Senin, 30 April 2018

Sombong dalam pandangan islam

SOMBONG DALAM PANDANGAN ISLAM

وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ دِينَارٍ جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى بْنِ حَمَّادٍ قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ حَمَّادٍ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبَانَ بْنِ تَغْلِبَ عَنْ فُضَيْلٍ الْفُقَيْمِيِّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna dan Muhammad bin Basysyar serta Ibrahim bin Dinar semuanya dari Yahya bin Hammad, Ibnu al-Mutsanna berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hammad telah mengabarkan kepada kami Syu'bah dari Aban bin Taghlib dari Fudlail al-Fuqaimi dari Ibrahim an-Nakha'i dari Alqamah dari Abdullah bin Mas'ud dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan." Seorang laki-laki bertanya, "Sesungguhnya laki-laki menyukai baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?" Beliau menjawab:

"Sesungguhnya Alloh imaha indah dan sangat menyukai yang keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia."
Muslim no. 131

Kesombongan terhadap kebenaran adalah menolak dan tidak bersedia menerima
kebenaran yang telah Alloh datangkan lewat Rasululloh saw, artinya  telah berlaku sombong terhadap sehapa apa yang sebenarnya harus diyakini dan ditha'ati.

Karena sudah menjadi kewajiban atas segenap manusia untuk tunduk patuh kepada kebenaran dari Alloh Ta’ala, yang telah disampaikan oleh para RasulNya dengan menyebarkan risalah kebenaran melalui Kitab kitabNya.

Merendahkan dan meremehkan manusia. Ini timbul dari sikap takabur seseorang terhadap dirinya,sebab merasa paling besar dalam kehidupan manusia.
Takabur terhadap diri sendiri alan melahirkan kesombongan terhadap sesama manusia, dengan merendahkan mereka, bahkan menghina dan meremehkannya,baik dengan perkataan maupun perbuatan.

Rasulullah saw bersabda :
“Cukuplah seseorang dianggap memiliki sifat buruk,apabila  meremehkan sesama muslim.”
HR.Muslim.

Amalan nishfu syaban

Wa'alaikumussalam warohmatullooh..

Amalan yg d contohkan pd bulan sya'ban itu sama dgn amalan d bulan² lain slian Ramadhan.
Tdk ada amalan khusus.

Adapun hadits² tentang shaum dan shalat nishfu sya'ban seluruh riwayatnya dhaif munkar.

Insyaa Allah nanti ana susun berupa tulisan, kalo udh beres nanti d share.

Diantaranya,

*Hadits keutamaan Nishfu Syaban Tidak ada yg Shahih atau Hasan*
--------------------

1. Hadits Mu’adz bin Jabal

عن معاذ بن جبل عن النبي أنه قال : (يطلع الله إلى خلقه ليلة النصف شعبان فيغفـر لجميع خلقـه إلا مشــرك أو مشاحن) .
Dari Mu’adz bin Jabal dari Nabi saw, bahwasanya beliau bersabda: _“Allah melihat makhluknya pada malam nishfu Sya’ban. Maka Dia mengampuni seluruh makhluknya kecuali orang musyrik dan musyahin”_

Ini hadits Munkar
Dikeluarkan oleh Ibnu Abi A’shim dalam as-Sunnah 1/356, Ibnu Hibban dalam shahihnya 12/481, Thobroni dalam mujam kabirnya 2/108, juga dalam mujam ausath 7/397, juga dalam musnad syamiyyin 1/129, al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 7/415, dalam fadloilul Auqot hal 119, Abu Nu’aem dalam al-Hilyah 5/191, asy-Syajari dalam al-Amalinya 2/100, Daroquthni dalam an-Nuzul hal 158, Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 54/97.

*Semua diatas periwayatannya melalui jalur Abi Kholid Utbah bin Hammad dari al-Auza’I dari Makhul dari Malik bin Yukhomir dari Mu’adz bin Jabal.*

*Dalam sanad ini terdapat Makhul asy-Syami, beliau seorang mudallis dan ‘an’anah dalam periwayatannya* (lihat ta’rifu ahlit-Taqdis karya Ibnu Hajar hal 113, al-Ithaf karya al-Anshori hal 49 dan Qoshidah mudallisin karya al-Maqdisi hal 65)

Adz-Dzahabi dalam siyar ‘Alam Nubala 5/156 mengatakan:

روى أيضاً عن طائفة من قدمـاء التابعين ، وما أحسبه لقيهم ، كأبي مسلم الخولاني ، ومسروق ، ومالك بن يخامر
_”Dia (Makhul) meriwayatkan juga dari senior Tabi’in. Aku tidak mengira dia pernah bertemu mereka seperti dengan Abu Muslim al-Khoulani, Masruq dan Malik bin yukhomir”_

Hadits diatas dikeluarkan juga oleh Ibnu Abi A’shim dalam as-sunnah 1/356, Ibnu hibban dalam shahihnya 12/481, Thobroni dalam mujam kabirnya 2/108, dalam mujam ausath juga 7/397, juga dalam musnad syamiyyin 1/129, al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 7/415, dalam fadloilul Auqot hal 119, Abu Nu’aem dalam al-Hilyah 5/191, asy-Syajari dalam al-Amalinya 2/100, Daroquthni dalam an-Nuzul hal 158, Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 54/97.

*Semuanya melalui jalur Abu Kholid Utbah bin Hammad dari Ibnu Tsauban dari Makhul dari Malik bin Yukhomir dari Mu’adz bin Jabal.*

Sanad ini punya 2 cacat:

a). Terputus antara Ibnu Tsauban dan Makhul (lihat al-Marosil karya Ibnu Abi Hatim hal 129)

b). Makhul seorang Mudallis

Ibnu Abi Hatim dalam al-Ilalnya 2/173 berkata:

سألت أبي عن حديث رواه أبو خليد القاري عن الأوزاعي عن مكحول وعن أبن ثوبان عن أبيه عن مكحول عن مــالك بن يخـــــــامر عن معاذ بن جبل قال قال رسول الله ( يطلع الله تبارك وتعالـــى ليلـــةالنصف من شعبا ن الى خلقه ) قال أبي هذا حديث منكر بهذا الإسناد)
_Aku bertanya ayahku mengenai hadits yang diriwayatkan Abu Kholid al-Qori dari Auza’I dari makhul dari Ibnu Tsauban dari Ayahnya dari Makhul dari Malik bin Yukhomir dari Mu’adz bin Jabal dia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Allah melihat makhluknya pada malam nishfu Sya’ban. Maka Dia mengampuni seluruh makhluknya kecuali orang musyrik dan musyahin”. Ayahku menjawab: INI adalah hadits Munkar dengan sanad ini”_.

Imam Daroqutni dalam al-Ilalnya 6/51 berkata:

يروى عن مكحول وأختلف عليه فرواه أبو خليد عتبة بن حماد القاري عن الأوزاعي عن مكحول عن مالك بن يخامر عن معاذ بن جبل، الى أن قال عن أبي خليد عن ابن ثوبان عن أبيه عن خالـد بن معدان عن كثير بن مرة عن معاذ بن جبل كلاهما غير محفوظ
_”(Hadits diatas) Diriwayatkan dari Makhul melalui dua jalur, (1) Abu Kholid Utbah bin Hammad dari Auza’I dari Makhul dari Malik bin Yukhomir dari Mu’adz bin Jabal. (2) Abu Kholid dari Ibnu Tsauban dari Ayahnya dari Kholid bin Ma’dan dari Katsir bin Murroh dari Mu’adz bin Jabal. KEDUA_DUANYA tidak makfudz (MUNKAR)”_.

Sanad Mu’adz bin Jabal diatas memiliki syawahid jalur lain dari beberapa Shahabat: Ali bin Abi Tholib, Sy A’isyah, Abdullah bin Amr, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Bakar, Abi Hurairah, Auf bin Malik, Abu Tsa’labah al-Khosyni, Abu Umamah radliyallahu ‘anhum

Dengan adanya jalur sanad sanad para Shahabat yang disebutkan, Syeikh al-Albani dalam kitab-kitab takhrijnya menilai hadits diatas shahih. Demikian pula Syeikh Masyhur Hasan Alu Salman menulis risalah khusus berjudul Husnul Bayan fiima waroda fii lailatin-Nishfi min Sya’ban. Beliau mengikuti Syeikh al-Albani menilai Shahih.

