Minggu, 09 September 2018

MUSAFIR BOLEH TIDAK JUMAT

MUSAFIR BOLEH TIDAK JUMAT
(Telaah Metodologis Fatwa Dewan Hisbah Persis)
Oleh: Ibnu Muchtar

Islam adalah agama sempurna sehingga semua problema umat landasannya telah ditetapkan dalam Alquran dan sunah Rasulullah saw., mulai dari kaifiyat ibadah hingga masalah-masalah kontemporer yang muncul kemudian, baik dalam bidang sains, sosial maupun ekonomi. Meskipun demikian tidak banyak yang berhasil menelaah kesempurnaan Islam itu karena minimnya perangkat ilmu yang dimiliki.
Dewan Hisbah Persatuan Islam sebagai lembaga khusus pengkajian hukum-hukum Islam, menempatkan dirinya dalam menjaga kesempurnaan hukum Islam tersebut; menyelamatkan aqidah umat dan menyelamatkan umat dalam beraqidah, menyelamatkan ibadah umat dan menyelamatkan umat dalam beribadah, menyelamatkan muamalah umat dan menyelamatkan umat dalam bermuamalah. Namun Dewan Hisbah bukanlah pembuat hukum atau sumber hukum, karena sumber hukum hanyalah Alquran dan sunah atau pembuat hukum hanyalah Allah swt. dan Rasul-Nya. Dewan Hisbah hanyalah pengawas hukum agar hukum berlaku atau diberlakukan terutama dikalangan anggota Persatuan Islam, sekaligus mengawasi agar tidak terjadi praktik bid’ah, khurafat, dan takhayul.
Produk hukum Dewan Hisbah Persis ditetapkan dalam persidangan yang dihadiri oleh ulama Dewan Hisbah. Sidang dilakukan secara periodik.[1] Dewan Hisbah dapat mengundang pakar yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Keputusan Dewan Hisbah disiarkan melalui Pimpinan Pusat.
Secara teknis, mekanisme dan proses penetapan produk hukum Dewan Hisbah Persis berawal dari inventarisasi berbagai masalah yang penting yang perlu dibahas dan diputuskan dalam persidangan. Inventarisasi masalah penting tersebut ditempuh melalui tiga tahap, yakni inventarisasi, seleksi, dan sidang.
Tahap inventarisasi masalah dilakukan secara struktural yang melibatkan seluruh jajaran Persis ditingkat pusat, wilayah, daerah dan cabang di selulruh Indonesia. Dalam hal ini, Dewan Hisbah mengirim surat agar para pimpinan Persis melaporkan masalah-masalah penting yang menurut mereka perlu disidangkan dan menerima masukan langsung dari anggota dan simpatisan Persis.
Tahap kedua adalah tahap penyeleksian. Topik masalah-masalah penting yang disidangkan Dewan Hisbah  biasanya tidak lebih dari tujuh topik. Hasil laporan dari seluruh jajaran Persis tersebut diseleksi oleh tim dari sekretariat dengan meminta saran dan masukan dari Ketua Umum PP Persis. Tahap terakhir adalah persidangan. Setelah masalah tersebut terseleksi menjadi tujuh masalah penting (biasanya masalah aktual dan kontemporer yang sedang menjadi wacana umum), lalu disidangkan.
Proses persidangan untuk memutuskan masalah-masalah hukum Islam kontemporer yang telah tersleksi, dimulai dari ceramah atau presentasi makalah oleh seorang pembicara yang dipandang menguasai disiplin ilmu yang sedang dibicarakan. Selesai ceramah, moderator mempersilahkan kepada para peserta sidang yang terdiri dari para anggota Dewan Hisbah untuk menanggapi dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pemakalah. Lalu, tampil pembicara kedua, yakni salah seorang ulama anggota Dewan Hisbah yang dipandang ahli dalam disiplin syariat. Ia membawakan makalah tentang topik yang dibahas dari sudut tinjauan hukum Islam. Pada sesi kedua, tanya jawab dan diskusi intensif dilakukan antara pembicara (pemakalah) dan para anggota Dewan Hisbah yang hadir (peserta). Kesimpulan ceramah dan diskusi ini dirumuskan oleh sebuah tim (panitia) sehingga menjadi keputusan Dewan Hisbah. Hasil keputusan Dewan Hisbah itu diserahkan kepada PP Persis untuk disebarkan kepada PW, PD, PC Persis di seluruh Indonesia.
Sepanjang sejarah Dewan Hisbah sejak berdiri tahun 1956, yang waktu itu masih bernama Majelis Ulama[2], hingga tahun 2007, salat Jumat merupakan satu-satunya masalah salat yang tidak pernah berhenti dimuthalaah, dikaji ulang oleh para ulama persis, baik as-sabiqun al-awwalun (generasi awal) atau generasi salaf, khususnya A.Hasan dan kawan-kawan sehingga diterbitkannya buku Risalah Jumat[3] tahun 1956 dan 1972, pada kepemimpinan K.H.E. Abdurrahman[4] melalui rubrik Istifta Majalah Risalah[5], K.H.A.Qadir Hasan dalam Kata Berjawab[6], maupun generasi khalaf pasca K.H.E. Abdurrahman wafat tahun 1983.[7]
Pada generasi khalaf, paling tidak Dewan Hisbah telah 4 kali mengkaji masalah tersebut; Pertama, hari Ahad tanggal 5 Rabiuts Tsani 1415 H/11 September 1994 M di Jakarta, dengan topik Salat Jumat di Arafah. Kedua, hari Ahad tanggal 19 Shafar 1419 H/14 Juni 1998 di Bandung, dengan topik Salat Salat Dzuhur Pada Hari Raya Bertepatan Hari Jumat. Walaupun fokus analisisnya lebih ditujukan kepada status salat dzuhurnya, namun persoalan salat Jumat tetap dijadikan landasan utama. Ketiga, hari Jumat tanggal 23 Rabi’ul Awwal 1422 H/15 Juni 2001 M di di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri Kabupaten Bandung, dengan topik Hukum Salat Jumat Bagi Musafir. Keempat, hari Sabtu tanggal 3 Rabiuts Tsani 1428 H/22 April 2007 di Pesantren Persis Jamaah Cihamerang Banjaran Kabupaten Bandung, dengan topik yang sama.
Sebelum hasil keputusan Dewan Hisbah tahun 2007 itu diserahkan kepada PP Persis untuk disebarkan kepada PW, PD, PC Persis di seluruh Indonesia, keputusan masalah Jumat itu sudah tersebar di sebagian kalangan umat secara oral (dari mulut ke mulut), namun tampaknya terjadi distorsi (penyimpangan makna) sehingga yang dipahami oleh sebagian umat itu adalah “musafir tidak wajib Jumat”.
Setelah keputusan itu disebarkan secara resmi oleh PP Persis (secara tertulis dalam bentuk surat keputusan dan lampiran makalah) keputusan itu ditanggapi oleh umat secara beragam. Ada yang memahaminya seperti di atas. Ada pula yang mempertanyakan mengapa terjadi revisi pada sidang tersebut. Sebagian besar menghendaki penjelasan kerangka metodologis sehingga lahirnya keputusan sebagaimana tertuang dalam surat keputusan tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kami sebagai tim yang terlibat langsung dalam proses penetapan hukum masalah itu merasa perlu untuk segera menyusun tafsir metodologis yang digunakan Dewan Hisbah dalam sidang itu dan kerangka pemikiran dalam mengistinbath masalah tersebut. Besar harapan kami semoga tulisan yang sederhana ini dapat meluruskan kesimpangsiuran sekaligus membangun pemahaman umat terhadap proses istinbath (pengambilan) hukum tersebut. Karena itu sumbang saran dan fikir untuk mengurangi kekeliruan yang tidak diharapkan senantiasa kami nantikan. Allah Maha mengetahui dan hanya Ia Maha Pengampun atas segala kekhilapan dan kealpaan

[1]Berdasarkan Qanun Dakhili (ART) PERSIS (produk Muktamar XII tahun 2000) Bab VI pasal 36 bahwa Dewan Hisbah melakukan sidang-sidangnya sekurang-kurangnya satu semester. Sedangkan Berdasarkan Qanun Dakhili (ART) PERSIS (produk Muktamar XIII tahun 2005) Bab VIII pasal 50 bahwa Dewan Hisbah melaksanakan sidang-sidangnya sekurang-kurangnya setiap catur wulan.
[2]Majelis Ulama Persatuan Islam secara resmi berdiri pasca Muktamar ke-6 di Bandung, 15-18 Desember 1956
[3]Lihat, Kumpulan Risalah A.Hasan: Risalah Jumat, hal. 191
[4]Pada masa Persis dipimpin oleh K.H.E. Abdurahman antara tahun 1962-1983, Majelis Ulama berubah menjadi Dewan Hisbah. Namun, Dewan Hisbah tidak berjalan sebagaimana sebelumnya. Sekalipun sempat dipimpin oleh K.H. Abdu Qadir Hasan (putra A.Hassan), namun karena kesibukan beliau, Dewan Hisbah tidak berjalan. Akhirnya, Dewan Hisbah dikelola oleh K.H.E. Abdurahman seorang diri. Beliau menjawab secara langsung berbagai permasalahan umat di setiap mimbar pengajian atau lewat tulisan di majalah Risalah yang dipimpinnya sendiri. Sejarah tidak mencatat, mengapa kevakuman ini terjadi. Analisis sementara menyimpulkan, sosok K.H.E. Abdurahman merupakan sosok karismatik bahkan ada yang menyebut ulama besar Persis kedua setelah A. Hassan sehingga umat merasa cukup dengan sosok K.H.E. Abdurahman.
[5]Lihat, Majalah Risalah rubrik Istifta, No. 138 tahun XIII  hal. 313
[6]Lihat, Kata Berjawab, III:43
[7]K.H.E. Abdurahman, tokoh karismatik Persis wafat tanggal 12 April 1983. Kepemimpinan Persis selanjutnya diserahkan kepada K.H.A. Latief Muchtar, M.A. Pada masa kepemimpinan K.H.A. Latief Muchtar, M.A., Dewan Hisbah Persatuan Islam berfungsi kembali, dengan ketua K.H.E. Abdullah.
Kerangka Pemikiran 1: Musafir Tidak Dikecualikan dari Kewajiban Jumat
 
