Kamis, 31 Mei 2018

KEKAYAAN HATI ADALAH KEKAYAAN YANG PALING HAKIKI.

KEKAYAAN HATI ADALAH KEKAYAAN YANG PALING HAKIKI.

عن عبدالله بن عمرو ابن عاس رضي الله عنه قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

Dari Abdullah bin Amr ibnu 'As Radhiyallahu Anhu berkata, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

“Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Alloh menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.”
HR. Muslim.

Seandainya seseorang mengetahui kenikmatan yang seakan mendapatkan dunia seluruhnya, sehingga  akan mensyukurinya dan selalu merasa qona’ah berkecukupan.

Kenikmatan tersebut adalah kenikmatan memperoleh makanan untuk hari yang tengah dijalani saat ini, kenikmatan aman ditempat tinggal dan kenikmatan kesehatan badan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من أصبح منكم آمنا في سربه معافى في جسده عنده قوت يومه فكأنما حيزت له الدنيا

“Barangsiapa di antara kalian merasa aman di tempat tinggalnya, diberikan kesehatan badan, dan diberi makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dia telah memiliki dunia seluruhnya.”
HR. Tirmidzi.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan

Oleh karena itu, banyak berdo’alah pada Allah agar selalu diberi kecukupan.
Do’a yang selalu dipanjatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah do’a:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

“Ya Alloh, aku meminta padaMu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘iffah dan ghina.
HR. Muslim

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, '
Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.”
HR. Muslim, 17/41.

Ya Alloh, berikanlah pada kami sifat ‘iffah dan ghina.
Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan dimudahkan untuk beramal sholeh.

Alloh mengingatkan kepada makhlukNya akan semua nikmat yang telah Alloh limpahkan kepada mereka.

Saat kamu terlelap tidur, bisa jadi pintu langit diketuk puluhan do'a yang  pernah dimohonkan kebaikan untukmu....
do'a tersebut mustajab datang

dari orang faqir yang pernah kamu tolong,  
dari orang lapar yang pernah kamu beri makan,
dari orang sedih yang pernah kamu bahagiakan,
dari orang yang berpapasan yang pernah kamu beri senyuman.  
dari orang yang dihimpit kesulitan yang pernah kamu lapangkan.

maka berbagai kebaikan yang dilakukan
jangan pernah diremehkan walau
terlihat kecil....
Ibnu Qayyim AlJauziah.

     هَلْ تُنْصَرُوْنَ وَتُرْزَقُوْنَ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُم
     
Bahwasanya kalian mendapat pertolongan dan rizki disebabkan
adanya yang lemah di antara kalian......
HR.Bukhari 2896.
       
dilimpahkan pertolongan dan rizki dari Alloh,akibat ungkapan syukur dari mereka kalangan lemah yang pernah kamu bantu...
      
Dan barangsiapa yg memudahkan kesulitan seseorang yang dililit hutang,  niscaya Alloh akan memudahkan segala sesuatu baginya di dunia dan di akhirat.
HR. Muslim 2699.

Rabu, 30 Mei 2018

Level keimanan

menyimak pernyataan Rasulullah : 👇

من رأى منكم منكرًا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان -

Dari Abu Said Al Khudri radhiyallahu anhu dia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.. (HR. Muslim)

iman level 1 : mengingatkan dan memperbaiki kemunkaran dengan kekuasaan atau keteladanan..

iman level 2 : mengingatkan dan memperbaiki kemungkaran dengan bahasa...

iman level 3 : tidak mengingatkan dan tidak  memperbaiki.. hanya mengeluh dan mendoakan...

keimanan kita di level ke satu ke dua atau ketiga ya ?

mudah2an level kita di level ke 1 .. yaitu *menjadi teladan...*

aamiiin..

Selasa, 29 Mei 2018

Apakah dagu aurat?

Maaf, yg d video itu kurang tepat. Krna di bawah dagu termasuk wajah, sedangkan wajah itu bukan aurat.

Sudah ana bahas d grup sebelah tentang batasan aurat.

Intinya, d bawah dagu itu bukan aurat, dan yg pake mukena/jilbab d bawah dagu maka shalatnya tetap sah

bila hari ini aku mati

BILA HARI INI AKU MATI.

Bila hari ini aku mati,kemudian dikuburkan masuk liang lahad....,
lalu tubuhku akan tertutup dengan tanah.... 
Dan ketika selesai upacara penguburan, yang mengantar semua pergi meninggalkan aku...
Masih kudengar jelas langkah terakhir mereka,ketika mereka membiarkan aku sendirian......
Kini aku harus sendiri,dan semua harus ditanggung sendiri,serta aku menunggu keputusan dari mizan perhitungan amal.....
Disini hanya ada penyesalan abadi,sebab Pintu Taubat sudah tertutup dengan rapat...
Ya Alloh... Jika Engkau beri aku kesempatan lagi hidup, Jika Engkau pinjamkan beberapa hari milikMU,memberi kesempatan untukku memperbaiki diri,agar aku bisa terlepas dari adzab siksamu.....

Kini aku harus sendiri...
Untuk waktu yang tak terbayangkan sampai yaumul hisab nanti, kemudian dikumpulkan di Padang Mashar...
Ya Alloh,aku memang tidak layak jadi ahli surga,namun aku juga tidak akan kuat dengan api Neraka.....

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ

Ya Alloh, Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari siksa kubur, siksa neraka Jahanam, fitnah hidup dan  mati, serta dari kejahatan fitnah masihidDajjal.
HR. Al-Bukhari 2 : 102
Muslim 1: 412

ولدتك أمك باكيا والقوم حولك يضحكون سرورا فاعمل ليوم تكون فيه إذا بكوا  في يوم موتك ضاحكا مسرورا

Ketika engkau dilahirkan oleh Ibumu,engkau dalam keadaan menangis, sedang orang disekitarmu tertawa ceria.
Maka rintislah 'amal,agar suatu masa
ketika engkau mati, orang disekitarmu menangisi kematianmu sedangkan engkau tersenyum gembira menggapai Sorga.

Fadhilah sahur

Sahur bukan makan dan minum tengah malam,namun makan minum ta'abudi menjelang waktu shubuh tiba.

FADHILAH SAHUR.

Makan sahur adalah sunnah yang sangat ditekankan dalam Islam, walaupun seseorang Shaum tetap dianggap sah shaumnya, meskipun tanpa sahur.

Dalam hadits yang shahih, Rasulullah ﷺ menganjurkan makan sahur dan memberikan teladan yang baik dalam amalan tersebut.

تسحروا فإن فى السحور بركة

“Bersahurlah kalian, karena dalam sahur ada keberkahan.”
HR. Al-Bukhary dan Muslim.

فصل ما بين صيامنا و صيام أهل الكتاب أكلة السحور

“Garis pembeda antara shaum kita (muslim) dan Ahlul Kitab (kafir) adalah makan sahur.”
HR. Muslim.

Bahkan saking pentingnya Sahur, Rasululloh saw menyuruh bersahur walaupun hanya dengan seteguk air.

تسحروا ولو بجرعة ماء

“Bersahurlah kalian walaupun hanya dengan seteguk air.”
HR. Imam Ibnu Hibban.

Dan termasuk dalam sunnah sahur adalah mengakhirkan waktu, tidak terlalu malam.

تسحرنا مع النبي صلى الله عليه و سلم ثم قام إلى الصلاة، قلت : كم بين الأذان و السحور؟ قال : قدر خمسين آية

Kami bersahur bersama Rasulullah ﷺ kemudian beliau pergi mendirikan sholat.
Aku (Anas) bertanya:
“Berapa jarak antara adzan dan sahur tersebut?” Beliau menjawab:
“Kurang lebih seukuran (bacaan) 50 ayat.”
HR. Al-Bukhary dan Muslim.

إذا أذن ابن أم مكتومٍ فكلوا واشربوا، وإذا أذن بلال فلا تأكلوا ولا تشربوا

“Jika Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan awal makan dan minumlah kalian.
Dan jika Bilal mengumandangkan adzan shubuh maka berhentilah makan dan minum.”
HR.AnNasa’i,Ahmad dan Ibnu Hibban.

Hadits ini memberi pelajaran kepada kita bahwa memulai shaum ketika masuknya waktu subuh.

Basmalah dan permasalahannya

Basmalah dan permasalahannya

Bacaan bismillahirrahmanirrahim disebut basmalah. Masalah basamalah di dalam salat merupakan masalah yang tidak mudah untuk dibahas, maknanya tidak dapat dibahas dengan selayang pandang. Namun demikian kita mulai pembahasan ini dengan harapan Allah memberikan petunjukNya.

