Senin, 09 April 2018

MENGEPALKAN KEDUA TANGAN KETIKA AKAN BERDIRI

MENGEPALKAN KEDUA TANGAN KETIKA AKAN BERDIRI
Oleh Al-Ustadz Amien Mukhtar

(Anggota dewan Hisbah Persatuan Islam)

(Bagian ke-1)
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai tata cara bangkit setelah sujud kedua atau setelah duduk untuk berdiri melanjutkan rakaat shalat berikutnya. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa yang paling utama bertumpu pada kedua lututnya bukan pada lantai kecuali dalam keadaan masyaqqah (berat/sulit). Sedangkan ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa yang paling utama bertumpu pada lantai dengan kedua telapak tangan tanpa dikepalkan. Namun, saat ini terdapat fenomena bertumpu dengan kedua tangan dikepalkan.
Argumentasi bertumpu dengan kedua tangan dikepalkan
Mereka yang berpendapat bahwa, saat bangkit setelah sujud kedua atau setelah duduk untuk berdiri melanjutkan rakaat shalat berikutnya disyariatkan bertumpu pada lantai dengan kedua tangan dikepalkan, merujuk kepada hadis yang populer disebut ‘ajin, sebagai berikut:
Pertama, dari Abdullah bin ‘Abbas Ra., ia berkata:
أَنَّ رسَوُلْ َاللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَامَ فِي صَلاَتِهِ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى الْأَرْضِ كَمَا يَضَعُ الْعَاجِنُ
“Sesungguhnya Rasulullah saw. jika beliau (hendak) berdiri dalam sholatnya, beliau meletakkan kedua tangannya di atas bumi sebagaimana yang dilakukan oleh al-‘ajin (orang yang melakukan ‘ajn).”
Hadis ini tidak diketahui mukharrij (periwayat)nya, namun populer dalam bahasan para ulama seperti disebutkan oleh Imam ar-Rafi’I[1] (w. 623 H)  An-Nawawi[2] (w. 676), Sirajuddin Ibnu al-Mulaqqin[3] (w. 804 H),  Ibnu Hajar al-Asqalani[4] (w. 852 H), Syamsuddin ar-Ramli[5] (w. 1004), Muhammad al-Khatib asy-Syarbini[6], dan Syekh Nasiruddin al-Albani[7]

Kedua, dari Ibnu Umar Ra.
عَنِ الْأَزْرَق بنِ قَيْسٍ : رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَعْجِنُ فِي الصَّلَاةِ يَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ إِذَا قَامَ. فَقُلْتُ لَهُ، فَقَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ يَفْعَلُهُ.
Dari Al-Azraq bin Qais, “Aku melihat Ibnu Umar melakukan ‘ajn saat shalat ketika hendak berdiri. Aku bertanya kepadanya (mengenai hal tersebut), dan ia menjawab, ‘Aku melihat Rasulullah saw. melakukannya’.” HR. Abu Ishaq al-Harbi[8] (w. 285 H) dan at-Thabrani[9] (w. 360 H), dan redaksi di atas versi al-Harbi.
Hadis Al-Azraq bin Qais diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi dengan redaksi sebagai berikut :
رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ إِذَا قَامَ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ اعْتَمَدَ عَلَى الأَرْضِ بِيَدَيْهِ. فَقُلْتُ لِوَلَدِهِ وَلِجُلَسَائِهِ : لَعَلَّهُ يَفْعَلُ هَذَا مِنَ الْكِبَرِ؟ قَالُوا : لاَ وَلَكِنْ هَذَا يَكُونُ.
“Aku melihat Ibnu Umar jika berdiri dari dua raka’at bertelekan di bumi dengan dua tangannya. Aku bertanya kepada anaknya dan kawan-kawan duduknya, ‘Barangkali beliau (Ibnu Umar) melakukannya karena tua?’ Mereka menjawab, ‘Tidak, tetapi demikianlah keadaannya’.” [10]
Padanya tidak terdapat kata ‘ajn, namun dengan kata ‘bertelekan’. Dua kata ini tidak bertentangan, karena ‘bertelekan’ lebih umum daripada ‘ajn.

