HUKUM BEKERJA DI BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN NON BANK
Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama yang lain. Ketika salah satu membutuhkan dan tidak memiliki apa yang ia butuhkan, maka yang lain bisa membantu untuk memenuhinya. Inilah di antara hikmah ijarah (persewaan) yang disyariatkan di dalam Islam, baik sewa barang maupun jasa seseorang, seperti tenaga atau keahlian tertentu, termasuk bekerja di perbankan.
Akad ijarah dilegalkan di dalam syariat berdasarkan nash Al-Qur’an, Hadits dan Ijma’.
Dalam Al-Quran, Allah Swt. berfirman:
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS Ath-Thalaaq: 6)
Ayat ini menunjukan tentang akad ijarah, sebab bentuk kalimat فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ adalah bentuk kalimat perintah membayar upah dan perintah menunjukkan wajib. Upah hanya bisa diwajibkan/ditetapkan oleh akad (transaksi). Sehingga ayat ini secara pasti diarahkan pada menyusui yang disertai dengan akad (ijarah).
Dalam ayat lain
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". QS. Al-Qashash: 26
Sementara dalam hadis disebutkan:
عَنْ عَائِشَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، وَاسْتَأْجَرَ النَّبِيُّ : وَأَبُو بَكْرٍ رَجُلاً مِنْ بَنِي الدِّيلِ ثُمَّ مِنْ بَنِي عَبْدِ بْنِ عَدِيٍّ هَادِيًا خِرِّيتًا - الْخِرِّيتُ الْمَاهِرُ بِالْهِدَايَةِ - قَدْ غَمَسَ يَمِينَ حِلْفٍ فِي آلِ الْعَاصِ بْنِ وَائِلٍ وَهْوَ عَلَى دِينِ كُفَّارِ قُرَيْشٍ فَأَمِنَاهُ فَدَفَعَا إِلَيْهِ رَاحِلَتَيْهِمَا وَوَعَدَاهُ غَارَ ثَوْرٍ بَعْدَ ثَلاَثِ لَيَالٍ فَأَتَاهُمَا بِرَاحِلَتَيْهِمَا صَبِيحَةَ لَيَالٍ ثَلاَثٍ فَارْتَحَلاَ وَانْطَلَقَ مَعَهُمَا عَامِرُ بْنُ فُهَيْرَةَ وَالدَّلِيلُ الدِّيلِيُّ فَأَخَذَ بِهِمْ أَسْفَلَ مَكَّةَ وَهْوَ طَرِيقُ السَّاحِلِ
Dari Aisyah Ra.,: “Nabi saw. dan Abu Bakar menyewa seseorang dari suku Ad-Dil, kemudian dari suku 'Abdi bin 'Adiy sebagai petunjuk jalan dan Khirrit, yaitu orang yang mahir menguasai seluk beluk perjalanan, yang sebelumnya dia telah diambil sumpahnya pada keluarga Al 'Ash bin Wa'il dan masih memeluk agama kafir Quraisy. Maka keduanya mempercayakan kepadanya perjalanan keduanya, lalu keduanya meminta kepadanya untuk singgah di gua Tsur setelah perjalanan tiga malam. Lalu orang itu meneruskan perjalanan keduanya waktu shubuh malam ketiga, maka keduanya melanjutkan perjalanan dan berangkat pula bersama keduanya 'Amir bin Fuhairah dan petunjuk jalan suku Ad-Diliy tersebut. Maka petunjuk jalan tersebut mengambil jalan dari belakang kota Makkah yaitu menyusuri jalan laut.” HR. Al-Bukhari
باب اسْتِئْجَارِ الْمُشْرِكِينَ عِنْدَ الضَّرُورَةِ ، أَوْ إِذَا لَمْ يُوجَدْ أَهْلُ الإِسْلاَمِ. وَعَامَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَهُودَ خَيْبَرَ.
