Solat sambil memegang mushaf
Dalam menyikapi masalah ini para ulama berbeda pendapat.Sebagian membolehkannya dan sebagian lain mengatakan bahwa hal itu membatalkan shalat.
1.Kalangan yang Membolehkan
Di antara yang membolehkan shalat sambil memegang dan membaca dari mushaf antara lain al-Imam Malik, al-Imam as-Syafi’i, al-Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Yusuf.
Namun meski mereka memandang bahwa shalat sambil membaca mushaf Alquran bukanlah hal yang terlarang, namun lebih dikhususkan untuk shalat sunnah atau nafilah dan bukan shalat wajib.
Selain itu mereka tetap mensyaratkan agar tidak terlalu banyak gerakan yang akan mengakibatkan batalnya shalat. Hal itu mengingat bahwa dalam pandangan para ulama syafi’i misalnya, tiga kali gerakan yang berturut-turut tanpa jeda sudah dianggap membatalkan shalat. Meski membolehkan, namun mereka tetap mengatakan bahwa shalat dengan menghafal langsung tanpa membaca dari mushaf tetaplah lebih utama dan lebih baik.
Imam Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab: “Orang yang membaca mushaf ketika salat tidaklah batal salatnya, sekalipun ayat yang dibaca telah dihapalnya atau tidak. Bahkan hukumnya bisa menjadi wajib bila orang itu ternyata tidak hapal surah alfatihah. Dan dalam hal ini membolak-balik lembaran mushaf pun tidak membuat batal salatnya, dan tidak batal pula bila yang dibaca hanya berupa lembaran kertas bukan mushaf yang akhirnya membuat dirinya membaca terulang dan terbata-bata hingga waktu yang lama, tapi hal ini makruh dikerjakan”. (al-Majmu’, juz 4 hal. 27)
Imam Rahibani mengutip pendapat mazhab Hambali sebagai berikut: “Diperbolehkan bagi orang yang salat membaca quran dari mushaf. Imam Ahmad sendiri berkata: tidak mengapa mengimami orang banyak tapi membaca ayat quran dengan melihat mushaf. Imam Zuhri ditanya tentang orang yang membaca ayat dalam salatnya di bulan Ramadan dengan melihat mushaf, maka beliau menjawab: pemuka-pemuka mazhab Hambali membaca quran dari mushaf”. (Matholib Aula al-Nahy, juz 1 hal 483-484)
Dalil-dalil yang dijadikan landasan kebolehan
a. Zakwan mengimami Aisyah ra. dengan melihat mushaf. Diriwayatkan bahwa sahaya Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha yang bernama Zakwan telah shalat menjadi imam bagi Aisyah ra. di bulan Ramadhan. Dia menjadi imam sambil membaca Alquran dari mushaf. Riwayat ini sampai kepada kita melalui Ibnu Abi Syaibah (al-Mushannaf, juz 2 hal. 123)dan al-Baihaqi (as-Sunan al-Kubro juz 2 hal. 253) Kisah ini dirawayatkan pula oleh al-Bukhari secara mu’allaq (Shahih al-Bukhari juz 1 hal.245 bab Imamah al-‘Abd walMaula)
b. Nabi saw. shalat sambil menggendong anak
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abi Qatadah bahwa Rasulullah saw. shalat sambil menggendong anak (cucu beliau).
Dari hadis itu diambil pemahaman (mafhum muwafaqah fahwal khitab) kalau menggendong anak saja tidak membatalkan shalat, apalagi bila sekedar memegang mushaf. Padahal memegang mushaf itu punya manfaat tersendiri agar tidak salah bacaan, serta bermanfaat buat yang belum hafal Quran dari ingin membaca lebih banyak di dalam shalat.
c. Nabi saw. terganggu salatnya tapi tetap meneruskan
Dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah merasa terganggu konsentrasi shalatnya ketika melihat al-khamishah (kain empat persegi terbuat dari wol), namun tidak ada keterangan bahwa beliau mengulangi shalatnya. Beliau bersabda, “Benda itu melalaikanku dari shalatku”. (H.r. al-Bukhari danMuslim)
Terganggunya shalat tidaklah membatalkannya. Karena tidak ada keterangan beliau mengulangi shalatnya. Maka demikian juga dengan memegang mushaf, meski barangkali agak mengganggu namun tidak lantas membatalkan shalat.
2. Pendapat yang Mengatakan Batalnya Shalat
Namun ada pendapat yang tidak membolehkannya secara mutlak, yaitu pendapat kalangan mazhab Al-Hanafiyah dan Az-Dzahiriyah.
Pendapat mereka didasari oleh beberapa hal, di antaranya:
a. Hadits Ibnu Abbas ra.
Dalam kitab Al-Mashahif, Imam Ibnu Abi Daud meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas ra. berkata, “Amirul Mukminin melarang kami untuk menjadi imam shalat di depan orang-orang sambil melihat ke mushaf.”
b. Melihat mushaf sama dengan berbicara dengan orang lain Selain dengan hadits di atas, larangan membaca dari mushaf yang mereka pegang beralasan bahwa membaca dari mushaf sama kedudukannya dengan talqin (dibacakan oleh orang lain).
Dan talqin itu sama dengan berbicara dengan orang di luar shalat. Sedangkan berbicara dengan orang lain yang tidak ikut shalat itu membatalkan shalat.
c. Selain itu, alasan pelarangannya karena membaca dari mushaf itu umumnya dilakukan sepanjang bacaan shalat. Ini berbeda dengan kasus imam yang lupa bacaan quran dan diingatkan oleh makmum. Dalam kasus itu, meski seolah ada ‘pembicaraan’ antar imam dan makmum, namun yang terjadi hanya sesekali saja, tidak sepanjang shalat.
Sedangkan membaca dari mushaf didudukkan seperti imam berbicara dengan orang lain, meski hanya lewat tulisan saja.
3. Pendapat Kami
Membaca ayat dari mushaf ketika salat melanggar beberapa ketentuan salat, antara lain:
(1) Ketika salat mata atau pandangan haruslah melihat kepada tempat sujud (kecuali pada saat tasyahud melihat kepada telunjuk yang digerak-gerakan). Apabila salat sambil membaca mushaf berarti ketentuan ini dengan sengaja dilanggar
(2) Ketika salat disyariatkan menyimpan tangan kanan di atas tangan kiri (tangan kiri digenggam oleh tangan kanan). Apabila salat sambil membaca mushaf, tentu saja mushafnya dipegang. Ini berarti sengaja melanggar ketentuan posisi tangan ketika salat.
(3) Ketika salat tidak dibenarkan bergerak selain melakukan kaifiyat salat, kecuali ada ilat (sebab) yang dibolehkan syariat, antara lain: (a) membunuh binatang yang membahayakan orang yang sedang salat, (b) berisyarat menjawab salam, (c) berjalan untuk membuka pintu. Sedangkan ketika seseorang salat sambil membawa mushaf maka hal itu akan menyebabkan seseorang banyak bergerak karena “mushaf” yaitu membuka, menutup, meletakannya di ketiak atau di saku dan sebagainya.
Bagaimana dengan makmum ? Pelanggarannya sama dengan di atas dan ditambah dengan ketentuan lain, yaitu jika Imam membaca, maka makmum haruslah mendengarkan, bukan membaca mushaf. Wallahu Ta’ala a’lam.