Pada sidang ke-2 pasca Muktamar Persis XII, 23-25 Rabi’ul Awwal 1422 H bertepatan dengan 15-17 Juni 2001, di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri Kabupaten Bandung, yang salah satu pembahasannya adalah hukum Jumat bagi musafir, Dewan Hisbah Persis setelah mendengar paparan makalah yang disampaikan K.H. Wawan Shofwan Sh, pembahasan dan penilaian dari anggota Dewan Hisbah terhadap masalah tersebut, memutuskan dan menetapkan bahwa “musafir tidak dikecualikan dari kewajiban Jumat”. Ketetapan ini dibuat dengan acuan dalildan dilalah (penunjukan terhadap hukum) sebagai berikut:
a.    Berdasarkan ayat 9 surat al-Jumuah Musafir termasuk mukallaf (dikenai hukum) salat Jumat
b.    Berdasarkan Sabda Nabi dalam riwayat Thariq bin Syihab Musafir tidak termasuk yang dikecualikan dari taklif Jumat
c.     Berdasarkan amaliah Ibnu Umar (shahabat yang taassi kepada Rasulullah saw.) ketika safar ke Makkah melakukan salat Jumat
d.    Hadis-hadis yang menyatakan musafir dikecualikan dari kewajiban Jumat adalah daif.
Keputusan tahun 2001 tersebut memperteguh al-qaul al-qadim (fatwa lama) para ulama Persis as-sabiqun al-awwalun (generasi awal), khususnya A.Hasan dalam Risalah Jumat[1], K.H.E. Abdurrahman dalam Istifta Majalah Risalah[2], K.H.A.Qadir Hasan dalam Kata Berjawab.[3]
Untuk lebih memahami penggunaan dalil dan pengambilan dilalah (penunjukkan) keputusan tahun 2001 tersebut maka perlu diuraikan dalam kerangka metodologis (cara penetapan hukum) sebagai berikut:
Sebagaimana telah kita maklumi bahwa proses penetapan syariat ibadah Jum’at ditetapkan berdasarkan dua hidayah: Pertama, bi an-nash, yaitu dengan turun surat al-Jumu’ah:9. Kedua, bi al-ijtihad, yaitu keinginan para sahabat untuk memiliki hari Ied yang beda dengan Yahudi dan Nashara. Dan ini disebut hidayah at-taufiq.
Sejarah turunnya ayat tersebut telah dijelaskan oleh Imam at-Thabari dan Ibnu Ishaq sebagai berikut: “Sebelum sampai di Madinah (waktu itu bernama Yatsrib), Rasulullah saw. singgah di Quba pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 13 kenabian (24 September 622 M)  waktu Dhuha (sekitar jam 8.00 atau 9.00). Di tempat ini, beliau tinggal di keluarga Amr bin Auf selama empat hari hingga hari Kamis 15 Rabi’ul Awwal (27 September 622 M) dan membangun mesjid pertama (yang disebut mesjid Quba). Pada hari Jumat 16 Rabi’ul Awwal (28 September 622 M), beliau berangkat menuju Madinah. [4] Di tengah perjalanan, ketika beliau berada di Bathni wadin (lembah di sekitar Madinah) milik keluarga Banu Salim bin ‘Auf, datang kewajiban Jumat dengan turunnya ayat 9 surat al-Jum’ah.
‎يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Maka Nabi salat Jumat bersama mereka dan khutbah di tempat itu. Inilah salat dan khutbah Jumat yang pertama kali dilakukan oleh beliau. Setelah melaksanakan salat Jumat, Nabi melanjutkan perjalanan menuju Madinah”.[5]
Pada saat yang sama, para sahabat laki-laki yang sudah lebih dahulu hijrah dan tinggal di Madinah, melaksanakan salat Jum’at di imami oleh As’ad bin Zurarah (riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah). Pelaksanaan salat ini didasarkan atas ijtihad sahabat, yaitu keinginan para sahabat untuk memiliki hari Ied yang beda dengan Yahudi dan Nashara. [6]
Sebelum ayat ini turun, selama 3 tahun (sejak disyariatkan salat)[7], salat yang ditaklifkan (disyariatkan) bagi kaum muslimin (laki-laki maupun perempuan), baik ketika safar atau mukim, pada hari Jumat waktu zhuhur adalah salat zuhur. Namun sejak turun ayat itu (tahun 1 hijriah) salat yang ditaklifkan menjadi dua macam: Pertama, taklif salat zhuhur. Kedua, taklif salat Jumat. Bagi siapa taklif salat Jumat itu? Dalam hal ini Nabi bersabda:
‎عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنِ النَّبِيِّ r قَالَ الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi saw.. saw.. beliau bersabda, “Jum’at itu adalah hak yang wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah kecuali empat golongan; hamba sahaya, perempuan, anak-anak, dan yang sakit.” H.r. Abu Daud[8]
Hadis tersebut menegaskan bahwa taklif salat Jumat itu adalah bagi laki-laki muslim yang sehat lagi merdeka, baik ketika safar maupun muqim. Sedangkan bagi wanita, laki-laki yang sakit yang tidak dapat menghadiri Jumat, dan hamba sahaya tidak dikenai taklif salat Jumat. Dengan perkataan lain, taklif bagi mereka tidak berubah dengan turunnya ayat tersebut, yakni tetap salat zhuhur. Jadi, seolah-olah bagi 4 golongan tersebut ayat 9 surat al-Jumu’ah itu tidak ada. Dengan demikian, musafir tidak dikecualikan dari taklif (kewajiban) salat Jumat. Hal ini lebih diperkuat lagi oleh Ibnu Umar, shahabat yang taassi kepada Rasulullah saw., ketika safar ke Makkah beliau melakukan salat Jumat sebagaimana diterangkan oleh Atha sebagai berikut:
‎عَنْ عَطَاءٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ إِذَا كَانَ بِمَكَّةَ فَصَلَّى الْجُمُعَةَ تَقَدَّمَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ تَقَدَّمَ فَصَلَّى أَرْبَعًا وَإِذَا كَانَ بِالْمَدِينَةِ صَلَّى الْجُمُعَةَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى بَيْتِهِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَلَمْ يُصَلِّ فِي الْمَسْجِدِ فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ r يَفْعَلُ ذَلِكَ. رواه أبو داود
Dari Atha, dari Ibnu Umar, ia (Atha) berkata, “Beliau (Ibnu Umar) berada di Mekah, lalu salat Jumat. (setelah selesai) ia melangkah ke depan untuk salat sunat dua rakaat, kemudian melangkah ke depan untuk salat sunat empat rakaat. Dan bila berada di Madinah ia salat Jumat, lalu kembali ke rumahnya, maka salat dua rakaat dan tidak salat di masjid. Maka ditanyakan kepadanya, lalu ia berkata, “Rasulullah saw.. melakukan hal itu (salat sunat bada Jumat di rumahnya). H.r. Abu Daud[9]
Adapun hadis-hadis yang mengecualikan musafir dari taklif Jumat semuanya daif dengan pertimbangan sebagai berikut:
Hadis pertama:
‎عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ r قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَعَلَيْهِ الجُمْعَةُ  يَوْمَ الجُمُعَةِ إِلاَّ مَرِيضٌ أَوْ مُسَافِرٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أو مَمْلُوكٌ فَمَنِ اسْتَغْنَى بِلَهْوٍ أَوْ تِجَارَةٍ اسْتَغْنَى اللهُ عَنْهُ وَاللهُ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ.
“Dari Jabir bahwasanya Rasulullah saw.. telah bersabda, ‘Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, baginya kewajiban Jumat pada hari Jumat, kecuali yang sakit, musafir, perempuan, anak kecil, atau hamba sahaya. Maka siapa yang tidak butuh dengan kesenangan (yang melalaikan) atau perdagangan, niscaya Allah tidak membutuhkannya. Dan Allah Mahakaya lagi Mahaterpuji’.”
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam ad-Daraquthni[10] dan al-Baihaqi[11] melalui dua orang rawi yang dhaif, yaitu Muadz bin Muhammad dan Ibnu Lahi’ah. Adapun keterangan kedaifannya adalah sebagai berikut:
a.       Muadz bin Muhammad al-Anshari
Tentangnya al-‘Uqaili mengatakan, ‘Pada hadisnya terdapat waham (kesamaran).’ Ibnu ‘Adi mengatakan, ‘Munkarul Hadis (hadisnya diingkari). [12]
b.      Ibnu Lahi’ah, yang nama lengkapnya adalah Abdullah bin Lahi’ah, dinamai juga Ibnu Uqbah Abu Abdurrahman al-Hadrami.
Dia adalah seorang yang shaleh, akan tetapi ia berbuat tadlis dari rawi-rawi yang daif, kemudian kitab-kitabnya terbakar.[13] Ibnu Ma’in mengatakan, ‘(Dia itu) daif, tidak dijadikan hujjah dengannya.’ Al-Humaidi mengatakan dari Yahya bin Sa’id, ‘Bahwa ia tidak melihatnya sama sekali’.[14] Ibnu Wahb mengatakan, ‘Ibnu Lahi’ah itu tidak dapat dipercaya.’ Abu Hatim Ibnu Hibban mengatakan, ‘Aku telah menyiarkan berita-berita Ibnu Lahi’ah, maka aku melihatnya mentadlis (menyamarkan) dari rawi-rawi yang daif atas rawi-rawi yang tsiqat. Kemudian ia tidak menghiraukan apa yang ditolak kepadanya. Ia membacanya baik itu dari hadisnya atau pun bukan dari hadisnya. Maka wajib menjauhi riwayat-riwayat yang telah lalu sebelum kitab-kitabnya terbakar, sebab pada riwayat-riwayatnya itu terdapat khabar-khabar yang mudallas (disamarkan) dari rawi-rawi yang matruk. Maka wajib meninggalkan hujjah dengan riwayat-riwayat yang datang kemudian setelah kitab-kitabnya terbakar karena pada riwayat-riwayatnya terdapat hadis-hadis yang bukan riwayatnya.’[15]
Hadis kedua:
‎عَنْ تَمِيْمٍ الدَّارِي عَنِ النَّبِيِّ r قَالَ: الجُمُعَةُ وَاجِبَةٌ إِلاَّ عَلَى صَبِيٍّ أَوْ مَمْلُوْكٍ أَوْ مُسَافِرٍ  وَفِي رِوَايَةِ ابْنِ عَبْدَانَ إِنَّ الجُمُعَةَ وَاجِبَةٌ إِلاَّ عَلَى صَبِيٍّ أَوْ مَمْلُوكٍ أًوْ مُسَافِرٍ. رواه البيهقي
“Dari Tamim ad-Dari, dari Nabi SAW. bersabda, ‘Ibadah Jumat itu wajib kecuali atas anak kecil, hamba sahaya, musafir (yang dalam perjalanan).’ Dan dalam riwayat Abdan, ‘Sesungguhnya Ibadah Jumat itu wajib kecuali atas anak kecil, hamba sahaya, musafir (yang dalam perjalanan).’ H.r. al-Baihaqi[16]
Hadis ini pun daif karena pada sanadnya terdapat dua orang rawi yang daif yaitu al-Hakam bin Amr dab Dharar bin Amr.
1.      Al-Hakam bin Amr, yang disebut juga Ibnu Umar  ar-Ru’aini.
Tentangnya Yahya bin Ma’in mengatakan, ‘Al-Hakam bin Amr ar-Ru’aini itu laisa bisyai-in.’ Sa’ad bin Abu Maryam berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada Yahya bin Ma’in mengenai al-Hakam bin Amr, beliau mengatakan, ‘(ia itu) daif, hadisnya tidak ditulis.’ [17]
2.      Dharar bin Amr
Tentangnya Ibnu ‘Adi mengatakan, ‘(ia) Munkarul Hadis (hadisnya diingkari).’  Imam al-Bukhari mengatakan, ‘Fihi Nadzarun (ia itu tertuduh dusta).’ Yahya bin Ma’in juga mengatakan, ‘(ia itu) daif.’ Al-‘U’qaili dan Ibnu al-Jarud menerangkannya dalam (kelompok) rawi-rawi yang daif. Abu Nu’aim berkata dari Yazid ar-Ruqasyi dari Anas dari Tamim, ‘Hadisnya munkar.’ [18]
Hadis ketiga:
‎عَنِ ابْنِ عُمَرَ عنِ النَّبِيِّ  r قَالَ: لَيْسَ عَلَى المُسَافِرِ جُمُعَةٌ.
“Dari Ibnu Umar, dari Nabi saw.. bersabda, ‘Tidak ada kewajiban Jumat bagi musafir’.” H.r. ad-Daraquthni[19]
Pada hadis ini terdapat seorang rawi yang daif, yaitu Abdullah bin Nafi’ Maula Ibnu Umar al-Qurasyi al-Madini Abu Bakar. Imam al-Bukhari mengatakan, ‘(ia itu) munkarul hadis.’ Ibnu al-Madini mengatakan, ‘Ia meriwayatkan dari rawi-rawi yang munkar.’ Imam al-Bukhari juga mengatakan, ‘Diperselisihkan tentang hadisnya.’ Serta Imam an-Nasai berkomentar, ‘(ia itu) matruk.’[20] Abbas ad-Dauri dari Yahya bin Ma’in mengatakan, ‘(ia itu) daif.’ Ali bin al-Madini mengatkan, ‘Ia meriwayatkan hadis-hadis munkar.’ Abu Hatim mengatakan, ‘Munkarul Hadis, dan ia itu anak Nafi’ yang paling daif.’ An-Nasai mengatakan, ‘Matrukul Hadis.’ [21]
Selain berargumentasi dengan hadis-hadis daif itu, ada yang berpendapat pula bahwa musafir dikecualikan dari taklif Jumat itu dengan pertimbangan karena tidak ditemukan keterangan Rasulullah saw.. salat Jumat waktu shafar. Namun pada sidang tersebut pertimbangan itu dibantah dengan pertimbangan lain sebagai berikut: ‘Tidak diberitakan, atau diriwayatkan Rasulullah saw. dalam safarnya mendirikan salat Jumat, tidak berarti Rasulullah tidak melakukan salat termaksud, sebab kita tidak dapat memastikan tidak ada, dengan dalih karena tidak disebut, kita dapat mengatakan tidak ada bukan karena tidak disebut atau tidak dibicarakan, tapi kita dapat mengatakan tidak ada karena kita tahu akan tidak adanya (al-‘Ilmu bi ‘Adamihi). Bila kita membaca atau mendengar perjalanan (safar) seorang muslim, dan dalam laporan itu tidak disinggung-singgung, tidak disebut-sebut makan minumnya, atau sembahyangnya, itu tidak berarti dia dalam safarnya tidak makan atau minum atau tidak sembahyang, sebab yang pertama adalah sesuatu yang sudah lazim dan kedua adalah kewajiban yang mesti dilaksanakan.’ [22]
Berdasarkan dalil dan dilalah tersebut dapat ditetapkan madlul (hukum yang ditunjuki) bahwa taklif Jum’at bagi musafir merupakan azimah(keharusan) atau wajib mu’ayyan (tidak ada pilihan).
Dari penggunaan dalil dan dilalah tersebut dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan oleh Dewan Hisbah dalam menetapkan hukum Jumat bagi musafir adalah metode analisis ibarah an-nash atau mantuq sharih[23], yaitu petunjuk hukum yang diperoleh dari apa yang tersurat dalam nash melalui istidlal.
Demikian kerangka pemikiran dan landasan metodologis yang digunakan oleh Dewan Hisbah dalam menetapkan istinbath “musafir tidak dikecualikan dari kewajiban Jumat”
Kerangka Pemikiran 2: Musafir Boleh tidak Melaksanakan Jumat
Pada sidang ke-2 pasca Muktamar Persis XIII, 3-4 Rabi’uts Tsani 1428 H yang betepatan dengan 21-22 April 2007, di Pesantren Persis Jamaah Cihamerang Banjaran Kabupaten Bandung, hukum Jumat bagi musafir, sebagai salah satu tema sidang tersebut, dibahas kembali atas usulan sebagian anggota Dewan Hisbah. Dewan Hisbah Persis setelah mendengar paparan makalah yang disampaikan K.H. Luthfi Abdullah Ismail, Lc (ulama Persis dari Bangil), pembahasan dan penilaian dari anggota Dewan Hisbah terhadap masalah tersebut, memutuskan dan menetapkan
1.        Merevisi keputusan Dewan Hisbah tahun 2001 yang menetapkan bahwa “Musafir tidak dikecualikan dari kewajiban Jumat”
2.        Musafir boleh tidak melaksanakan Jumat
3.        Musafir yang tidak melaksanakan Jumat wajib salat zuhur
Meskipun ketetapan ini dibuat dengan acuan dalildan dilalah (penunjukan terhadap hukum) yang tidak berbeda dengan sidang sebelumnya (tahun 2001), namun terdapat perbedaan fokus analisis. Pada sidang sebelumnya fokus pembahasan lebih ditujukan terhadap fiqih sanad hadis tentang musafir dikecualikan dari taklif Jumat, yaitu dari segi keabsahannya. Sedangkan pada sidang kali ini fokus analisis banyak ditujukan terhadap dilalah hadis tentang Nabi salat zhuhur dan ashar dijama dan diqashar ketika wukuf di Arafah pada hari Jumat, 9 Dzulhijjah tahun 10 H. dan fakta pelaksanaan Jumat Nabi ketika safar.
Sehubungan dengan itu dalil dan dilalahkeputusan ini dapat dibagi menjadi dua: Pertama, dalil dan dilalah keputusan 2001 sebagaimana disebutkan di atas. Kedua, dalil dan dilalahsebagai berikut:
a.    Tidak ditemukan satu keteranganpun selama Nabi melakukan safar haji atau lainnya melakukan Jum’at.
b.    Ditemukan satu keterangan ketika Nabi melakukan safar haji (wukuf di Arafah pada hari Jumat, 9 Dzulhijjah tahun 10 H). Nabi tidak salat Jumat.
c.     Ditemukan satu keterangan ketika Ibnu Umar (shahabat yang taassi kepada Rasulullah saw.) safar (menjenguk yang sakit) tidak salat Jumat
Untuk lebih memahami penajaman dilalahtersebut maka perlu diuraikan dalam kerangka metodologis sebagai berikut:
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa menurut Dewan Hisbah musafir tidak dikecualikan dari taklif (kewajiban) salat Jumat. Hanya secara faktual sejak turun ayat itu (al-Jumuah:9) dan lahirnya sabda tersebut (yang mengecualikan 4 golongan dari taklif Jumat), selama 10 tahun Nabi hidup di Madinah tidak ditemukan keterangan Nabi saw.  salat Jumat waktu safar. Meskipun demikian fakta tersebut tidak dijadikan qarinah(indikator, keterangan pendukung) untuk mengecualikan musafir dari taklif Jumat.  Namun ketika dikaitkan dengan dalil bahwa waktu safar ke Mekah untuk pelaksanaan haji tahun 10 H. dan pada hari Jumat, 9 Dzulhijjah tahun 10 H. Nabi wukuf di Arafah, beliau melaksanakan  salat zhuhur dan ashar dijama dan diqasar bukan salat Jumat, maka dapat diambil dilalah bahwa musafir boleh tidak melaksanakan Jumat. Secara tersirat hal itu menunjukkan adanya rukshah (keringanan) bagi musafir dalam melaksanakan taklif Jumat.
Dalam Bulug al-Maram Ibnu Hajar mengutip hadis tersebut dengan redaksi sebagai berikut:
‎…فَأَجَازَ حَتَّى أَتَى عَرَفَةَ, فَوَجَدَ اَلْقُبَّةَ قَدْ ضُرِبَتْ لَهُ بِنَمِرَةَ فَنَزَلَ بِهَا حَتَّى إِذَا زَاغَتْ اَلشَّمْسُ أَمَرَ بِالْقَصْوَاءِ, فَرُحِلَتْ لَهُ, فَأَتَى بَطْنَ اَلْوَادِي, فَخَطَبَ اَلنَّاسَ ثُمَّ أَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ, فَصَلَّى اَلظُّهْرَ, ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى اَلْعَصْرَ, وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا…
…Selanjutnya beliau berangkat hingga sampai di Arafah, maka beliau menemukan tenda yang telah dibangun untuknya di Namirah, kemudian beliau singgah di Namirah, sehingga tatkala tergelincir matahari, beliau menyuruh dibawakan Qaswa (unta beliau), kemudian unta itu diserahkan padanya. Selanjutnya beliau sampai di lembah, terus beliau memberi khutbah pada orang-orang kemudian Bilal adzan selanjutnya iqamat, terus beliau salat Dzuhur, kemudian iqamat, dan terus salat Ashar, serta beliau tidak salat apapun di antara kedua salat itu. H.r. Muslim[24]
Dalam Shahih Muslim dengan redaksi
‎…فَأَجَازَ رَسُولُ اللهِ r حَتَّى أَتَى عَرَفَةَ فَوَجَدَ الْقُبَّةَ قَدْ ضُرِبَتْ لَهُ بِنَمِرَةَ فَنَزَلَ بِهَا حَتَّى إِذَا زَاغَتِ الشَّمْسُ أَمَرَ بِالْقَصْوَاءِ فَرُحِلَتْ لَهُ فَأَتَى بَطْنَ الْوَادِي فَخَطَبَ النَّاسَ …ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا…
…Selanjutnya Rasulullah saw. berangkat hingga sampai di Arafah, maka beliau menemukan tenda yang telah dibangun untuknya di Namirah, kemudian beliau singgah di Namirah, sehingga tatkala tergelincir matahari, beliau menyuruh dibawakan Qaswa (unta beliau), kemudian unta itu diserahkan padanya. Selanjutnya beliau sampai di lembah, terus beliau memberi khutbah pada orang-orang…(kemudian dikumandangkan adzan) selanjutnya iqamat, terus beliau salat Dzuhur, kemudian iqamat, dan terus salat Ashar, serta beliau tidak salat apapun di antara kedua salat itu.[25]
Dalam riwayat an-Nasai dengan redaksi
‎أَنَّ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللهِ قَالَ: سَارَ رَسُولُ اللهِ r حَتَّى أَتَى عَرَفَةَ فَوَجَدَ الْقُبَّةَ قَدْ ضُرِبَتْ لَهُ بِنَمِرَةَ فَنَزَلَ بِهَا حَتَّى إِذَا زَاغَتِ الشَّمْسُ أَمَرَ بِالْقَصْوَاءِ فَرُحِلَتْ حَتَّى إِذَا انْتَهَى إِلَى بَطْنِ الْوَادِي خَطَبَ النَّاسَ ثُمَّ أَذَّنَ بِلاَلٌ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
Sesungguhnya Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah saw. berangkat hingga sampai di Arafah, maka beliau menemukan tenda yang telah dibangun untuknya di Namirah, kemudian beliau singgah di Namirah, sehingga tatkala tergelincir matahari, beliau menyuruh dibawakan Qaswa (unta beliau), lalu berangkat hingga sampai di lembah, terus beliau memberi khutbah pada orang-orang, kemudian Bilal adzan, selanjutnya iqamat, terus beliau salat Dzuhur, kemudian iqamat, dan terus salat Ashar, serta beliau tidak salat apapun di antara kedua salat itu.[26]
Dari dalil dan dilalah yang dijadikan pertimbangan di atas tampak jelas bahwa kebolehan tidak Jumat bagi musafir itu bukan karena tidak taklifJumat (bukan karena dikecualikan dari kewajiban Jumat), melainkan karena Nabi tidak Jumat (untuk menunjukkan adanya rukshah Jumat bagi musafir).
Dari kerangka pemikiran di atas tampak jelas persamaan dan perbedaan di antara kedua keputusan tersebut. Dikatakan sama jika dilihat dari aspek taklif Jumat, yakni musafir tidak kecualikan dari taklif Jumat. Dikatakan berbeda jika dilihat dari aspek madlulnya. Pada keputusan 2001 tampaknya taklif jum’at bagi musafir merupakan azimah (keharusan) atau wajib mu’ayyan (tidak ada pilihan).  Sedangkan pada keputusan 2007 menunjukkan bahwa dalam taklifJum’at terdapat rukhsah (keringanan) atau wajib mukhayyar (boleh memilih) bagi Musafir.  Karena perbedaan madlul inilah dilakukan revisi terhadap keputusan tahun 2001.
Perlu diketahui bahwa hadis tentang wukuf Nabi pada hari Jumat itu telah dijadikan pertimbangan pula oleh A.Hasan, K.H.A.Qadir Hasan, dan K.H.E. Abdurrahman dalam menetapkan masalah ini, namun aspek yang dianalisis keduanya sedikit berbeda. A.Hasan dan K.H.A. Qadir Hasan membantah penggunaan dalil wukuf Nabi dalam masalah ini dengan pendekatan tarikh, yakni wukuf Nabi itu bukan hari Jumat, melainkan hari Sabtu.[27] Karena itu musafir tetap wajib Jumat.[28] Sedangkan K.H.E. Abdurrahman dalam Istifta Majalah Risalah menegaskan bahwa wukuf Nabi di Arafah itu adalah hari Jumat[29], dan salat yang dilaksanakannya adalah salat Jumat. Dalam hal ini beliau berpendapat: Bila adzan dalam sembahyang Jum’at di Arafah itu, yang kebetulan terkumpul dua hari raya, dilakukan ba’da khutbah, itu adalah satu contoh dari Rasulullah bagaimana cara sembahyang Jum’at bila kebetulan sedang wukuf di Arafah, sebagaimana disyariatkan Rasulullah bagaimana cara sembahyang Jum’at bila kebetulan Jum’at pada hari raya Adha atau Fithri, ia mempunyai cara khusus, orang yang ikut sembahyang hari raya, ia bebas dari wajib Jum’at, yakni dia sudah  melakukannya dengan cara yang khas.[30] Dari analisis tersebut tampaknya beliau memposisikan hadis wukuf Arafah itu sebagai dalil khas (khusus), yakni hanya berlaku apabila wukuf Arafah jatuh pada hari Jumat.
Pertimbangan K.H.E Abdurrahman di atas dikemukakan pula oleh sebagian anggota Dewan Hisbah pada sidang bulan April 2007 tersebut. Namun para anggota Dewan Hisbah tidak menemukan qarinah (keterangan pendukung) untuk menunjukkan bahwa Nabi tidak Jumat itu karena wukuf yang terjadi hari Jumat. Karena itu mayoritas para anggota cenderung menetapkan bahwa Nabi tidak Jumat itu karena safarnya. Dengan demikian ketentuan ini (boleh tidak Jumat) berlaku bagi musafir yang ibadah haji (wukuf hari Jumat atau hari Jumat bukan hari wukuf) maupun yang tidak ibadah haji.
Kerangka Pemikiran 3: Bagi Musafir Yang Tidak Melaksanakan Jumat Wajib Zuhur
Masalah lain yang dijadikan pertimbangan revisi adalah pelaksanaan zhuhur bagi musafir yang tidak Jumat. Keputusan ini dapat dikatakan bukan hanya merevisi keputusan tahun 2001 tetapi lebih jauh dari itu telah “merombak” fiqih Persis yang telah terbentuk selama bertahun-tahun, yakni bahwa tidak ada zhuhur bagi musafir. Atau dengan perkataan lain, bagi musafir hanya ada satu taklif (salat Jumat). Sedangkan keputusan ini  (2007) menunjukkan bahwa bagi musafir ada dua taklif: (1) salat Jumat (bagi musafir yang hendak salat Jumat), (2) salat zhuhur (bagi musafir yang tidak salat Jumat).
Tampaknya keputusan ini juga tidak terlepas dari fokus analisis terhadap dilalah hadis tentang Nabi salat zhuhur dan ashar dijama dan diqashar ketika wukuf di Arafah pada hari Jumat, 9 Dzulhijjah tahun 10 H.  sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim di atas yang menegaskan bahwa pada hari Jumat itu Nabi menjama salat zhuhur dan ashar, bukan salat Jumat.
Dari dalil dan dilalah itu dapat ditetapkan madlulbahwa pelaksanaan zhuhur bagi musafir yang tidak Jumat karena  Nabi sendiri melaksanakan  salat zhuhur dan ashar dijama’ dan diqashar pada hari Jumat ketika safar di Arafah itu.
Pemahaman terhadap dua taklif bagi musafir itu diperkuat oleh dua riwayat tentang Ibnu Umar yang tetap melaksanakan Jumat ketika safar. Namun pada satu waktu beliau tidak melaksanakan salat Jumat tersebut.  Hadis tentang Ibnu Umar yang melaksanakan Jumat ketika safar sebagai berikut:
‎عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ إِذَا كَانَ بِمَكَّةَ فَصَلَّى الْجُمُعَةَ تَقَدَّمَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ تَقَدَّمَ فَصَلَّى أَرْبَعًا وَإِذَا كَانَ بِالْمَدِينَةِ صَلَّى الْجُمُعَةَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى بَيْتِهِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَلَمْ يُصَلِّ فِي الْمَسْجِدِ فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُ ذَلِكَ
Dari Atha, dari Ibnu Umar, ia berkata, “Beliau (Ibnu Umar) berada di Mekah, lalu salat Jumat. (setelah selesai) ia melangkah ke depan untuk salat sunat dua rakaat, kemudian melangkah ke depan untuk salat sunat empat rakaat. Dan bila berada di Madinah ia salat Jumat, lalu kembali ke rumahnya, maka salat dua rakaat dan tidak salat di masjid. Maka ditanyakan kepadanya, lalu ia berkata, “Rasulullah saw.. melakukan hal itu (salat sunat bada Jumat di rumahnya). H.r. Abu Daud[31]
Sedangkan hadis tentang Ibnu Umar yang tidak melaksanakan Jumat ketika safar sebagai berikut:
‎عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ذُكِرَ لَهُ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ وَكَانَ بَدْرِيًّا مَرِضَ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ فَرَكِبَ إِلَيْهِ بَعْدَ أَنْ تَعَالَى النَّهَارُ وَاقْتَرَبَتْ الْجُمُعَةُ وَتَرَكَ الْجُمُعَةَ
Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar diterangkan kepada beliau bahwa Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufel, dan ia orang Badar, sakit pada hari Jumat Lalu Ibnu Umar berangkat untuk menengoknya menjelang siang, dan telah dekat waktu Jumat, dan Ibnu Umar tidak melaksanakan Jumat . H.r. Al-Bukhari[32]
Sebagian ulama menjelaskan alasan Ibnu Umar tidak melaksanakan salat Jumat itu. Imam al-Kirmani berkata,
‎كَانَ لِعُذْرٍ وَهُوَ إِشْرَافُ الْقَرِيْبِ عَلَى الْهَلاَكِ لِأَنَّهُ كَانَ ابْنُ عُمَرَ رضي الله تعالى عنه وَزَوْجُ أُخْتِهِ
“Beliau tidak salat Jumat karena uzur, yakni kerabatnya mendekati saat kematian. Karena Ibnu Umar (ada hubungan kerabat) dengan suami saudara perempuannya (Said bin Zaid). [33]
Menurut Imam al-‘Aini, pendapat senada disampaikan pula oleh penyusun kitab at-Taudhih. Namun pendapat keduanya dikoreksi oleh al-Aini sebagai berikut:
‎فِيْمَا قَالاَ نَظَرٌ نَعَمْ لَوْ كَانَ فِي عَدِمِ حُضُوْرِهِ هَلاَكُهُ لِأَجْلِ عِلَّةٍ مِنَ الْعِلَلِ كَانَ لَهُ فِي ذلِكَ الْوَقْت تَرَكَ الْجُمْعَةَ
Pendapat keduanya perlu ditinjau kembali. Memang benar, andaikata ketidakhadiran Ibnu Umar menyebabkan meninggalnya Sa’id, ini bisa dijadikan salah satu alasan dari berbagai alasan yang menyebabkan Ibnu Umar meninggalkan Jumat pada waktu itu. [34]
Ibnu at-Tin berkata:
‎يَتْرُكُ الْجُمْعَةَ إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ مَنْ يَقُوْمُ بِهِ
Beliau meninggalkan Jumat apabila tidak ada orang lain yang menemani berjamaah. [35]
Dalam masalah ini Ibnu Hajar tidak berkomentar selain menjelaskan maksud al-Bukhari menempatkan kisah ini pada kitabul maghazi[36]
Imam as-Sindi berpendapat:
‎وَيُفْهَمُ مِنْ هذَا أَنَّ التَخَلُّفُ عَنِ الْجُمْعَةِ لِمِثْلِ هذَا الْعُذْرِ أَمْرٌ مُسْتَسَاغٌ لِأَنَّهَا ضَرُوْرَةٌ جَازِبَةٌ يَغْتَفِرُ لَهَا التَّخَلُّفُ عَنِ الْجُمْعَةِ إِذْ قَدْ تَكُوْنُ الْحَاجَةُ مَاسَّةً إِلَى لِقَائِهِ لِيُقِرَّ لَهُ بِدَيْنٍ عَلَيْهِ أَوْ بِوَصِيَّةٍ بِأَبْنَائِهِ أَوْ يُوْصِيَ أمَامَهُ بِشَئْ ٍمِنْ مَالِهِ وَنَحْوِ ذلِكَ فَإِذَا ذَهَبَ إِلَى الصَّلاَةِ فَاتَ هذَا
Dari hadis ini dipahami bahwa meninggalkan Jumat karena uzur seperti ini adalah perkara yang diperbolehkan, karena hal itu merupakan darurat yang ….dibolehkan meninggalkan Jumat karena darurat semacam itu. Karena terkadang keperlukan menemuinya lebih mendesak; (seperti) untuk mengikrarkan hutangnya atau berwasiat tentang anak-anaknya atau berwasiat tentang pengurusan hartanya, dan lain-lain. Maka bila ia pergi salat perkara-perkara tersebut menjadi terlewatkan[37]
Menurut Ibnu Sa’ad peristiwa ini terjadi pada tahun 51 hijriah. [38]
Perlu diketahui bahwa kisah ini diriwayatkan pula oleh para mukharrij (pencatat hadis) lainnya
‎عَنْ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ أَبِيْ ذُؤَيْبٍ قَالَ دُعِيَ عَبْدُ اللَّهِ بنُ عُمَر لِسَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ وَهُوَ يَمُوْتُ وَابْنُ عُمَر يَسْتَجْمِرُ لِلْجُمْعَةِ فَأتَاهُ وَتَرَكَ الْجُمْعَةَ
Dari Ismail bin Abdurrahman bin Abu Dzuaib (Dzi’b), ia berkata, “Abdullah bin Umar dipanggil untuk (menjenguk) Said bin Zaid pada saat dia akan wafat, dan Ibnu Umar (ketika itu) sedang bersuci untuk salat Jumat. Lalu ia mendatanginya dan meninggalkan salat Jumat” H.r. As-Syafi’i[39], Abdurazaq[40] dan al-Baihaqi[41]
‎عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ذُكِرَ لَهُ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ وَكَانَ بَدْرِيًّا مَرِيْضٌ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَرَاحَ إِلَيْهِ بَعْدَ أَنْ تَعَالَى النَّهَارُ وَاقْتَرَبَتْ الْجُمُعَةُ وَتَرَكَ الْجُمُعَةَ
Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar diterangkan kepada beliau bahwa Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufel, dan ia orang Badar, sakit pada hari Jumat Lalu Ibnu Umar berangkat untuk menengoknya menjelang siang, dan telah dekat waktu Jumat, dan Ibnu Umar tidak melaksanakan Jumat . H.r. Al-Baihaqi[42]
‎عَنْ أَيُّوْبَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أُسْتُصْرِخَ عَلَى سَعِيْدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَمْرٍو بْنِ نُفَيْلٍ يَوْمَ الْجُمْعَةِ بَعْدَ مَا ارْتَفَعَ النَّهَارُ فَخَرَجَ إِلَيْهِ لَمْ يُجَمِّعْ يَوْمَئِذٍ
Dari Ayub, dari Ibnu Umar: “Beliau (Ibnu Umar) dimintai tolong atas Said bin Zaid bin Amr bin Nufel pada hari Jumat setelah siang, lalu beliau pergi kepadanya, ketika itu beliau tidak salat Jumat” H.r. Abdurazaq[43]
Pada riwayat Ibnu Jurej dengan redaksi
‎بَعْدَ مَا ارْتَفَعَ الضُّحَى فَأَتَاهُ ابْنُ عُمَرَ بِالْعَقِيْقِ
“…setelah lewat waktu dhuha, maka Ibnu Umar mendatanginya di Aqiq” H.r. Abdurazaq [44]
‎عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنًا لِسَعِيْدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ نُفَيْلٍ كَانَ بِأَرْضٍ لَهُ بِالْعَقِيْقِ عَلَى رَأْسِ أَمْيَالٍ مِنَ الْمَدِيْنَةِ فَلَقِيَ ابْنَ عُمَرَ غَدَاةَ الْجُمْعَةِ فَأَخْبَرَهُ بِشَكْوَاهُ فَانْطَلَقَ إِلَيْهِ وَتَرَكَ الْجُمْعَةَ
Dari Nafi, sesungguhnya putra Said bin Zaid bin Amr bin Nufel tinggal di satu tanah (miliknya) di Aqiq beberapa mil dari Madinah, maka ia menemui Ibnu Umar hari Jumat pagi. Lalu mengabarkan sakitnya (Said), maka ia pergi ke sana dan meninggalkan salat Jumat. H.r. Ibnu Abu Syaibah[45]
Berbagai keterangan di atas menunjukkan para ulama sepakat mengakui bahwa Ibnu Umar tidak melaksanakan salat Jumat ketika safar. Namun mereka berbeda pendapat dalam menjelaskan sebabnya. Hal itu terjadi karena pada riwayat-riwayat tersebut tidak ada satupun keterangan tentang illat (sebab) tidak salat Jumat itu. Dengan demikian, hemat kami semua keterangan itu tidak lepas dari ihtimal (kemungkinan). Sedangkan ihtimal tidak dapat dijadikan landasan istinbat (menetapkan kesimpulan)
Demikian kiranya kerangka pemikiran dan landasan metodologis yang digunakan oleh Dewan Hisbah dalam menetapkan istinbath “Musafir boleh tidak melaksanakan Jumat. Musafir yang tidak melaksanakan Jumat wajib salat zuhur”