Pengertian ‘Ajn
Pengertian ‘ajn perlu diterangkan di sini karena digunakan di dalam hadis-hadis itu sebagai perbandingan sifat telapak tangan saat bangun dari sujud. Ibnul Atsiir berkata saat menjelaskan hadis Ibnu Umar tentang ‘ajn dalam shalat. Kata beliau:
أي : يَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ إِذَا قَامَ كَمَا يَفْعَلُ الَّذِيْ يَعْجِنُ الْعَجِينَ.
“Yaitu bertelekan dengan kedua tangannya jika berdiri sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang membuat adonan.” [11]
Ibnu Manzhur berkata :
وَالْعاجِنُ مِنَ الرِّجالِ : الْمُعْتَمِدُ عَلَى الأَرْضِ بِجِمْعِهِ إِذَا أَرادَ النُّهُوضَ مِنْ كِبَرٍ أَوْ بُدْنٍ.
“Seseorang yang melakukan ‘ajn adalah seorang yang bertelekan di atas bumi dengan mengepalkan (menggenggam telapak tangannya) saat hendak bangkit baik karena tua maupun gemuk.” [12]
Jadi, ‘ajn adalah cara seorang untuk berdiri dari satu rakaat ke rakaat lainnya, yaitu dia mengepalkan kedua tangannya lalu bertumpu di atas punggung kedua telapak tangannya ketika akan berdiri dalam shalat. Cara ini sebagaimana dilakukan oleh orang yang membuat adonan.

Derajat Hadis
Status hadis ‘ajn riwayat Abu Ishaq al-Harbi, menurut Syekh al-Albani derajatnya hasan. Sementara riwayat al-Baihaqi derajatnya shahih. [13]
Tanggapan pihak lain terhadap masalah ini, akan disampaikan pada edisi selanjutnya.

By Amin Muchtar, sigabah.com

[1] Lihat, Fath al-Aziz Syarh al-Wajiz, Juz 3, hlm. 491.
[2] Lihat, Khulashah al-Ahkam fi Muhimmat as-Sunan wa Qawa’id al-Islam, Juz 1, hl. 423-424; Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 3, hlm. 442,
[3] Lihat, Khulashah al-Badr al-Munir, Juz 1, hlm. 137,
[4] Lihat, at-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits ar-Rafi’I al-Kabir, Juz 2, hlm. 11
[5] Lihat, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Juz 2, hlm. 99
[6] Lihat, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Alfazh al-Minhaj, Juz 1, hlm. 182
[7] Lihat, Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Mawdu’ah, Juz 2, hlm. 393
[8] Lihat, Gharib al-Hadits, Juz 2, hlm. 525.
[9] Lihat, Al-Mu’jam al-Awsath, Juz 3, hlm. 343, Hadis No. 3347; Juz 4, hlm. 213, No. 4007;  Juz 9, hlm. 207, No. 4154; Al-Mu’jam al-Kabir, juz 11, hlm. 218, No. 410; Juz 11 , hlm. 383, No. 902, dengan sedikit perbedaan redaksi.
[10] Lihat, As-Sunan al-Kubra, Juz 2, hlm. 135, Hadis No. 2632
[11] Lihat, As-Sunan al-Kubra, Juz 3, hlm. 193.
[12] Lihat, Lisaan al-‘Arab, Juz 13, hlm. 277.
[13] Lihat, Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Mawdu’ah, Juz 10, hlm. 55

MENGEPALKAN KEDUA TANGAN KETIKA AKAN BERDIRI (Bagian ke-2)
Sikap Ulama Terhadap Hadis ‘Ajin
Status Hadis ‘Ajin versi Ibnu Abbas