Tentang basmalah terdapat beberapa pendapat yang ditemukan yaitu :

1. Basmalah bukan ayat pertama dari tiap-tiap surat melainkan merupakan ayat terpisah yang berdiri sendiri termasuk pada Al-fatihah.

2. Basmalah merupakan ayat pertama dari setiap surat baik pada surat al-fatihah maupun surat-surat lainnya.

3. Basmalah merupakan ayat pemisah dari setiap surat kecuali yang ada pada al-fatihah.

3.1 Basmalah ayat pertama dari al-fatihah tetapi dibaca sir walaupun pada qiraah yang jahar.

3.2 Basmalah dibaca jahar pada salat-salat jahar.

Basmalah bukan ayat pertama dari al-fatihah

Di antara yang berpendapat bahwa Basmalah bukan ayat pertama dari setiap surat termasuk al-fatihah, beralasan bahwa basmalah hanya untuk fashil (pemisah) antara surat, seperti pada surat An-nas, Al-Kafirun, An-Nur dan sebagainya. Pendapat ini berdasarkan hadis berikut :

dari Ibnu Abas ia mengatakan “Rasulullah saw tidak tahu pemisah anatara surat sehingga turun kepadanya Bismillahirrahmanirrahim” H.R Abu daud

Adapun dalil lain yang dianggap mendukung pendapat ini adalah :

Dari Anas ia berkata “tatkala Rasulullah saw pada suatu hari berada di antara kami (di dalam mesjid), tiba-tiba beliau tertidur sekejap lalu menengadahkan kepalanya sambil tersenyum. Maka kami bertanya, “apakah gerangan yang membuat engkau tertawa wahai Rasulullah?” beliau menjawab “baru saja ayat turun kepadaku” maka beliau membaca “bismillahhirrahmanirrahim inna a’thaina kalkautsar, fa shalli lirabbika wanhar inna syaniaka huwal abtar” lalu beliau bersabda “tahukah kamu sekalian al kautsar?”beliau menerangkan…”H.R Ahmad dan Muslim

Berdasarkan hadis-hadis ini jelaslah bahwa basmalah turun bersamaan dengan surat yang sekaligus menjadi pemisah dari surat-surat lainnya. Dan surat yang turun tidak bersamaan dengan Basmalahnya tidak perlu membacanya ketika membaca surat tersebut. Olah karena itu sebagaimana pada surat-surat yang lain, Basmalah pada al-fatihah adalah sebagai pemisah surat bukan ayat pertama dari surat itu.

Dalil lain yang mendukungnya :
Dari Abu Hurairah ia berkata “Rasulullah saw bersabda “barangsiapa mengerjakan suatu salat dan tidak membaca al-fatihah, maka salat itu cacat” beliau bersabda demikian tiga kali. Maka ditanyakan kepada Abu Hurairah, “tetapi kami berada dibelakang imam?’ Ia menjawab “bacalah itu di dalam hatimu karena sesungguhnya saya mendengar Rasulullah saw bersabda “Allah swt telah berfirman “aku membagi al-fatihah menjadi dua bagian, maka untuk hambaKu yang dimintanya. jika hamba itu mambaca Alhamdulillahi rabbil alamin, maka Allah berfirman ‘hambaKu memujiKu, jika hamba itu membaca arrahmanirrahim Allah brefirman ‘hambKu ini telah memujaKu’ dan jika hambaKu ini membaca Maliki yaumiddin Allah berfirman ‘HambaKu telaj memuliakanku dengan kata lain hambaKu telah berserah diri kepadaKu’ dan jika hambaKu ini mengucapkan iyyakana’buduwa iyyaka nastain, Allah berfirman ‘ini antaraKu dan hambaKu dan bagi Hambaku apa yang dimintanya’. Dan jika hamba ini mengucapkan ihdinas shiratal mustaqim shiratal ladzina an’amta alaihim waladldlalin, Allah berfirman ‘ini untuk hambaKu dan untuk hambaKu apa yang dimintanya’” H.r Al Jamaah kecuali al-Bukhari dan Ibnu Majah

Pada hadis ini ayat-ayat uang ada di dalam surat Al-Fatihah disebut satu-satu dari awal sampai akhir, padanya tidak ada Basmalah

Dari Aisyah ia berkata “Rasulullah saw memulai salatnya dengan takbir dan memulai dengan Al Hamdu lillahi rabbil alamin” H.R Muslim

Dari Abdullah bin Mugafal ia berkata “Ayahku mendengar aku sedang membaca Bismillahirrahmanirrahim. maka ia berkata ‘anakku, jauhilah perkara bid’ah’ ia berkata lagi ‘Bapak tidak pernah mendengar seorang sahabat Rasulullah pun yang paling murka terhadap perkara bid’ah di dalam Islam dari pada bid’ah ini sesungguhnya bapak salat dengan Nabi saw Abu Bakar, Umar serta Usman, maka aku tidak mendengar seorang pun dari mereka membaca Bismillahirrahmanirrahim. Maka jika engkau membaca (qiraah), ucapkanlah Alhamdulillahi rabbil alamin” H.R Al Khamsah kecuali Abu Daud

Bahkan pada hadis ini nyata sekali kebid’ahan memulai bacaan Al-Fatihah dengan Basmalah baik sir maupun jahar.

Bismillahirrahamanirrahim dan permasalahannya (bagian 2)

Pada edisi yang lalu telah dicantumkan dalil-dalil yang dianggap menguatkan pendapat pertama yang mengatakan bahwa bismillahirrahmanirrahim itu bukan ayat pertama dari surat apapun termasuk surat Al fatihah

Jawaban terhadap bismillah bukan ayat pertama dari Al-fatihah

1. Hadis pertama riwayat Abu Daud dari Ibnu Abas yang mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak mengetahui pemisah antara surat sehingga turun kepadanya Bismillahirahmanirrahim, dan kedua riwayat Ahmad dan Muslim dari sahabat Anas bin Malik yang menerangkan bahwa surat Inna a’thainakal kautasar turun sekaligus dengan bismillahnya

Hadis pertama memang demikian, bahwa Rasulullah saw tidak mengetahui pemisah surat kecuali setelah turun bismillahirrahmanirrahim, tetapi tidak menjadi dalil bahwa bismillahirrahmanirrahim yang ada pada surat Alfatihah bukan ayat pertama dari padanya. Karena surat Alfatihah merupakan surat pertama di dalam Mushaf sehingga tidak memerlukan pemisah dari surat lainnya. demikian pula hadis kedua bahwa bismillah bukan ayat pertama dari Inna A’thaina

2. Hadis Abu Hurairah dan Ibnu Majah yang menerangkan surat alfatihah tidak dimulai dari Bismillahirrahmanirrahim melainkan dengan Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.

Hadis ini bukan menerangkan bahwa Alfatihah tidak dimluai dengan bismillahirrahmanirrahim melainkan menerangkan makna dan keutamaan surat alfatihah yang makna bismillahirrahmanirrahim telah terdapat pada ayat arrahmanirrahim sehigga tidak disebut dua kali.

3. Hadis riwayat Muslim yang mengatakan bahwa Nabi saw mwmulai salatnya dengan takbir dan memulai bacaaannya dengan Alhamdu.

Alhamdu disini bukan bacaan alhamdulillahi rabbil ‘alamin melainkan nama lain dari surat Alfatihah. Jadi bukan menerangkan bahwa Rasulullah saw tidak membaca Bismillahirrahmanirrahim.

4. Hadis riwayat Al Khamsah kecuali Abu Daud dari sahabat Abdullah bin Mugaffal yang ditegur oleh bapaknya dan dikatakan melakukan bid’ah disebabkan ia membaca Alfatihah dimulai dengan ayat pertaam yaitu Bismillahirrahmanirrahim dan bhwa Rasulullah saw, Abu Bakar dan umar tidak pernah mengerjakannya.

Hadis ini dhaif karena pada sanadnya terdapat seorang rawi yang majhul bernama Yazid. Tidak ada yang meriwayatkan hadis darinya kecuali Abu Na’mah

Selain itu terdapat dalil-dalil yang menunjukan bahwa Basmalah merupakan ayat pertama dari surat Al-fatihah.

1. Surat Alfatihah merupakan surat pertama di dalam mushaf, karena tiu ia tidak memerlukan fashil (pemisah) dari surat-surat lainnya.
2. Al-fatihah disebut juga as sabl’ul matsani, artinya tujuh ayat yang berulang-ulang di dalam salat. Hdis Ummu Salamah menerangkan demikian :

Dari Ummu Salamah ia ditanya mengenai bacaan Rasulullah saw. maka ia menjawab ‘Rasulullah saw itu tidak menyambung satu ayat dengan ayat yang lainnya: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, Arrahmanirrahim, maliki yaumiddin”. H.R Ahmad dan Abu Daud

Selanjutnya riwayat Ad-Daraquthni dari sahabat Abu Hurairah menerangkan dari Nabi saw

Rasulullah saw bersabda “apabila kamu membaca Al-Hamdu (alfatihah) maka bacalah bismillahirrahmanirrahim, karena itu umul quran, Umul Kitab, dan as Sabul masani, serta Bismillahirrahmanirrahim ayat pertamanya.

Maka keterangan-keterangan ini jelas sekali bahwa basmalah merupakan ayat pertama pada surat alfatihah.

Dengan demikian hadis menyatakan bahwa Rasulullah saw melalui bacaannya dengan Al-Hamdu maksudnya adalah dengan alfatihah yang ayat pertamanya bismillahirrahmanirrahim, seperti pada hadis berikut :

dari Aisyah ia mengetekan “adalah rasulullah saw memulai salatnya dengan takbir dan memulai bacaannya dengan Alhamdu” H.R Muslim

Dengan demikian, apabila ditemukan hadis-hadis lain yang menerangkan bahwa Rasulullah saw memulai bacaannya denhan alhamdu atau alhamdulillahi rabbil ‘alamin maksudnya denhan alfatihah yang ayat pertamanya bismillahirrahmanirrahim.

Basmalah dibaca sir pada bacaan sir dan jahar

Bismillahirrahmanirrahim dibaca sir pada bacaan yang jahar apalagi pada bacaan sir.

Yang menyatakan pendapat ini antara lain berdalilkan hadis-hadis dan riwayat-riwayat berikut :

1. Dari Anas bin Malik ia berkata ‘saya salat dengan Nabi saw, Abu Bakar, Umar dna Usman maka saya tidak mendengar seorang pun di antaara mereka membaca bismillahirrahmanirrahim” H.R Ahmad dan Muslim

2. Dari Anas bin Malik ia berkata “saya salat di belakang Nabi saw Abu bakar Umar serta Usman dan mereka memulai (bacaannya) dengan Alhamdulillahi rabbil’alamin tidak membaca bismillahirrahmanirrahim pada awal maupun akhir bacaannya” H.R Ahmad dan Muslim

3. dari Anas bin Malik ia berkata “saya salat dibelakang Nabi saw Abu Bakar, Umar serta Usman dan mereka tidak menjaharkan dengan bismillahirrahmanirrahim” H.R Abdullah pada Musnad bapaknya Ahmad

4. Dari Anas bin Malik ia berkata ‘saya salat di belakang Nabi saw Abu Bakar Umar seta Usman dan mereka tidak menjaharkan (bacaan) bismillahirrahmanirrahim” H.R Ahmad dan AnNasai

Jika diperhatikan dengan seksama, ternyata dalil yang disebutkan di atas semuanya bresumber dari sahabat Anas bin Malik

Jika dirinci dari semua dalil-dalil di atas maka Anas mengatakan :

1. Saya tidak mendengar Nabi Membaca Bismillahi
2.         Nabi memulai bacaannya dengan Alhamdu tidak menyebut bismillahirrahmanirrahim
3. Nabi tidak pernah memulai qiraahnya (alfatihah) dengan bismillahirrahmanirrahim
4. Nabi tidak menjaharkan bismillahirrahmanirrahim

keempat kesimpulan ini mesti diluruskan dan ditempatkan dengan benar.

Bismillahirrahmanirrahim dan permasalahannya (bagian akhir)

Pada edisi yang lalu diterangkan bahwa bismillahirrahmanirrahim dalam salat dibaca sir walaupun pada bacaan jahar.

Pada hadis riwayat Muslim dari Anas bin Malik dengan kata-kata

Saya salat dengan nabi saw Abu bakar, Umar serta Usman, maka saya tidak pernah mendengar seorang pun di antara mereka membaca Bismillahirrahmanirrahim” H.R Ahmad dan Muslim

Pada hadis riwayat Ahmad dan Muslim masih Anas bin Malik dengan kata-kata :

Saya salat di belakang Nabi saw, Abu Bakar, Umar seta Usman maka mereka memulai (bacaannya) dengan Alhamdulillahi rabbil ‘alamin tidak membaca bismillahirrahmanirrahim pada awal maupun akhir bacaannya” H.R Ahmad dan Muslim

Pada hadis riwayat Abdullah bin Ahmad di dalam Musnad Ahmad dengan kata-kata :

Saya salat di belakang Nabi saw Abu Bakar, Umar serta Usman maka mereka tidak pernah memulai (bacaannya) dengan bismillahirrahmanirrahim

Pada hadis riwayat Ahmad dan An-Nasai dari Anas bin Malik dengan kata-kata:

Saya salat di belakang Nab saw Abu Bakar Umar serta usman maka mereka tidak menjaharkan (bacaan) bismillahirrahmanirrahim

Bila diperhatikan dengan seksama, Anas bin Malik menerangkan keadaan Rasulullah saw, Abu Bakar dan Usman bin Affan dengan kata-kata yang berbeda dan dengan arti yang berbeda. Bahkan pada riwayat lain Anas bin Malik sebgaai sumber berita semua itu ketika ditanya mengenai hal itu ia menjawab.

dari Abu Salamah ia berkata “saya bertanya kepada Anas bin Malik. Apakah keadaan Rasulullah saw memulai bacaannya dengan alhamdulillahi rabbil ‘alamin atau dengan bismillahirrahmanirrahim? beliau menjawab “engkau bertanya mengenai perkara yang aku tidak ingat, serta belum pernah seseorang pun bertanya mengenai perkara ini sebelum engkau H.R Ad Daraquthni

Dengan keterangan-keterangan ini jelas sekali Anas bin Malik tidak yakin dengan keterangan-keterangannya sendiri. Suatu ketika ia mengatakan mendengar, pada saat lain ia mengatakan mereka tidak menyebut, dan pada saat lain ia mengatakan tidak memulai dengan bismillah tetapi denganalhamdulillah. Oleh karena itu wajar jika kita berkesimpulan bahwa Anas bin Malik telah lupa dengan kejadian yang sebenarnya. Hali ini terlihat dari jawaban beliau katika ditanya. dan jawabannya tiada lain :

Saya tidak ingat, dan saya tidak pernah ditanya sebelumnya tentang hal itu

Dengan demikian walaupun hadis-hadis di atas itu secara riwayat sahih tetapi secaramakna terdapat idhtirab, maka perlu untuk ditemukan keterangan lain yang menetapkannya.

Basmalah dibaca jahar pada bacaan jahar dan dibaca sir pada bacaan sir.

Abu Nu/aim Al mujmir berkata “saya salat di belakangAbu Hurairah, maka beliau membaca bismillahirrahmanirrahim kemudian alfatihah- tentang hal itu beliau berkata- dan berkata setelah salam ‘Demi Allah aku yang paling serupa dengan salat rasulullah saw dari kalian (H.R Nasai, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim) Al Hakim berkata Hadis ini sahih berdasarkan syarat bukhari dan muslim, Albaihaqi berkata hadis ini isnad serta mempunyai beberapa syahid)

Maka hadis ini sahih dan sarih (jelas dan terang) karena Abu Hurairah meriwayatkan dengan tanpa keraguan berbeda dengan Anas bin Malik.

Selain hadis ini masih terdapat hadis lainnya :

Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ibnu Abi Mulaikah dari Umu Salamah, bahwa ia ditanya mengenai bacaan Rasulullah saw ia menjawab “Rasulullah saw memotong-memotong seayat-ayat Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillahirabbil ‘alamin, Arrahmanirrahim, maliki yaumiddin” H,R Ahmad dan Abu Daud

Selanjutnya riwayat Ad Daraquthni dari sahabat Abu Hurairah menerangkan dari Nabi saw

Rasulullah saw bersabda “apabila kalian membaca Alhamdu (alfatihah) maka baca bismillahirrahmanirrahim, karena itulah Umul Quran, Umul Kitab juga as Sab’ul matsani, serta bismillahirrahmanirrahim itu ayat pertamanya.

Bahkan hadis yang sejalan dengan keterangan-keterangan di atas dating juga dari Anas bin Malik

Dari Anas bin Malik ia berkata “ Adalah Rasulullah saw menjaharkan bismillahirrahmanirrahim” H.R Ad Daraquthni

Asy Syafi’I meriwayatkan yang sanadnya masih dari Anas bin Malik Bahwa Muawiyah pernah mendapatkan teguran cukup keras dari kaum Muhajirin dan Anshar, Ketika ia mengimami pada salat yang jahar dan ia tidak membaca Bismillah

Dari Anas bin Malik ia berkata “Muawiyah salat mengimami orang-orang di Madinah pada salat jahar yang padanya ada qiraah (fatihah), beliau tidak membaca basmalah serta tidak takbir ketika turrun atau bangkit. Ketika selesai. Kaum Muhajirin dan Anshar menegur, ‘Hai Muawiyah salat itu kurang, amana basmalahnya serta mana takbirnya ketika kamu turun dan bangkit? Maka setelah kejadian itu (Muawiyah) apabila salat mengimami mereka membaca bismillahirrahmanirrahim serta takbir”

Kata imam asy Syaukani “ diantara para sahabat yang menjaharkan,Al khatib menerangkan Abu Bakar, Usman, Ubai bin Ka’ab, Abu Qatadah, Abu Said, Anas, Abdullah bin Abi Aufa, Syadad bin Aus, Abdullah bin Ja’far, Al Hasan bin Ali dan Muawiyah

Adapun dari kalangan tabi’in dan generasi selanjutnya terlalu banyak untuk disebut semua. Diantaranya saja: Said bin Al-Musayyab, Thawus, Atha’, Mujahid, Abu Wail, Said bin Jubair, Ibnu Sirin, Ikrimah, Ali bin Al-Husain serta putranya Muhammad bin Aliu, Salim bin Abdullah bin Umar, Muhamad bin Al-Munkadar, Abu Bakar bin Muhamad bni Amr bin Hazm, Muhamad bin Ka’ab, Nafi Maula Ibnu Umar, Abu Sya’tsa, umar bin Abdul Aziz dan lain-lain..

Dari generasi tabi’ut tabi’in : Abdullah al-umri, Al hasan bin Yazid, Zaid bin Ali bin Husain, Muhamad bin Umar bin Ali, Ibnu Abi Dzi’b, Al-Lait bin Saad, Ishaq bin Rawaih, serta yang lainnya ditambah dengan keternagan dari Al baihaqi, Nailul Authar, II:207

Maka dengan keterangan-keterangan dari awal sampai akhir kita dapat mengambil kesimpulan bahwa

1. Bismillahirrahmanirrahim ayat pertama dari surat alfatihah

2. Bismillahirrahmanirrahim dijaharkan pada alfatihah yang jahar dan sir pada bacaan yang sir

Basmalah dibaca pada surat-surat yang dimaktubkan basmalahnya dan tidak dibaca pada surat yang bismillah tidak ada seperti surat Al baraah atau at-taubah

Jumlah rakaat sholat malam atau tarawih

Aisyah Berkata:

مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah nambahi lebih dari 11 rakaat, baik di dalam ramadhan maupun di luar ramadhan. Beliau shalat 4 rakaat, jangan kamu tanya bagusnya dan panjangnya. Kemudian shalat lagi 4 rakaat, jangan kamu tanya bagusnya dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. (HR. Bukhari 3569)

Dengan hadits ini mk ketentuan tarawih itu 11 rakaat. Jika kurang dr 11 maka bukan tarawih

3.Shalat Tarawih Berjama’ah pada Masa Sayyidina ‘Umar radhiyallahu ‘anhu

Dalam Shahih Al Bukhari pada Bab “Keutamaan Qiyam Ramadhan” disebutkan beberapa riwayat sebagai berikut.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ » . قَالَ ابْنُ شِهَابٍ فَتُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَالأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ ، ثُمَّ كَانَ الأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ فِى خِلاَفَةِ أَبِى بَكْرٍ وَصَدْرًا مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ – رضى الله عنهما –

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Humaid bin ‘Abdurrahman dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dari-Nya) maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu“. Ibnu Syihab berkata; Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, namun orang-orang terus melestarikan tradisi menegakkan malam Ramadhan (secara bersama, jamaah), keadaan tersebut terus berlanjut hingga zaman kekhalifahan Abu Bakar dan awal-awal kekhilafahan ‘Umar bin Al Khaththob radhiyallahu ‘anhu. (HR. Bukhari no. 2009)

وَعَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِىِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رضى الله عنه – لَيْلَةً فِى رَمَضَانَ ، إِلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّى الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّى الرَّجُلُ فَيُصَلِّى بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّى أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ . ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ ، ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى ، وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ ، قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ ، وَالَّتِى يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِى يَقُومُونَ . يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ ، وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ

Dan dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata, “Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata, “Aku berpikir bagaimana seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik“. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata, “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini. Dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang shalat awal malam.” Yang beliau maksudkan untuk mendirikan shalat di akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum melakukan shalat pada awal malam. (HR. Bukhari no. 2010)

Adapun jumlah raka’at yang dilakukan pada masa Umar, terjadi perbedaan redaksi, yaitu antara 11 raka’at dengan 20 raka’at ditabah wiitir. Berikut penjelasannya:

a.Shalat Tarawih 11 rakaat dimasa Umar

Disebutkan dalam Muwaththo’ Imam Malik riwayat sebagai berikut.

وَحَدَّثَنِى عَنْ مَالِكٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَىَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِىَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِىِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلاَّ فِى فُرُوعِ الْفَجْرِ.

Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Muhammad bin Yusuf dari As-Sa`ib bin Yazid dia berkata, “Umar bin Khatthab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari untuk mengimami orang-orang, dengan sebelas rakaat.” As Sa`ib berkata, “Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar.” (HR. Malik dalam Al Muwaththo’ 1/115).

Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah diterangkan
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوْسُفَ أنّ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُمَرَ جَمَعَ النَّاسَ عَلَى أُبَيٍّ و تَمِيمٍ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَقْرَأُونَ بِالْمِئَيْنِ يعني فِي رَمْضَانَ  رواه ابن أبي شيبة

Dari Muhamad bin Yusuf, (berkata), ”Bahwasanya as-Saib bin Yazid mengabarkan, ’Bahwa Umar mengumpulkan orang-orang untuk bermakmum pada Ubay (bin Ka’ab) dan Tamim (ad-Dari) sebelas (11) rakaat. Mereka membaca al-miin ayat lebih dari seratus ayat, yakni di bulan Ramadhan”. (H.R. Ibnu Abu Syaibah, Al-Mushannaf, II:284, No. hadis 7.671)

b.Shalat Tarawih 23 rakaat pada masa Umar

1.Jalur Yazid bin Khushaifah
عَنْ يَزِيْدَ بْنِ خُصَيْفَةَ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانُوْا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً وَكَانُوْا يَقْرَأُونَ بِالمِئَينَ وَكَانُوْا يَتَوَكَّؤُونَ عَلَى عِصِيِّهِمْ فِي عَهْدِ عَثْمَانَ  مِنْ شِدَّةِ القِيَامِ   رواه البيهقي

Dari Yazid bin Khushaifah dari As-Saib bin Yazid, ia berkata, ”Orang-orang salat malam pada masa Umar bin Khatab r.a pada bulan Ramadhan dengan 20 Rakaat, ia berkata, ’Mereka membaca dengan mi’ain (surat-surat yang lebih dari seratus ayat) dan mereka bersandar pada tongkat-tongkatnya pada masa Usman r.a, karena terlalu lama berdiri. (H.R. Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, II:496)

Hadis ini diriwayatkan melalui Yazid bin Khushaifah. Menurut Syekh al-Albani, dalam periwayatan Ibnu Khushaifah, terdapat idhtirab (inkonsistensi). Terkadang ia meriwayatkan (jumlah rakaat Qiyam Ramadhan) duapuluh satu rakaat, dan terkadang ia meriwayatkan duapuluh tiga rakaat.  Di samping itu, Al-Albani beralasan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal, dalam komentarnya tentang Yazid, mengatakan bahwa ia (Yazid) seorang munkarul hadits.

Gambaran sanad informasi:

1)Muhammad bin Yusuf menerima dari Saib bin Yazid = bahwa Umar memerintahkan Ubay dan Tamim Ad-Daari untuk shalat 11 Raka’at
2)Yazid bin Khushoifah menerima dari Saib bin Yazid = bahwa orang-orang pada masa umar shalat 20 rakaat tambah witir.

Dengan demikian terjadi perbedaan antara keterangan Yazid dengan Muhamad bin Yusuf, padahal keduanya menerima keterangan itu dari orang yang sama, yakni as-Saib bin Yazid. Keterangan siapa yang layak untuk diterima? Menurut kami, keterangan Muhamad yang lebih layak dijadikan pegangan, dengan alasan:

1)Dilihat dari kekerabatan, Muhammad bin Yusuf lebih dekat dengan as-Saib, yaitu sebagai cucu sudara perempuan as-Saib.
2)Dilihat dari kredibilitas, Muhammad bin Yusuf, menurut Ibnu Hajar, seorang tsiqat tsabt. (Lihat, Taqribut Tahdzib, II:563, No. rawi 6.672) Sedangkan mengenai Yazid bin Khushaifah, Ibnu Hajar menilainya tsiqat saja. (Lihat, Taqribut Tahdzib, II:673, No. rawi 8.017)
3)Dilihat dari bentuk periwayatan, riwayat Muhamad menunjukkan sama’ (menerima secara langsung dari as-Saib), yakni kata akhbarahu (mengabarkan kepadanya). Sedangkan riwayat Yazid tidak menunjukkan sama’ (tidak dapat dipastikan menerima secara langsung dari as-Saib), yakni kata ‘an (dari).
4)Dilihat dari redaksi matan, riwayat Muhamad lebih sharih (jelas, tegas), yaitu [1] pelaksanaan salat 11 rakaat ini diperintah langsung oleh Umar, [2] nama imamnya jelas (Ubay dan Tamim ad-Dari), [3] jumlah ayat yang baca jelas (200 ayat). Sedangkan pada riwayat Yazid tidak ada kejelasan siapa yang memerintah salat 20 rakaat itu dan siapa imamnya. Keterangan yang ada hanya menyebut ”Orang-orang salat malam pada masa Umar bin Khatab r.a pada bulan Ramadhan dengan 20 Rakaat”.

Dilihat dari keempat aspek di atas, kami berkesimpulan bahwa riwayat Yazid bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat, yakni Muhamad bin Yusuf. Dari sinilah kita dapat memahami bahwamunkarul hadits Imam Ahmad terhadap Yazid bin Khushaifah itu merupakan jarh (celaan, kritikan), karena riwayat Yazid bertentangan dengan rawi yang lebih tsiqat.

Kajian Analisis Sanad Jarh – Ta’dil Terkait Rawi Yazid bin Khusaifah

Imam Ahmad menilainya Munkarul Hadits. Ungkapan munkarul hadits versi Imam Ahmad.
Didalam kitabnya al-‘Ilal wa Ma’rifatur Rijal, Imam Ahmad sering menggunakan ungkapan munkarul hadits dalam menilai seorang rawi. Secara umum ungkapan tersebut menunjukkan jarh (celaan, kritikan) terhadap rawi yang daif. (Lihat, Syifa al-Alil, I:173)  sebagai contoh, rawi Salamah bin Wardan dinilai munkarul hadits oleh Imam Ahmad. (Lihat, al-‘Ilal wa Ma’rifatur Rijal, II:24)  Ungkapan ini menunjukkan bahwa Salamah bin Wardan rawi yang sangat daif, tidak bisa dipakai hujjah, menurut Imam Ahmad.

Namun secara khusus ungkapan munkarul hadits versi Imam Ahmad itu ditujukan pula kepada rawi yang tsiqah (kredibel). Maka dalam hal ini, ungkapan seperti itu mempunyai dua pengertian;

a) Apabila periwayatan seorang rawi yang tsiqat (kredibel) tidak mukhalafah (menyalahi) dengan periwayatan rawi lain yang autsaq (lebih kredibel, kuat), maka ungkapan itu menunjukkan taffarud (rawi tersebut sendirian dalam meriwayatkan hadis).
b) Apabila periwayatan rawi yang tsiqat (kredibel) itu mukhalafah (menyalahi) dengan periwayatan rawi lain yang autsaq (lebih kredibel, kuat), maka ungkapan itu menunjukkan bahwa rawi tersebut mukhalafah dengan rawi yang autsaq. (Lihat, Dirasat fil Jarhi wat Ta’dil, hal. 271) Jadi rawi tersebut dikritik bukan dilihat dari aspek kepribadiannya, namun dari segi periwayatannya yang mukhalafah dengan rawi lain yang lebih tsiqat.
Karena itu, untuk memahami ungkapan munkarul hadits dalam pengertian ini diperlukan i’tibar, yaitu penelusuran terhadap berbagai hadis dalam tema yang sama yang diriwayatkan oleh rawi yang dinilai demikian oleh Imam Ahmad.

Dari kriteria khusus inilah kita dapat menilai kredibilitas Yazid bin Abdullah bin Khusaifah. 
Dalam menilai Yazid bin Abdullah bin Khushaifah, Imam Ahmad memberikan dua penilaian;
[a]   menurut Abu Bakar al-Atsram, Ahmad menyatakan tsiqat,
[b]  menurut Abu Daud, Ahmad menyatakan munkarul hadits. (Lihat, Tahdzibul Kamal, XXXII:173;Tahdzibut Tahdzib, XI:340; Mizanul I’tidal, IV:430)

Berdasarkan kriteria khusus di atas, kedua penilaian ini tidak ta’arudh (bertentangan), karena penilaian tsiqat ditujukan kepada kepribadian Yazid. Sedangkan munkarul hadits ditujukan kepada periwayatannya yang mukhalafah dengan rawi lain yang lebih tsiqat, sebagai berikut:

Pada riwayat Yazid bin Khushaifah dari as-Saib bin Yazid diterangkan bahwa orang-orang salat malam pada masa Umar bin Khatab pada bulan Ramadhan dengan 20 Rakaat. Sedangkan pada riwayat Muhammad bin Yusuf, juga dari as-Saib bin Yazid diterangkan bahwa salat itu 11 rakaat.

Dengan melakukan I’tibar, maka jelas posisi yazid sangat lemah, pada riwayatnya terdapat nakaroh sehingga tidak bisa dijadikan hujjah karena bertentangan dengan riwayat yang lebih shahih.

2.Jalur Yahya bin Sa’id
Selain riwayat Yazid, Tarawih 20 rakaat diriwayatkan pula oleh Yahya bin sa’id
أَنَّ عُمَرَ أَمَرَ رَجُلاً يُصَلِّي بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً رواه ابن أبي شيبة
Dari Yahya bin Said, (berkata), “Sesungguhnya Umar memerintah seseorang untuk salat (Tarawih) berjamaah dengan orang-orang sebanyak dua puluh rakaat”. (H.R. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, II:285)

Namun hadis ini juga daif, karena Yahya bin Said (bin Qais Al-Anshari), wafat tahun 143 H/760 M, tidak sezaman dengan Umar bin Khatab, wafaf tahun 23 H/643 H. Dengan demikian terdapat selisih selama 120 tahun dari kewafatan Umar. Oleh karena itu, hadis ini disebut mursal.
Tarawih 20 rakaat Ali bin Abu Thalib
عَنْ أَبِي الحَسْنَاءِ أَنَّ عَلِيًّا أَمَرَ رَجُلاً يُصَلِّى بِهِمْ فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً
Dari Abul Hasna, bahwa Ali memerintah seseorang untuk mengimami mereka pada bulan Ramadhan dengan dua puluh rakaat. (H.R. Ibnu Abu Syaibah, Al-Mushannaf, II :  90  No. 1)
Pada sanad ini terdapat kelemahan, yaitu Abul Hasna majhul (tidak dikenal). Hadis itu  diriwayatkan pula oleh  al-Baihaqi dengan sedikit perbedaan kisah (Lihat, As-Sunanul Kubra, II:496).
Demikian pula sanad hadis ini lemah, bahkan karena dua sebab:
Pertama: Pada sanad hadis terdapat rawi bernama Atha bin as-Saib. Ia mukhtalit (pikun).
Kedua: Terdapat rawi lain bernama Hamad bin  Syu’aib. Orang ini sangat daif. Al-Bukhari menjarahnya dengan ungkapan munkarul hadits dan terkadang dengan fihi nazhar.

Tarawih 20 rakaat Ibnu Abi Mulaikah
Pada riwayat lain diterangkan bahwa Ibnu Abi Mulaikah salat taraweh 20 Rakaat
عَنْ نَافِعِ بْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ يُصَلِّي بِنَا فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً  رواه ابن أبي شيبة
Dari Nafi bin Umar, ia berkata,”Ibnu Abi Mulaikah pernah salat bersama kami pada bulan Ramadan 20 rakaat”. (H.R. Ibnu Abu Syaibah (Al-Mushannaf, II:285)

Keterangan
Salat Tarawih dengan 20 rakaat ini bukan amaliah Nabi, bukan juga merupakan amaliah sahabat Nabi. Dengan demikian salat ini tidak dapat diamalkan.