[1]Lihat, Kumpulan Risalah A.Hasan: Risalah Jumat, hal. 191
[2]Lihat, Majalah Risalah rubrik Istifta, No. 138 tahun XIII  hal. 313
[3]Lihat, Kata Berjawab, III:43
[4]Konversi (perbandingan hijriah ke masehi) di atas berdasarkan perhitungan sebagian ahli hisab. Sedangkan ahli hisab lainnya menghitung bahwa Nabi singgah di Quba itu pada hari Senin 8 Rabi’ul Awwal bertepatan dengan tanggal 20 Maret 622 M. Dan berangkat hingga sampai di Madinah hari Jumat 12 Rabi’ul Awwal bertepatan dengan 24 Maret 622 M. Lihat, Almanak Alam Islami, 2000:184
[5]Lihat, Tarikh at-Thabari, I:571; Sirah Ibnu Hisyam, juz III, hal. 22; Tafsir al-Qurthubi, juz XVIII, hal. 98
[6]Lihat, Fathul Bari, III:4
[7]Salat lima waktu disyariatkan pada malam Mi’raj tiga tahun sebelum hijrah sebanyak 11 rakaat, masing-masing 2 rakaat kecuali salat maghrib 3 rakaat, baik bagi musafir maupun muqim. Setelah hijrah, masing-masing ditambah 2 rakaat kecuali Maghrib dan subuh (17 rakaat). Namun setelah turun ayat 101 surat an-Nisa tahun 4 hijriah, maka bagi musafir salat itu  dapat dilakukan 2 rakaat (Lihat, Fathul Bari, I:554; Taudhihul Ahkam Syarah Bulugh al-Maram, I:469)
[8]Lihat, Sunan Abu Daud, I:347. Ada orang yang berpendapat bahwa hadis Thariq ini tidak dapat dipakai hujjah, karena: (1) Pada sanadnya terdapat rawi yang bernama Huraim. Menurut Ibnu Hazm, Huraim adalah rawi yang majhul (tidak terkenal). Karena itu, hadis yang pada sanadnya terdapat rawi yang majhul tidak dapat dipakai hujjah, karena tidak dapat diketahui apakah rawi itu benar atau tidak. (2) Thariq bin Syihab, walaupun ia bertemu dengan Nabi saw.. tetapi tidak mendengar apapun dari beliau. Karena itu, tentu ia mendengar dari orang lain yang tidak disebut namanya.  Hadis yang seperti ini disebut mursal, sedangkan hadis mursal itu tidak boleh dipakai hujjah.
Tanggapan
(1)   Pernyataan majhul dari Ibnu Hazm terhadap Huraim bin Sufyan tertolak, karena ia telah dinyatakan tsiqat oleh Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Saad, Al-‘Ijli (Lihat, Tahdzibul Kamal,1994,  XXX:169). Karena itu, rawi tersebut dipergunakan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab Shahih-nya (Lihat, Shahih al-Bukhari, Dar al-Salam, Riyadh, 1997, hal. 235,  No. hadis 1199; Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, 1992, I:242, No. hadis 538).
(2)   Hadis yang dikatakan oleh sahabat dari Nabi saw.. padahal ia tidak mendengar secara langsung dari beliau, disebut mursal sahabi. Menurut ahli hadis mursal shahabi dapat dipakai hujjah. Meskipun demikian, hadis tersebut sebenarnya tidak mursal sahabi, karena pada riwayat Al-Hakim, Thariq bin Syihab menerima dari sahabat lain, yaitu Abu Musa. Adapun keterangan lengkapnya sebagai berikut:
‎حَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ الفَقِيْهُ ثَنَا عُبَيْدُ بْنُ مُحَمَّدٍ العِجْلِيُّ حَدَّثَنِي الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيْمِ الْعَنْبَرِيُّ حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُوْرٍ ثَنَا هُرَيْمُ بْنُ سُفْيَانَ عَنْ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْتَشِرِ عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِيْ مُوْسَى عَنِ النَّبِيِّ  صلى الله عليه وسلم  قَالَ الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ – المستدرك على الصحيحين 1: 425 –
Keterangan para rawi Abu Daud dan Al-Hakim di atas
[a] Al-Abbas bin Abdul Azhim (w. 246 H). An-Nasai berkata, “Tsiqat” (Lihat, Tahdzibul Kamal, 1994,  XIV:222-225)
[b] Ishaq bin Manshur. Ibnu Main berkata, “Laisa bihi Ba’sun (tsiqat)” (Lihat, Tahdzibul Kamal, 1994,  II:478-480)
[c] Huraim bin Sufyan. Ibnu Main berkata, “Tsiqat” (Lihat, Tahdzibul Kamal, 1994,  XXX:169).
[d] Ibrahim bin Muhamad bin al-Muntasyir. Abu Hatim berkata, “Tsiqat” (Lihat, Tahdzibul Kamal, 1994,  II:183-184).
[f] Qais bin Muslim. Ibnu Main berkata, “Tsiqat” (Lihat, Tahdzibul Kamal, 1994,  XXIV:81-83).
[g] Thariq bin Syihab sahabat Rasul
[h] Abu Musa Shahabat Rasul
 
