Selasa, 29 Mei 2018

Jumlah rakaat sholat malam atau tarawih

Aisyah Berkata:

مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah nambahi lebih dari 11 rakaat, baik di dalam ramadhan maupun di luar ramadhan. Beliau shalat 4 rakaat, jangan kamu tanya bagusnya dan panjangnya. Kemudian shalat lagi 4 rakaat, jangan kamu tanya bagusnya dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. (HR. Bukhari 3569)

Dengan hadits ini mk ketentuan tarawih itu 11 rakaat. Jika kurang dr 11 maka bukan tarawih

3.Shalat Tarawih Berjama’ah pada Masa Sayyidina ‘Umar radhiyallahu ‘anhu

Dalam Shahih Al Bukhari pada Bab “Keutamaan Qiyam Ramadhan” disebutkan beberapa riwayat sebagai berikut.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ » . قَالَ ابْنُ شِهَابٍ فَتُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَالأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ ، ثُمَّ كَانَ الأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ فِى خِلاَفَةِ أَبِى بَكْرٍ وَصَدْرًا مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ – رضى الله عنهما –

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Humaid bin ‘Abdurrahman dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dari-Nya) maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu“. Ibnu Syihab berkata; Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, namun orang-orang terus melestarikan tradisi menegakkan malam Ramadhan (secara bersama, jamaah), keadaan tersebut terus berlanjut hingga zaman kekhalifahan Abu Bakar dan awal-awal kekhilafahan ‘Umar bin Al Khaththob radhiyallahu ‘anhu. (HR. Bukhari no. 2009)

وَعَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِىِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رضى الله عنه – لَيْلَةً فِى رَمَضَانَ ، إِلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّى الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّى الرَّجُلُ فَيُصَلِّى بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّى أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ . ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ ، ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى ، وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ ، قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ ، وَالَّتِى يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِى يَقُومُونَ . يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ ، وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ

Dan dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata, “Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata, “Aku berpikir bagaimana seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik“. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata, “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini. Dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang shalat awal malam.” Yang beliau maksudkan untuk mendirikan shalat di akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum melakukan shalat pada awal malam. (HR. Bukhari no. 2010)

Adapun jumlah raka’at yang dilakukan pada masa Umar, terjadi perbedaan redaksi, yaitu antara 11 raka’at dengan 20 raka’at ditabah wiitir. Berikut penjelasannya:

a.Shalat Tarawih 11 rakaat dimasa Umar

Disebutkan dalam Muwaththo’ Imam Malik riwayat sebagai berikut.

وَحَدَّثَنِى عَنْ مَالِكٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَىَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِىَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِىِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلاَّ فِى فُرُوعِ الْفَجْرِ.

Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Muhammad bin Yusuf dari As-Sa`ib bin Yazid dia berkata, “Umar bin Khatthab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari untuk mengimami orang-orang, dengan sebelas rakaat.” As Sa`ib berkata, “Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar.” (HR. Malik dalam Al Muwaththo’ 1/115).

Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah diterangkan
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوْسُفَ أنّ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُمَرَ جَمَعَ النَّاسَ عَلَى أُبَيٍّ و تَمِيمٍ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَقْرَأُونَ بِالْمِئَيْنِ يعني فِي رَمْضَانَ  رواه ابن أبي شيبة

Dari Muhamad bin Yusuf, (berkata), ”Bahwasanya as-Saib bin Yazid mengabarkan, ’Bahwa Umar mengumpulkan orang-orang untuk bermakmum pada Ubay (bin Ka’ab) dan Tamim (ad-Dari) sebelas (11) rakaat. Mereka membaca al-miin ayat lebih dari seratus ayat, yakni di bulan Ramadhan”. (H.R. Ibnu Abu Syaibah, Al-Mushannaf, II:284, No. hadis 7.671)

b.Shalat Tarawih 23 rakaat pada masa Umar

1.Jalur Yazid bin Khushaifah
عَنْ يَزِيْدَ بْنِ خُصَيْفَةَ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانُوْا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً وَكَانُوْا يَقْرَأُونَ بِالمِئَينَ وَكَانُوْا يَتَوَكَّؤُونَ عَلَى عِصِيِّهِمْ فِي عَهْدِ عَثْمَانَ  مِنْ شِدَّةِ القِيَامِ   رواه البيهقي

