Jumat, 18 Mei 2018

TARGET RAMADHAN

TARGET RAMADHAN (I): PENGENDALIAN DIRI

Kurikulum pembinaan orang beriman melalui momen Ramadhan terangkum dalam Al-Quran surat al-Baqarah: 183-187. Target pembinaan itu disebutkan dalam setiap penghujung ayat: (1) Taqwa (ayat 183 dan 187), (2) berilmu (ayat 184), (3) Syukur (ayat 185), (4) Rusyd (ayat 186).

Sifat Insan Taqwa: Pengendalian Diri

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu shaum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” QS. Al-Baqarah:183

Bentuk kalimat: La’allakum Tattaqun, hendak menunjukkan target akhir shaum adalah membentuk karakter muttaqin. Berarti shaum sejatinya merupakan bagian dari proses menuju Muttaqin, bukan sebagai tujuan. Pemaknaan demikian itu merujuk kepada penggunaan bentuk kata Tattaqun (فعل المضارع) yang mengandung makna proses-arus-nilai (values stream). Dalam hal ini, shaum adalah alat yang digunakan dalam proses-arus-nilai itu. Hasil dari proses itu berupa nilai-nilai takwa.

Dengan demikian dapat dikatakan, seorang shaim (yang bershaum) tidak dapat secara otomatis disebut sebagai Muttaqin sebelum ia mampu melahirkan sifat-sifat ideal, antara lain pengendalian diri. Pengendalian diri meliputi:

A. Mengkonsumsi barang dan jasa

Selama sebulan penuh (30 hari atau 29 hari dalam tahun hijriyah), setiap orang yang bershaum dilarang untuk makan, minum, dan kebutuhan seksual kecuali pada waktunya berbuka dan bagi orang-orang tertentu yang dibolehkan tidak bershaum, seperti orang yang sedang sakit, orang yang dalam perjalan jauh (musafir), atau seorang ibu yang sedang menyusui bayinya. Tindakan bershaum, memiliki makna mengendalikan diri akan keinginan untuk mengkonsumsi barang dan jasa, meskipun semua barang dan jasa itu sah, halal, dan sangat diinginkannya.

Jika kita salah orientasi dalam mengkonsumsi tiga aspek kebutuhan dasar tersebut (makan, minum, dan berhubungan seksual), maka rusaklah peradaban dunia. Pada gilirannya, hal ini juga akan merembet pada masalah perekonomian suatu bangsa.

Dari sudut konsumen, shaum berarti mengendalikan diri dalam membeli hanya sesuai kebutuhan (need), bukan sekedar memenuhi syahwat keinginan (won), apalagi untuk menimbun sebanyak-banyaknya.  Sementara dari sisi produsen, shaum dapat berarti menahan diri untuk tidak me-markup harga dan “kongkalikong” dengan pihak lain semata-mata hanya untuk mencari untung dengan cara yang menyakiti kesejahteraan publik. Jadi, shaum  mengendalikan tujuan mengkonsumsi semata untuk memenuhi kebutuhan (need), bukan keinginan (want). “Kebutuhan” relatif terbatas, sementara “keinginan” relatif tidak terbatas.

Perekonomian suatu bangsa berpotensi rusak karena tindakan para pelaku ekonomi yang hanya mendasarkan diri pada syahwat untuk memenuhi keinginan. Saat individu atau kelompok hendak memenuhi keinginannya, lalu bertindak dengan cara-cara terlarang dengan menjadi penumpang gelap (free rider, rentenir, mafia migas dan semacamnya), maka tindakan sejenis itu boleh dibilang tindakan yang menyakiti perekonomian publik.

Segelintir pelaku yang menikmati hasil pembangunan dengan cara mengorbankan kepentingan rakyat banyak, adalah bagian dari perwujudan pemenuhan “keinginan” tanpa batas itu.

Dalam konteks ini, shaum berarti mengendalikan diri untuk tidak mengorbankan hak publik, demi meraih keuntungan pribadi atau kelompoknya. Dengan demikian, shaum dalam konteks ekonomi makro, dapat kita artikan sebagai tindakan mengubah “budaya ekonomi rakus” menjadi “budaya ekonomi berbagi”.