Tarawih 21 rakaat
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّ عُمَرَ جَمَعَ النَّاسَ فِي رَمْضَانَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ عَلَى تَمِيمٍ الدَّارِ عَلَى إِحْدَى وَ عِشْرِينَ رَكْعَةً يَقْرَأُونَ بِالْمِئَيْنِ وَيَنْصَرِفُونَ عِنْدَ فُرُوعِ الْفَجْرِ
Dari As-Saib bin Yazid, (ia berkata), ”Bahwasanya Umar mengumpulkan orang-orang pada bulan Ramadhan untuk bermakmum pada Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari dengan dua puluh satu rakaat Mereka membaca Al-miina ayat dan selesai menjelang fajar”. (H.R. Abdurazaq, Al-Mushannaf, IV:260)
Hadis ini diriwayatkan oleh rawi-rawi yang tsiqat, namun tetap tidak dapat diamalkan, sebab kasusnya sama seperti hadis Yazid bin Khushaifah. Bedanya hadis ini melalui rawi Qais bin Daud, dari Muhamad bin Yusuf dari As-Saib bin Yazid. Sedangkan pada riwayat Malik bin Anas dan Yahya Al-Qathan, keduanya menerima dari Muhamad bin Yusuf dari As-Saib,diterangkan 11 rakaat. Dengan demikian periwayatan Qais bin Daud bertentangan dengan periwayatan Imam Malik dan Yahya al-Qathan. Sedangkan Imam Malik dan Yahya Al-Qathan lebih tsiqat daripada Daud bin Qais.

Tarawih 23 rakaat
  Zaman Umar bin Khatab  
عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُمَانَ أَنَّهُ قَالَ  كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً
Dari Yazid bin Ruman, ia berkata,” orang-orang pada zaman Umar salat Tarawih sebanyak 23 rakaat (H.R. Malik, Al-Baihaqi, Lihat, Al-Muwattha’, I:138, as-Sunanul Kubra, II : 496)
Keterangan:
Hadis ini juga daif, karena mursal, yaitu Yazid bin Ruman tidak sezaman dengan Umar bin Khatab. Hal ini Dinyatakan hampir dalam setiap kitab hadis, di antaranya; Al-Hafizh az-Zaila’i, An-Nawawi, dan al-Aini (Lihat, Al-Hafizh az-Zaila’i, Nasbur Rayah, II:154, An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, IV:33, dan al-Aini, Umdatul Qari, V:357)

  Tarawih 27 rakaat Ubay bin Ka’ab
عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ رَفِيعٍ قَالَ  كَانَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ يُصَلِّى بِالنَّاسِ فِي رَمَضَانَ بِالْمَدِينَةِ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَيُوْتِرُ بِثَلاَثٍ
Dari Abdul Aziz bin Rufai, ia  berkata, ”Ubay Bin Ka’ab mengimami orang-orang pada bulan Ramadhan di Madinah sebanyak dua puluh rakaat dan berwitir dengan tiga rakaat. (Lihat, Tuhfah al-Ahwadzi, III: 528)
Keterangan: 
Sanad ini munqathi’ (terputus), karena tarikh wafat Ubay bin Ka’ab berbeda 100 tahun dari tarikh wafatnya Abdul Aziz bin Rufai. Artinya, keduanya tidak mungkin bertemu.

  Tarawih Abdullah bin Mas’ud
قَالَ الأَعْمَشُ كَانَ عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُودٍ يُصَلِّى عِشْرِينَ رَكْعَةً وَيُوَتِرُ بِثَلاَثٍ
Al-A’masy berkata, ”Abdullah bin Mas’ud salat tarawih  dua puluh rakaat dan witir tiga rakaat”. (H.R. Ibnu Nashr)
Sanad hadis ini munqathi’, karena Al-A’masy tidak bertemu dengan Abdulah bin Mas’ud. (Lihat,Tuhfatul Ahwadzi, III: 2)

Kesimpulan
Salat malam ataupun salat Tarawih 20 rakaat baik dengan 1 atau 3 rakaat witir, hadis-hadisnya daif dan tidak boleh diamalkan.

Tarawih 39 rakaat
عَنْ قَيْسِ بْنِ دَاوُدَ قَالَ أَدْرَكْتُ النَّاسَ بِالْمَدِينَةِ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَ أَبَانِ بْنِ عُثْمَانَ يُصَلُّونَ سِتًّا وَ ثَلاَثِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلاَثٍ رواه ابن أبي شيبة
Dari Qais bin Daud, ia berkata,”Aku menemui orang-orang di Madinah pada jaman Umar bin Abdul Aziz dan Aban bin Abu Usman, mereka salat 36 rakaat dan witir 3 rakaat”. (H.R. Ibnu Abu Syaibah, Lihat, Al-Mushannaf, II:285)

Tarawih 41 rakaat
قَالَ صَالِحٌ مَوْلَى التَّوْأَمَةِ أَدْرَكْتُ النَّاسَ يَقُومُونَ بِإِحْدَى وَ أَرْبَعِينَ رَكْعَةً يُوتِرُونَ مِنْهَا بِخَمْسٍ
Shalih maula Tauamah berkata,”Aku menemui orang-orang sedang melaksanakan salat 41 rakaat yang witirnya 5 rakaat.” (Lihat, Al-Fathur Rabbani, V:18)
Hadis ini daif karena Shalih bin Nabhan at-Tauamah rawi yang mukhtalith (pikun). (Lihat, Taqribut Tahdzib, I:252, No. rawi 2.970)

Tarawih 47 rakaat
عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عُبَيِدِ اللهِ قَالَ كَانَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنِ اْلأَسْوَدِ يُصَلِّي بِنَا فِي رَمَضَانَ أَرْبَعِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُ بِسَبْعٍ   رواه ابن أبي شيبة
Dari al-Hasan bin Ubaidillah, ia berkata,”Abdurrahman bin Al-Aswad pernah salat mengimami kami pada bulan ramadan dengan 40 rakaat dan witir 7 rakaat”. (H.R. Ibnu Abu Syaibah, Lihat, Al-Mushannaf, II:285) 

Keterangan
Salat Tarawih dengan 39, 41, dan 47 rakaat bukan amaliah Nabi, bukan juga merupakan amaliah sahabat Nabi. Dengan demikian salat termaksud ini dapat  diamalkan.

Kesimpulan
1.     Hadis-hadis tentang rakaat tarawih lebih dari 11 rakaat (21, 23, 39, 41, dan 47 rakaat) statusnya daif.

2.     Melaksanakan tarawih lebih dari 11 rakaat (21, 23, 39, 41, dan 47 rakaat) tidak sesuai dengan sunah Nabi saw.

Merubah niat ketika sholat

1. Tidak boleh merubah niat ketika kita sedang shalat.
- ketika melaksanakan shalat wajib, tidak boleh merubah niat pd shalat wajib lainnya
- ketika melaksanakan shalat wajib, tidak boleh merubah niat pd shalat sunnah
- ketika melaksanakan shalat sunnah, tidak boleh merubah niat pd shalat wajib
- ketika melaksanakan shalat sunnah, tidak boleh merubah niat pd shalat sunnah lainnya

Tapi boleh merubah niat shalat sunnah mutlaq ke shalat sunnah mu'ayyan, contoh.

Awal niat shalat sunnah qobla zuhur 4 rakaat, niatnya d ubah menjadi shalat sunnah qobla zuhur 2 rakaat.

Wanita hamil qodho atau fidyah?

Wa'alaikumussalaam warohmatulloh..

*Golongan Qodho*
1. Sakit
2. Haidh
3. Safar
4. Nifas

*Golongan fidyah*
1. Sakit yg terus menerus hingga d prediksi tdk ada kesembuhan
2. Org yg berwatak sakit jika shaum
3. Nenek²&Kakek² yg sudah tdk sanggup shaum
4. Profesi pekerja keras hingga sulit dan kepayahan jika shaum

*Antara Qodho dan Fidyah*

*1. Wanita menyusui*

- Jika kondisi anak harus d susui, dan anak tdk bisa makan kecuali hanya dr ASi, maka terpaksa ibu harus tdk shaum demi memenuhi kebutuhan ASI untuk bayinya. Kondisi begini masuk pada *FIDYAH*

- Jika bayi bisa makan tanpa ASI dan sehat walau tidak minum ASI, lantas kondisi ibunya lemah, faktor kelemahan iti terkait dirinya hingga tdk shaum, maka wajib bayar *QODHO*

*2. Hamil*

- Jika kondisi janin akam bahaya jika ibunya shaum, dan janin butuh asupan yg ekstra, maka terpaksa ibu harus tdk shaum demi memenuhi kebutuhan janinnya. Kondisi begini masuk pada *FIDYAH*

- Jika janin sehat walau ibunya shaum pun tetap kondisi janin sehat dan kuat, lantas kondisi ibunya lemah, faktor kelemahan ini terkait dirinya hingga tdk shaum, maka wajib bayar *QODHO*

Dgn kata lain:
Hamil & menyusui jika tidak shaumnya krna faktor bayi/janin = maka fidyah.
Jika tidak shaumnya krna faktor dirinya sndiri dan bayi/janin sehat= maka qodho

*3. NIFAS TIDAK MENYUSUI*
wajib Qodho

*4. NIFAS DAN MENYUSUI*
Lihat point ke-2

Istilah hadits

Mudhthorib:
Hadits yg diriwayatkan oleh rowi yg sama, tp berbeda matan (berbeda lafadz)

Munqothi:
Hadits yg terputus sanad periwayatanna.

