan kepemilikan (jual beli/hibah) hanya dapat dilakukan setelah masa ijârah selesai. Karena itu janji pemindahan kepemilikan di awal akad ijarah adalah wa’ad atau janji yang hukumnya tidak mengikat. Jadi jika janji tersebut ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah (sewa) selesai.
Praktik yang biasa terjadi (2)
1. Misalnya Tono mengajukan kredit pembiayaan kendaraan bermotor ke leasing A dengan meminjam uang sebesar Rp. 15 juta untuk membeli motor dari dealer tertentu. Setelah mendapatkan uang tersebut, Tono membeli kendaraan tersebut dari dealer secara tunai. Lalu Tono melunasi pinjamannya secara berangsur dengan bunga Rp.8 juta dengan angsuran 12 kali dan tenor 1 tahun. Dengan pokok pinjaman Rp.15 juta dan bunga Rp.8 juta, total angsuran Rp.23 juta.
2. Misalnya Budi mengajukan kredit pembelian motor ke dealer A dengan persetujuan pembayaran oleh Bank B atau PT. Perkreditan X. Setelah disetujui, Budi harus membayar cicilan kredit tersebut ke bank atau PT. Perkreditan itu dan bukan dibayar ke dealer, tempat ia membeli barang tersebut. kenapa Budi harus membayar cicilan tersebut ke bank bukan ke dealer yang menjualkan motor padanya?
Karena Bank atau Lembaga keuangan non bank telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan dealer tersebut yang intinya: Bila ada pembeli yang membeli dengan cara kredit, maka pihak banklah yang akan membayar secara cash kepada dealer. Sedangkan pembeli diharuskan membayarkan cicilan kepada bank tadi. Dealer mendapatkan keuntungan karena dia mendapatkan uang cash langsung. Sedangkan bank mendapatkan keuntungan karena dia menjual barang tersebut dengan harga lebih tinggi, namun dengan cara kredit. Dalam skema ini perlu dipastikan, apakah transaksi antara Bank dengan lessee itu pinjam meminjam uang ataukah jual beli barang?
Kredit kendaraan bermotor dengan cara di atas tampak jelas menggunakan skema pinjaman berbunga. Maka leasing dengan cara demikian diharamkan dalam Islam karena masuk dalam kategori pinjaman ribawi, bukan jual-beli secara kredit.
Maka alternatif yang sesuai syariah adalah mengajukan pembiayaan kendaraan bermotor ke leasing atau lembaga pembiayaan syariah yang menggunakan skema atau kontrak sesuai syariah, di antaranya akad murabahah, dengan mengubah fungsi dan status leasing dari kreditor menjadi penjual.
Sebagaimana kita ketahui, dalam skim Murabahah fungsi Bank adalah sebagai Penjual barang untuk kepentingan Nasabah, dengan cara membeli barang yang diperlukan Nasabah dan kemudian menjualnya kembali kepada Nasabah dengan harga jual yang setara dengan harga beli ditambah keuntungan Bank dan Bank harus memberitahukan secara jujur harga pokok Barang berikut biaya yang diperluan dan menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian Barang kepada Nasabah. Namun demikian, sebagai Penyedia Barang dalam prakteknya Bank Syariah kerap kali tidak mau dipusingkan dengan langkah-langkah pembelian Barang. Karenanya Bank Syariah menggunakan media ”akad Wakalah” dengan memberikan kuasa kepada Nasabah untuk membeli barang tersebut.
Berdasarkan Fatwa MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 1 April 2000 (26 Dzulhijah 1420 H) bahwa jika Bank hendak mewakilkan kepada Nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, maka akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik Bank. Dengan kata lain, pemberian kuasa (Wakalah) dari Bank kepada Nasabah atau pihak ketiga manapun, harus dilakukan sebelum Akad Jual beli Murabahah terjadi.