Mereka berdua rahimahumallah dll berpandangan hadits-hadits melalui jalur shahabat-shahabat yang disebutkan diatas menguatkan satu sama lain sekaligus menaikan derajat hadits keutamaan Nishfu Sya’ban menjadi Shahih.

Padahal bila dianalisis lebih teliti berdasarkan keterangan para ahlul Naqd secara komprehenshif, dapat diketahui dan disimpulkan bahwa semua jalur riwayat tersebut tidak layak menjadi syawahid dan tidak bisa saling menguatkan dikarenakan nakaroh, idltirob atau syadid dlo’fi.

Bersambung......

Hukum memakai hadits dhoif.

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah. Saat ini telah tersebar berbagai macam perkara baru dalam agama ini (baca: bid’ah). Seperti contohnya adalah acara tahlilan/yasinan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan tidak pernah pula dilakukan oleh para sahabatnya. Dan kebanyakan bid’ah saat ini terjadi dikarenakan tersebarnya hadits dho’if/lemah di tengah-tengah umat. Contoh dari hadits dho’if tersebut adalah tentang keutamaan surat yasin sehingga orang-orang membolehkan adanya yasinan. Hadits tersebut adalah,”Bacakanlah surat yasin untuk orang mati di antara kalian”. (Hadits ini dho’if/lemah diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan Nasa’i. Imam Nawawi mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat 2 perawi majhul/tidak dikenal).

Selain itu juga, hadits dho’if digunakan oleh sebagian orang untuk menjelaskan fadh’ail a’mal yaitu mendorong umat untuk melakukan kebaikan dan menakut-nakuti mereka agar tidak melakukan kejelekaan. Hadits dho’if (bahkan palsu) ini semakin tersebar –di zaman yang penuh kebodohan mengenai derajat hadits saat ini- baik melalui tulisan atau pun melalui lisan para da’i. Namun menjadi suatu pertanyaan penting, apakah hadits dho’if (atau bahkan palsu) boleh dijadikan sandaran hukum?! Simaklah pembahasan berikut ini.

Larangan Berdusta Atas Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Kaum muslimin yang semoga selalu ditunjuki oleh Allah menuju kebenaran. Perlu diketahui, bahwa berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam termasuk dosa besar karena beliau shallallahu ’alaihi wa sallam mengancam orang yang demikian dengan neraka. Sebagaimana sabda beliau shallallahu ’alaihi wa sallam,

مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

”Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya di neraka”. (HR. Bukhari & Muslim). Dari hadits ini terlihat jelas bahwasanya seseorang yang menyandarkan sesuatu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tanpa mengetahui keshohihannya, dia terancam masuk neraka.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

”Cukuplah seseorang dikatakan berdusta, jika ia menceritakan setiap yang dia dengar.” (HR. Muslim). Imam Malik –semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, ”Ketahuilah, sesungguhnya seseorang tidak akan selamat jika dia menceritakan setiap yang didengarnya, dan dia tidak layak menjadi seorang imam (yang menjadi panutan, pen), sedangkan dia selalu menceritakan setiap yang didengarnya. (Dinukil dari Muntahal Amani bi Fawa’id Mushtholahil Hadits lil Muhaddits Al Albani).

Dari perkataan Imam Malik ini terlihat bahwasanya walaupun seseorang tidak dikatakan berdusta secara langsung namun dia dapat dikatakan mendukung kedustaan karena menukil banyak hadits lalu mendiamkannya, padahal bisa saja hadits yang disampaikan dho’if atau dusta. (Lihat Muntahal Amani)

Hukum Memakai Hadits Dho’if

Setelah penjelasan larangan berdusta atas Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yaitu seseorang tidak boleh menyampaikan suatu hadits tanpa tahu terlebih dahulu keshohihannya, maka perlu kita ketahui pula hukum menggunakan hadits dho’if dengan melihat perkataan Imam Muslim –semoga Allah merahmati beliau- berikut ini.

Imam Muslim –rahimahullah- berkata, ”Ketahuilah –semoga Allah memberikan taufiq padamu- bahwasaya wajib atas setiap orang yang mengerti pemilahan antara riwayat yang shohih dari riwayat yang lemah dan antara perowi yang tsiqoh (terpercaya, pen) dari perowi yang tertuduh (berdusta, pen); agar tidak meriwayatkan dari riwayat-riwayat tersebut melainkan yang dia ketahui keshohihan periwatnya dan terpercayanya para penukilnya, dan hendaknya dia menjauhi riwayat-riwayat yang berasal dari orang-orang yang tertuduh dan para ahli bid’ah (yang sengit permusuhannya terhadap ahlus sunnah). Dalil dari perkataan kami ini adalah firman Allah yang artinya,”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. Al Hujurat: 6)

Ayat yang kami sebutkan ini menunjukkan bahwa berita orang yang fasik gugur dan tidak diterima dan persaksian orang yang tidak adil adalah tertolak.” (Muqoddimah Shohih Muslim, dinukil dari Majalah Al Furqon). Maka dapat disimpulkan bahwa hadits dho’if tidak boleh dijadikan sandaran hukum karena periwayat hadits dho’if termasuk orang yang fasik.

Bolehkah Hadits Dho’if Digunakan dalam Fadho’il A’mal?!

Ada sebagian kaum muslimin yang sering membawakan hadits dho’if (bahkan sangat dho’if/lemah) tentang fadha’il a’amal (keutamaan berbagai amal) dalam dakwah mereka. Mereka beralasan bahwa para ulama telah sepakat bolehnya menggunakan hadits dho’if dalam fadha’il a’mal. Padahal di pihak lain, banyak ulama yang menyatakan hadits dho’if tidak boleh diamalkan secara mutlak meskipun di dalam masalah fadha’il a’mal.

Perlu kaum muslimin ketahui, bahwa maksud sebagian ulama yang membolehkan menggunakan hadits dho’if bukanlah yang dimaksudkan mereka menggunakan hadits dho’if serampangan begitu saja. Namun, maksud mereka adalah bahwasanya dibolehkan menggunakan hadits dho’if untuk menjelaskan fadha’il a’mal (keutamaan amalan) dalam amalan yang telah disyari’atkan dalam syari’at dengan dalil-dalil yang shohih seperti dzikir, puasa, dan sholat. Hal ini dimaksudkan agar jiwa manusia selalu mengharapkan pahala dari amalan-amalan tersebut atau menjadi takut untuk melaksanakan suatu kejelekan. Para ulama tidak menghendaki penetapan hukum syar’i dengan hadits-hadits yang dho’if/lemah yang tidak memiliki landasan pokok dari hadits yang shohih. Seperti yasinan/tahlilan tidak memiliki dalil dari hadits yang shohih sama sekali yang menjadi landasan pokok dalam penetapan hukum.

Para ulama yang membolehkan beramal dengan hadits dho’if di dalam fadho’il a’mal juga memberikan persyaratan bagi hadits yang boleh diamalkan dalam hal tersebut. Syarat-syarat tersebut adalah:

(1) Hendaknya hadits dho’if tersebut bukanlah hadits yang sangat dho’if/lemah,

(2) Hendaknya hadits dho’if tersebut masuk di bawah hadits shohih (atau minimal hasan) yang sifatnya umum,

(3) Di dalam mengamalkannya tidak diyakini keshohihannya,

(4) Hadits ini tidak boleh dipopulerkan.

Syarat-syarat di atas di dalam prakteknya sulit sekali diterapkan oleh kebanyakan kaum muslimin. Kebanyakan dari mereka tidak bisa memilah antara hadits dho’if dengan hadits yang dho’if jiddan (lemah sekali) dan antara hadits yang di dalamnya memiliki landasan dari hadits yang shohih dengan yang tidak. (Lihat Majalah Al Furqon, thn.6, ed.2 dan Ilmu Ushul Bida’)

Mengenai hadits dho’if, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Sedangkan hadits dho’if diperselisihkan oleh para ulama -rahimahumullah-. Ada yang membolehkan untuk disebarluaskan dan dinukil, namun mereka memberikan tiga syarat dalam masalah ini,

[Syarat pertama] Hadits tersebut tidaklah terlalu dho’if (tidak terlalu lemah).

[Syarat kedua] Hadits tersebut didukung oleh dalil lain yang shahih yang menjelaskan adanya pahala dan hukuman.

[Syarat ketiga] Tidak boleh diyakini bahwa hadits tersebut dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits tersebut haruslah disampaikan dengan lafazh tidak jazim (yaitu tidak tegas). Hadits tersebut hanya digunakan dalam masalah at targhib untuk memotivasi dan at tarhib untuk menakut-nakuti.”

Yang dimaksudkan tidak boleh menggunakan lafazh jazim adalah tidak boleh menggunakan kata “qola Rasulullah” (رَسُوْل اللهِ قَالَ), yaitu Rasulullah bersabda. Namun kalau hadits dho’if tersebut ingin disebarluaskan maka harus menggunakan lafazh “ruwiya ‘an rosulillah” (ada yang meriwayatkan dari Rasulullah) atau lafazh “dzukiro ‘anhu” (ada yang menyebutkan dari Rasulullah), atau ”qiila”, atau semacam itu. Jadi intinya, tidaklah boleh menggunakan lafazh “Qola Rosulullah” (Rasulullah bersabda) tatkala menyebutkan hadits dho’if.

Jika di masyarakat tidak bisa membedakan antara perkataan dzukira (ذُكِرَ), qiila (قِيْلَ), ruwiya (رُوِيَ) dan qoola  (قَالَ), maka hadits dho’if tidak boleh disebarluaskan sama sekali. Karena ditakutkan masyarakat  akan menyangka bahwa itu adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Faedah Ilmu dari Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, hal. 401-402, cetakan pertama, 1424 H). Lihat pula pembahasan kami di sini.

Faedah Lainnya

Dari sini menunjukkan bahwa hadits dho’if tidak boleh digunakan untuk menentukan suatu amalan kecuali jika ada hadits shahih lain yang mendukungnya. Karena di sini hanya disebutkan boleh hadits dho’if untuk memotivasi beramal atau menakut-nakuti, bukan untuk menentukan dianjurkannya suatu amalan kecuali jika ada hadits shahih yang mendukung hal ini. Perhatikanlah! Misalnya ada hadits dho’if mengenai amalan pada malam nishfu sya’ban. Kalau landasannya dari hadits dho’if tanpa pendukung dari hadits shahih, maka tidak boleh digunakan sama sekali sebagai landasan untuk beramal.

Minggu, 29 April 2018

Bagaimana hukumnya perdagangan saham?

Wa'alaikumussalam waeohmatullooh ..

Bila saham-saham tersebut tidak mewakili uang tunai, baik secara keseluruhan atau kebanyakannya, akan tetapi mewakili aset berupa tanah, atau kendaraan atau properti dan yang serupa, dan aset tersebut telah diketahui oleh masing-masing penjual dan pembeli, maka boleh untuk memperjualbelikannya, baik dengan pembayaran kontan atau dihutang dengan sekali pembayaran atau dicicil dalam beberapa pembayaran, hal ini berdasarkan keumuman dalil-dalil yang membolehkan jual beli.

Ana jelaskan secara detailnya:

A. Ketentuan hukum Islam terkait jual beli saham

Hukumnya boleh menurut syariah jika memenuhi ketentuan sebagaimana yang akan disebutkan.

Ketentuan yang dimaksud adalah:

1. Saham harus memiliki underlying asset yang melandasinya. Oleh karena itu asset saham tidak boleh berbentuk uang saja.

2. Saham harus berbentuk barang (tidak boleh menjual saham yang berbentuk uang).

Pada prakteknya, setelah perusahaan emiten berhasil menjual sahamnya di pasar perdana, maka saham tersebut tidak boleh diperjualbelikan di bursa kecuali setelah dijalankan menjadi usaha riil dan uang atau modal tersebut sudah berbentuk barang.

3. Asset barang harus yang dominan
- Jika asset perusahaan bermacam-macam barang, jasa, uang dan piutang, maka komposisi barang harus dominan. Para ulama kontemporer memberikan batasan, bahwa asset non barang tidak boleh lebih dari 51%.
- Jika asset perusahaan berbentuk barang, biasanya tidak seluruhnya berbentuk barang, tetapi sebagian kecilnya berbentuk uang kas. Maka yang mengikuti kaidah di atas.
- Jika asset perusahaan bermacam-macam barang, untuk menentukan jenis barang yang menjadi underlying adalah ditentukan yang dominan (aghlabnya).

4. Kaidah yang berlaku jika asset bermacam-macam
Jika asset perusahaan bermacam-macam terdiri dari barang, jasa, uang dan piutang, maka kaidah yang berlaku sesuai dengan usaha perusahaannya yaitu sebagai berikut:
- Jika usaha perusahaannya berbentuk investasi asset (barang, dan jasa) tersebut, maka saham tersebut boleh diperjualbelikan di pasar bursa tanpa mengikuti kaidah sharf, dengan syarat harga (pasar) dari barang dan jasa tidak boleh kurang dari 30% dari total asset perusahaan.
- Jika usaha perusahaannya berbentuk jual beli mata uang, maka saham tersebut boleh diperjualbelikan di pasar bursa kecuali dengan mengikuti kaidah sharf.
- Jika usaha perusahaannya berbentuk investasi dalam piutang, maka saham tersebut boleh diperjualbelikan di pasar bursa dengan mengikuti kaidah utang piutang.
- Ketiga bentuk aktivitas di pasar bursa di atas dibolehkan dengan syarat tidak dijadikan sebagai hilah untuk melakukan sekuritasi utang dengan cara menggabungkan barang dan jasa tersebut kepada utang.

5. Emiten atau Perusahaan Publik harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

- Jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan dan akad serta cara pengelolaan perusahaan Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah tidak boleh bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah.
- Jenis kegiatan usaha tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Di antara kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip tersebut antara lain:
1) Melakukan investasi pada Emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) utang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya;
2) Lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional;

Karena kedua hal di atas termasuk aktivitas ribawi yang diharamkan dalam nash:

لعن الله أكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه
Allah Swt melaknat pelaku riba, pemakan riba, sekretarisnya dan saksinya

- Perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; karena termasuk maisir (judi) yang dilarang dalam Islam
- Produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram; dan
- Produsen, distributor, dan/atau penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudara

Yang dimaksud Al-Jama'ah?

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ يُفَارِقُ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَيَمُوتُ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً. رواه البخاري ومسلم
Dari Ibnu Abbas, dari Nabi saw. bersabda, ‘Barangsiapa yang melihat dari amirnya sesuatu yang ia tidak setuju, hendaklah ia sabar, (jangan mengacau atau menggunakan kekerasan). Sesungguhnya tidak ada yang memisahkan diri dari Jamaah sejengkal, kemudian ia mati karenanya, maka ia mati seperti mati jahiliyah. H.R. Bukhari Muslim

Yang dimaksud dengan Al-Jamaah, diterangkan oleh Imam Al-Baihaqi dalam kitabnya Syu’abul Imam sebagai berikut

اَلْمُرَادُ بِالْجَمَاعَةِ: مَنْ كَانَ عَلَى الْحَقِّ وَلَوْ كَانَ وَاحِدًا وَذلِكَ لأَنَّ الْحَقَّ هُوَ مَاكَانَ عَلَيْهِ الْجَمَاعَةُ فِي صَدْرِ الأَوَّلِ وَلاَ نَظْرَةَ لِكَثْرَةِ أَهْلِ البَاطِلِ وَإِنْ كَانُوا جَمِيْعَ الدُّنْيَا
Yang dimaksud Al-Jamaah adalah orang yang (tegak) di atas Al-Hak (kebenaran) walau pun hanya seorang (dalam arti tidak mempunyai kawan sepaham). Sesungguhnya yang dikatakan Al-Jamaah itu ialah apa-apa yang dilakukan oleh Jamaah Islam diabad pertama (zaman Rasul dan para sahabatnya) dan tidak usah menghiraukan jumlah bathil yang sekian banyak, walau sebanyak penghuni dunia jumlah meraka.

Ibnu Mas’ud mengatakan

مَاكَانَ عَلَى الْحَقِّ فَهُوَ جَمَاعَةٌ وَلَوْ كَانَ وَحْدَهُ
Barangsiapa berada di atas hak (memegang dan mempertahankan hak), maka ia itulah Jamaah walau pun ia sendirian

wallahu a'lam bishawab

Hadits berdoa mengangkat tangan?

Semua hadits tentang berdoa sambil mengangkat tangan adalah dhaif.

Sudah Ana jelaskan hadits² nya waktu dulu. Yg shahih itu hnya hadits tentang berdoa di waktu tertentu,diantaranya:

1. Rasul berdoa sambil mengangkat tangan ketika jumroh

2. Rasul berdoa sambil mengangkat tangan ketika istisqo

Tidak ada riwayat shahih tentang mengangkat tangan ketika berdoa setelah wudhu

Lemahnya riwayat berdoa sambil mengangkat tangan dan mengusap wajah

عَنِ ابْنِ عَبَّا سٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِذَا دَعَوْتَ اللَّه فَادْعُ بِبَاطِنِ كَفَّيْكَ، وَلاَتَدْعُ بِظُهُوْرِهِمَا، فَاِذَا فَرَغتَ فَامسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ

“Dari Ibnu Abbas, ia berkata ; “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : Apabila engkau meminta (berdo’a) kepada Allah, maka hendaklah engkau berdo’a dengan kedua telapak tanganmu, dan janganlah engkau berdo’a dengan kedua punggung (telapak tangan). Apabila engkau telah selesai berdo’a, maka usaplah mukamu dengan kedua telapak tanganmu”. [Riwayat Ibnu Majah No. Hadits 181 dab 3866]

Keterangan:

Hadits ini derajatnya sangatlah lemah/dla’if. Karena di sanadnya ada seorang (rawi) yang bernama SHALIH BIN HASSAN AN-NADLARY. Tentang dia ini telah sepakat ahli hadits melemahkannya sebagaimana tersebut di bawah ini :

1. Kata Imam Bukhari, “Munkarul hadits (orang yang diingkari hadits/riwayatnya)”.

2. Kata Imam Abu Hatim, “Munkarul hadits, dla’if.”

3. Kata Imam Ahmad bin Hambal, “Tidak ada apa-apanya (maksudnya : lemah)”.

4. Kata Imam Nasa’I, “Matruk (orang yang ditinggalkan haditsnya)”

5. Kata Imam Ibnu Ma’in, Dia itu dla’if.

6. Imam Abu Dawud telah pula melemahkannya.
[Baca : Al-Mizanul ‘Itidal jilid 2 halaman 291, 292]

Imam Abu Dawud juga meriwayatkan dari jalan Ibnu Abbas, akan tetapi di sanadnya ada seorang rawi yang tidak disebut namanya (dalam istilah ilmu hadits disebut rawi mubham). sedang Imam Abu Dawud sendiri telah berkata : “Hadits inipun telah diriwayatkan selain dari jalan ini dari Muhammad bin Ka’ab al-Quradzy (akan tetapi) semuanya lemah. Dan ini jalan yang semisalnya, dan dia ini (hadits Ibnu Abbas) juga lemah”.
[Baca Sunan Abi Dawud No. hadits 1485]


Telah diriwayatkan oleh Saa-ib bin Yazid dari bapaknya (Yazid) :

أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ

“Artinya : Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila beliau berdo’a mengangkat kedua tangannya, (setelah selesai) beliau mengusap mukanya dengan kedua (telapak) tangannya”. [Riwayat : Imam Abu Dawud No. hadits 1492]

Sanad hadits inipun sangat lemah, karena di sanadnya ada rawi-rawi :

1. IBNU LAHI’AH, Dia ini seorang rawi yang lemah[1]
2. HAFSH BIN HASYIM BIN ‘UTBAH BIN ABI WAQQASH, Dia ini rawi yang tidak diketahui/dikenal (majhul). [Baca : Mizanul ‘Itidal jilid I halaman. 569].

Telah diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ia berkata :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِى الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا حَتَّى يَمسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ

“Artinya : Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila mengangkat kedua tangannya waktu berdo’a, beliau tidak turunkan kedua (tangannya) itu sehingga beliau mengusap mukanya lebih dahulu dengan kedua (telapak) tangannya”. [Riwayat : Imam Tirmidzi]

Hadits ini sangat lemah, karena disanadnya ada seorang rawi bernama HAMMAD BIN ISA AL-JUHANY.

1. Dia ini telah dilemahkan oleh Imam-imam : Abu Dawud, Abu Hatim dan Daruquthni.
2. Imam Al-Hakim dan Nasa’i telah berkata : Ia telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij dan Ja’far Ash-Shadiq hadits-hadits palsu.
[Baca : Al-Mizanul ‘Itidal jilid I hal. 598 dan Tahdzibut-Tahdzib jilid 3 halaman. 18-19]

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِى الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mengangkat tangan ketika berdo’a, beliau tidak menurunkannya hingga beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.”

Keterangan:

Mengenai hadits ini, seorang pakar hadits terkemuka yaitu Abu Zur’ah mengatakan, “Hadits ini adalah hadits mungkar. Saya takut hadits ini tidak ada asalnya.” (Lihat ‘Ilalul Hadits, hal. 156, Asy Syamilah)

Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 433 mengatakan bahwa hadits ini dho’if (lemah).


عَنْ عُمَرَ – رضي الله عنه – قَالَ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا مَدَّ يَدَيْهِ فِي اَلدُّعَاءِ, لَمْ يَرُدَّهُمَا, حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ – أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ

Dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membentangkan tangannya ketika berdo’a, beliau tidak menurunkannya sampai beliau mengusap kedua tangan tersebut ke wajahnya.  (Hr. Abu Dawud)

Hadits ini sangat dhaif.
Imam Adz Dzahabi mengatakan bahwa dalam hadits tersebut terdapat Hammad dan dia termasuk perowi yang dho’if (lemah).

Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if jiddan(lemah sekali).

Penilaian Para Ulama Mengenai Mengusap Wajah Setelah Do’a

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata,

لا يعرف هذا ، أنه كان يَمسح وجهه بعد الدعاء إلا عن الحسن .

Aku tidak mengtahui hadits yang shahih tentang amalan ini. Hanya Al Hasan yang mengusap wajah setelah do’a.

Al ‘Izz bin ‘Abdis Salam rahimahullah berkata,

ج. قال العز بن عبد السلام : ولا يمسح وجهه بيديه عقيب الدعاء إلا جاهل .

Tidak ada yang mengusap wajah dengan kedua tangan setelah do’a kecuali orang yang jahil (bodoh).

CATATAN

Hadits shahih tentang mengangkat tangan saat berdoa:
1. Ketika qunut nazilah
2. Ketika berdoa istisqo (minta hujan)
3. Ketika jumroh

Muslim tapi tidak mau sholat?

Wa'alaikumussalam warohmatulloh..

Jika meninggalkan krna khilaf atau krna angkuh dan malas, maka ia termasuk fasik dan dosa besar.

Jika meninggalkannya karna membantah dan bhkan mengingkarinya (mengingkari rukun islam ke-2), maka sungguh telah kafir


Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257).

Umar bin Khottob mengatakan,

لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

“Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.” Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut, tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat.

Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan,

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ

“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)

Shadaqah dan amal kebaikannya akan hangus dan sia² (tdk akan bermanfaat dan tdk akan berbuah amal)  jika meninggalkan shalat, krna shalat adalah penentu baik buruknya, diterima tidaknya amal shaleh lainnya.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قاَلَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( إنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ ، فَإنْ صَلُحَتْ ، فَقَدْ أفْلَحَ وأَنْجَحَ ، وَإنْ فَسَدَتْ ، فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ ، قَالَ الرَّبُ – عَزَّ وَجَلَّ – : اُنْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ، فَيُكَمَّلُ مِنْهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ تَكُونُ سَائِرُ أعْمَالِهِ عَلَى هَذَا )) رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيثٌ حَسَنٌ ))

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan hadits tersebut hasan.) [HR. Tirmidzi, no. 413 dan An-Nasa’i, no. 466. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.]

Qodho dan Qodar

Qodho adalah ketentuan Allah yg sudah d tetapkan Allah bagi manusia

Qodar adalah ketentuan Allah berupa ukuran manusia, baik sebelum dan sesudah terjadi.

Qodar d sebut juga dgn takdir.

Takdir ada 2:
1. Mubrom
Takdir yg tdk bs di ubah

Sprti mati, jenis kelamin, org tua yg melahirkan dll

2. Mu'allaq
Takdir yg bisa d ubah
Seperti: kaya, pintar, minskin, bodoh, jodoh dll

Takdir jelek bisa di ubah dgn cara:

Shadaqah, doa dan amal baik

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا الْبِرُّ (الترمذي)

Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam: “Tidak ada yang dapat menolak taqdir (ketentuan) Allah ta’aala selain do’a. Dan Tidak ada yang dapat menambah (memperpanjang) umur seseorang selain (perbuatan) baik.” (HR Tirmidzi 2065)

 “Sesungguhnya sedekah itu dapat memadamkan kemarahan Allah dan menolak ketentuan yang buruk,” (HR. Tirmidzi).

“Bersegeralah bersedekah, karena bala tidak pernah mendahului sedekah,” (HR. Thabrani).

“Sesungguhnya sedekah dan silaturahim itu dapat menambah umur dan menolak ketentuan buruk yang tidak disukai dan ingin dijauhi,” (HR. Abu Ya’la Alhambali).

Bulan syaban dan nisfu syaban?

Bulan Rajab telah berlalu meninggalkan kita. Sya’ban telah datang menggantikannya. Sedangkan Ramadhan sudah berada di depan menunggu giliran. Maka sungguh beruntung orang yang mengisi hidupnya untuk beribadah terutama pada bulan-bulan agung, sambil terus bersiap diri  menyambut tibanya bulan penuh berkah dan pahala, bulan Ramadhan, dengan ibadah shaum dan aktivitas kebajikan lainnya.
Pengertian Sya’ban
Sya’ban merupakan nama bulan ke-8 dari 12 bulan dalam almanak Hijriyyah. Kata Sya’ban tidak ditemukan dalam Al-Qur’an. Kata itu kita peroleh hanya di dalam hadis Nabi saw. Lalu mengapa bulan ke-8 ini dinamakan dengan Sya’ban?
Nama Sya’ban diambil dari kata Sya’bun (شعب), artinya kelompok atau golongan. Namun dapat dimaknai pula cerai-berai  (tafarruq). Menurut Imam As-Sakhawiy, sebagaimana dikutip Ibnu Katsir dalam tafsirnya, menyebutkan bahwa
‎شَعْبَانُ مِنْ تَشَعُّبِ الْقَبَائِلِ وَتَفَرُّقِهَا لِلْغَارَةِ وَيُجْمَعُ عَلَى شَعَابِيْنَ وَشَعْبَانَاتٍ
“Sya’ban diambil dari kata berpencar dan berpisahnya para kabilah Arab untuk berperang, (tasya’ub al-qaaba’il wa tafarruquhaa). Dijamakkan dalam bentuk syaa’abin dan Sya’banaat.” [1]
Sejumlah pakar menjelaskan latar belakang penamaan bulan itu dengan Sya’ban, antara lain karena di bulan ini orang-orang Arab pagan (para penyembah berhala) dahulu berpencar dan berpisah untuk mencari air. Sementara pendapat menyebutkan, karena pada bulan tersebut orang-orang Arab berpencar dalam penyerangan dan penyerbuan. Namun ada pula yang mengatakan “Sya’ban” juga berarti nampak atau lahir karena bulan ini nampak atau lahir di antara bulan Ramadhan dan Rajab. Sebagian pakar bahasa Arab klasik, sebagaimana dikutip oleh Tsa’lab, berpendapat:
‎إِنَّما سُمِّيَ شَعبَانُ شَعْبَاناً لِأَنَّه شَعَبَ أَيْ ظَهَرَ بَيْنَ شَهْرَيْ رَمَضَانَ وَرَجَبٍ
“Bulan Sya’ban dinamakan Sya’ban karena bulan ini nampak atau lahir (Sya’aba) di antara bulan Ramadhan dan Rajab.” [2]
Menurut Ibnu Hajar:
‎وَسُمِّيَ شَعْبَانَ لِتَشَعُّبِهِمْ فِي طَلَبِ الْمِيَاهِ أَوْ فِي الْغَارَاتِ بَعْدَ أَنْ يَخْرُجَ شَهْرُ رَجَبٍ الْحَرَامُ
Bulan ini dinamai Sya’ban karena mereka (kabilah Arab) berpisah-pisah atau berpencar dalam mencari air atau dapat dimaknai pula berpencar dalam penyerangan dan penyerbuan setelah berlalu bulan Rajab yang terhormat (diharamkan untuk berperang di dalamnya).” [3]
Imam Al-Munawi mengatakan:
‎فَكَانَ رَجَبٌ عِنْدَهُمْ مُحَرَّمًا يَقْعُدُوْنَ فِيْهِ عَنِ الْغَزْوِ فَإِذَا دَخَلَ شَعْبَانُ تَشَعَّبُوْا أَيْ تَفَرَّقُوْا فِي جِهَاتِ الْغَارَاتِ
“Bulan Rajab menurut masyarakat jahiliyah adalah bulan terhormat, sehingga mereka tidak melakukan peperangan. Ketika masuk bulan Sya’ban, bereka berpencar ke berbagai peperangan.” [4]
Penamaan bulan ini dengan Rajab karena latarbelakang kabilah Arab berpencar ke berbagai peperangan, dipandang lebih mendekati kebenaran oleh Ibnu Hajar daripada sebab lainnya. [5]
Petunjuk Menghidupkan Sya’ban
Dalam memuliakan Sya’ban selain dengan melaksanakan ketaatan dan amal ibadah sebagaimana umumnya, seperti Qiyamullail, shalat sunnah rawatib, dan bersedekah juga terdapat satu amal yang mendapat perhatian Nabi saw. secara khusus. Beliau menghidupkan Sya’ban dengan memperbanyak shaum, bahkan hampir satu bulan penuh, sebagaimana diterangkan dalam riwayat berikut ini:
‎عَنْ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – قَالَتْ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لَا يَصُومُ، وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْته فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ
Dari Aisyah Ra., ia berkata, “Rasulullah saw. bershaum hingga kami mengatakan, ‘Beliau tidak berbuka.’ Dan beliau berbuka (tidak bershaum) hingga kami mengatakan, ‘Beliau tidak bershaum.’ Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah saw. bershaum sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan aku tidak melihat beliau pada suatu bulan yang paling banyak bershaum kecuali pada bulan Sya’ban.” Muttafaq Alaih, dan redaksi di atas riwayat Muslim.
Hadis ini menunjukkan bahwa shaum Rasulullah saw. tidak dapat ditentukan pada suatu bulan tertentu, terkadang beliau shaum secara kontinu, namun terkadang pula tidak shaum secara kontinu. Hal itu boleh jadi disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat itu. Ketika beliau tidak memiliki kesibukan berat, beliau dapat shaum terus menerus, namun jika sebaliknya beliau terus menerus tidak shaum.
Hadis ini juga menunjukkan bahwa beliau mengkhususkan bulan Sya’ban untuk memperbanyak shaum dibandingkan bulan-bulan lainnya. Demikian Imam ash-Shan’ani menjelaskan. [6]
Dalam redaksi lain, Aisyah Ra.  mengatakan,
‎لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi saw. tidak biasa shaum pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, karena beliau shaum pada bulan Sya’ban sepenuhnya.” HR. Al-Bukhari. [7]
Juga diriwayatkan dengan redaksi:
‎كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Nabi saw. shaum pada bulan Sya’ban sepenuhnya, beliau shaum pada bulan Sya’ban kecuali sedikit hari saja (beliau tidak shaum).” HR. Muslim. [8]
Maksud Shaum Sepenuhnya
Para ulama memberikan komentar beragama tentang maksud ungkapan: “Nabi saw. shaum pada bulan Sya’ban sepenuhnya.” Kata “sepenuhnya” oleh sebagian ulama dimaknai dengan “pada umumnya (ghalib)” atau “sebagian besar (Aktsar)”, bukan berarti “seluruhnya”. Imam at-Tirmidzi mengutip penjelasan dari Ibnul Mubarak, bahwa melaksanakan shaum pada sebagian besar bulan akan dinyatakan dengan “shaum sebulan penuh” dalam ungkapan orang Arab. Menurut Imam at-Tirmidzi:
‎كَأَنَّ ابْنَ الْمُبَارَكِ جَمَعَ بَيْنَ الْحَدِيثَيْنِ بِذَلِكَ وَحَاصِلُهُ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْكُلِّ هُوَ الْأَكْثَرُ وَهُوَ مَجَازٌ قَلِيلُ الِاسْتِعْمَالِ
“Dengan itu, Ibnul Mubarak mengkompromi dua hadis, dan kesimpulannya bahwa yang dimaksud dengan sepenuhnya (kullu) adalah sebagian besar (aktsar). Kata kullu bermakna aktsar merupakan kiasan yang jarang dipergunakan.” [9]
Dalam menjelaskan maksud “sepenuhnya”, Imam an-Nawawi merujuk perkataan Aisyah sendiri yang menjelaskannya secara langsung, sebagaimana tersebut di atas, Menurut Imam an-Nawawi:
‎وَقَوْلُهَا : (كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُهُ إِلَّا قَلِيلًا ) الثَّانِي تَفْسِيرٌ لِلْأَوَّلِ ، وَبَيَانٌ أَنَّ قَوْلَهَا كُلَّهُ أَيْ غَالِبُهُ
“Dan perkataan Aisyah, ‘Beliau shaum pada bulan Sya’ban sepenuhnya, beliau shaum pada bulan Sya’ban kecuali sedikit hari saja (beliau tidak shaum),’ Kalimat kedua merupakan penjelas kalimat pertama dan keterangan bahwa perkataannya: ‘Sepenuhnya’ berarti galibnya (umumnya).” [10]
Jadi, keterangan Nabi saw. shaum pada seluruh hari bulan Sya’ban maksudnya pada sebagian besar hari-hari di bulan itu. Adapun shaum yang dilaksanakan beliau bukanlah shaum khusus bulan Sya’ban melainkan berbagai shaum sunat yang biasa, seperti Senin-Kamis, ayyamul bidh (tanggal 13,14,15 tiap bulan) dan shaum Dawud, namun lebih digemarkan pelaksanaanya di bulan ini.
Selain itu, bulan Sya’ban dapat pula dimanfaatkan untuk melaksanakan shaum Qadha bagi yang tidak sempat melaksanakannya di bulan-bulan lain. Demikian itu sebagaimana dilaksanakan oleh Aisyah:
‎عَنْ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُولُ كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ
Dari Abu Salamah, ia berkata, “Aku mendengar Aisyah Ra. berkata, ‘Aku berhutang shaum Ramadhan, maka aku tidak dapat mengqadhanya kecuali pada bulan Sya’ban’.” HR. Al-Bukhari. [11]
Adapun pertimbangan Nabi saw. tidak shaum pada seluruh hari bulan Sya’ban tiada lain agar tidak disangka terdapat shaum selain shaum Ramadhan yang hukumnya wajib. Sehubungan dengan itu, Imam an-Nawawi menuturkan pernyataan sebagaian ulama:
‎وَإِنَّمَا لَمْ يَسْتَكْمِلْ غَيْرَ رَمَضَانَ لِئَلَّا يُظَنَّ وُجُوبُهُ
“Nabi saw. tidak menyempurnakan shaum sebulan penuh selain di bulan Ramadhan tiada agar tidak disangka shaum selain Ramadhan adalah wajib.” [12]
Sementara hikmah digemarkan pelaksanaan shaum sunat di bulan ini dapat dilihat dari berbagai aspek, namun yang terkuat guna mengingatkan bahwa bulan ini sebagai momen penting yang banyak dilalaikan orang. Hikmah ini merujuk kepada salah satu riwayat yang bersumber dari Usamah bin Zaid, ia berkata:
‎قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat engkau shaum dalam satu bulan sebagaimana shaum di bulan Sya’ban?’ Beliau menjawab, ‘Itulah bulan yang dilalaikan orang-orang, bulan yang berada di antara Rajab dan Ramadhan, dan dia adalah bulan diangkatnya berbagai amal kepada Rabb semesta alam. Maka aku ingin amalku diangkat ketika aku sedang shaum.” HR. An-Nasai, Ahmad, dan Ath-Thahawi. [13]
Hadis ini dinilai Shahih oleh Ibnu Hajar al-Asqalani[14]  dan dinilai hasan oleh Syekh al-Albani. [15]
Adapun pelaporan amal tahunan pada bulan Sya’ban ini tidak dikhususkan pada malam tertentu, misalnya malam pertengahan Sya’ban (nisfu Sya’ban), sebagaimana disangka oleh sementara kalangan, karena hadis-hadis tentang itu berkedudukan lemah, bahkan disinyalir palsu, sebagaimana dijelaskan pada tulisan terpisah.
Mari kita gapai kemuliaan Sya’ban dengan semestinya, dan kita tidak melalaikannya dengan cara menjalankan ragam ibadah kepada Allah Swt. sesuai putunjuk Sunnah. Khususnya bagi kita yang masih mempunyai hutang shaum di tahun lalu, hendaknya segera dilunasi hutang tersebut.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
[1] Lihat, Tafsir al-Qur’aan al-Azhiim/Tafsir Ibnu Katsir, II: 432
[2] Lihat, Taj al-‘Arus min Jawaahir al-Qaamuus, III:142
[3] Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, IV:213
[4] Lihat, At-Tawqif a’laa Muhimmah at-Ta’arif, hlm. 431
[5] Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, IV:213
[6] Lihat, Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram, III:358
[7] Lihat, Shahih Al-Bukhari, II:695, No. 1869.
[8] Lihat, Shahih Muslim, II:811, No. 1156.
[9] Lihat, Irsyad as-Sari Syarh Shahih al-Bukhari, III: 402.
[10]Lihat, Syarh Shahih Muslim, VII:142.
[11] Lihat, Shahih Al-Bukhari, II:689, No. 1849.
[12] Lihat, Syarh Shahih Muslim, IV:161.
[13] HR. An-Nasai, as-Sunan al-Kubra, II:120, No. 2666; Sunan An-Nasai, IV:201, No. 2357; Ahmad, Musnad Ahmad, V:201, No. 21.801; Ath-Thahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar, II:82.
[14] Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, IV:215.
[15] Lihat, Shahih Sunan an-Nasai, No. 2221.

Sabtu, 28 April 2018

MENOLONG ORANG YANG DZALIM DAN YANG DIDZALIM

MENOLONG ORANG YANG DZALIM DAN YANG DIDZALIM

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ قَالَ تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنْ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdurrahim telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Sulaiman telah menceritakan kepada kami Husyaim Telah mengabarkan kepada kami Ubaidullah bin Abi Bakr bin Anas dari Anas radliallahu 'anhu mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Tolonglah saudara kamu yang dzhalim atau yang dizhalim."
Ada seorang sahabat bertanya :

"Ya Rasululloh,aku maklum bila yang didzhalim diberi pertolongan,namun bagaimana caranya aku menolong yang berbuat dzhalim?."
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab :

"Kamu mencegahnya dari berbuat dzhalim, itulah maksud dari menolong orang ya dzalim."
Bukhari no. 6438

Taubat nasuha

THAUBATAN NASUHA.

Thaubat nasuha adalah thaubat yang murni dan thaubat yang tingkatan nya paling tinggi di hadapan Allah subhanahu wata'ala.

أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ ۖ نُورُهُمْ يَسْعَىٰ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

"Wahai orang-orang yang beriman! Berthaubatlah kepada Alloh dengan thabat yang sebemarnya, semoga Rabb kamu akan menghapus kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam Surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak mengecewakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengannya; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka berkata, "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami; sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu."
QS.AtTahrim  8.

Taubat nasuha adalah thaubat dari dosa yang pernah di perbuatnya saat ini dan menyesal atas dosa dosa yang di lakukan nya di masa lalu dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

Caranya adalah adanya 'nadamun' untuk
meninggalkan kemaksiatan atau kesalahan yang pernah dilakukannya,
dengan menyesali perbuatan tersebut.
bertekad kuat untuk tidak mengulanginya
selamanya
Bila terdapat hak orang lain,maka hendaklah segera untuk mengembalikan kepada pemiliknya.

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مَسْعَدَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ:
قَالَ: رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani' telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab telah menceritakan kepada kami Ali bin Mas'adah dari Qatadah dari Anas dia berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Semua bani Adam manusia pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang segera berthaubat."
Ibnu Majah no. 4241.

Kesesatan syiah

Syiah dikenal dengan sebutan Rafidhah karena mereka menolak mengakui khilafah Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan ‘Umar Radhiyallahu anhu bin Khaththab dan penolakan mereka atas sanjungan Zaid bin ‘Ali bin Husain terhadap dua orang terbaik umat itu. Mereka menyikapi jawaban Zaid bin Ali bin Husain dengan , “Rafadhnaka” yang artinya kami menolak jawabanmu. Akhirnya mereka dikenal dengan nama Rafidhah.

Rafidhah adalah salah satu sekte Syiah, dan memiliki banyak nama diantaranya al-Itsna ‘Asyariyah, Ja’fariyyah, Imamiyyah dan nama yang lainnya, akan tetapi hakikatnya sama. Apabila pada zaman ini disebutkan kata Syiah secara mutlak, maka tidak lain yang dimaksudkan adalah Rafidhah

Rafidhah memiliki keyakinan-keyakinan yang sangat bertentangan dengan Islam yang mereka jadikan sebagai dasar agama mereka. Di antara kerusakan keyakinan mereka adalah:

1. Al-Qur`ân yang dijamin keutuhan dan keasliannya oleh Allâh Azza wa Jalla telah banyak berkurang dan mengalami banyak perubahan. Bahkan menurut mereka, al-Qur`ân hanya sepertiga dari al-Qur`ân yang dipegang ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu yang mereka sebut dengan Mushaf Fâthimah yang turun temurun dibawa oleh para imam dan sekarang dibawa oleh Imam al-Muntazhar (imam yang mereka tunggu kedatangannya)?!!

2. Al-Qur`ân tidak bisa dipahami kecuali dengan penafsiran para imam dua belas.

3. Mereka melakukan ta’thîl (meniadakan) nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla sehingga dalam konteks ini mereka termasuk kaum Jahmiyyah.

4. Iman dalam pandangan mereka adalah mengenal dan mencintai para imam.

5. Mereka menafikan takdir sehingga mereka termasuk golongan Qadariyyah (kelompok yang tidak mengimani takdir).

6. Mereka meyakini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada ‘Ali untuk menggantikannya sebagai khalifah sepeninggalnya.

7. Pengkafiran terhadap para Sahabat Nabi dan keyakinan bahwa para Sahabat Nabi telah murtad kecuali hanya beberapa orang saja dari mereka.

Tentang keyakinan ini, Imam Abu Zur’ah rahimahullah berkomentar untuk mendudukkan tujuan utama yang mereka bidik melalui pengkafiran umum terhadap Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum : “Sesungguhnya tujuan mereka mencela para Sahabat Radhiyallahu anhum adalah untuk mendongkel al-Qur`ân dan Sunnah. Kalau pembawa dan penyampai agama ini adalah orang-orang yang murtad, bagaimana kita menerima apa yang mereka sampaikan. (Inilah tujuan mereka, red). Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci [ash-Shaff/61:8]

Barangsiapa memiliki anggapan bahwa para Sahabat Radhiyallahu anhum telah murtad kecuali hanya beberapa yang hanya mencapai belasan orang saja atau kebanyakan merupakan orang-orang fasik setelah meninggalnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka tidak diragukan lagi akan kekufurannya karena telah mendustakan ayat-ayat al-Qur`ân yang menjelaskan keridhaan dan pujian Allâh Azza wa Jalla terhadap para Sahabat. Siapakah yang meragukan kekufuran keyakinan seperti ini?! Kekufuran orang yang meyakininya sudah pasti. Sesungguhnya anggapan ini juga mengharuskan bahwa penyampai al-Qur`ân dan Sunnah adalah orang-orang kafir dan fasik. (Berdasarkan keyakinan mereka yang rusak itu), firman Allâh berikut :

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia [Ali ‘Imrân/3:110]

Memberikan makna bahwa umat yang terbaik dan generasi pertama umat adalah orang-orang kafir dan fasik yang berarti bahwa umat ini adalah sejelek-jelek umat dan yang terjelek adalah generasi awalnya. Kekufuran keyakinan seperti ini sangat nyata dalam Islam”.[1]

8. Para imam dua belas mendapatkan wahyu dari Allâh Azza wa Jalla , sehingga kaum Syiah mendefinisikan Sunnah dengan istilah segala yang berasal dari orang ma’shûm (yang terjaga dari dosa dan kesalahan) baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun taqrîr (pembenaran). Menurut mereka, hanya ‘Ali bin Abi Thâlib yang menguasai Sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

9. Imâmah (kepemimpinan) kaum Muslimin hanya dipegang oleh Imam Dua Belas. Mereka mencela dan tidak mengakui khilafah Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan ‘Umar Radhiyallahu anhu

Tentang keyakinan ini, Imam Syafi’i berkata, “Barangsiapa tidak mengakui khilafah (kepemimpinan) Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan ‘Umar Radhiyallahu anhu, dia adalah seorang rafidhi”.

10. Para imam memiliki sifat ma’shûm, terjaga dari kesalahan mereka, tidak pernah lupa dan selalu mengetahui apa yang terjadi dan yang akan terjadi.

11. Para imam tidak akan mati kecuali dengan keinginan mereka.

12. Para imam akan bangkit dari kubur apabila mereka menghendaki, untuk menjumpai sebagian manusia. Keyakinan ini mereka sebut dengan akidah zhuhûr

13. Para imam dan wali lebih mulia daripada para nabi dan rasul.

14. Para imam akan kembali ke dunia setelah kematian mereka demikian pula Ahlussunnah. Mereka kemudian akan membalas para Sahabat, menyalib Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan ‘Umar Radhiyallahu anhu dan menegakkan hukuman zina terhadap ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma – semoga Allâh Azza wa Jalla menghancurkan mereka-. Keyakinan ini mereka sebut dengan akidah ar-raj’ah

15. Kuburan para imam adalah tempat-tempat suci.

16. Keyakinan bada’ yaitu terkuaknya sesuatu bagi Allâh Azza wa Jalla setelah sebelumnya tersembunyi sehingga menyebabkan Allâh Azza wa Jalla menarik perkataan yang telah difirmankan atau perbuatan yang dilakukan. Maha suci Allâh Azza wa Jalla atas apa yang mereka katakan

17. Mereka berkeyakinan orang-orang di luar mereka adalah kafir, sama sekali tidak berhak untuk masuk surga

18. Mereka berkeyakinan bahwa seluruh kebaikan yang dilakukan oleh Ahlus Sunah akan diberikan untuk Syiah dan dosa-dosa Syiah akan dibebankan kepada Ahlussunnah. Ini yang mereka sebut dengan istilah ath-thînah

19. Kewajiban melakukan taqiyah, yaitu seorang penganut agama Syiah berkata dengan perkataan yang berbeda dengan apa yang dia yakini, atau menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang ada pada hatinya. Keyakinan taqiyah ini merupakan satu kewajiban bagi para penganut Syiah. Oleh karena itu, penganut Syiah mengerjakan shalat di belakang Ahlussunnah dalam rangka taqiyah (melindungi diri) dan pujian-pujian para imam mereka terhadap para Sahabat dilakukan dalam rangka menjalankan taqiyah

20. Imam yang kedua belas, Muhammad bin Hasan al-‘Asykari telah memasuki salah satu gua di daerah Samira tahun 260 H pada saat masih kecil. Ia telah menjadi seorang imam sejak kematian ayahnya sampai hari ini. Padahal fakta menyatakan bahwa Hasan al-Askari meninggal dalam keadaan mandul, tidak memiliki anak.

21. Halalnya darah dan kehormatan Ahlus Sunnah. Menurut mereka, boleh menggunjing, mencela bahkan melaknat Ahlus Sunnah.

22. Menghalalkan nikah mut’ah (kawin kontrak). Bahkan menurut mereka nikah mut’ah lebih utama daripada menjalankan shalat, puasa, dan haji

RENUNGAN
Setelah penyampaian keyakinan Syiah secara global ini, Syaikh Dr. Muhammad Musa Alu Nashr hafizhahullâh mengatakan: “Setelah pemaparan semua ini, bolehkan kita katakan bahwa Syiah adalah saudara-saudara kita atau mengatakan bahwa mereka adalah ahli tauhid?![2] . Mustahil, kalau keyakinan-keyakinan ini hanya sebuah aliran saja. Akan tetapi, itu merupakan sebuah agama tersendiri (Syiah). Syiah adalah sebuah agama. Dan agama Ahlussunnah adalah risalah yang dibawa oleh utusan Penguasa alam semesta, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Aqidah mereka yang sesat ini tertulis di dalam kitab-kitab para agamawan mereka dan tidak perlu kita nukilkan omongan-omongan mereka karena hanya akan menyesakkan dada dan mengeruhkan pikiran. Orang-orang yang masih memiliki akal sehat dan pikiran yang lurus akan enggan mendengarkannya, apalagi sampai mau mengikuti mereka.