Dari Yazid bin Khushaifah dari As-Saib bin Yazid, ia berkata, ”Orang-orang salat malam pada masa Umar bin Khatab r.a pada bulan Ramadhan dengan 20 Rakaat, ia berkata, ’Mereka membaca dengan mi’ain (surat-surat yang lebih dari seratus ayat) dan mereka bersandar pada tongkat-tongkatnya pada masa Usman r.a, karena terlalu lama berdiri. (H.R. Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, II:496)

Hadis ini diriwayatkan melalui Yazid bin Khushaifah. Menurut Syekh al-Albani, dalam periwayatan Ibnu Khushaifah, terdapat idhtirab (inkonsistensi). Terkadang ia meriwayatkan (jumlah rakaat Qiyam Ramadhan) duapuluh satu rakaat, dan terkadang ia meriwayatkan duapuluh tiga rakaat.  Di samping itu, Al-Albani beralasan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal, dalam komentarnya tentang Yazid, mengatakan bahwa ia (Yazid) seorang munkarul hadits.

Gambaran sanad informasi:

1)Muhammad bin Yusuf menerima dari Saib bin Yazid = bahwa Umar memerintahkan Ubay dan Tamim Ad-Daari untuk shalat 11 Raka’at
2)Yazid bin Khushoifah menerima dari Saib bin Yazid = bahwa orang-orang pada masa umar shalat 20 rakaat tambah witir.

Dengan demikian terjadi perbedaan antara keterangan Yazid dengan Muhamad bin Yusuf, padahal keduanya menerima keterangan itu dari orang yang sama, yakni as-Saib bin Yazid. Keterangan siapa yang layak untuk diterima? Menurut kami, keterangan Muhamad yang lebih layak dijadikan pegangan, dengan alasan:

1)Dilihat dari kekerabatan, Muhammad bin Yusuf lebih dekat dengan as-Saib, yaitu sebagai cucu sudara perempuan as-Saib.
2)Dilihat dari kredibilitas, Muhammad bin Yusuf, menurut Ibnu Hajar, seorang tsiqat tsabt. (Lihat, Taqribut Tahdzib, II:563, No. rawi 6.672) Sedangkan mengenai Yazid bin Khushaifah, Ibnu Hajar menilainya tsiqat saja. (Lihat, Taqribut Tahdzib, II:673, No. rawi 8.017)
3)Dilihat dari bentuk periwayatan, riwayat Muhamad menunjukkan sama’ (menerima secara langsung dari as-Saib), yakni kata akhbarahu (mengabarkan kepadanya). Sedangkan riwayat Yazid tidak menunjukkan sama’ (tidak dapat dipastikan menerima secara langsung dari as-Saib), yakni kata ‘an (dari).
4)Dilihat dari redaksi matan, riwayat Muhamad lebih sharih (jelas, tegas), yaitu [1] pelaksanaan salat 11 rakaat ini diperintah langsung oleh Umar, [2] nama imamnya jelas (Ubay dan Tamim ad-Dari), [3] jumlah ayat yang baca jelas (200 ayat). Sedangkan pada riwayat Yazid tidak ada kejelasan siapa yang memerintah salat 20 rakaat itu dan siapa imamnya. Keterangan yang ada hanya menyebut ”Orang-orang salat malam pada masa Umar bin Khatab r.a pada bulan Ramadhan dengan 20 Rakaat”.

Dilihat dari keempat aspek di atas, kami berkesimpulan bahwa riwayat Yazid bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat, yakni Muhamad bin Yusuf. Dari sinilah kita dapat memahami bahwamunkarul hadits Imam Ahmad terhadap Yazid bin Khushaifah itu merupakan jarh (celaan, kritikan), karena riwayat Yazid bertentangan dengan rawi yang lebih tsiqat.

Kajian Analisis Sanad Jarh – Ta’dil Terkait Rawi Yazid bin Khusaifah

Imam Ahmad menilainya Munkarul Hadits. Ungkapan munkarul hadits versi Imam Ahmad.
Didalam kitabnya al-‘Ilal wa Ma’rifatur Rijal, Imam Ahmad sering menggunakan ungkapan munkarul hadits dalam menilai seorang rawi. Secara umum ungkapan tersebut menunjukkan jarh (celaan, kritikan) terhadap rawi yang daif. (Lihat, Syifa al-Alil, I:173)  sebagai contoh, rawi Salamah bin Wardan dinilai munkarul hadits oleh Imam Ahmad. (Lihat, al-‘Ilal wa Ma’rifatur Rijal, II:24)  Ungkapan ini menunjukkan bahwa Salamah bin Wardan rawi yang sangat daif, tidak bisa dipakai hujjah, menurut Imam Ahmad.

Namun secara khusus ungkapan munkarul hadits versi Imam Ahmad itu ditujukan pula kepada rawi yang tsiqah (kredibel). Maka dalam hal ini, ungkapan seperti itu mempunyai dua pengertian;

a) Apabila periwayatan seorang rawi yang tsiqat (kredibel) tidak mukhalafah (menyalahi) dengan periwayatan rawi lain yang autsaq (lebih kredibel, kuat), maka ungkapan itu menunjukkan taffarud (rawi tersebut sendirian dalam meriwayatkan hadis).
b) Apabila periwayatan rawi yang tsiqat (kredibel) itu mukhalafah (menyalahi) dengan periwayatan rawi lain yang autsaq (lebih kredibel, kuat), maka ungkapan itu menunjukkan bahwa rawi tersebut mukhalafah dengan rawi yang autsaq. (Lihat, Dirasat fil Jarhi wat Ta’dil, hal. 271) Jadi rawi tersebut dikritik bukan dilihat dari aspek kepribadiannya, namun dari segi periwayatannya yang mukhalafah dengan rawi lain yang lebih tsiqat.
Karena itu, untuk memahami ungkapan munkarul hadits dalam pengertian ini diperlukan i’tibar, yaitu penelusuran terhadap berbagai hadis dalam tema yang sama yang diriwayatkan oleh rawi yang dinilai demikian oleh Imam Ahmad.

Dari kriteria khusus inilah kita dapat menilai kredibilitas Yazid bin Abdullah bin Khusaifah. 
Dalam menilai Yazid bin Abdullah bin Khushaifah, Imam Ahmad memberikan dua penilaian;
[a]   menurut Abu Bakar al-Atsram, Ahmad menyatakan tsiqat,
[b]  menurut Abu Daud, Ahmad menyatakan munkarul hadits. (Lihat, Tahdzibul Kamal, XXXII:173;Tahdzibut Tahdzib, XI:340; Mizanul I’tidal, IV:430)

Berdasarkan kriteria khusus di atas, kedua penilaian ini tidak ta’arudh (bertentangan), karena penilaian tsiqat ditujukan kepada kepribadian Yazid. Sedangkan munkarul hadits ditujukan kepada periwayatannya yang mukhalafah dengan rawi lain yang lebih tsiqat, sebagai berikut:

Pada riwayat Yazid bin Khushaifah dari as-Saib bin Yazid diterangkan bahwa orang-orang salat malam pada masa Umar bin Khatab pada bulan Ramadhan dengan 20 Rakaat. Sedangkan pada riwayat Muhammad bin Yusuf, juga dari as-Saib bin Yazid diterangkan bahwa salat itu 11 rakaat.

Dengan melakukan I’tibar, maka jelas posisi yazid sangat lemah, pada riwayatnya terdapat nakaroh sehingga tidak bisa dijadikan hujjah karena bertentangan dengan riwayat yang lebih shahih.

2.Jalur Yahya bin Sa’id
Selain riwayat Yazid, Tarawih 20 rakaat diriwayatkan pula oleh Yahya bin sa’id
أَنَّ عُمَرَ أَمَرَ رَجُلاً يُصَلِّي بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً رواه ابن أبي شيبة
Dari Yahya bin Said, (berkata), “Sesungguhnya Umar memerintah seseorang untuk salat (Tarawih) berjamaah dengan orang-orang sebanyak dua puluh rakaat”. (H.R. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, II:285)