أَنَّ رسَوُلْ َاللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَامَ فِي صَلاَتِهِ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى الْأَرْضِ كَمَا يَضَعُ الْعَاجِنُ
“Sesungguhnya Rasulullah saw. jika beliau (hendak) berdiri dalam sholatnya, beliau meletakkan kedua tangannya di atas bumi sebagaimana yang dilakukan oleh al-‘ajin (orang yang melakukan ‘ajn).”
Hadis ini disepakati kedha’ifannya oleh para ulama dengan sebab kedha’ifan sebagai berikut:
Ibnu ash-Shalah (577-643 H/1181-1245 M) berkata:
هَذَا الْحَدِيثُ لَا يَصِحُّ وَلَا يُعْرَفُ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُحْتَجَّ بِهِ.
“Hadis ini tidak shahih dan tidak dikenal. Tidak boleh dipergunakan sebagai hujjah.”[1]
Selanjutnya Ibnu ash-Shalah menyatakan:
وَعَمِلَ بِهَذَا كَثِيرٌ مِنْ الْعَجَمِ، وَهُوَ إثْبَاتُ هَيْئَةٍ شَرْعِيَّةٍ فِي الصَّلَاةِ لَا عَهْدَ بِهَا، بِحَدِيثٍ لَمْ يَثْبُتْ، وَلَوْ ثَبَتَ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ مَعْنَاهُ، فَإِنَّ الْعَاجِنَ فِي اللُّغَةِ: هُوَ الرَّجُلُ الْمُسِنُّ، فَإِنْ كَانَ وَصْفُ الْكِبَرِ بِذَلِكَ مَأْخُوذًا مِنْ عَاجِنِ الْعَجِينِ فَالتَّشْبِيهُ فِي شِدَّةِ الِاعْتِمَادِ عِنْدَ وَضْعِ الْيَدَيْنِ لَا فِي كَيْفِيَّةِ ضَمِّ أَصَابِعِهَا،
“Cara demikian itu diamalkan oleh kebanyakan orang ‘Ajam (non Arab), yaitu menetapkan suatu cara syar’I dalam shalat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan hadis yang tidak shahih. Sekiranya hadis itu shahih pun maknanya bukan begitu, karena kata ‘ajin secara bahasa bermakna seorang yang telah tua. Jika sekiranya sifat tua diambil dari  orang yang menguli (meremas-remas dan menekan-nekan) adonan maka penyerupaannya terletak pada bertelekan dengan kuat ketika menempatkan kedua tangan, bukan pada cara mengepalkan jari-jari tangan.” [2]
قَالَ الْغَزَالِيُّ: وَإِذَا قُلْنَا بِالزَّايِ، فَهُوَ الشَّيْخُ الْمُسِنُّ الَّذِي إذَا قَامَ اعْتَمَدَ بِيَدَيْهِ عَلَى الْأَرْضِ مِنْ الْكِبَرِ، قَالَ ابْنُ الصَّلَاحِ، وَوَقَعَ فِي الْمُحْكَمِ لِلْمَغْرِبِيِّ الضَّرِيرِ الْمُتَأَخِّرِ: الْعَاجِنُ هُوَ الْمُعْتَمِدِ عَلَى الْأَرْضِ وَجَمَعَ الْكَفَّ، وَهَذَا غَيْرُ مَقْبُولٍ مِنْهُ، فَإِنَّهُ لَا يُقْبَلُ مَا يَنْفَرِدُ بِهِ لِأَنَّهُ كَانَ يَغْلَطُ وَيُغَالِطُونَهُ كَثِيرًا، وَكَأَنَّهُ أَضَرَّ بِهِ مَعَ كِبَرِ حَجْمِ الْكِتَابِ ضَرَارَتَهُ، انْتَهَى كَلَامُهُ
“Al-Ghazali berkata, ‘Jika kita mengatakan dengan huruf zay (‘Aajiz) maka bermakna seorang yang telah tua, apabila bangkit ia bertelekan dengan kedua telapak tangannya pada tanah.’ Ibnu ash-Shalah berkata, ‘Pada al-Muhkam karya al-Maghribi adh-Darir mutaakhir terdapat keterangan bahwa ‘aajin ialah orang yang bertelekan pada tanah dan mengepalkan telapak tangan. Pemaknaan ini tidak dapat diterima karena dia sendirian (yang memaknai demikian). Dia keliru dan banyak orang yang berlawanan dengannya. Seolah-olah dengan pemaknaan itu ia mendatangkan bahaya di samping ukuran kitabnya besar dengan bahaya.”[3]
Imam An-Nawaw (631-676 H/1233-1277 M) berkata:
فَهُوَ حَدِيْثٌ ضَعِيْفٌ، أَوْ بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ وَلَوْ صَحَّ لَكَانَ مَعْنَاهُ قَائِمٌ مُعْتَمِدًا بِبَطْنِ يَدَيْهِ كَمَا يَعْتَمِدُ الْعَاجِزُ، وَهُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ، وَلَيْسَ الْمُرَادُ عَاجِنَ الْعَجِينِ
“Maka ia hadis dhaif atau batal tidak ada sumber asalnya. Dan sekirannya shahih tentu saja maknanya bangkit sambil bertelekan dengan kedua telapak tangannya kepada tanah sebagaimana orang yang lemah, yaitu yang tua renta, dan maksudnya bukan orang yang menguli (meremas-remas dan menekan-nekan) adonan.”[4]
Argumentasi seperti di atas diulas pula oleh Imam ar-Rafi’I[5] (w. 623 H)  An-Nawaw[6] (w. 676), Sirajuddin Ibnu al-Mulaqqin[7] (w. 804 H),  dan Ibnu Hajar al-Asqalani[8] (w. 852 H).
Semua ulama bersepakat bahwa hadis bertumpu dengan kedua tangan pada tanah/lantai saat bangkit untuk berdiri versi Ibnu Abas statusnya tertolak karena tidak ada sumber asalnya.
Sementara terhadap hadis Ibnu Umar, para ulama berbeda pendapat dalam menilai status hadisnya. Misalnya, Syekh al-Albani menilainya sahih. Sedangkan Syekh Bakr Abu Zaid menilainya dhaif. Perbedaan itu hemat kami disebabkan dua faktor: Pertama, penetapan rawi bernama al-Haitsam, apakah bin ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah ataukah bin Imran ad-Dimasyqi? Kedua, para ulama yang menetapkan bahwa rawi itu al-Haitsam bin Imran ad-Dimasyqi pun berbeda pendapat tentang sifat rawi itu antara majhul (tidak dikenal) dan tsiqah (kredibel).
Penjelasan lebih lanjut tentang argumentasi kedua pihak terhadap status hadis itu akan disampaikan pada edisi selanjutnya.

By Amin Muchtar, sigabah.com

[1] Dikutip oleh Ibnu Hajar dalam at-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits ar-Rafi’I al-Kabir, Juz 1, hlm. 467
[2] Ibid.
[3] Ibid., Juz 1, hlm. 467-468
[4] Lihat, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 3, hlm. 442
[5] Lihat, Fath al-Aziz Syarh al-Wajiz, Juz 3, hlm. 491.
[6] Lihat, Khulashah al-Ahkam fi Muhimmat as-Sunan wa Qawa’id al-Islam, Juz 1, hl. 423-424; Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 3, hlm. 442,
[7] Lihat, Khulashah al-Badr al-Munir, Juz 1, hlm. 137,
[8] Lihat, at-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits ar-Rafi’I al-Kabir, Juz 2, hlm. 11
MENGEPALKAN KEDUA TANGAN KETIKA AKAN BERDIRI (Bagian ke-3)
A. Status Hadis ‘Ajin versi Ibnu Umar
عَنِ الْأَزْرَق بنِ قَيْسٍ : رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَعْجِنُ فِي الصَّلَاةِ يَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ إِذَا قَامَ. فَقُلْتُ لَهُ، فَقَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ يَفْعَلُهُ.
Dari Al-Azraq bin Qais, “Aku melihat Ibnu Umar melakukan ‘ajn saat shalat ketika hendak berdiri. Aku bertanya kepadanya (mengenai hal tersebut), dan ia menjawab, ‘Aku melihat Rasulullah saw. melakukannya’.” HR. Abu Ishaq al-Harbi (w. 285 H) dan at-Thabrani (w. 360 H), dan redaksi di atas versi al-Harbi.
Abu Ishaq al-Harbiy meriwayatkan hadis di atas melalui rawi Ubaidullah bin Umar, dari Yunus bin Bukair, dari al-Haitsam, dari ‘Athiyyah bin Qais, dari al-Azraq bin Qais, dari Ibnu Umar. [1]
Sementara ath-Thabrani meriwayatkan hadis di atas melalui dua jalur:
• Ja’far, dari al-Hasan bin Sahl al-Hannath, dari Abdul Hamid al-Himmani, dari al-Haitsam bin ‘Ulayyah al-Bashri. [2] dari al-Azraq bin Qais, dari Ibnu Umar.
• Ali bin Sa’id ar-Razi, dari Abdullah bin Umar bin Aban, dari Yunus bin Bukair, dari al-Haitsam bin ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah.[3]
Selanjutnya, al-Haitsam bin ‘Ulayyah dan al-Haitsam bin ‘Alqamah, keduanya menerima dari al-Azraq bin Qais, dari Ibnu Umar.
“Bank data” di atas menunjukkan bahwa jalur periwayatan Abu Ishaq al-Harbi dan ath-Thabrani bersanad tunggal, karena semuanya melalui al-Azraq bin Qais, dari Ibnu Umar. Dengan demikian, hadis Ibnu Umar ini disebut gharib atau fard mutlaq (benar-benar bersanad tunggal).

B. Sikap Ulama Terhadap Hadis ‘Ajin versi Ibnu Umar
Sebagaimana telah disebutkan pada edisi sebelumnya, para ulama berbeda pendapat dalam menilai status hadis Ibnu Umar. Misalnya, Syekh al-Albani menilainya sahih. Sedangkan Syekh Bakr Abu Zaid menilainya dhaif. Perbedaan itu hemat kami disebabkan dua faktor: Pertama, penetapan rawi bernama al-Haitsam, apakah bin ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah ataukah bin Imran ad-Dimasyqi? Kedua, para ulama yang menetapkan bahwa rawi itu al-Haitsam bin Imran ad-Dimasyqi pun berbeda pendapat tentang sifat rawi itu antara majhul (tidak dikenal) dan tsiqah (kredibel).

B.1. Pihak yang menerima kehujahan hadis itu
Dalam menyikapi perkataan Imam ath-Thabrani:
لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنِ الأَزْرَقِ إِلا الْهَيْثَمُ ، تَفَرَّدَ بِهِ : يُونُسُ بن بُكَيْرٍ
“Tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari al-Azraq selain al-Haitsam. Yunus bin Bukair sendirian dengan hadis itu.” [4]

Syekh al-Albani berkata:
قلت : و هو صدوق حسن الحديث من رجال مسلم ، و فيه كلام لا ينزل حديثه عن مرتبة الحسن إن شاء الله تعالى . لكن شيخه الهيثم بن علقمة بن قيس بن ثعلبة لم أعرفه ، و لم أر أحدا ذكره ، فأخشى أن يكون وقع في الرواية شيء من التحريف
“Menurut saya, ‘Dia (Yunus bin Bukair) shaduq, hadisnya hasan, termasuk rawi Muslim. Padanya terdapat penilaian yang tidak akan menurunkan hadisnya dari derajat hasan, insya Allah Ta’ala. Namun, gurunya Yunus, al-Haitsam bin ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah, tidak saya kenal. Tidak seorang pun ulama yang menyebutkannya. Saya khawatir terjadi sedikit perubahan nama pada riwayat itu.
، فقد أخرج الحديث أبو إسحاق الحربي في ” غريب الحديث ” هكذا : حدثنا عبد الله بن عمر حدثنا يونس بن بكير عن الهيثم عن عطية بن قيس عن الأزرق بن قيس به . و الحربي ثقة إمام حافظ ، فروايته مقدمة على رواية علي بن سعيد الرازي ، فإن هذا و إن وثقه مسلمة بن قاسم فقد قال الدارقطني : ليس بذاك
Hadis itu telah diriwayatkan oleh Abu Ishaq al-Harbiy dalam kitab Gharib al-Hadits demikian: Abdullah bin Umar telah menceritakan kepada kami. Yunus bin Bukair telah menceritakan kepada kami, dari al-Haitsam, dari ‘Athiyyah bin Qais, dari al-Azraq bin Qais, dari Ibnu Umar, dengan hadis itu. Al-Harbiy Tsiqah (kredibel), Imam, lagi hafizh. Maka riwayatnya lebih diutamakan daripada riwayat Ali bin Sa’id ar-Razi. Karena dia (Ali) meski dinilai  tsiqah oleh Maslamah bin Qasim, namun adh-Daraquthni menilainya, ‘Tidak kuat.’
فقوله في الإسناد : الهيثم بن علقمة بن قيس بن ثعلبة يكون من أوهامه إن كان محفوظا عنه ، و الصواب قول الحربي : الهيثم عن عطية بن قيس. و الهيثم هذا هو ابن عمران الدمشقي ، وثقه ابن حبان ، و قد روى عنه جمع من الثقات
Maka perkataanya (ath-Thabrani) dalam sanad itu: al-Haitsam bin ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah bersumber dari wahamnya (keragu-raguan) jika sanad itu terpelihara darinya. Yang benar adalah perkataan al-Harbiy: ‘Al-Haitsam, dari ‘Athiyyah bin Qais.’ Al-Haitsam ini adalah Al-Haitsam bin Imran ad-Dimasyqi. Da telah dinilai tsiqah oleh Ibnu Hiban. Diriwayatkan dari al-Haitsam oleh sekelompok rawi tsiqah.” [5]
Penjelasan pihak yang menolak hadis ‘Ajin versi Ibnu Umar di atas akan disampaikan pada edisi selanjutnya.

By Amin Muchtar, sigabah.com

[1] Lihat, Gharib al-Hadits, Juz 2, hlm. 525.
[2] Lihat, Al-Mu’jam al-Awsath, Juz 3, hlm. 343, Hadis No. 3347; Al-Mu’jam al-Kabir, juz 11, hlm. 218, No. 410.
[3] Ibid., Juz 4, hlm. 213, No. 4007; Juz 9, hlm. 207, No. 4154; Al-Mu’jam al-Kabir, Juz 11 , hlm. 383, No. 902
[4] Lihat, Al-Mu’jam al-Awsath, Juz 9, hlm. 207, No. 4154; Al-Mu’jam al-Kabir, Juz 11 , hlm. 383, No. 902.
[5] Lihat, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, Juz 6, hlm. 380.

MENGEPALKAN KEDUA TANGAN KETIKA AKAN BERDIRI (Bagian ke-4/Tamat)
Status Hadis ‘Ajin versi Ibnu Umar
عَنِ الْأَزْرَق بنِ قَيْسٍ : رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَعْجِنُ فِي الصَّلَاةِ يَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ إِذَا قَامَ. فَقُلْتُ لَهُ، فَقَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ يَفْعَلُهُ.
Dari Al-Azraq bin Qais, “Aku melihat Ibnu Umar melakukan ‘ajn saat shalat ketika hendak berdiri. Aku bertanya kepadanya (mengenai hal tersebut), dan ia menjawab, ‘Aku melihat Rasulullah saw. melakukannya’.” HR. Abu Ishaq al-Harbi (w. 285 H) dan at-Thabrani (w. 360 H), dan redaksi di atas versi al-Harbi.
“Bank data” sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, menunjukkan bahwa jalur periwayatan Abu Ishaq al-Harbi dan ath-Thabrani bersanad tunggal, karena semuanya melalui al-Azraq bin Qais, dari Ibnu Umar. Dengan demikian, hadis Ibnu Umar ini disebut gharib atau fard mutlaq (benar-benar bersanad tunggal).

B.2. Pihak yang menolak kehujahan hadis itu
Pada edisi sebelumnya, telah disampaikan argumentasi dan metodologi Syekh al-Albani dalam menerima kehujahan hadis Ibnu Umar di atas. Pada edisi ini akan ditampilkan argumentasi dan metodologi para ulama yang bersikap sebaliknya.

Hadis di atas dipandang dha’if karena rawi al-Haitsam
Para ulama berbeda pendapat mengenai identitas al-Haitsam, periwayat hadis ini. Ada yang berpendapat al-Haitsam di sini adalah Ibnu ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah, sebagaimana dalam riwayat al-Bazzar yang telah disebutkan sebelumnya. Ada pula yang berpendapat bahwa al-Haitsam itu tanpa nasab (tidak jelas bin siapa). Namun, Syekh al-Albani beranggapan bahwa al-Haitsam itu adalah al-Haitsami bin ‘Imran. Namun, baik rawi itu al-Haitsam bin ‘Imran atau al-Haitsam bin ‘Alqamah tampaknya tidak dapat menyelamatkan hadis ini dari kedha’ifan karena keduanya sama saja tidak dikenal.
Sehubungan dengan itu, dalam menyikapi perkataan Imam ath-Thabrani:
لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنِ الأَزْرَقِ إِلا الْهَيْثَمُ ، تَفَرَّدَ بِهِ : يُونُسُ بن بُكَيْرٍ
“Tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari al-Azraq selain al-Haitsam. Yunus bin Bukair sendirian dengan hadis itu.” [1]
Ibnu Rajab al-Hanbali berkata:
وَالْهَيْثَمُ هَذَا غَيْرُ مَعْرُوفٍ
“Dan rawi al-Haitsam ini tidak dikenal.” [2]
Adapun tentang pernyataan Syekh al-Albani:
فقوله في الإسناد : الهيثم بن علقمة بن قيس بن ثعلبة يكون من أوهامه إن كان محفوظا عنه ، و الصواب قول الحربي : الهيثم عن عطية بن قيس. و الهيثم هذا هو ابن عمران الدمشقي ، وثقه ابن حبان ، و قد روى عنه جمع من الثقات
Maka perkataanya (ath-Thabrani) dalam sanad itu: al-Haitsam bin ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah bersumber dari wahamnya (keragu-raguan) jika sanad itu terpelihara darinya. Yang benar adalah perkataan al-Harbiy: ‘Al-Haitsam, dari ‘Athiyyah bin Qais.’ Al-Haitsam ini adalah Al-Haitsam bin Imran ad-Dimasyqi. Da telah dinilai tsiqah oleh Ibnu Hiban. Diriwayatkan dari al-Haitsam oleh sekelompok rawi tsiqah.” [3]
Perlu mendapatkan catatan sebagai berikut:
Pertama, dengan merujuk kepada riwayat al-Harabiy, Syekh al-Albani menduga bahwa al-Haitsam yang dimaksud adalah Al-Haitsam bin Imran ad-Dimasyqi. Padahal dengan jelas Imam ath-Thabarani menyebutkan secara lengkap nama dan nasabnya: dari Yunus bin Bukair, dari al-Haitsam bin ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah, dari al-Azraq bin Qais, dari Ibnu Umar. Karena itu, kami cenderung kepada pendapat Ibnu Rajab al-Hanbali: “Dan rawi al-Haitsam ini tidak dikenal.”
Kedua, karena Syekh al-Albani menduga bahwa al-Haitsam itu bin Imran ad-Dimasyqi, maka beliau menyatakan bahwa al-Haitsam bin Imran telah dinilai tsiqah oleh Ibnu Hiban.
Sejauh pengetahuan kami, Ibnu Hiban mencantumkan Al-Haitsam bin Imran dalam kitabnya ats-Tsiqat, namun tidak menyebutkan tsiqah terhadapnya. Keterangan Ibnu Hiban selengkapnya sebagai berikut:
الهيثم بن عمران العبسي من أهل دمشق يروى عن عطية بن قيس روى عنه الهيثم بن خارجة حدثنا الهيثم بن خارجة ثنا الهيثم بن عمران قال رأيت عطية بن قيس الكلابي يصلى على مرفقة محشوة بالريش جالسا متربعا
“Al-Haitsam bin Imran al-‘Absiy termasuk penduduk Damaskus. Ia meriwayatkan hadis dari ‘Athiyyah bin Qais. Diriwayatkan darinya oleh al-Haitsam bin Kharijah. Al-Haitsam bin Kharijah telah menceritakan kepada kami, al-Haitsam bin Imran telah menceritakan kepada kami, ia berkata, ‘Saya melihat Athiyyah bin Qais al-Kilabiy shalat sambil duduk bersila di atas bantal berisi bulu burung.”[4]
Di sini perlu kami terangkan, tanpa mengurangi rasa hormat kepada Syekh al-Albani, bahwa rawi yang disebut pada kitab at-Tsiqat itu tidak semuanya tsiqah (kredibel) menurut Ibnu Hiban. Sebab rawi yang dimuat oleh Ibnu Hiban pada kitabnya itu terbagi kepada dua kelompok: Pertama, hanya diterangkan oleh Ibnu Hiban sendirian. Jumlahnya lebih dari 2.000 orang. Kedua, diterangkan oleh Ibnu Hiban dan lainnya. Kelompok kedua terbagi kepada dua macam:
• Diterangkan jarh dan ta’dil (evaluasi positif dan negatif)nya oleh Ibnu Hiban. Jumlahnya mendekati 3.000 orang.
• Tidak dikomentari oleh Ibnu Hiban. Jumlahnya lebih dari 10.000 orang. Di antara mereka sebenarnya ada yang tsiqah, shaduq, majhul (tidak dikenal pribadinya), majhul hal (tidak dikenal identitasnya), dha’if, dan munkarul hadits (hadisnya diingkari) menurut para ahli hadis lainnya. Al-Haitsam bin Imran termasuk kelompok ini, yakni tidak dikomentari oleh Ibnu Hiban.

Ketiga, standar penilaian tsiqah versi Ibnu Hiban
Untuk menetapkan status rawi yang majhul (tidak dikenal), Ibnu Hiban memiliki kaidah atau standar tersendiri yang tidak sesuai dengan standar umum para ulama, yaitu dengan memperhatikan siapa guru atau muridnya. Apabila murid atau gurunya da’if, maka orang tersebut benar-benar majhul menurut Ibnu Hiban. Sedangkan apabila murid atau gurunya itu tsiqah, maka orang tersebut tidak majhul. Standar ini digunakan oleh Syekh al-Albani dalam menetapkan kesahihan beberapa hadis, begitu pula dalam menetapkan derajat hasan.
Padahal, standar ini tidak dapat digunakan secara mutlak dalam menilai kesahihan suatu hadis. Sehubungan dengan itu, Ibnu Hajar telah mengingatkan, “Pendapat Ibnu Hiban ini adalah pendapat yang mengherankan, berbeda dengan madzhab jumhur. Dan ini metode Ibnu Hiban pada kitab-nya at-Tsiqat. Dengan demikian, apabila terdapat keterangan bahwa seorang rawi watsaqahu ibnu hiban (dinilai kredibel oleh Ibnu Hiban) atau wadzakarahu ibnu hibban fii kitaabi at-tsiqat (diterangkan oleh Ibnu Hiban dalam kitabnya ats-tiqat)  itu menunjukkan bahwa terjadi perbedaan pendapat di antara ulama dalam menilai rawi seperti itu, yakni Ibnu Hiban menerimanya sedangkan ulama lain menolaknya.” [5]
Untuk menyikapi keadaan ini, Dr. Adab Mahmud al-Hamsy (penyusun disertasi doktor tentang Ibnu Hiban dan Manhaj-nya) memberikan alternatif sebagai berikut: “Rawi yang seperti ini hendaklah dibandingkan dengan penilaian kitab-kitab jarh dan ta’dil lainnya. Apabila pada kitab tersebut kita temukan komentar/penilaian, yang kita pandang benar, maka kita ambil perkataan penyusun kitab tersebut. Namun apabila tidak didapat penilaian yang pasti, maka kita bandingkan antara kaidah para imam itu dengan kaidah Ibnu Hiban sendiri…”[6]
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka penilaian Ibnu Rajab bahwa al-Haitsam tidak dikenal lebih dapat diterima oleh kami dibandingkan dengan penilaian Syekh al-Albani yang merujuk standar versi Ibnu Hiban. Karena keadaan murid atau guru yang tsiqat (kredibel) tetap tidak memperjelas keadaan rawi yang majhul (tidak dikenal).
Berdasarkan argumentasi dan metedologi di atas, kami cenderung kepada sikap para ulama yang menilai hadis ‘ajin (bertumpu dengan kedua tangan dikepalkan) statusnya dha’if. Dengan demikian, cara bangkit setelah sujud kedua atau setelah duduk untuk berdiri melanjutkan rakaat shalat berikutnya adalah dengan bertumpu pada kedua lututnya, bukan pada lantai, kecuali dalam keadaan masyaqqah (berat/sulit).

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

[1] Lihat, Al-Mu’jam al-Awsath, Juz 9, hlm. 207, No. 4154; Al-Mu’jam al-Kabir, Juz 11 , hlm. 383, No. 902.
[2] Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, karya Ibnu Rajab, V: 148
[3] Lihat, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, Juz 6, hlm. 380.
[4] Lihat, At-Tsiqat, VII: 577, No. rawi 11.553.
[5] Lihat, Muqaddimah al-Majruhin, I:huruf lam.
[6] Lihat, Ruwatul Hadits al-Ladzina Sakata ‘Alaihim Aimmatul Jarhi wat Ta’dil Bainat Tautsiq wat Tajhil, hlm. 69-72.