 
[9]Lihat, Sunan Abu Daud, I:363
[10]Lihat, Sunan ad-Daraquthni, II : 3
[11]Lihat, as-Sunan al-Kubra, III : 184
[12]Lihat, Lisan al-Mizan, VI : 55
[13]Lihat, adh-Dhu’afa ash-Shagir lil Bukhari : 69
[14]Lihat, Mizan al-I’tidal, II: 475-476
[15]Lihat, adh-Dhu’afa wa al-Matrukin, libnil Jauzi, II : 136-137
[16]Lihat, as-Sunan al-Kubra, III:183
[17]Lihat, al-Kamil fi Dhu’afa ar-Rijal, II : 207
[18]Lihat, Lisan al-Mizan, III:202-203
[19]Lihat, Sunan ad-Daraquthni, II:40
[20]Lihat, adh-Dhu’afa wa al-Matrukin:71; Mizan al-I’tidal, II : 3-5
[21]Lihat, Tahdzib al-Kamal, XIV:214
[22]Lihat, Risalah Jumat KHE.Abdurrahman:72
[23]Metode ibarat al-nash adalah istilah yang dikemukakan Imam Hanafi, sedangkan mantuq sharih dikemukakan oleh Imam as-Syafi’I, yakni mengambil makna hukum sesuai ungkapan lafal teks.
[24]Hadis tersebut disampaikan oleh Jabir bin Abdullah. Lihat, Bulugh al-Maram, hal 156-157, No. Hadis 742, kitab al-hajj, bab sifat al-haj wadukhul Makah
[25]Lihat, Shahih Muslim, II:886. Ada yang berpendapat bahwa wukuf Nabi di Arafah itu pada hari Sabtu, 10 Dzulhijjah tahun 10 H. Seandainya pendapat ini dapat diterima, berarti pada hari Jumat Nabi berada di Mina dan beliau melaksanakan salat zhuhur dan ashar bukan salat Jumat. Dengan demikian pertimbangan ini tetap tidak menunjukkan bahwa waktu itu Nabi salat Jumat.
[26]Lihat, as-Sunan al-Kubra, I:504, No. hadis 1619
[27]A.Hasan dengan mengutip keterangan dari Zad al-Ma’ad I:229; Muhammad Rasulullah:443; Hayat Muhammad:471 menegaskan bahwa haji Wada yang Nabi saw. dan sahabat-sahabatnya kerjakan itu adalah pada hari Sabtu, bukan hari Jumah. Di dalam riwayat Muslim itupun tidak ditegaskan Nabi saw. berhaji Wada pada hari Jumah, sedang dalam tarikh, diterangkan bahwa mulai Rasulullah saw. dan sahabat-sahabat keluar mengerjakan haji Wada adalah pada tanggal 25 Dzulqa’dah. Tanggal 25 Dzulqa’dah ini jatuh pada hari Sabtu. Dzulqa’dah ini jumlahnya 30 hari karena dalam satu riwayat Aisyah berkata: “Nabi saw. keluar haji dalam bulan Dzilqa’dah dan tinggal 5 hari lagi. Wukuf di Arafah dikerjakan pada tanggal 9 Dzilhijjah. Kalau kita menghitung dari tanggal 25 Dzulqa’dah sampai tanggal 9 Dzilhijjah, maka tanggal Dzilhijjah itu jatuh pada hari Sabtu juga. Lihat, Kumpulan Risalah A.Hasan: Risalah Jumat, hal. 185.
[28]Lihat, Kumpulan Risalah A.Hasan: Risalah Jumat, hal. 185-187; Kata Berjawab, III:43
[29]Yang mengetahui bahwa hari Arafah termaksud jatuh pada hari Jum’at bukan Sd. Umar saja, Ibnu Abbas, Muawiyah, Samurah bin Jundab dan Sd. Ali, semuanya mengatakan seperti yang dikatakan oleh Sd. Umar tadi. Berpedoman kepada nama hari yang diketahui oleh beberapa sahabat, yaitu tanggal 9 DzulHijjah itu adalah hari Jum’at, dengan mudah dapat diketahui dari tanggal satu dari bulan termaksud, yaitu hari Kamis, dan mudah pula kita mengetahui hari yang terakhir dari bulan sebelumnya, yaitu bulan DzulQodah, yaitu hari Rabu, dan dengan berpedoman kepadanya dapat kita mengetahui hari bertolak Rasulullah dari Madinah ke Mekkah, yang dinyatakan oleh Ibnu Abbas dan Siti Aisyah, beliau bertolak pada tanggal 25 DzulQadah, tanpa keterangan harinya. Dan sebaliknya bila kita berpedoman kepada tanggal 25 atau 24 Dzulqa’dah yang tidak diketahui harinya yang pasti, sulit atau tidak mungkin dengan pedoman tanggal tersebut mengetahui hari apa tanggal satu bulan DzulHijjah, yang tidak diketahui pula umur bulan Dzulqa’dah, apakah tiga puluh hari atau dua puluh sembilan hari, dan sebenarnya tidak perlu diselidiki lagi hari apa Rasulullah wukuf di Arafah, sebab sudah ada yang mengetahuinya, yaitu Umar dan sahabat-sahabat yang lain. Riwayat Umar itu tidak bertentangan dengan riwayat yang lain, sebab bila diketahui tanggal 9 DzulHijjah itu hari Jum’at, tentu tanggal 1 DzulHijjah itu jatuh pada hari Kamis, dan hari Rabu adalah hari yang terakhir dari bulan DzulQadah, dan berdasarkan riwayat Ibnu Abbas dan Aisyah Rasulullah bertolak pada tanggal 25, kita dapat mengatakan bahwa Rasulullah bertolak dari sana pada hari Sabtu setelah sembahyang Zhuhur empat rakaat. Rasulullah bertolak bukan hari Jum’at, sebab diterangkan sembahyang Zhuhur empat rakaat sebelum pergi, dan biasanya Rasulullah tidak bepergian hari Jum’at, dan bukan hari Ahad, sebab kan berubah hari, tanggal 1 DzulHijjah, dan tidak cocok dengan keterangan Sd. Umar yang ia ketahui dengan yakin tanggal 9 nya itu hari Jum’at. Lihat, Majalah Risalah rubrik Istifta, No. 138 tahun XIII  hal. 313-314
[30]Lihat, Majalah Risalah rubrik Istifta, No.138tahun XIII, hal. 191, masalah No. 445
[31]Lihat, Sunan Abu Daud, I:363
[32]Lihat, Shahih al-Bukhari, 1997:820, kitabul maghazi, No. hadis 3990.
[33]Lihat, Umdah al-Qari, juz XVII, hal. 102.
[34]Ibid.
[35]Ibid.
[36]Lihat, Fathul Bari, VII:360, No. 3.990
[37]Lihat, Musnad as-Syafi’I bi Tartib as-Sindi,hal. 462
[38]Lihat, at-Thabaqat al-Kubra, III:384
[39]Lihat, Musnad as-Syafi’i, hal. 146, No. hadis 436
[40]Lihat, Mushannaf Abdurrazaq, III:240, No. hadis 5495
[41]Lihat, as-Sunan al-Kubra, III:185, No. hadis 5433
[42]Ibid, III:185, No. hadis 5434
[43]Ibid., III:239, No. hadis 5494,
[44]Ibid., III:240, No. hadis 5497. Menurut Ibnu Abdul Bar, jarak antara Aqiq-Madinah 10 mil (16 km) Lihat, at-Tamhid, XXI:218
[45]Lihat, Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, I:443, No. hadis 5108; I:479, No. hadis 5525
Lampiran 1. Keputusan dan Makalah Sidang Dewan Hisbah tahun 1994