Allâh Azza wa Jalla telah mendatangkan dari kalangan Ahlussunnah, orang-orang (ulama) yang mematahkan syubhat mereka, menguliti kegelapan akidah mereka, menguak kesesatan dan kebodohan mereka, membantah kedustaan mereka, menjelaskan pengkaburan dan penipuan yang mereka lakukan, membuka kedok kepalsuan dan penyimpangan mereka, membersikan nama para Sahabat Rasulullah dari kedustaan dan celaan- celaan yang mereka lancarkan…

‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu berkata:

لِيُحِبُّنِيْ رِجَالٌ يُدْخِلُهُمُ اللهُ بِحُبِّيْ النَّارَ وَيُبْغِضُنِيْ رِجَالٌ يُدْخِلُهُمُ اللهُ بِبُغْضِيْ النَّارَ

Sungguh akan ada orang-orang yang dimasukan oleh Allâh ke dalam neraka karena kecintaan mereka kepadaku. Dan sungguh akan ada orang-orang yang dimasukkan oleh Allâh ke dalam neraka karena kebencian mereka kepadaku [3]

(Diringkas dari al-Intishâr bi Syarhi ‘Aqîdati)

Kamis, 26 April 2018

ALLOH AKAN MENGAMPUNI DOSA YANG LUPA DAN TERPAKSA.

ALLOH AKAN MENGAMPUNI DOSA YANG LUPA DAN TERPAKSA.

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لأنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu.
Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya.
Maka mereka itulah orang yang beruntung.
QS.AtTaghobun 16.

عَنِ ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِيْ عَنْ أُمَّتِي : الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ [حديث حسن رواه ابن ماجة والبيهقي وغيرهما]

Dari Ibnu Abbas radiallahuanhuma : Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda :

"Sesungguhnya Allah ta’ala memafkan umatku,disebabkan beberapa kesalahan, baik lupa atau terpaksa “.
HR.Ibnu Majah dan Baihaqi dan lainnya

Alloh ta’ala mengutamakan umat dan hambanya dengan menghilangkan berbagai kesulitan dan memaafkan dosa dan kesalahan.

Sesungguhnya Alloh ta’ala tidak menghukum seseorang,kecuali jika dengan sengaja berbuat maksiat dan hatinya telah bermaksud untuk melakukan penyimpangan dan meninggalkan kewajiban dengan sukarela .

Manfaat adanya kewajiban, adalah untuk mengetahui siapa yang tha’at dan siapa yang membangkang.

MENGGAPAI HIDUP YANG TENANG DAN SEJAHTERA DUNIA DAN AKHIRAT.

MENGGAPAI HIDUP YANG TENANG DAN SEJAHTERA DUNIA DAN AKHIRAT.

الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Mereka yang beriman dengan hati mereka menjadi tentram dan tenang dengan mengingat Allah.
Dan hanya dengan mengingat Alloh hati akan menjadi tenang.”
QS.ArRa’ad 28.

Disamping itu, seandainya kematian akan menjemput dirinya, keimanan kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala dengan segala yang dimilikinya,tidak akan membuat seorang muslim takut kepada mati,bahkan  akan menyambut kematian itu dengan jiwa yang tenang.
Allah subhaanahu wa ta’ala akan memanggilnya dengan panggilan yang sangat indah dan menyenangkan.

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ، ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً،  فَادْخُلِي فِي عِبَادِي،  وَادْخُلِي جَنَّتِي

“Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan keridloan yang Aku diridhai.
Masuklah menjadi hambaKu dan masuklah ke dalam surgaKu.”
QS.AlFajr  27-30.

حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ وَمُجَاهِدُ بْنُ مُوسَى قَالَا حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي شُمَيْلَةَ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ مِحْصَنٍ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ أَبِيهِ، قال: قال رَسُولُ اللَّهِ  مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ آمِنًا فِي سِرْبِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

Telah menceritakan kepada kami Suwaid bin Sa’id dan Mujahid bin Musa, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Marwan bin Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Abu Syumailah dari Salamah bin ‘Ubaidillah bin Mihshan al-Anshari dari ayahnya dia berkata:

“Barangsiapa yang di pagi hari sehat badannya, tenang jiwanya, dan dia mempunyai makanan pada hari itu, maka seolah-olah dunia ini dikaruniakan kepadanya.”
HR.Ibnu Majah Az-Zuhd Al-Qana’ah 4141.

Setiap manusia, apalagi sebagai muslim, tentu mendambakan kehidupan yang baik dan menyenangkan di dunia ini.

Untuk bisa merasakan kehikmatan hidup di dunia ini,inilah perkara yang harus dimiliki oleh seorang muslim, sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ آمِنًا فِي سِرْبِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

“Barangsiapa yang di pagi hari sehat badannya, tenang jiwanya, dan dia mempunyai makanan di hari itu,maka seakan dunia ini dikaruniakan kepadanya.”

*Badan yang sehat merupakan suatu kenikmatan tersendiri bagi manusia yang tidak ternilai harganya,* rasanya tidak ada artinya segala sesuatu yang kita miliki bila kita tidak memiliki kesehatan jasmani.
Apa artinya harta yang berlimpah dengan kedudukan yang tinggi,bila dalam kehidupan di dunia ini tidak sehat.
Oleh karena kesehatan bukan hanya harus dibanggakan dihadapan orang lain, tetapi yang lebih penting lagi adalah harus disyukuri kepada yang memberi anugerahnya, Alloh subhaanahu wa ta’ala.

Hal yang tidak kalah pentingnya, dari badan yang sehat akan tumbuh jiwa yang tenang, sebab apa artinya manusia memiliki jiwa yang sehat bila jiwanya tidak tenang, bahkan badan kondisi sakitpun  tidak akan terlalu berat  bila dihadapi dengan jiwa yang tenang. Bahkan ketenangan jiwa bila menjadi washilah untuk bisa menyembuhkan dari berbagai penyakit.

Jiwa yang tenang adalah jiwa yang selalu berdzikir kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala, karena itu, orang yang ingin meraih ketenangan hidup dijalani kehidupan dengan segala aktivitasnya karena Allah, dengan ketentuan yang telah digariskan Allah subhaanahu wa ta’ala, dan untuk meraih ridha dari Alloh subhaanahu wa ta’ala.

Dengan demikian,sumber ketenangan hidup bagi seorang muslim adalah keimanan kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala dan selalu berdzikir kepada Alloh.

Oleh karena itu, memiliki makanan yang cukup atau perekonomian yang memadai merupakan suatu kenikmatan tersendiri dalam hidup ini, sedangkan bila kondisi kehidupan seseorang dalam keadaan lapar, dan ia tidur dalam keadaan yang demikian, maka hal itu merupakan sesuatu yang sangat jelek, karenanya Rasulullah Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- selalu berdo’a sebagaimana terdapat dalam hadits,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُوعِ فَإِنَّهُ بِئْسَ الضَّجِيعُ

“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari lapar, karena ia adalah teman tidur yang paling jelek"
HR.Abu Daud.

Jiwa yang tenang adalah jiwa yang selalu berdzikir kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala.
Sebab itu, yang ingin meraih ketenangan hidup,hendaklah dijalani kehidupan dengan penuh dzikir kepada Alllh,ridlo dengan ketentuan yang telah digariskan Alloh subhaanahu wa ta’ala,serta untuk meraih ridha dari Allah subhaanahu wa ta’ala. Dengan demikian, sumber ketenangan hidup bagi seorang muslim adalah dengan banyak berdzikir kepada Alloh subhana wata'ala.

Selasa, 24 April 2018

Istidraj

ISTIDRAJ.

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ غَيْلَانَ قَالَ حَدَّثَنَا رِشْدِينُ يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ أَبُو الْحَجَّاجِ الْمَهْرِيُّ عَنْ حَرْمَلَةَ بْنِ عِمْرَانَ التُّجِيبِيِّ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنْ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
{ فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ }
Telah meneritakan kepada kami Yahya bin Ghailan dia berkata, Telah meneritakan kepada kami Risydin -yakni Ibnu Sa'd Abul Hajjaj Al Mahari- dari Harmalah bin Imran At Tujibi dari Uqbah bin Muslim dari Uqbah bin Amir dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
"Jika kamu melihat Alloh memberikan kebahagiaan dunia kepada seorang hamba pelaku maksiat, dengan sesuatu yang sangat dia sukai, maka sesungguhnya hal serupa itu hanyalah istidraj."

Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membacakan ayat:

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّىٰ إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

'Maka tatkala mereka lupa atas peringatan yang telah diberikan Alloh pada mereka, maka Kami membuka semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga dikala mereka senang gembira dengan segala apa yang telah Kami berikan pada mereka,kemudian kami datangkan azab bagi mereka secara mendadak.
Maka ketika itu keadaan mereka terpaku serta kehilangan kendali '.
(Qs. Al An'am: 44).
Ahmad no. 16673.