Satu rowi menerima dari rowi yg belum pernah bertemu.

Syadz:
Hadits yg bertentangan dgn hadits yg lebih shahih

Posisi imam sholat jenazah

Dalil posisi shalatnya:

عَنْ أَبِى غَالِبٍ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَلَى جَنَازَةِ رَجُلٍ فَقَامَ حِيَالَ رَأْسِهِ ثُمَّ جَاءُوا بِجَنَازَةِ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ فَقَالُوا يَا أَبَا حَمْزَةَ صَلِّ عَلَيْهَا. فَقَامَ حِيَالَ وَسَطِ السَّرِيرِ. فَقَالَ لَهُ الْعَلاَءُ بْنُ زِيَادٍ هَكَذَا رَأَيْتَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَامَ عَلَى الْجَنَازَةِ مُقَامَكَ مِنْهَا وَمِنَ الرَّجُلِ مُقَامَكَ مِنْهُ قَالَ نَعَمْ. فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ احْفَظُوا. (سنن الترمذي - ج 3 / ص 352)

”Abu Ghalib berkata: Saya salat janazah laki-laki bersama Anas bin Malik, kemudian ia berdiri lurus dengan kepala mayit. Lalu mereka mendatangkan janazah wanita dari Quraisy, mereka berkata: Wahai Abu Hamzah (kunyah / nama sebutan Anas), salatkanlah janazah wanita ini! Kemudian Anas berdiri lurus di tengah-tengah tempat janazah. Ala’ bin Ziyad bertanya: Seperti inikah engkau melihat Rasulullah Saw berdiri di depan janazah sebagaimana kamu berdiri di depan janazah laki-laki dan perempuan? Anas menjawab: Ya. Selesai salat Anas berkata: Jagalah oleh kalian” (HR Turmudzi)

Untuk posisi janazah wanita dijelaskan dalam hadis-hadis sahih:

عَن سَمُرَة بْن جُنْدُبٍ – رضى الله عنه – قَالَ صَلَّيْتُ وَرَاءَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – عَلَى امْرَأَةٍ مَاتَتْ فِى نِفَاسِهَا فَقَامَ عَلَيْهَا وَسَطَهَا  (البخارى 1332)

”Samurah bin Jundub berkata: Saya salat di belakang Rasulullah Saw terhadap janazah wanita yang meninggal saat nifasnya, kemudian Rasulullah berdiri di tengah-tengahnya” (HR al-Bukhari 1332 dan Muslim 2281)

Adapun sebabnya, ana belum tau 🙏

Hukum adzan bayi baru lahir

Bismillah.. ustd pntn prtanyaan sy yg ke-3;
* brsan tausiyah (sahur) di tvone olh ust uas... mnrt beliau, brdasar kpd hadits at tirzmizi dg drajat hasan,. Rasulullah mng adzankn di telinga kanan ktk cucu bliau lahir, kmd mng iqomatkn di tlinga kiri nya. Bgm pndpt ustd..
* syukron ustd...

Sudah ana periksa derajatnya, haditsnya dhaif.

Yg shahih itu hadits tentang rasul berdoa untuk hasan dan husen ketika lahir dgn kalimat:

"كان رسولُ اللَّه صلى اللّه عليه وسلم يعوّذ الحسن والحسين: *أُعِيذُكُما بِكَلِماتِ اللَّهِ التَّامَّةِ، مِنْ كُلِّ شَيْطانٍ وَهامَّةِ، وَمِنْ كُلّ عَيْنٍ لامَّةٍ *

Membaca ayat berulang di sholat

Wa 'alaikumussalaam warohmatullah..

Boleh, dalilnya:

Dalil yang menunjukkan hukum ini adalah ayat berikut ini,

{فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ} [المزمل: 20]

Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran…” (Al-Muzzammil: 20)

Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan membaca ayat Al-Qur’an yang dipandang mudah bagi orang yang salat. Perintah ini mencakup cara membaca normal, yakni membaca ayat satu kali, sekaligus mencakup cara membaca dengan mengulang-ulang sebagian ayatnya untuk memberi penekanan dalam hati. Oleh karena itu, mengulang-ulang bacaan ayat tertentu dalam salat tidak terlarang berdasarkan ayat ini.

Dalil lain yang menguatkan adalah perbuatan Rasulullah saw. Abu Dzar bersaksi bahwa Rasulullah saw pernah salat malam dan mengulang-ulang membaca ayat tertentu sampai subuh. Ibnu Majah meriwayatkan,

عَنْ جَسْرَةَ بِنْتِ دَجَاجَةَ قَالَتْ سَمِعْتُ أَبَا ذَرٍّ يَقُولُ قَامَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِآيَةٍ حَتَّى أَصْبَحَ يُرَدِّدُهَا وَالآيَةُ ( إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ).

Dari Jasrah binti Dajajah ia berkata; Aku mendengar Abu Dzar berkata, “Nabi salat membaca ayat dan diulang-ulang sampai subuh, yakni ayat; ” Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ” (H.R. Ibnu Majah, juz 4 hlm 320)

Dalam riwayat Ahmad dijelaskan bahwa maksud Rasulullah mengulang-ulang ayat itu adalah dalam rangka berdoa agar diizinkan memberi syafaat. Ahmad meriwayatkan,

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَقَرَأَ بِآيَةٍ حَتَّى أَصْبَحَ يَرْكَعُ بِهَا وَيَسْجُدُ بِهَا { إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ }فَلَمَّا أَصْبَحَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا زِلْتَ تَقْرَأُ هَذِهِ الْآيَةَ حَتَّى أَصْبَحْتَ تَرْكَعُ بِهَا وَتَسْجُدُ بِهَا قَالَ إِنِّي سَأَلْتُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ الشَّفَاعَةَ لِأُمَّتِي فَأَعْطَانِيهَا وَهِيَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ لِمَنْ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا

Artinya : “Dari Abu Dzar ia berkata, “Rasulullah saw shalat di suatu malam, lalu beliau membaca sebuah ayat hingga subuh tiba. Beliau rukuk dan sujud dengan ayat tersebut: ‘Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana ‘ (Qs. Al Maa`idah: 118). Ketika subuh tiba aku menanyakannya kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, kenapa engkau membaca ayat ini hingga subuh tiba, engkau rukuk dan sujud dengannya?” Beliau menjawab: “Aku memohon syafaat buat umatku dan Allah memberikannya padaku, dan mereka akan mendapatkannya atas izin Allah, yaitu bagi orang yang tidak menyekutukan Allah Azza Wa Jalla dengan sesuatu.” (H.R. Ahmad, juz 43 hlm 331)

Dalam dua riwayat di atas, sangat jelas bahwa Rasulullah saw mengulang-ulang bacaan satu ayat tertentu. Jika Rasulullah saw melakukan suatu perbuatan, maka hal itu menjadi penjelas keumuman dan kemutlakan makna ayat tertentu dalam Al-Qur’an. Hal ini bermakna, ketika Allah memerintahkan membaca Al-Qur’an dalam bentuk yang umum kemudian dijelaskan dalam perbuatan Rasulullah saw bahwa beliau mengulang-ulang bacaan sebagian ayat, hal itu menunjukkan membaca salah satu ayat dengan berulang-ulang tidak dilarang.

Jenis darah kewanitaan

Wa'alaikumussalam warohmatulloh..

Intinya lihat dan kenali jenis darah:

1. Jika darahnya pekat hitam dan kita knal ini haidh, mk itu haidh. Berhenti shalat shaum dll

2. Jika jenis darahnya biasa, atau ke kuning²an, mk itu darah istihadhah (darah pnyakit). Tetap wjb shalat

Cara mengatasi hati tdk tenang dan banyak pikiran

Wa'alaikumussalam warohmatulloh..

Tipikal sprti ini biasanya juga akan bnyk rasa ke khawatiran dan peka terhadap perasaan. Maaf,biasanya jg mudah tersinggung.

Banyak berdzikir, sandarkan semuanya pd Allah.

Allâh Jalla Jalaluhu berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berdzikir (mengingat) Allâh. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allâh hati menjadi tenteram [ar-Ra’du/13:28]

Qodlo shaum untuk yang meninggal dunia

Wa'alaikumussalaam warohantullooh..

Jika utang shaumnya itu masuq qodho, lantas qodo nya blm d bayar d sebabkan meninggal, maka tdk ada fidyah dan tdk harus d puasakan. Dengan dalil:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

*“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya* kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Adapun hadits ini:
Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من مات وعليه صيام صام عنه وليُّه

“Siapa yang meninggal dan dia masih memiliki tanggungan puasa maka walinya wajib mempuasakannya.” 
(HR. Bukhari 1952 dan Muslim 1147)

Hadits ini shahih tp tidak sharih (tidak jelas), wali disana siapa?  Apa wali nikah / org tua atau siapa?

Adzan untuk bayi yang baru lahir dan mayit

Wa'alaikumussalam warohmatulloh..

Terkait mengadzankan bayi, sudah ada jelaskan, bhwa keterangannya dhaif.

Adapun penjelsan terkait mengadzankan mayyit, ana berikan penjelasan hadits berikut qoul madzhab:

Terdapat sebuah hadis yang menyatakan,

لَا يَزَالُ الْمَيِّتُ يَسْمَعُ الْأَذَانَ مَا لَمْ يُطَيَّنْ قَبْرُهُ

“Mayit masih mendengar adzan selama kuburnya belum diplester dengan tanah.” (HR. Ad-Dailami dalam Musnad Al-Firdaus no. 7587)

Namun hadis ini disepakati para ulama sebagai hadis yang lemah, bahkan palsu. Berikut keterangan para pakar hadis ketika menilai hadis di atas.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

وَإِسْنَادُهُ بَاطِلٌ ، فَإِنَّهُ مِنْ رِوَايَةِ مُحَمَّدِ بْنِ الْقَاسِمِ الطَّايَكَانِيِّ وَقَدْ رَمَوْهُ بِالْوَضْعِ .

“Sanadnya batil, karena hadis ini termasuk riwayat Muhammad bin Al-Qasim Ath-Thayakani, di mana dia telah dicap sebagai pemalsu hadis.” (At-Talkhish Al-Habir, 2:389)

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menuturkan,

هذا حديث موضوع على رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Ini adalah hadis palsu atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al-Maudhu’at, 3:238)

As-Suyuthi menilai, setelah menyebutkan hadis ini:

موضوع الحسن لم يسمع من ابن مسعود

“Palsu, hasan tidak mendengar dari Ibnu Mas’ud.” (Al-La`ali Al-Mashnu’ah, 2:365)

Imam Ad-Dzahabi mengatakan,

فيه محمد بن القاسم الطايكاني كذاب

“Dalam sanadnya terdapat perawi Muhammad bin Qasim At-Thayakani, pendusta. (Talkhis Al-Maudhu’at Ad-Dzahabi, 938)

Kesimpulannya, tidak ada dalil yang menganjurkan adzan ketika memakamkan jenazah.

Komentar ulama tentang adzan ketika memakamkan jenazah

Para ulama dari berbagai madzhab sepakat bahwa sama sekali tidak terdapat anjuran untuk melakukan adzan ketika memakamkan jenazah. Berikut beberapa keterangan mereka

Pertama, Madzhab Hanafi
Ibnu Abidin mengatakan,

أنه لا يسن الاذان عند إدخال الميت في قبره كما هو المعتاد الآن، وقد صرح ابن حجر في فتاويه بأنه بدعة.

“Tidak dianjurkan untuk adzan ketika memasukkan mayit ke dalam kuburnya sebagaimana yang biasa dilakukan sekarang. Bahkan Ibnu Hajar menegaskan dalam kumpulan fatwanya bahwa itu bid’ah.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2:255)

Barangkali yang dimaksud Ibnu Hajar dalam keterangan Ibnu Abidin di atas adalah Ibnu Hajar Al-Haitami. Disebutkan dalam Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubra,

مَا حُكْمُ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ سَدِّ فَتْحِ اللَّحْدِ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ هُوَ بِدْعَةٌ وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ سُنَّةٌ عِنْدَ نُزُولِ الْقَبْرِ قِيَاسًا عَلَى نَدْبِهِمَا فِي الْمَوْلُودِ إلْحَاقًا لِخَاتِمَةِ الْأَمْرِ بِابْتِدَائِهِ فَلَمْ يُصِبْ وَأَيُّ جَامِعٍ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ وَمُجَرَّدُ أَنَّ ذَاكَ فِي الِابْتِدَاءِ وَهَذَا فِي الِانْتِهَاءِ لَا يَقْتَضِي لُحُوقَهُ بِهِ .

Tanya: Apa hukum adzan dan iqamah ketika menutup liang lahad?

Jawaban Ibnu Hajar Al-Haitami:
Itu bid’ah. Siapa yang meyakini itu disunahkan ketika menurunkan jenazah ke kubur, karena disamakan dengan anjuran adzan dan iqamah untuk bayi yang baru dilahirkan, menyamakan ujung akhir manusia sebagaimana ketika awal ia dilahirkan, adalah keyakinan yang salah. Apa yang bisa menyamakan dua hal ini. Semata-mata alasan, yang satu di awal dan yang satu di ujung, ini tidaklah menunjukkan adanya kesamaan. (Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubra, 3:166).

Kedua, Madzhab Maliki
Disebutkan dalam kitab Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Asy-Syaikh Khalil, penulis mengutip keterangan di Fatawa Al-Ashbahi:

هَلْ وَرَدَ فِي الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ إدْخَالِ الْمَيِّتِ الْقَبْرَ خَبَرٌ ؟ فَالْجَوَابُ : لَا أَعْلَمُ فِيهِ وُرُودَ خَبَرٍ وَلَا أَثَرٍ إلَّا مَا يُحْكَى عَنْ بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ ، وَلَعَلَّهُ مَقِيسٌ عَلَى اسْتِحْبَابِ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ فَإِنَّ الْوِلَادَةَ أَوَّلُ الْخُرُوجِ إلَى الدُّنْيَا وَهَذَا أَوَّلُ الْخُرُوجِ مِنْهَا وَهَذَا فِيهِ ضَعْفٌ فَإِنَّ مِثْلَ هَذَا لَا يَثْبُتُ إلَّا تَوْقِيفًا .

Apakah terdapat khabar (hadis) dalam masalah adzan dan iqamat saat memasukkan mayit ke kubur? Jawab: Saya tidak mengetahui adanya hadis maupun atsar dalam hal ini kecuali apa yang diceritakan dari sebagian ulama belakangan. Barangkali dianalogikan dengan anjuran adzan dan iqamat di telinga bayi yang baru lahir. Karena kelahiran adalah awal keluar ke dunia, sementara ini (kematian) adalah awal keluar dari dunia, namun ada yang lemah dalam hal ini. Karena kasus semacam ini (adzan ketika memakamkan jenazah), tidak bisa dijadikan pegangan kecuali karena dalil shaih.” (Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Asy-Syaikh Khalil, 3:319)

Ketiga, Madzhab Syafi’i
Imam Abu Bakr Ad-Dimyathi menegaskan,

واعلم أنه لا يسن الأذان عند دخول القبر، خلافا لمن قال بنسبته قياسا لخروجه من الدنيا على دخوله فيها .

“Ketahuilah, sesungguhnya tidak disunahkan adzan ketika (mayit) dimasukkan ke kubur. Tidak sebagaimana anggapan orang yang mengatakan demikian karena menyamakan keluarnya seseorang dari dunia (mati) dengan masuknya seseorang ke dunia (dilahirkan).” (I’anatuth Thalibin, 1:268)

Hal senada juga dinyatakan Al-Bajirami:

وَلَا يُنْدَبُ الْأَذَانُ عِنْدَ سَدِّهِ خِلَافًا لِبَعْضِهِمْ

“Tidak dianjurkan mengumandangkan adzan ketika menutup lahad, tidak sebagaimana pendapat sebagian mereka.” (Hasyiyah Al-Bajirami ‘ala Al-Manhaj, 5:38)

Keempat, Madzhab Hambali
Ibnu Qudamah berkata,

أجمعت الأمة على أن الأذان والإقامة مشروع للصلوات الخمس ولا يشرعان لغير الصلوات الخمس لأن المقصود منه الإعلام بوقت المفروضة على الأعيان وهذا لا يوجد في غيرها .

“Umat sepakat bahwa adzan dan iqamat disyariatkan untuk shalat lima waktu dan keduanya tidak disyariatkan untuk selain shalat lima waktu, karena maksudnya adalah untuk pemberitahuan (masuknya) waktu shalat fardhu kepada orang-orang. Dan ini tidak terdapat pada selainnya.” (Asy-Syarh Al-Kabir, I:388)

Semua keterangan di atas mengerucut pada satu kesimpulan bahwa mengumandangkan adzan ketika memakamkan jenazah adalah perbuatan yang bertentang dengan sunnah, atau dengan ungkapan yang lebih tegas, itu bid’ah yang terlarang.