KEPUTUSAN SIDANG DEWAN HISBAH
TENTANG
SALAT JUMAT DI ARAFAH
 
‎بسم الله الرحمن الرحيم
 
Dewab Hisbah Persatuan Islam (PERSIS) dalam sidangnya hari Ahad Tanggal 5 Rabiuts Tsani 1415 H / 11 September 1994 M di Jakarta, setelah :
 
MENDENGAR:
1.    Pengarahan dari Ketua Umum PP. Persis Al-Ust. KHA.  Latief Muchtar, MA
2.    Makalah tentang masalah salat juma’t di Arafah yang disampaikan oleh Al-Ust. KHM. Abdurrahman ks.
3.    Pembahasan dari seluruh anggota Dewan Hisbah tentang masalah tersebut.
 
MENGINGAT:
Berdasarkan keterangan hadis serta perhitungan Dewan Hisab Persatuan Islam menyatakan bahwa Nabi saw. wukuf pada haji wadanya jatuh pada hari Jumat dan beliau tidak melaksanakan salat Jumat melainkan salat Zhuhur dan ashar di jama qasar.
 
MENIMBANG:
Perlu adanya kejelasan tentang ada tidaknya salat Jumat di Arafah saat wukuf.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan bahwa pelaksanaan salat Zhuhur dijama dengan ashar pada saat wukuf yang jatuh pada hari Jumat lebih utama.
 
Demikian KEPUTUSAN SIDANG DEWAN HISBAH mengenai masalah tersebut dengan  makalah terlampir.
‎الله يأخذ بأيدينا الى ما فيه خير للإسلام و المسلمين
 
Jakarta, 5 Rabuts Tsani 1415  H/11 September  1994 M
 
DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM
 
KETUA,                                   SEKRETARIS,
 
ttd.                                           ttd.
 
KH. E. SAR’AN                        KH. DRS. SHIDDIQ AMIEN, MBA
NIAT : 03897                         NIAT : 6490.00
Lampiran 2. Keputusan dan Makalah Sidang Dewan Hisbah tahun 1998

KEPUTUSAN SIDANG DEWAN HISBAH
TENTANG
SALAT DZUHUR PADA HARI RAYA BERTEPATAN HARI JUMAT
 
‎بسم الله الرحمن الرحيم
 
Dewan Hisbah Persatuan Islam (PERSIS) dalam sidangnya pada tanggal 17-19 Shafar 1419 H/12-14 Juni 1998 di Bandung, setelah :
 
MENDENGAR:
1.      Pengantar dan pengarahan dari Ketua Umum PP Persis dan Ketua Dewan Hisbah.
2.      Makalah tentang Salat Dluhur Pada Hari Raya yang Jatuh pada Hari Jumat yang disampaikan oleh Al Ustadz KH. A. Zakaria yang menyatakan bahwa orang yang wajib Jumat, pagi harinya ikut salat ‘ied, maka siang harinya mesti salat dzuhur.
3.      Pembahasan dari seluruh anggota Dewan Hisbah tentang masalah tersebut.
 