Namun hadis ini juga daif, karena Yahya bin Said (bin Qais Al-Anshari), wafat tahun 143 H/760 M, tidak sezaman dengan Umar bin Khatab, wafaf tahun 23 H/643 H. Dengan demikian terdapat selisih selama 120 tahun dari kewafatan Umar. Oleh karena itu, hadis ini disebut mursal.
Tarawih 20 rakaat Ali bin Abu Thalib
عَنْ أَبِي الحَسْنَاءِ أَنَّ عَلِيًّا أَمَرَ رَجُلاً يُصَلِّى بِهِمْ فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً
Dari Abul Hasna, bahwa Ali memerintah seseorang untuk mengimami mereka pada bulan Ramadhan dengan dua puluh rakaat. (H.R. Ibnu Abu Syaibah, Al-Mushannaf, II :  90  No. 1)
Pada sanad ini terdapat kelemahan, yaitu Abul Hasna majhul (tidak dikenal). Hadis itu  diriwayatkan pula oleh  al-Baihaqi dengan sedikit perbedaan kisah (Lihat, As-Sunanul Kubra, II:496).
Demikian pula sanad hadis ini lemah, bahkan karena dua sebab:
Pertama: Pada sanad hadis terdapat rawi bernama Atha bin as-Saib. Ia mukhtalit (pikun).
Kedua: Terdapat rawi lain bernama Hamad bin  Syu’aib. Orang ini sangat daif. Al-Bukhari menjarahnya dengan ungkapan munkarul hadits dan terkadang dengan fihi nazhar.

Tarawih 20 rakaat Ibnu Abi Mulaikah
Pada riwayat lain diterangkan bahwa Ibnu Abi Mulaikah salat taraweh 20 Rakaat
عَنْ نَافِعِ بْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ يُصَلِّي بِنَا فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً  رواه ابن أبي شيبة
Dari Nafi bin Umar, ia berkata,”Ibnu Abi Mulaikah pernah salat bersama kami pada bulan Ramadan 20 rakaat”. (H.R. Ibnu Abu Syaibah (Al-Mushannaf, II:285)

Keterangan
Salat Tarawih dengan 20 rakaat ini bukan amaliah Nabi, bukan juga merupakan amaliah sahabat Nabi. Dengan demikian salat ini tidak dapat diamalkan.

Tarawih 21 rakaat
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّ عُمَرَ جَمَعَ النَّاسَ فِي رَمْضَانَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ عَلَى تَمِيمٍ الدَّارِ عَلَى إِحْدَى وَ عِشْرِينَ رَكْعَةً يَقْرَأُونَ بِالْمِئَيْنِ وَيَنْصَرِفُونَ عِنْدَ فُرُوعِ الْفَجْرِ
Dari As-Saib bin Yazid, (ia berkata), ”Bahwasanya Umar mengumpulkan orang-orang pada bulan Ramadhan untuk bermakmum pada Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari dengan dua puluh satu rakaat Mereka membaca Al-miina ayat dan selesai menjelang fajar”. (H.R. Abdurazaq, Al-Mushannaf, IV:260)
Hadis ini diriwayatkan oleh rawi-rawi yang tsiqat, namun tetap tidak dapat diamalkan, sebab kasusnya sama seperti hadis Yazid bin Khushaifah. Bedanya hadis ini melalui rawi Qais bin Daud, dari Muhamad bin Yusuf dari As-Saib bin Yazid. Sedangkan pada riwayat Malik bin Anas dan Yahya Al-Qathan, keduanya menerima dari Muhamad bin Yusuf dari As-Saib,diterangkan 11 rakaat. Dengan demikian periwayatan Qais bin Daud bertentangan dengan periwayatan Imam Malik dan Yahya al-Qathan. Sedangkan Imam Malik dan Yahya Al-Qathan lebih tsiqat daripada Daud bin Qais.

Tarawih 23 rakaat
  Zaman Umar bin Khatab  
عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُمَانَ أَنَّهُ قَالَ  كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً
Dari Yazid bin Ruman, ia berkata,” orang-orang pada zaman Umar salat Tarawih sebanyak 23 rakaat (H.R. Malik, Al-Baihaqi, Lihat, Al-Muwattha’, I:138, as-Sunanul Kubra, II : 496)
Keterangan:
Hadis ini juga daif, karena mursal, yaitu Yazid bin Ruman tidak sezaman dengan Umar bin Khatab. Hal ini Dinyatakan hampir dalam setiap kitab hadis, di antaranya; Al-Hafizh az-Zaila’i, An-Nawawi, dan al-Aini (Lihat, Al-Hafizh az-Zaila’i, Nasbur Rayah, II:154, An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, IV:33, dan al-Aini, Umdatul Qari, V:357)