Bab memperkerjakan orang musyrik dalam kondisi darurat, atau ketika orang-orang Islam tidak dapatkan, dan Nabi saw. bermuamalah dengan orang Yahudi Khaibar
Dalam riwayat lain disebutkan:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ ، قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata, Rasulullah saw. Bersabda, “Berilah upah kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka.” HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II: 817, No. 2443
Definisi Ijarah
Secara bahasa ijarah memiliki arti nama untuk sebuah upah. Sedangkan secara istilah syariat adalah
عَقْدٌ يُفِيْدُ تَمْلِيْكَ مَنْفَعَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مَقْصُوْدَةٍ مِنَ العَيْنِ المُسْتَأْجَرَةِ بِعَوْضٍ
“Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.” Definisi menurut ulama Hanafiyah
تَسْمِيَّةُ التَّعَاقُدِ عَلَى مَنْفَعَةِ الآدَمِي وَ بَعْضِ المَنْقُوْلَانِ
“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan.” Definisi menurut ulama Malikiyah
عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ مَقْصُوْدَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مُبَاحَةٍ قَابِلَةٍ لِلْبَذْلِ وَالإِبَاحَةِ بِعَوْضٍ مَعْلُوْمٍ
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud yang diketahui dan dibolehkan, serta menerima untuk pemberian dan kebolehan dengan pengganti tertentu.” Definisi menurut ulama Syafi’iyah
“Akad (transaksi) terhadap kemanfaatan yang maqshudah, maklum, bisa untuk diserahkan dan mubah dengan ‘iwadl (upah) yang maklum” (Syekh an-Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, Songgopuro - Indonesia, al-Haramain, cetakan pertama, halaman: 257)
Maksud ‘manfaat maqshudah’ adalah manfaat menurut pandangan syariat maka tidak boleh menyewa uang untuk hiasan. Maksud ‘manfaat yang maklum’ adalah manfaat yang jelas dan dibatasi seperti menyewa orang untuk menjahit baju dengan ukuran dan model tertentu. Maksud ‘bisa untuk diserahkan’ adalah mungkin untuk diserahkan, maka tidak boleh menyewakan Al-Qur’an kepada orang kafir, sebab Al-Qur’an tidak bisa diserahkan kepada orang kafir. Maksud ‘manfaat yang mubah’ adalah manfaat yang tidak haram.
Hukum Ijarah Lembaga Keuangan dengan Memilah Jenis Pekerjaan
Kita mengetahui banyak praktik perbankan dan Lembaga keuangan Non Bank dengan aneka jasa yang ditawarkannya, yang paling umum transaksi kredit/pinjaman uang atas dasar riba. Maka dalam hal ini bekerja dan membantu terselenggaranya praktik riba disepakati oleh para ulama hukumnya haram, sebagaimana sabda Nabi saw.
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ النَّبِيَّ لَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ . رَوَاهُ الْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ
Dari Ibnu Mas’ud, “Sesungguhnya Nabi saw. telah melaknat pemakan riba dan yang memberinya, dan dua saksinya, dan penulisnya.” HR. Imam yang lima dan dinilai shahih oleh at-Tirmidzi.
Dalam riwayat an-Nasai dengan redaksi:
آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ إذَا عَلِمُوا ذَلِكَ مَلْعُونُونَ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Pemakan riba dan yang memberinya, dan penulisnya. Jika mereka tahu yang demikian mereka dilaknat dengan lidah Muhammad saw. pada hari kiamat.” (Lihat, Bustan Al-Ahbar Mukhtashar Nail Al-Awthar, III:45)
Karena itu, jika suatu bank atau Lembaga keuangan non bank hanya menawarkan jasa atas dasar riba itu saja, maka tentu saja keterlibatan pegawainya bekerja di sana juga dinilai haram, dan upah/gaji yang diterima hukumnya haram.
Dalam keadaan seperti itu sebaiknya pekerja itu mencari tempat bekerja yang lain, kecuali jika ia tidak mendapatkan tempat kerja lain yang dapat menutupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya.
Namun jika bekerja di suatu bank atau Lembaga keuangan non bank yang menawarkan jasa lain yang ditawarkannya, dan jasa tersebut tidak haram, maka ini berarti bank tersebut mencampurkan antara uang halal dan uang haram.
Pencampuran uang halal dan haram ini membuka peluang untuk dibenarkannya bekerja di sana, apalagi jika uang tersebut tidak dapat dipisahkan. Misalnya bekerja di Bank bukan di bagian kredit atau bidang-bidang lain yang tidak berkaitan langsung dengan kredit perbankan, seperti kasir/teller umum, satpam, OB (Office Boy), maka tentu saja keterlibatan pegawainya bekerja di sana dinilai boleh, dan upah/gaji yang diterima hukumnya halal.
Kebolehan mengambil harta dari percampuran yang halal dan yang haram dan tidak dapat dipisahkan didasarkan pada hadis berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! إِنَّ فُلَاناً قَدِمَ لَهُ بَزٌّ مِنَ اَلشَّامِ فَلَوْ بَعَثْتَ إِلَيْهِ فَأَخَذْتَ مِنْهُ ثَوْبَيْنِ بِنَسِيئَةٍ إِلَى مَيْسَرَةٍ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ فَامْتَنَعَ - أَخْرَجَهُ اَلْحَاكِمُ وَالْبَيْهَقِيُّ وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ
Dari Aisyah Ra., ia berkata, “Aku berkata, wahai Rasulullah, sesungguhnya barang-barang pakaian dari Syam telah datang pada si Polan. Seandainya baginda mengutus seseorang kepadanya, lalu baginda mengambil dua buah pakaian secara tempo yang dibayar nanti pada saat kemudahan. Lalu beliau mengutus seseorang kepadanya, namun pemiliknya menolak.” HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi, dan para perawinya tsiqat (dapat dipercaya).
فلانًا: هُوَ يَهُوْدِيٌّ بَخِيْلٌ شَحِيْحٌ، حَاقِدٌ عَلَى الإِسْلَامِ وَرَسُوْلِ الإِسْلَامِ، يُقَالُ لَهُ: "حَلِيْقٌ"، وَلَيْسَ هَذَا الرَّدُّ الجَافُ بِغَرِيْبٍ عَنْ تِلْكَ الطُغْمَةِ اليَهُوْدِيَةِ الفَاسِدَةِ – توضيح الأحكام 4: 457 –
“Fulan: Ia seorang Yahudi yang pelit lagi tamak, dengki kepada Islam dan utusan Islam. Dikatakan padanya: “Bencana” dan bantahan yang mengejutkan ini tidaklah asing dari golongan Yahudi yang rusak tersebut.” (Lihat, Tawdhih Al-Ahkam Min Bulugh Al-Maram, IV: 457)
وَفِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى جَوَازٍ مُعَامَلَةِ مَنْ فِي مَالِهِ شُبْهَةُ حَرَامٍ، فَإِنَّ المَعْرُوْفَ عَنِ اليَهُوْدِ التَّعَامُلُ بِالرِّبَا، وَأَخْذُ الرِّشْوَةِ، هَذَا مَا لَمْ يَكُنْ المُتَصَّرَفُ فِيْهِ هُوَ عَيْنُ المَالِ الحَرَامِ – توضيح الأحكام 4: 459–
Dan padanya terdapat dalil atas bolehnya bermuamalah dengan orang yang pada hartanya terdapat kesamaran yang haram, maka sungguh telah diketahui bahwa Yahudi bermuamalah dengan riba dan menerima suap, hal ini berlaku selama yang dikelola bukanlah hakikat harta yang haram. (Lihat, Tawdhih Al-Ahkam Min Bulugh Al-Maram, IV: 459)
Kesimpulan
Bekerja di Bank dan Lembaga keuangan non bank dengan pekerjaan atau bagian yang tidak berhubungan langsung dengan transaksi riba hukumnya boleh.