MENGINGAT DAN MENIMBANG:
1.      Zhohir hadis Ibnu Zubeir menunjukkan bahwa beliau tidakk salat dzuhur, setelah pagi harinya mengimami salat ‘ied yang jatuh pada hari Jumat.
2.      Kalimat “Fajama’ahuma Jami’an” dalam hadis Ibnu Zuber menunjukkan bahwa yang salat ‘ied pagi hari berarti ia juga sekaligus telah Jumat.
3.      Bagi yang wajib Jumat tidak ada kewajiban dzuhur
4.      Salat sendiri-sendiri yang dilakukan oleh Atha dan yang lainnya tidak berdasar sunnah, dan Atha sendiri ragu-ragu, terbukti ia menanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas RA.
5.      Yang dinilai “Ashaba Sunnah” oleh Ibnu Abbas adalah perbuatan Ibnu Zuber, bukan perbuatan ‘Atha dan yang lainnya, sesuai dengan hadis Nabi SAW. :
‎قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ – رواه أبو داود : 73:1 و إبن ماجه : 1311 –
 
 
MEMUTUSKAN:
Menetapkan bahwa tidak ada salat dzuhur bagi orang yang wajib salat Jumat, yang di pagi harinya mengikuti salat ‘ied yang jatuh pada hari Jumat
 
Demikian keputusan sidang Dewan Hisbah tentang masalah tersebut dengan makalah terlampir.
 
‎الله يأخذ بأيدينا الى ما فيه خير للإسلام و المسلمين
 
 
 
Bandung, 19 Shafar 1419 H
14     Juni 1998 M
 
DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM
 
Ketua                                                                                                Sekretaris
 

K.H.E. Sar’an Drs. Shiddiq Amien
Niat: 03897                                                                                      Niat: 06490
Lampiran 2. Keputusan dan Makalah Sidang Dewan Hisbah tahun 2001
KEPUTUSAN SIDANG DEWAN HISBAH
TENTANG
HUKUM SALAT JUMAT  BAGI MUSAFIR
‎بسم الله الرحمن الرحيم
Dewan Hisbah Persatuan Islam setelah
MENGINGAT:
Alquran dan Hadis Rasulullah saw.. yang menerangkan tentang wajib Jumat
‎يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ – الجمعة : 9 –
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Q.s. Al-Jumu’ah:9
‎عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ – رواه أَبو دَاود –
Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi saw.. saw.. beliau bersabda, “Jumat itu adalah hak yang wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah kecuali empat golongan; hamba sahaya, perempuan, anak-anak, dan yang sakit.” H.r. Abu Daud
MENDENGAR:
1.      Pengarahan dari Ketua Umum PP Persis K.H. Drs. Shiddiq Amien, MBA  dan Pengarahan dari Ketua Dewan Hisbah KH.A. Syuhada.
2.      Makalah dan pembahasan yang disampaikan oleh KH.Wawan Shofwan tentang  makalah tersebut
3.      Pembahasan dan penilaian dari anggota Dewan Hisbah terhadap masalah tersebut di atas
MENIMBANG:
1.      Ada pemahaman bahwa musafir tidak wajib Jumat karena tidak ditemukan keterangan Rasulullah saw.. salat Jumat waktu shafar.
2.      Perlu diambil istinbat tentang masalah tersebut
MENGISTINBAT:
Musafir tidak dikecualikan dari kewajiban Jumat
Demikian keputusan sidang dewan hisbah mengenai masalah tersebut dengan  makalah terlampir.
‎الله يأخذ بأيدينا الى ما فيه خير للإسلام و المسلمين
 
Bandung, 23 R. Awwal 1422 H
15    J u n i    2001 M
 
DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM





Ketua                                                                                Sekretaris
Kh. Akhyar Syuhada K.H.Dr. M. Abdurrahman, MA
NIAT: 1632                                                                     NIAT: 7070
Lampiran 3. Keputusan dan Makalah Sidang Dewan Hisbah tahun 2007
DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM
Pada Sidang Dewan Hisbah II Pasca Muktamar XIII
Di PC Persis Banjaran,  03  Rabi’uts Tsani 1428 H
21          April           2007 M
 
Tentang:
“HUKUM JUMAT BAGI MUSAFIR”
‎بسم الله الرحمن الرحيم
Dewan Hisbah Persatuan Islam setelah:
MENGINGAT:
1. Firman Allah tentang wajib Jumat
‎يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Q.s. Al-Jumu’ah:9
2. Hadis Rasulullah saw. tentang golongan yang dikecualikan dari kewajiban Jumat
‎عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنِ النَّبِيِّ r قَالَ الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi saw. saw. beliau bersabda, “Jum’at itu adalah hak yang wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah kecuali empat golongan; hamba sahaya, perempuan, anak-anak, dan yang sakit.” H.r. Abu Daud, Sunan Abu Daud, I:347
3. Hadis yang menerangkan bahwa pada saat wukuf yang jatuh pada hari Jumat di Arafah Rasulullah saw. salat zhuhur dijama dengan ashar
‎فَأَجَازَ رَسُولُ اللهِ r حَتَّى أَتَى عَرَفَةَ فَوَجَدَ الْقُبَّةَ قَدْ ضُرِبَتْ لَهُ بِنَمِرَةَ فَنَزَلَ بِهَا حَتَّى إِذَا زَاغَتِ الشَّمْسُ أَمَرَ بِالْقَصْوَاءِ فَرُحِلَتْ لَهُ فَأَتَى بَطْنَ الْوَادِي فَخَطَبَ النَّاسَ …ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا…
… Selanjutnya beliau berangkat hingga sampai di Arafah, maka beliau menemukan tenda yang telah dibangun untuknya di Namirah, kemudian beliau singgah di Namirah, sehingga tatkala tergelincir matahari, beliau menyuruh dibawakan Qaswa (unta beliau), kemudian unta itu diserahkan padanya. Selanjutnya beliau sampai di lembah, terus beliau memberi khutbah pada orang-oran…(kemudian dikumandangkan adzan) selanjutnya iqamat, terus beliau salat Dzuhur, kemudian iqamat, dan terus salat Ashar, serta beliau tidak salat apapun di antara kedua salat itu. H.r. Muslim, Shahih Muslim, II:886
4. Hadis tentang Ibnu Umar yang melaksanakan Jumat ketika safar sebagai berikut:
‎عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ إِذَا كَانَ بِمَكَّةَ فَصَلَّى الْجُمُعَةَ تَقَدَّمَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ تَقَدَّمَ فَصَلَّى أَرْبَعًا وَإِذَا كَانَ بِالْمَدِينَةِ صَلَّى الْجُمُعَةَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى بَيْتِهِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَلَمْ يُصَلِّ فِي الْمَسْجِدِ فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُ ذَلِكَ
Dari Atha, dari Ibnu Umar, ia berkata, “Beliau (Ibnu Umar) berada di Mekah, lalu salat Jumat. (setelah selesai) ia melangkah ke depan untuk salat sunat dua rakaat, kemudian melangkah ke depan untuk salat sunat empat rakaat. Dan bila berada di Madinah ia salat Jumat, lalu kembali ke rumahnya, maka salat dua rakaat dan tidak salat di masjid. Maka ditanyakan kepadanya, lalu ia berkata, “Rasulullah saw. melakukan hal itu (salat sunat bada Jumat di rumahnya). H.r. Abu Daud, Sunan Abu Daud, I:363
5. Hadis tentang Ibnu Umar yang tidak melaksanakan Jumat ketika safar sebagai berikut:
‎عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ذُكِرَ لَهُ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ وَكَانَ بَدْرِيًّا مَرِضَ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ فَرَكِبَ إِلَيْهِ بَعْدَ أَنْ تَعَالَى النَّهَارُ وَاقْتَرَبَتْ الْجُمُعَةُ وَتَرَكَ الْجُمُعَةَ
Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar diterangkan kepada beliau bahwa Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufel, dan ia orang Badar, sakit pada hari Jumat Lalu Ibnu Umar berangkat untuk menengoknya menjelang siang, dan telah dekat waktu Jumat, dan Ibnu Umar tidak melaksanakan Jumat . H.r. Al-Bukhari, Fathul Bari, VII:360, No. 3.991
MENDENGAR:
1.    Sambutan dan pengarahan dari Ketua Dewan Hisbah KH.Usman Shalehudin
2.    Sambutan dan pengantar dari Ketua Umum PP Persis K.H. Drs. Shiddiq Amien, MBA
3.    Makalah dan pembahasan yang disampaikan oleh: K.H. Luthfi Abdullah Ismail, Lc
4.    Pembahasan dan penilaian dari anggota Dewan Hisbah terhadap masalah tersebut di atas
MENIMBANG:
1.        Keputusan Dewan Hisbah tahun 2001 yang beristinbath bahwa “Musafir tidak dikecualikan dari kewajiban Jumat”
2.        Hadis-hadis tentang empat golongan yang dikecualikan dari wajib Jumat adalah sahih.
3.        Hadis-hadis tentang musafir yang dikecualikan dari wajib Jum’at semuanya daif.
4.        Wukuf Nabi di Arafah terjadi pada hari Jumat, 9 Dzulhijjah tahun 10 H. dan Nabi melaksanakan  salat zhuhur dan ashar dijama dan diqasar.
5.        Ada pemahaman wukuf Nabi di Arafah terjadi pada hari Sabtu, 10 Dzulhijjah tahun 10 H. Dengan demikian, pada hari Jumat Nabi berada di Mina dan beliau melaksanakan  salat zhuhur dan ashar bukan salat Jumat.
6.        Ada pemahaman bahwa musafir tidak wajib Jumat karena tidak ditemukan keterangan Nabi saw. salat Jumat waktu shafar termasuk waktu pelaksanaan haji.
7.        Tidak ditemukan satu keteranganpun selama Nabi melakukan safar haji atau lainnya melakukan Jum’at.
8.        Ditemukan keterangan bahwa Ibnu Umar salat Jumat ketika Safar di Mekah.
9.        Ditemukan keterangan bahwa Ibnu Umar ketika menjenguk yang sakit di Badar tidak melaksanakan Jumat
10.    Orang yang sedang melaksanakan ibadah haji adalah musafir.
11.    Perlu dipertegas kembali tentang hukum Jumat bagi musafir.
Dengan demikian Dewan Hisbah Persatuan Islam
MENGISTINBAT:
1.        Merevisi keputusan Dewan Hisbah tahun 2001 yang menetapkan bahwa “Musafir tidak dikecualikan dari kewajiban Jumat”
2.        Musafir boleh tidak melaksanakan Jumat
3.        Musafir yang tidak melaksanakan Jumat wajib salat zuhur
Demikian keputusan Dewan Hisbah mengenai masalah tersebut dengan  makalah terlampir.
‎الله يأخذ بأيدينا الى ما فيه خير للإسلام و المسلمين
Bandung,  03  R. Tsani 1428 H
21     April   2007 M
 
 
Ketua                                                                                           Sekretaris
K.H. Usman Shalehuddin K.H. Wawan Shofwan Sh
NIAT: 05336                                                                                                                     NIAT: 30400
Lampiran 1
 
TIDAK ADA SALAT JUM’AT DI ARAFAH
Oleh: H.M.Abdurrahman Ks

Menetapkan ada dan tidak adanya salat Jum’at tatkala wukuf di Arafah,terlebih dahulu harus meneliti hari apa Rasulullah wuquf tatkala haji Wada’, selanjutnya meneliti bagaimana pelaksanaan Rasulullah pada waktu itu.
Kalaulah wuquf Rasulullah bukan hari Jum’at, maka bila hari wuquf jatuh pada hari Jum’at, hutbah harus dilaksanakan 2 kali, satu hutbah Arafah sebelum adzan,kedua hutbah Jum’at setelah adzan, kemudian salat Jum’at dan terus salat ashar.
Hari apa Rasulullah wuquf di Arafah tatkala haji Wada’?
Menurut keterangan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Shahabat Umar bin al-Khaththab sebagai berikut:
‎عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْيَهُودِ قَالَ لَهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ آيَةٌ فِي كِتَابِكُمْ تَقْرَءُونَهَا لَوْ عَلَيْنَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ نَزَلَتْ لَاتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا قَالَ أَيُّ آيَةٍ قَالَ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمْ الْإِسْلَامَ دِينًا قَالَ عُمَرُ قَدْ عَرَفْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ وَالْمَكَانَ الَّذِي نَزَلَتْ فِيهِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ. البخاري 1 : 17
Artinya: Dari Umar bin al-Khaththab r.a. bahwa seseorang dari golongan Yahudi berkata padanya,’Hai Amirul Mukminin! Ada satu ayat dalam kitab kamu yang kamu suka membacanya, kalau pada kami (bangsa Yahudi) ayat itu turun, pasti kami akan menjadikan hari itu, hari raya.’ Berkata Umar, ’Ayat apa?’ orang Yahudi berkata, ’Al-Yauma Akmaltulakum……..’ berkata Umar, ’Sungguh saya tahu hari itu, dan tempat turun ayat itu pada Nabi SAW, Nabi sedang berdiri di Arafah, di Arafah.’ Al-Bukhari I : 17
Berdasarkan hadits ini jelaslah wuquf Rasulullah itu Jum’at.
Syaikh Abu Abdillah bin Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi menegaskan:
‎أَنَّهَا نَزَلَتْ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ وَكََََََََََََََانَ يَوْمَ عَرَفَةَ بَعْدَ العَصْرِ فِي حَجَّةِ الوَدَاعِ سَنَةَ عِشْرٍ وَرَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم   وَاقِِفٌ بعرفة  عَلَى نَاقَتِهِ العَضْبَاءِ فَكَادَ عَضَدُ النَّاقَةُ يَنْقَدُّ مِنْ ثَقْلِهَا فَبَرَكَتْ. القرطبي 6 : 61
Artinya: Sesungguhnya ayat itu turun di hari Jum’at, dan hari itu hari Arafah, ba’da Ashar di haji Wada’tahun ke-10 dan Rasulullah SAW wuqufnya di atas untanya Adlba,tulang depan kaki unta itu hampir patah akibat beratnya ayat itu, kemudian unta itu berlutut (bahasa sunda: depa). Al-Qurthubi VI : 61
Komentar Syaikh Abu Fida Ismail Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya:
‎بَلِ الصَّوَابُ الَّذِي لاَ شَكَّ فِيْهِ وَلاَ مِرْيَةَ أَنَّهَا أُنْزِلَتْ يَوْمَ عَرَفَةَ وَكَانَ يَوْمَ جُمُعَةٍ كَمَا رَوَى ذلِكَ أَمِيْرُ المُؤْمِنِيْنَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ وَعَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ. ابن كثير 2 : 14
Artinya: Bahkan yang benar yang tidak ragu dan tidak syak lagi, sesungguhnya ayat itu diturunkan di hari Arafah dan hari itu hari Jum’at,seperti telah meriwayatkan padanya Umar bin al-Khaththab dan Ali bin Abi Thalib……. Ibnu Katsir II : 14
Selanjutnya berdasarkan ilmu hisab yang telah saya hitung, juga al-Ustadz K.H.A. Ghazali dan lainnya, ternyata benar bahwa wuquf di Arafah pada masa Rasulullah haji Wada’ itu hari Jum’at. (Hitungannya terlampir)
Dengan bukti dari hasil perhitungan itu, bahwa yang dimaksud Yauma Jumu’atin (tidak pakai alif lam) adalah hari Jum’at.
Setelah yakin bahwa wuquf di zaman Rasulullah tatkala haji wada’ itu hari Jum’at, marilah kita teliti bagaimana kaifiyat Rasulullah pada waktu itu, apakah salat Jum’at atau tidak.
Kita telah tahu bahwa Rasulullah SAW ibadah hajinya hanya satu kali dan tidak ibadah haji lagi sebab 85 hari setelah itu beliau meninggal dunia, sedangkan dalam cara ibadah haji Rasulullah memerintahkan:
‎لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي لَا أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ. مسلم عن جابر
Kamu harus mengambil (dariku) cara ibadah haji kamu, maka sesungguhnya saya tidak tahu mungkin saya tidak haji lagi setelah haji ini.
Berdasarkan hadits riwayat Muslim dari sahabat Jabir r.a.:
‎فَأَجَازَ حَتَّى أَتَى عَرَفَةَ فَوَجَدَ الْقُبَّةَ قَدْ ضُرِبَتْ لَهُ بِنَمِرَةَ فَنَزَلَ بِهَا حَتَّى إِذَا زَاغَتِ الشَّمْسُ أَمَرَ بِالْقَصْوَاءِ فَرُحِلَتْ لَهُ فَأَتَى بَطْنَ الْوَادِي فَخَطَبَ النَّاسَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا…(الحديث عن جابر رواه مسلم, بلوغ المرام : 150)
Artinya: Selanjutnya beliau berangkat hingga sampai di Arafah, maka beliau menemukan tenda yang telah dibangun untuknya di Namirah, kemudian beliau singgah di Namirah, sehingga tatkala tergelincir matahari, beliau menyuruh dibawakan Qaswa (unta beliau), kemudian unta itu diserahkan padanya. Selanjutnya beliau sampai di lembah, terus beliau memberi hutbah pada manusia, kemudian dikumandangkan adzan selanjutnya qomat, terus beliau salat Dzuhur, kemudian qomat, dan terus salat Ashar, serta beliau tidak salat apapun diantara kedua salat itu. H.S.R. Muslim dari Jabir, lihat Bulugh al-Maraam bab Shifat al-Hajj
Terjemah yang digaris bawahi itulah yang menunjukan kaifiyat amal ibadah tatkala wuquf di Arafah, waktu itu hari Jum’at, Rasul tidak melaksanakan salat Jum’at. Dan itulah yang disebut khutbah Arafah, yang harus dilaksanakan di Arafah di hari apapun terjadinya hari Arafah.
Dengan dua alasan di atas, maka:
a. Hari wuquf di zaman Rasulullah (haji wada’) adalah hari Jum’at.
b. Rasulullah pada waktu itu tidak salat Jum’at.
Maka dapat ditetapkan bahwa : TIDAK ADA SALAT JUM’AT DI ARAFAH.
Bagaimana hubungannya dengan hadits tentang salat Jum’at? Hadits bab Jum’at yang bunyinya:
‎الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ. رواه أبو داود عن طارق بن شهاب
Artinya: Salat Jum’at itu haq sertawajib bagi seluruh umat Islam,dengan berjamaah, kecuali 4 golongan: abid, perempuan, anak-anak, dan yang sakit. H.R. Abu Daud dari Thariq bin Syihab
Hadits tentang Rasulullah tidak salat Jum’at di Arafah, termasuk pentakhsis dari keumuman wajib Jum’at bagi seluruh umat Islam.
Perlu kita ingat tentang Ushul Fiqh, bahwa takhsis itu ada dua macam, ada yang muttashil dan ada yang munfashil.
Contohnya takhsis muttashil (bersambung langsung dalam susunan kalamnya), seperti riwayat Abu Daud di atas.
Takhsis munfashil (pentakhsisnya di matan yang lain) seperti dalam bab Arafah hari Jum’at, Nabi tidak menyelenggarakan salat Jum’at. Takhsis bi al-Fi’li.
Takhsis munfasil satu lagi dengan qaulinya, tentang rukhshah tidak berjum’at bila bersamaan hari

Allah Swt. berfirman:

 وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى
Terjemahan resmi Kementerian Agama RI memilih menggunakan kata “bingung” untuk kata Dhallan, sehingga ayat di atas diterjemahkan sebagai berikut: “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” (QS. Adh-Dhuha: 7)

Bagaimana penjelasan para ulama terhadap QS. Adh-Dhuha: 7 yang seakan-akan menyatakan bahwa Rasulullah saw. pernah menjadi orang yang sesat?

Para ulama penulis kitab Tafsir menampilkan beragam penjelasan para ulama tentang maksud “sesat” dalam ayat itu. Sejauh pengetahuan kami, Imam Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H.), dalam kitabnya Mafaatih Al-Gayb, termasuk ulama penyusun kitab tafsir yang paling lengkap mengumpulkan seluruh penjelasan ulama tentang maksud itu.


Berbagai pendapat itu, oleh Imam Fakhruddin Al-Razi, secara umum terbagi ke dalam dua kelompok ulama:

Pertama, kelompok ulama yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw. pernah mengalami kesesatan, bahkan kekafiran. Dasar pendapat ini adalah QS. Syura: 52, QS. Yusuf: 3, dan QS. Az-Zumar: 65. Di antara yang berpendapat demikian adalah Imam Al-Kalbi (w.146 H), Al-Suddi (w. 127 H) dan Mujahid (w.104 H). Imam Ar-Razi berkata:

فَاعْلَمْ أَنَّ بَعْضَ النَّاسِ ذَهَبَ إِلَى أَنَّهُ كَانَ كَافِرًا فِي أَوَّلِ الْأَمْرِ ، ثُمَّ هَدَاهُ اللَّهُ وَجَعَلَهُ نَبِيًّا
“Ketahuilah bahwa sebagian orang berpendapat bahwa beliau dalam keadaan kafir pada keadaan awal, kemudian Allah memberinya hidayah dan menjadikannya sebagai Nabi.”

قَالَ الْكَلْبِيُّ: وَوَجَدَكَ ضَالًّا  يَعْنِي : كَافِرًا فِي قَوْمٍ ضُلَّالٍ فَهَدَاكَ لِلتَّوْحِيدِ
Al-Kalbi mengatakan, “Dan Dia menemukanmu dalam keadaan Dhalla, yakni sebagai orang kafir di tengah-tengah kaum yang kafir, lalu Dia menunjukkanmu kepada tauhid.”

وَقَالَ السُّدِّيُّ : كَانَ عَلَى دِينِ قَوْمِهِ أَرْبَعِينَ سَنَةً
As-Suddi mengatakan, “Beliau berpegang kepada agama kaumnya selama empat puluh tahun.”

وَقَالَ مُجَاهِدٌ: (وَوَجَدَكَ ضَالًّا) عَنِ الْهُدَى لِدِينِهِ
Mujahid berkata, “Dan Dia menemukanmu dalam keadaan Dhalla, sesat dari hidayah untuk berpegang pada agama-Nya.”

Selanjutnya, Imam Ar-Razi berkata:

وَاحْتَجُّوا عَلَى ذَلِكَ بِآيَاتٍ أُخَرَ مِنْهَا قَوْلُهُ:(مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ) – الشُّورَى : 52 – وَقَوْلُهُ : (وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ) – يُوسُفَ : 3 – وَقَوْلُهُ : (لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ ) – الزُّمَرِ : 65 –
“Mereka berhujjah atas pendapat ini dengan berbagai ayat lain, di antaranya firman Allah: “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu.”   (QS. Asy-Syura: 52), dan firman-Nya: “dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.“ (QS. Yusuf: 3), dan firman-Nya: “”Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65).

فَهَذَا يَقْتَضِي صِحَّةَ ذَلِكَ مِنْهُ ، وَإِذَا دَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى الصِّحَّةِ وَجَبَ حَمْلُ قَوْلِهِ ( وَوَجَدَكَ ضَالًّا) عَلَيْهِ
“Maka ini menunjukkan keabsahan hal itu (sesat) dari beliau dan apabila ayat ini menunjukkan atas keabsahannya, maka mesti membawa firman-Nya: ‘Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang sesat.’ pada beliau (bukan pada kaumnya—pent).” (Tafsir Mafaatih Al-Gayb, juz 31, hlm. 197)

Kedua, kelompok ulama yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw. tidak pernah sama sekali mengalami kesesatan, apalagi kekafiran. Pendapat ini disepakati mayoritas ulama, dari golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan Muktazilah. Imam Ar-Razi berkata:

وَأَمَّا الْجُمْهُورُ مِنَ الْعُلَمَاءِ: فَقَدِ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَا كَفَرَ بِاللَّهِ لَحْظَةً وَاحِدَةً ثُمَّ قَالَتِ الْمُعْتَزِلَةُ : هَذَا غَيْرُ جَائِزٍ عَقْلًا لِمَا فِيهِ مِنَ التَّنْفِيرِ وَعِنْدَ أَصْحَابِنَا هَذَا غَيْرُ مُمْتَنِعٍ عَقْلًا لِأَنَّهُ جَائِزٌ فِي الْعُقُولِ أَنْ يَكُونَ الشَّخْصُ كَافِرًا فَيَرْزُقَهُ اللَّهُ الْإِيمَانَ وَيُكْرِمَهُ بِالنُّبُوَّةِ إِلَّا أَنَّ الدَّلِيلَ السَّمْعِيَّ قَامَ عَلَى أَنَّ هَذَا الْجَائِزَ لَمْ يَقَعْ وَهُوَ قَوْلُهُ تَعَالَى : (مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى) – النَّجْمِ : 2-
Adapun mayoritas Ulama: sungguh mereka bersepakat bahwa Nabi saw tidak pernah kafir kepada Allah dalam sekejap pun. Kemudian, kaum Muktazilah berpendapat, ‘Pengertian ini (sesat atau kafir) tidak boleh secara akal, karena dalam pengertian itu  akan menyebabkan orang lari (dari dakwah beliau, karena kesesatan dan kekafiran merupakan sifat tercela yang tidak mungkin terdapat dalam diri seorang utusan Allah—pent). Sedang menurut para shahabat kami (Ahlus Sunnah Wal Jamaah), sebenarnya pengertian ini tidak tertolak secara akal karena boleh jadi menurut akal seseorang dalam keadaan kafir, lalu Allah menganugerahkan keimanan padanya dan memuliaknnya dengan kenabian, tetapi dalil naqli menunjukkan bahwa kebolehan (tersesat) ini tidak terjadi (pada diri Nabi saw.), yaitu firman-Nya: ‘Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru’.” QS. An-Najm: 2 (Tafsir Mafaatih Al-Gayb, juz 31, hlm. 197)


Selanjutnya, kata Imam Ar-Razi, mereka menampilkan sekitar dua puluh macam penjelasan para ulama tentang maksud “sesat” dalam Qs. Al-Dhuha: 7. Imam Ar-Razi berkata:

 ثُمَّ ذَكَرُوا فِي تَفْسِيرِ هَذِهِ الْآيَةِ وُجُوهًا كَثِيرَةً :
“Kemudian mereka menjelaskan banyak aspek tentang tafsir ayat ini:

أَحَدُهَا : مَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَالْحَسَنِ وَالضَّحَّاكِ وَشَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ: “وَوَجَدَكَ ضَالًّا” عَنْ مَعَالِمِ النِّعْمَةِ وَأَحْكَامِ الشَّرِيعَةِ غَافِلًا عَنْهَا فَهَدَاكَ إِلَيْهَا ، وَهُوَ الْمُرَادُ مِنْ قَوْلِهِ: (مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ)  وَقَوْلِهِ: (وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ)
Yang pertama: apa yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Hasan, ad-Dhahaak, dan Syahr bin Hausyab: “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang dhall” tentang ilmu kenikmatan (dalam riwayat lain: ilmu nubuwwah—pent)  dan hukum-hukum syariah ia tidak mengetahuinya, maka Dia menunjuki kamu terhadapnya, dan itu makna yang dimaksud dari firman Allah: ‘Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu.’ (QS. Asy Syuura: 52) dan Firman-Nya: ‘Dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.’ (QS. Yusuf: 3).

وَثَانِيهَا : ضَلَّ عَنْ مُرْضِعَتِهِ حَلِيمَةَ حِينَ أَرَادَتْ أَنْ تَرُدَّهُ إِلَى جَدِّهِ حَتَّى دَخَلَتْ إِلَى هُبَلَ وَشَكَتْ ذَلِكَ إِلَيْهِ فَتَسَاقَطَتِ الْأَصْنَامُ وَسَمِعَتْ صَوْتًا يَقُولُ : إِنَّمَا هَلَاكُنَا بِيَدِ هَذَا الصَّبِيِّ وَفِيهِ حِكَايَةٌ طَوِيلَةٌ
Yang kedua: hilang dari ibu susuannya Halimah, ketika ia (Halimah) akan mengembalikan kepada kakeknya sehingga Halimah masuk ke berhala Hubal dan ia mengadukan hal itu padanya. Maka terjatuhlah berhala-berhala dan ia mendengar suara berkata: “Sesungguhnya kehancuran kami karena tangan anak ini, dan tentang itu terdapat cerita yang panjang”

وَثَالِثُهَا : مَا رُوِيَ مَرْفُوعًا أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ قَالَ: “ضَلَلْتُ عَنْ جَدِّي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَنَا صَبِيٌّ ضَائِعٌ ، كَادَ الْجُوعُ يَقْتُلُنِي ، فَهَدَانِي اللَّهُ” ذَكَرَهُ الضَّحَّاكُ ، وَذَكَرَ تَعَلُّقَهُ بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ وَقَوْلُهُ : يَا رَبِّ رُدَّ وَلَدِي مُحَمَّدَا ارْدُدْهُ رَبِّي وَاصْطَنِعْ عِنْدِي يَدَا
Yang ketiga: Apa yang diriwayatkan secara marfu’ bahwa Nabi saw bersabda: ‘Aku telah hilang dari kakekku, Abdul Muthalib dan aku seorang anak laki-laki yang hilang, hampir saja rasa lapar membunuhku, maka Allah memberikan petunjuk kepadaku.” Demikian Ad-Dhahaak menerangkan, dan ia menerangkan Abdul Muthalib melekatkan diri pada tirai Ka’bah dan ia berdoa: “Ya Tuhanku, kembalikanlah anakku Muhammad, kembalikanlah ia wahai Tuhanku dan jadikanlah kekuatan untukku.

فَمَا زَالَ يُرَدِّدُ هَذَا عِنْدَ الْبَيْتِ حَتَّى أَتَاهُ أَبُو جَهْلٍ عَلَى نَاقَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهِ مُحَمَّدٌ وَهُوَ يَقُولُ : لَا نَدْرِي مَاذَا نَرَى مِنِ ابْنِكَ ، فَقَالَ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ وَلِمَ ؟ قَالَ : إِنِّي أَنَخْتُ النَّاقَةَ وَأَرْكَبْتُهُ مِنْ خَلْفِي فَأَبَتِ النَّاقَةُ أَنْ تَقُومَ ، فَلَمَّا أَرْكَبْتُهُ أَمَامِي قَامَتِ النَّاقَةُ ، كَأَنَّ النَّاقَةَ تَقُولُ : يَا أَحْمَقُ هُوَ الْإِمَامُ فَكَيْفَ يَقُومُ خَلْفَ الْمُقْتَدِي ! وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ:  رَدَّهُ اللَّهُ إِلَى جَدِّهِ بِيَدِ عَدُوِّهِ كَمَا فَعَلَ بِمُوسَى حِينَ حَفِظَهُ عَلَى يَدِ عَدُوِّهِ
“Maka ia tidak henti-henti mengulangi hal ini di samping Baitullah sehingga Abu Jahal datang kepadanya dengan menunggang unta betina dan di hadapannya terdapat Muhammad, dan ia berkata, ‘Kami tidak tahu apa yang kami lihat dari anakmu.’ Maka Abdul Muthalib berkata, ‘Karena apa?’ Ia berkata, ‘Sesungguhnya aku menderumkan unta betina dan aku menaikannya di belakangku, maka unta itu enggan untuk berdiri, maka ketika aku menaikannya di depanku maka unta betina itu berdiri, seolah-olah unta betina itu berkata, ‘Hai orang bodoh, dia itu imam maka bagaimana mungkin ia berdiri di belakang pengikut!’ dan Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Allah mengembalikannya kepada kakeknya melalui tangan musuhnya sebagaimana Allah melakukannya kepada Musa ketika menjaganya melalui tangan musuhnya”

وَرَابِعُهَا : أَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ لَمَّا خَرَجَ مَعَ غُلَامِ خَدِيجَةَ مَيْسَرَةَ أَخَذَ كَافِرٌ بِزِمَامِ بَعِيرِهِ حَتَّى ضَلَّ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي صُورَةِ آدَمِيٍّ فَهَدَاهُ إِلَى الْقَافِلَةِ وَقِيلَ : إِنَّ أَبَا طَالِبٍ خَرَجَ بِهِ إِلَى الشَّأْمِ فَضَلَّ عَنِ الطَّرِيقِ فَهَدَاهُ اللَّهُ تَعَالَى
Yang keempat: Bahwa Nabi saw. ketika keluar bersama anak buah Khadijah, Maisarah, orang kafir membawa tali kekang untanya hingga tersesat, maka Allah menurunkan Jibril As dalam bentuk manusia dan memberinya petunjuk kembali kepada kafilah dagang. Dan dikatakan, ‘Bahwa Abu Thalib keluar bersamanya ke Syam, maka ia tersesat diperjalanan lalu Allah memberikan petunjuk kepadanya.

وَخَامِسُهَا : يُقَالُ : ضَلَّ الْمَاءُ فِي اللَّبَنِ إِذَا صَارَ مَغْمُورًا ، فَمَعْنَى الْآيَةِ كُنْتَ مَغْمُورًا بَيْنَ الْكُفَّارِ بِمَكَّةَ فَقَوَّاكَ اللَّهُ تَعَالَى حَتَّى أَظْهَرْتَ دِينَهُ
Yang kelima: Dikatakan: “Air hilang dalam susu apabila susu itu melimpah.” Maka makna ayat ini, “Keadaanmu hilang di antara orang-orang kafir di Mekkah. Maka Allah menguatkan mu sehingga engkau menampakkan agama-Nya”

وَسَادِسُهَا : الْعَرَبُ تُسَمِّي الشَّجَرَةَ الْفَرِيدَةَ فِي الْفَلَاةِ ضَالَّةً كَأَنَّهُ تَعَالَى يَقُولُ : كَانَتْ تِلْكَ الْبِلَادُ كَالْمَفَازَةِ لَيْسَ فِيهَا شَجَرَةٌ تَحْمِلُ ثَمَرَ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ وَمَعْرِفَتَهُ إِلَّا أَنْتَ ، فَأَنْتَ شَجَرَةٌ فَرِيدَةٌ فِي مَفَازَةِ الْجَهْلِ فَوَجَدْتُكَ ضَالًّا فَهَدَيْتُ بِكَ الْخُلُقَ، وَنَظِيْرُهُ قَوْلُهُ عليه السلام: «الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ»
Yang keenam: Orang Arab menamai “Pohon yang menyendiri di tengah padang sahara” dengan dhall, seakan-akan Allah Ta’ala berfirman: ‘Keadaan negeri itu seperti padang sahara yang tandus, yang tidak terdapat pepohonan yang akan membawa buah keimanan kepada Allah dan makrifah-Nya kecuali kamu, maka kamulah pohon yang menyendiri di tengah padang sahara kebodohan, maka Aku mendapatimu dalam keadaan tersesat, maka Aku memberikan petunjuk berbabagi akhlak kepadamu, dan yang setara dengannya sabda Nabi saw: “Hikmah itu adalah barang hilang (yang dicari) seorang mukmin”

وَسَابِعُهَا: وَوَجَدَكَ ضَالًّا عَنْ مَعْرِفَةِ اللَّهِ تَعَالَى حِينَ كُنْتَ طِفْلًا صَبِيًّا كَمَا قَالَ: (وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا) (النَّحْلِ : 78] فَخَلَقَ فِيكَ الْعَقْلَ وَالْهِدَايَةَ وَالْمَعْرِفَةَ وَالْمُرَادُ مِنَ الضَّالِّ الْخَالِي عَنِ الْعِلْمِ لَا الْمَوْصُوفُ بِالِاعْتِقَادِ الْخَطَأِ .
Yang ketujuh: Maka Allah mendapatimu dalam kedaan tidak berilmu tentang makrifah Allah ketika kamu masih anak kecil, sebagaimana Allah berfirman: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun.” (QS. An Nahl: 78). Maka Allah menciptakan akal, hidayah, dan makrifah untukmu. Dan yang dimaksud dengan “orang tersesat” adalah orang yang kosong dari ilmu, bukan yang disifati oleh akidah yang tidak benar


وَثَامِنُهَا : كُنْتَ ضَالًّا عَنِ النُّبُوَّةِ مَا كُنْتَ تَطْمَعُ فِي ذَلِكَ وَلَا خَطَرَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ فِي قَلْبِكَ ، فَإِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى كَانُوا يَزْعُمُونَ أَنَّ النُّبُوَّةَ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ فَهَدَيْتُكَ إِلَى النُّبُوَّةِ الَّتِي مَا كُنْتَ تَطْمَعُ فِيهَا الْبَتَّةَ
Yang kedelapan: “Keadaanmu itu dalla dari nubuwwah, tidaklah engkau tamak/sangat menginginkan hal itu, dan tidak pula terlintas sedikitpun hal tersebut pada hatimu. Namun, karena Yahudi dan Nasrani beranggapan bahwa Nubuwwah ada pada Bani Israil, maka Aku memberimu hidayah pada nubuwwah yang kamu tidak menginginkan hal itu sama sekali.

وَتَاسِعُهَا : أَنَّهُ قَدْ يُخَاطَبُ السَّيِّدُ وَيَكُونُ الْمُرَادُ قَوْمَهُ فَقَوْلُهُ: “وَوَجَدَكَ ضَالًّا”  أَيْ وَجَدَ قَوْمَكَ ضُلَّالًا ، فَهَدَاهُمْ بِكَ وَبِشَرْعِكَ
Yang kesembilan: bahwa terkadang penguasa yang diajak berbicara dan yang dimaksud adalah kaumnya, maka firman Allah, “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang dhall, yaitu Dia mendapati kaummu tersesat, maka Allah memberi mereka hidayah melalui dirimu dan syariatmu.

وَعَاشِرُهَا : وَجَدَكَ ضَالًّا عَنِ الضَّالِّينَ مُنْفَرِدًا عَنْهُمْ مُجَانِبًا لِدِينِهِمْ ، فَكُلَّمَا كَانَ بُعْدُكَ عَنْهُمْ أَشَدَّ كَانَ ضَلَالُهُمْ أَشَدَّ ، فَهَدَاكَ إِلَى أَنِ اخْتَلَطْتَ بِهِمْ وَدَعَوْتَهُمْ إِلَى الدِّينِ الْمُبِينِ
Yang kesepuluh: Dia mendapatimu tersesat dari orang-orang yang tersesat secara menyendiri dari mereka yang asing terhadap agama mereka. Semakin jauh engkau dari mereka maka kesesatan mereka semakin kuat. Lalu Dia memberimu hidayah supaya kamu bercampur dengan mereka dan mendakwahi mereka pada agama yang jelas.

Demikian 10 dari 20 aspek penafsiran maksud “Dhall” versi jumhur ulama yang dirangkum oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi. Baca selengkapnya dalam Tafsir Mafaatih Al-Gayb, juz 31, hlm. 197-199)

Dari penjelasan Imam Ar-Razi di atas kita dapat memahami bahwa terdapat perbedaan pendapat antara jumhur dan tha’ifah di kalangan ulama  Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam memahami maksud “sesat” (dhall) dalam QS. Adh-Dhuha:7 tersebut.

Dengan demikian, memaknai ayat itu: “bahwa Nabi Muhammad saw. pernah mengalami kesesatan” memiliki rujukan para ulama yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu, namun tentu saja penafsiran mereka tidak bermaksud “melecehkan” Nabi saw.

Bandung, 02 Dzulhijjah 1439 H/13 Agustus 2018

By Amin Muchtar, sigabah.com