  Tarawih 27 rakaat Ubay bin Ka’ab
عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ رَفِيعٍ قَالَ  كَانَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ يُصَلِّى بِالنَّاسِ فِي رَمَضَانَ بِالْمَدِينَةِ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَيُوْتِرُ بِثَلاَثٍ
Dari Abdul Aziz bin Rufai, ia  berkata, ”Ubay Bin Ka’ab mengimami orang-orang pada bulan Ramadhan di Madinah sebanyak dua puluh rakaat dan berwitir dengan tiga rakaat. (Lihat, Tuhfah al-Ahwadzi, III: 528)
Keterangan: 
Sanad ini munqathi’ (terputus), karena tarikh wafat Ubay bin Ka’ab berbeda 100 tahun dari tarikh wafatnya Abdul Aziz bin Rufai. Artinya, keduanya tidak mungkin bertemu.

  Tarawih Abdullah bin Mas’ud
قَالَ الأَعْمَشُ كَانَ عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُودٍ يُصَلِّى عِشْرِينَ رَكْعَةً وَيُوَتِرُ بِثَلاَثٍ
Al-A’masy berkata, ”Abdullah bin Mas’ud salat tarawih  dua puluh rakaat dan witir tiga rakaat”. (H.R. Ibnu Nashr)
Sanad hadis ini munqathi’, karena Al-A’masy tidak bertemu dengan Abdulah bin Mas’ud. (Lihat,Tuhfatul Ahwadzi, III: 2)

Kesimpulan
Salat malam ataupun salat Tarawih 20 rakaat baik dengan 1 atau 3 rakaat witir, hadis-hadisnya daif dan tidak boleh diamalkan.

Tarawih 39 rakaat
عَنْ قَيْسِ بْنِ دَاوُدَ قَالَ أَدْرَكْتُ النَّاسَ بِالْمَدِينَةِ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَ أَبَانِ بْنِ عُثْمَانَ يُصَلُّونَ سِتًّا وَ ثَلاَثِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلاَثٍ رواه ابن أبي شيبة
Dari Qais bin Daud, ia berkata,”Aku menemui orang-orang di Madinah pada jaman Umar bin Abdul Aziz dan Aban bin Abu Usman, mereka salat 36 rakaat dan witir 3 rakaat”. (H.R. Ibnu Abu Syaibah, Lihat, Al-Mushannaf, II:285)

Tarawih 41 rakaat
قَالَ صَالِحٌ مَوْلَى التَّوْأَمَةِ أَدْرَكْتُ النَّاسَ يَقُومُونَ بِإِحْدَى وَ أَرْبَعِينَ رَكْعَةً يُوتِرُونَ مِنْهَا بِخَمْسٍ
Shalih maula Tauamah berkata,”Aku menemui orang-orang sedang melaksanakan salat 41 rakaat yang witirnya 5 rakaat.” (Lihat, Al-Fathur Rabbani, V:18)
Hadis ini daif karena Shalih bin Nabhan at-Tauamah rawi yang mukhtalith (pikun). (Lihat, Taqribut Tahdzib, I:252, No. rawi 2.970)

Tarawih 47 rakaat
عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عُبَيِدِ اللهِ قَالَ كَانَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنِ اْلأَسْوَدِ يُصَلِّي بِنَا فِي رَمَضَانَ أَرْبَعِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُ بِسَبْعٍ   رواه ابن أبي شيبة
Dari al-Hasan bin Ubaidillah, ia berkata,”Abdurrahman bin Al-Aswad pernah salat mengimami kami pada bulan ramadan dengan 40 rakaat dan witir 7 rakaat”. (H.R. Ibnu Abu Syaibah, Lihat, Al-Mushannaf, II:285) 

Keterangan
Salat Tarawih dengan 39, 41, dan 47 rakaat bukan amaliah Nabi, bukan juga merupakan amaliah sahabat Nabi. Dengan demikian salat termaksud ini dapat  diamalkan.

Kesimpulan
1.     Hadis-hadis tentang rakaat tarawih lebih dari 11 rakaat (21, 23, 39, 41, dan 47 rakaat) statusnya daif.

2.     Melaksanakan tarawih lebih dari 11 rakaat (21, 23, 39, 41, dan 47 rakaat) tidak sesuai dengan sunah Nabi saw.