B. Mengkonsumsi informasi dan berkomunikasi

Pengendalian diri dalam mengelola instrument informasi dan komunikasi (mata, mulut, telinga) dan bersikap, misalnya bertahan dari godaan maksiat dan menjauhi perbuatan keji, juga menjauhi perbuatan yang tidak terpuji lahir dan batin, misalnya berbuat curang dalam bertransaksi dan pengadaan barang
Mulut akan terjaga dari kata-kata kotor, caci maki, mengumbar aib orang dan berusaha untuk tidak menyakiti perasaan orang lain, dan khianat terhadap janji yang telah dinyatakan baik secara lisan maupun tulisan.
Sehubungan dengan itu, Nabi saw. bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ. -الجماعة الا مسلما والنسائي-
”Siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan kotor, maka bagi Allah tidak punya keperluan dalam hal sekadar meninggalkan makan dan minum orang bershaum.” HR. Al-Jamaah kecuali Muslim dan An-Nasai

Pengendalian diri ini tidak hanya berlaku pada bulan Ramadhan, namun akan senantiasa diterapkan secara utuh dalam kehidupan sehari-hari selama 11 bulan di luar Ramadhan. Nabi saw. bersabda:

صِيَامُ رَمَضَانَ إِلَى رَمَضَانَ كَفَّارَةُ مَا بَيْنَهُمَا
“Shaum bulan Ramadhan ke bulan bulan Ramadhan berikutnya menjadi penebus dosa di antara keduanya.” HR. Ath-Thabrani

Semoga kita termasuk orang-orang yang sukses dengan bulan Ramadhan dengan ciri kesuksesaannya berupa mampu mengendalikan diri dalam memproduksi, distribusi, dan mengkonsumsi barang dan jasa, juga informasi dan berkomunikasi.

Bandung, 01 Ramadhan 1439 H/17 Mei 2018 M

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta.

TARGET RAMADHAN (II): UPGRADING KUALITAS ILMU

Salah satu kunci sukses ibadah Ramadhan adalah jangan pernah membiarkan diri kita stagnan. Ramadhan memacu dan memicu kita agar punya motivasi dan keyakinan untuk maju. Kemajuan dalam Islam selalu bertumpu pada ilmu. Ilmu yang paling utama dalam konteks ini tentang syariat Islam, agar kehidupan kita senantiasa berada dalam rambu-rambu Ilahi sehingga tak pernah sepi dihinggapi beragam fasilitas kemudahan pada saat kesulitan datang menghampiri kita. Sehubungan dengan itu, Allah Swt. Berfirman:

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya bershaum) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak bershaum) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan bershaum lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” QS. Al-Baqarah:184

Ayat ini (QS. Al-Baqarah:184) “dihadirkan” setelah Allah memerintahkan orang-orang mukmin bershaum, yaitu menahan diri dari makan dan minum serta bersenggama dengan niat ikhlas karena Allah Swt. (QS. Al-Baqarah:183). Pada ayat itu pula Allah menyebutkan, sebagaimana shaum diwajibkan atas mereka, sesungguhnya Allah pun telah mewajibkannya atas umat-umat sebelum mereka. Dengan demikian, berarti mereka mempunyai teladan dalam bershaum agar memberikan semangat kepada mereka dalam menunaikan kewajiban ini, yaitu dengan penunaian yang lebih sempurna dari apa yang telah ditunaikan oleh orang-orang sebelum mereka.

Melalui ayat ini (QS. Al-Baqarah:184) Allah Swt. menjelaskan batas hari-hari pelaksanaan shaum, yaitu dilakukan bukan setiap hari agar tidak berat dikerjakan yang akibatnya nanti tubuh menjadi lemah dalam menunaikannya, melainkan hanya dalam beberapa hari tertentu. Memang demikianlah cara ibadah shaum pada permulaan Islam, yaitu mereka melakukan shaum tiga hari setiap bulan, di samping shaum 10 Muharram (Asyura). Kemudian kewajiban shaum ini dihapus oleh perintah shaum bulan Ramadhan sepenuhnya, sehingga shaum periode sebelumnya berubah status menjadi shaum Sunnah (tathawwu’). Kronologis perubahan tatanan hukum shaum periode sebelumnya itu dapat dibaca selengkapnya di sini dan di sini

Kemudian Allah menjelaskan tahapan syariat shaum menurut ketentuan yang berlaku di masa permulaan Islam. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}
“Maka jika di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya bershaum) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Artinya, orang yang sakit dan orang yang bepergian tidak boleh shaum di saat sakit dan bepergian, mengingat shaum memberatkan keduanya, bahkan keduanya boleh berbuka dan mengqadaa shaum yang ditinggalkannya itu di hari-hari lain sebanyak yang ditinggalkannya. Orang yang sehat lagi berada di tempat, tetapi berat menjalankan shaum, sesungguhnya dia boleh memilih antara shaum dan memberi makan (fidyah) seorang miskin setiap hari. Jika dia memberi makan lebih banyak dari seorang miskin untuk setiap harinya, maka hal ini lebih baik baginya. Jika ia bershaum, maka shaum lebih utama baginya daripada fidyah. Jadi, pada tahap awal pensyariatannya kewajiban shaum Ramadhan masih berbentuk takhyir atau pilihan alternatif antara shaum atau diganti dengan fidyah.

Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:

{وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ}
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak bershaum) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan bershaum lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Tahapan ini ditegaskan pula dalam hadis Mu’adz bin Jabal sebagai berikut:

وَأَمَّا أَحْوَالُ الصِّيَامِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، فَجَعَلَ يصومُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، وَصَامَ عَاشُورَاءَ، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِ الصِّيَامَ، وَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ} . إِلَى قَوْلِهِ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} فَكَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ، وَمَنْ شَاءَ أَطْعَمَ مِسْكِينًا، فَأَجْزَأَ ذَلِكَ عَنْهُ. ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْزَلَ الْآيَةَ الْأُخْرَى: {شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزلَ فِيهِ الْقُرْآنُ} إِلَى قَوْلِهِ: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} فَأَثْبَتَ اللهُ صيامَه عَلَى الْمُقِيمِ الصَّحِيحِ ورخَّصَ فِيهِ لِلْمَرِيضِ وَالْمُسَافِرِ، وَثَبَتَ الإطعامُ لِلْكَبِيرِ الذِي لَا يَسْتَطِيعُ الصِّيَامَ، فَهَذَانَ حَالَانِ.
“Adapun hal ihwal tahapan ibadah shaum ialah ketika Rasulullah Saw. tiba di Madinah, beliau shaum tiga hari setiap bulannya, juga shaum ‘Asyura. Kemudian Allah mewajibkan shaum atasnya melalui firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian bershaum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa —sampai dengan firman-Nya— Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak bershaum) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 183-184) Pada mulanya orang yang menghendaki shaum, ia boleh shaum; dan orang yang tidak ingin shaum, maka ia memberi makan seorang miskin sebagai ganti dari shaumnya. Kemudian Allah Swt. menurunkan ayat lain, yaitu firman-Nya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an —sampai dengan firman-Nya— Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia bershaum pada bulan itu. (QS. Al-Baqarah: 185) Maka Allah menetapkan kewajiban shaum atas orang mukim yang sehat, dan memberikan keringanan kepada orang yang sakit dan orang yang sedang bepergian, serta ditetapkan memberi makan orang miskin bagi lansia yang tidak kuat lagi melakukan shaum. Demikianlah dua tahapan yang dialami oleh shaum.” HR. Ahmad, Musnad Ahmad, V:246, No. 22.177

Termasuk ke dalam kategori Mutiiquun ini ialah wanita yang sedang hamil dan yang sedang menyusui, jika keduanya merasa khawatir terhadap kesehatan dirinya atau kesehatan anaknya, sebagaimana dinyatakan Ibnu Abbas berikut:

أَلْحُبْلَى وَ الْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
“Yang hamil dan yang menyusui, bila merasa takut atau khawatir (akan mengganggu kepada dia dan anaknya), mereka dibolehkan berbuka saum, dan keduanya memberi makan seorang miskin setiap hari (sebagai ganti dari shaumnya).” HR. Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV:230, No. 7866, Ibnu Al-Jarud, Al-Muntaqa, I:104, No. 381.

Demikianlah di antara contoh ragam fasilitas kemudahan yang ditetapkan dalam Syariat Islam. Fasilitas kemudahan itu bukan saja dalam hal shaum, namun terdapat pula dalam perkara kewajiban lainnya, sebagai misal dalam hal shalat fardhu, seseorang boleh menjamak (menggabungkan dua shalat dalam satu waktu) dan mengqashar (meringkas rakaat shalat) ketika dalam perjalanan dalam jarak tertentu, minimal telah mencapai jarak + 6 KM. (HR. Muslim dari Anas bin Malik)

Dengan ilmu, hidup itu terasa mudah. Sesulit apapun situasi dan kondisi hidup yang tengah dialami oleh seorang muslim sejatinya Allah telah menetapkan jalan keluarnya. Dengan ilmu itu pula segala kemudahan yang didapatnya tidak terlepas dari batasan-batasan syariat sehingga kemudahan itu tidak menjadikan kita bebas sewenang-wenang.

Untuk menggapai ilmu dibutuhkan suatu proses yang tidak instan, tidak ujug-ujug. Dalam proses itu dibutuhkan disiplin tingkat tinggi dan kesabaran paripurna, baik dalam menggunakan waktu—yang boleh jadi tidak sebentar—maupun kaifiyat (standar operasional prosedur) dan kode etik memperolehnya. Dalam konteks ini, penggunaan bentuk kata Ta’lamuun (فعل المضارع) mengandung makna proses-arus-nilai (values stream). Dalam hal ini, Ramadhan adalah event dan moment berharga untuk digunakan dalam proses-arus-nilai itu. Hasil dari proses itu berupa “manusia berilmu” yang sarat dengan nilai-nilai takwa.

Semoga kita termasuk orang-orang yang sukses dalam Ramadhan, dengan ciri sukses berupa peningkatan ilmu syariat sehingga berhasil meraih kemajuan dalam hidup dunia-akhirat.

Bandung, 02 Ramadhan 1439 H/18 Mei 2018 M

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta.